Daftar Isi
Gini nih, kadang kita tuh ngerasain yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan. Udah jatuh hati banget sama seseorang, tapi malah dia nggak ngerasain hal yang sama. Sakit? Pasti. Tapi itu kenyataan yang sering kali nggak bisa kita hindari.
Cerita ini bakal ngungkapin gimana rasanya jadi orang yang terjebak dalam cinta yang nggak terbalas, dan gimana prosesnya buat nerima kenyataan pahit itu. Kalau kamu pernah ngerasain, kamu bakal ngerti banget deh apa yang dirasain tokoh di cerpen ini. Selamat membaca, semoga nggak baper!
Cinta Bertepuk Sebelah Tangan
Pertemuan di Bawah Langit Kelabu
Langit di luar kampus tampak mendung, menyelimuti ruang kelas yang sesak dengan suara mahasiswa yang berdiskusi. Di salah satu sudut ruang seminar, Alex duduk dengan tubuh sedikit membungkuk, matanya terpaku pada slide presentasi yang berjalan perlahan di layar depan. Tidak ada yang benar-benar menarik perhatian selain kata-kata yang begitu abstrak dan membosankan. Namun, tiba-tiba pintu ruang seminar terbuka lebar, dan sebuah suara pelan terdengar.
“Permisi, bolehkah saya duduk di sini?”
Alex menoleh dengan sedikit terkejut. Seorang gadis berdiri di ambang pintu, rambut hitam panjang tergerai bebas, dan raut wajahnya yang cerah memancarkan kebahagiaan meski hujan di luar terus mengguyur. Alex hampir tidak bisa mempercayai mata sendiri. Itu adalah Lyra—gadis yang dikenal sebagai bintang kampus, terkenal karena kecantikannya, kepintarannya, dan semua hal yang membuatnya selalu menjadi pusat perhatian.
“Ah, tentu,” jawab Alex, sedikit kikuk. Tanpa banyak berpikir, ia menggeser tasnya agar gadis itu bisa duduk.
Lyra melangkah dengan penuh percaya diri, lalu duduk di sebelah Alex. Tak lama setelah itu, dosen memulai kuliah. Alex mencoba untuk fokus, namun entah mengapa, perhatian matanya lebih sering teralih ke Lyra yang duduk di sampingnya. Setiap kali ia menoleh, matanya bertemu dengan Lyra yang sedang menulis dengan tekun. Ada sedikit rasa kagum yang tumbuh di dalam dada Alex—sekaligus ketidaknyamanan. Bagaimana bisa seorang gadis sepopuler dan sesibuk Lyra justru memilih duduk di sebelah orang biasa sepertinya?
Setelah beberapa menit, Lyra berbisik pelan, “Aku baru masuk kelas, jadi agak ketinggalan. Ngomong-ngomong, aku Lyra.”
Alex sedikit terkejut, tapi berusaha menunjukkan senyum tipis. “Aku Alex.”
“Senang akhirnya bisa ngobrol,” jawab Lyra dengan senyum manisnya. Seperti biasa, senyum Lyra membuat hati siapa saja yang melihatnya berdebar. Namun Alex berusaha menahan diri. Dia tahu, dia hanya akan menjadi teman biasa di dunia Lyra yang penuh dengan kegembiraan dan popularitas.
Selama kuliah berlangsung, Lyra sesekali melirik ke arah Alex, meminta pendapat tentang beberapa materi yang sedang dibahas. Alex, yang sebenarnya bukanlah tipe orang yang banyak bicara, merasa terkejut saat Lyra terus mengajukan pertanyaan dengan antusias. Tak lama, pembicaraan mereka berkembang. Lyra mulai bercerita tentang berbagai kegiatan kampus yang sering dia ikuti, mulai dari organisasi hingga proyek penelitian. Alex mendengarkan dengan seksama, namun tak bisa menghindari rasa kagumnya yang semakin dalam.
“Jadi, kamu suka banget ngelakuin semua itu ya?” tanya Alex setelah Lyra selesai berbicara.
Lyra mengangguk. “Iya, aku suka kalau ada yang baru. Tapi terkadang… aku juga merasa capek.” Matanya sejenak tertunduk, seolah merenung. “Tapi, ya, apa boleh buat. Aku nggak bisa berhenti, kan? Semua orang mengharapkan aku untuk terus jadi yang terbaik.”
Alex tersenyum, walaupun ada rasa aneh yang mengganjal di hatinya. “Iya, sih. Pasti berat juga ya. Tapi, kalau kamu bisa nikmatin, kenapa enggak?”
Lyra tersenyum lebar, senyum yang seolah menghapus segala keraguan dan kelelahan yang sempat muncul di matanya. “Mungkin kamu benar. Kalau bisa dinikmati, kenapa enggak?”
Setelah kuliah selesai, Lyra mengajak Alex untuk pergi ke kafe kampus. “Gimana kalau ke kafe sebentar? Aku butuh istirahat dari semua ini.”
Mereka berjalan berdampingan ke luar kampus, diiringi hujan yang semakin deras. Lyra tampaknya tidak mempermasalahkan hujan itu, bahkan menikmati setiap tetes yang jatuh di kulitnya. Alex, yang lebih memilih untuk diam, merasa sedikit canggung namun tidak bisa menahan diri untuk tidak berbicara.
“Jadi, kamu lagi ada proyek apa sekarang?” tanya Lyra.
Alex mengangkat bahu. “Cuma tugas-tugas biasa. Nggak ada yang seru.” Matanya sedikit menatap Lyra, merasa sedikit cemas apakah pembicaraan ini akan berlanjut ke topik lain yang lebih pribadi.
“Kalau aku sih lagi mikirin soal Julian.”
Nama itu membuat tubuh Alex seolah terhenti sejenak. “Julian?” tanyanya, sedikit lebih keras dari yang dia inginkan.
“Yah, Julian, yang itu, teman kita di jurusan.” Lyra tersenyum tipis. “Aku… aku suka dia.”
Alex menelan ludahnya, berusaha menunjukkan ekspresi yang tidak terlalu terkejut. “Oh, jadi… kamu suka dia?” tanyanya pelan, meskipun ada rasa cemas yang mengguncang hatinya.
“Iya,” jawab Lyra dengan suara yang lebih lembut, matanya menatap jauh ke depan, seolah memikirkan sesuatu. “Tapi aku nggak tahu, apa dia juga merasakan hal yang sama.”
Alex terdiam sejenak. Ada rasa sakit yang mengalir begitu saja dalam dadanya, menyesak hingga membuatnya hampir tidak bisa bernapas. Namun, ia tahu, ini adalah kenyataan. Lyra adalah gadis yang tidak akan pernah melihatnya lebih dari sekadar teman.
Mereka sampai di kafe, dan Lyra memesan kopi panas. Alex hanya mengangguk setuju saat Lyra menawarkan untuk membeli minuman yang sama. Mereka duduk di sudut kafe yang sepi, dikelilingi oleh para mahasiswa lain yang sibuk dengan laptop mereka. Lyra terlihat lebih santai sekarang, dengan senyum di wajahnya, namun Alex merasa hatinya semakin jauh dari gadis itu.
Setiap kata yang Lyra ucapkan tentang Julian, tentang bagaimana dia berharap pria itu menyadari dirinya, membuat Alex merasa semakin terasing. Namun, ia berusaha menahan diri. Dia tahu, jika dia mengungkapkan apa yang sebenarnya dia rasakan, semuanya akan berubah—dan mungkin, itu akan menghancurkan pertemanan yang sudah mereka bangun.
Waktu berlalu dengan cepat, dan sebelum mereka berpisah, Lyra menepuk bahu Alex. “Terima kasih udah jadi teman yang baik. Aku butuh banget teman ngobrol kayak kamu.”
Alex tersenyum pahit. “Aku selalu ada buat kamu, Lyra.”
Namun, di dalam hatinya, dia tahu. Kata-kata itu tak lebih dari sekadar janji kosong, karena kenyataannya, dia selalu berada di luar lingkaran kehidupan Lyra. Dan itu, adalah kenyataan yang harus dia terima.
Menyimpan Rasa dalam Diam
Hari-hari setelah pertemuan di kafe itu berlalu begitu saja. Alex mencoba untuk menjalani rutinitasnya seperti biasa, meskipun ada satu hal yang terus mengganggu pikirannya—Lyra. Dia merasa seperti ada sesuatu yang membebaninya setiap kali dia melihat Lyra tertawa bersama teman-temannya, atau lebih sering lagi, berbicara tentang Julian.
Minggu-minggu berikutnya, Lyra semakin sering mengajak Alex untuk ngobrol, kadang di kafe, kadang di perpustakaan, kadang sekadar bertemu di kampus. Setiap kali mereka bertemu, Alex merasa hatinya semakin rapuh. Lyra selalu mengungkapkan segala hal tentang kehidupannya dengan bebas, tanpa rasa canggung. Namun, ada satu hal yang selalu Luput. Dia tidak pernah tahu perasaan Alex.
“Alex, kamu tahu nggak? Tadi Julian ngajak aku ngobrol lebih lama,” kata Lyra dengan wajah berbinar saat mereka duduk di taman kampus, menikmati matahari sore yang hangat.
Alex tersenyum tipis, berusaha menutupi perasaan yang mulai menyakitkan. “Oh, iya? Kedengarannya menyenangkan.”
“Ya, dia ngomong kalau kita harus lebih sering nongkrong bareng. Aku seneng banget. Tapi, aku juga bingung… aku nggak tahu apakah dia benar-benar suka aku atau cuma biasa aja.”
Tanya jawab itu selalu berakhir dengan rasa cemas yang semakin mendalam di dada Alex. Lyra tidak tahu bahwa setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah pisau yang mengiris hati Alex. Setiap cerita tentang Julian seolah mengukuhkan tempatnya yang tidak pernah bisa lebih dari sekadar teman biasa. Alex tahu, dirinya tidak akan pernah berada di sisi Lyra yang dia impikan.
“Yah, kamu kan pasti lebih paham dari aku soal itu. Aku ini kan nggak punya banyak pengalaman soal cinta,” jawab Lyra dengan suara cemas, meskipun senyumnya tidak pernah hilang. “Tapi, kadang aku merasa nggak cukup baik untuk dia. Aku takut… takut dia nggak mau aku jadi bagian dari hidupnya.”
Alex menatap Lyra dengan pandangan kosong, meskipun hatinya dipenuhi kekalutan. “Kamu nggak perlu takut, Lyra. Kamu punya segalanya yang dia cari.” Ia berkata itu dengan nada yang lebih datar dari yang ia harapkan. Hatinya merasa begitu kosong, seolah-olah ada jurang yang semakin lebar antara mereka.
Lyra menyandarkan tubuhnya ke kursi taman dengan rileks, menikmati angin yang sepoi-sepoi. “Terima kasih, Alex. Kamu selalu bilang hal-hal yang menenangkan.”
Alex hanya mengangguk pelan. Dia tidak bisa mengatakan yang sebenarnya—bahwa setiap kali dia menenangkan Lyra, hatinya semakin terluka. Setiap kali dia mendengarkan cerita tentang Julian, dia merasa semakin tenggelam dalam rasa yang tak terbalas.
Beberapa minggu kemudian, kehidupan Alex dan Lyra berjalan seperti biasa, namun ada perubahan yang tak terelakkan. Lyra semakin dekat dengan Julian. Mereka sering terlihat bersama di kampus, bahkan di luar kampus. Alex masih menjadi teman yang setia, menemani Lyra saat dia merasa bingung atau butuh seseorang untuk diajak bicara, tetapi dia tahu bahwa peranannya tak lebih dari itu.
Pada suatu malam, saat mereka duduk bersama di taman kampus, Lyra terlihat cemas. Hujan mulai turun perlahan, dan udara yang dingin mengusik ketenangan malam.
“Alex…” suara Lyra terdengar pelan, hampir tenggelam oleh suara hujan. “Aku bingung. Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan. Aku merasa terjebak antara perasaan untuk Julian dan rasa takut kehilangan dia.”
Alex menatap Lyra dengan tatapan kosong. “Kamu harus ikuti kata hatimu, Lyra. Jangan biarkan dirimu bingung.”
Lyra menghela napas panjang, matanya memandang jauh ke langit yang mulai gelap. “Tapi aku takut, Alex. Aku takut kehilangan dia. Aku nggak tahu apa yang akan terjadi kalau aku salah memilih.”
Alex merasakan dada yang semakin sesak, namun ia berusaha menunjukkan senyum yang seolah-olah tulus. “Apapun yang kamu pilih, aku yakin kamu bisa menghadapinya. Kamu nggak perlu khawatir.”
Kata-kata itu terdengar sangat mudah keluar dari mulutnya, tapi sebenarnya ia hanya ingin berteriak dan mengatakan hal yang jauh lebih jujur. Namun, dia tahu itu tidak akan pernah terjadi. Apa yang bisa dia katakan? Bahwa dia mencintai Lyra sejak lama, bahwa dia ingin menjadi orang yang bisa membuatnya bahagia, meskipun kenyataannya dia hanya bisa menonton dari jauh?
Lyra menoleh padanya, senyumnya terlihat sedikit terpaksa, namun tetap saja Alex merasa hancur setiap kali senyum itu mengarah padanya.
“Terima kasih, Alex,” kata Lyra, mengusap rambutnya yang basah oleh hujan. “Kamu selalu ada buat aku, kan? Aku nggak tahu apa yang akan aku lakukan tanpa kamu.”
Alex tersenyum, meskipun hatinya bergetar. “Aku selalu ada, Lyra. Kapan pun kamu butuh.”
Setelah beberapa detik yang terasa seperti bertahun-tahun, mereka bangkit dari tempat duduk dan berjalan perlahan menyusuri trotoar yang mulai dipenuhi genangan air hujan. Alex merasa dunia seolah berputar lebih lambat. Setiap langkah yang dia ambil bersamanya adalah langkah yang penuh dengan perasaan yang tak terungkapkan.
Di ujung jalan, Lyra melambaikan tangan dengan ceria. “Aku harus pergi, Alex. Aku ada janji dengan Julian nanti malam.”
Alex menatapnya dengan tatapan kosong. “Iya, hati-hati.”
Lyra pergi meninggalkannya, dan Alex kembali menatap kosong ke langit yang kini gelap. Dia tahu, bahwa seiring waktu, perasaan yang ia simpan dalam diam ini hanya akan membuatnya semakin terpuruk.
Namun, meskipun hatinya hancur, dia tidak bisa berhenti menjadi teman Lyra. Karena, itu satu-satunya cara agar ia bisa tetap dekat dengan gadis yang dicintainya—meski cinta itu, tetap tak akan pernah terbalas.
Terlalu Jauh untuk Diraih
Waktu berlalu, dan Alex merasa dirinya semakin tenggelam dalam rutinitas yang tak pernah ia pilih. Hari-harinya semakin berat, penuh dengan kebisuan yang memadat di dalam dadanya. Setiap senyum yang Lyra berikan terasa seperti belati yang menoreh hatinya. Setiap tawa yang terdengar begitu ceria, terdengar begitu jauh dari dirinya.
Lyra dan Julian semakin sering terlihat bersama. Mereka berjalan berdua di koridor kampus, mengobrol dengan ceria, berfoto bersama di setiap kesempatan. Semua orang tahu mereka dekat. Semua orang tahu mereka berdua mungkin lebih dari sekadar teman. Namun, Alex hanya bisa berdiri dari kejauhan, mengamati mereka tanpa bisa melakukan apa-apa.
Pernah suatu ketika, Lyra mengundangnya untuk menemani mereka berdua ke sebuah festival di luar kampus. Alex tahu, ini adalah kesempatan langka—kesempatan yang tidak bisa ia lewatkan. Mungkin jika dia berada di sana, ia bisa lebih dekat dengan Lyra, meski tahu betul bahwa itu hanya akan memperburuk keadaan hatinya.
“Mau ikut nggak, Alex?” tanya Lyra suatu sore, saat mereka duduk bersama di taman kampus. “Julian ngajak kita ke festival malam ini. Seru banget katanya. Aku nggak mau pergi sendirian.”
Alex menatap Lyra dengan mata yang sedikit kosong, mencoba untuk tidak terlihat cemas. “Tentu, aku ikut.”
Sejenak, Lyra tersenyum, lalu melanjutkan, “Aku seneng banget kamu mau ikut! Kita bakal bersenang-senang.”
Tapi saat malam itu tiba, Alex merasa semakin kecil saat berada di tengah keramaian. Mereka bertiga berjalan berkeliling festival, menikmati berbagai permainan dan makanan, sementara di dalam dirinya, Alex merasa seperti pengamat. Lyra dan Julian tampak begitu dekat. Mereka berbicara dengan bebas, tertawa lepas, sementara Alex hanya bisa ikut tersenyum tipis, meskipun hatinya semakin berat.
Di tengah hiruk-pikuk itu, Lyra tiba-tiba menggandeng tangan Julian dengan manis. Alex hanya bisa menatap mereka berdua. Hatinya terasa seperti terjatuh ke dalam jurang yang tak bisa diatasi. Dia berusaha mengabaikan perasaan itu, namun tidak bisa. Rasa sakit yang menggerogoti dadanya semakin terasa setiap detik yang berlalu. Dia tahu, itu adalah pemandangan yang tidak akan pernah dia miliki. Lyra tidak akan pernah melihatnya dengan cara yang sama.
“Alex, kamu baik-baik aja?” tanya Lyra dengan nada khawatir saat melihat Alex yang tampak sedikit diam. “Kamu kelihatan nggak nyaman.”
Alex terpaksa tersenyum. “Aku baik-baik aja kok, Lyra. Hanya capek sedikit.”
Lyra menatapnya dengan khawatir, namun dia buru-buru mengalihkan pandangannya ke Julian, seolah tidak ingin terlalu mengganggu. Julian tersenyum, memperhatikan mereka berdua dengan penuh perhatian. “Ayo, kita coba permainan ini, yuk!” katanya, mengajak mereka ke sebuah arena permainan.
Selama perjalanan ke sana, Alex hanya mengikuti langkah mereka berdua, merasa seperti bayangan yang tak diinginkan. Di dalam hati, dia tahu, meskipun mereka berdua menganggapnya teman, dia tak akan pernah menjadi bagian dari dunia mereka yang nyata. Dunia Lyra sudah penuh dengan Julian, dan dia hanyalah pengamat dari jauh.
Setelah beberapa jam bersenang-senang di festival, mereka akhirnya duduk di sebuah bangku di tengah taman. Lyra terlihat puas dengan malam itu, sedangkan Julian tampak lebih dekat dengan Lyra dibanding sebelumnya. Ketika mereka berbicara, matanya selalu tertuju pada Lyra. Alex merasa seperti orang ketiga yang tak seharusnya ada di sana.
“Alex, kamu kelihatan pusing,” kata Julian tiba-tiba, menyadari ekspresi wajah Alex yang mulai murung. “Kamu mau ikut kami ke kafe setelah ini?”
Lyra menoleh, khawatir. “Kamu nggak apa-apa, kan?”
Alex tersenyum tipis, mencoba meyakinkan mereka. “Aku baik-baik aja. Aku cuma capek.”
Dia tidak ingin menjadi beban. Tidak ingin menunjukkan kepada mereka betapa sakitnya berada di tempat yang sama, melihat mereka begitu bahagia bersama. Tidak ingin mereka tahu bahwa setiap detik yang dia habiskan di sana adalah derita yang semakin tak tertahankan.
Malam itu berakhir begitu cepat. Mereka bertiga berpisah, dan Lyra serta Julian pergi bersama, sementara Alex hanya berjalan sendirian kembali ke kosannya. Langkahnya terasa begitu berat, seolah-olah setiap langkah yang dia ambil mengarahkannya ke jurang yang lebih dalam.
Di sepanjang jalan, hujan turun dengan lembut, menambah kesedihan yang sudah ada di dalam hati. Alex memandangi jalanan yang basah, air yang menggenang di trotoar, dan rasanya semuanya tampak begitu suram. Dia tahu, perasaan ini tak akan pernah berubah. Lyra tidak akan pernah tahu apa yang dia rasakan. Bahkan jika dia mengungkapkannya, itu tidak akan mengubah apapun.
Dia hanya bisa memendam semuanya dalam diam. Hanya bisa menjadi teman yang selalu ada, meskipun tahu, dirinya tak akan pernah lebih dari itu. Tidak ada tempat baginya di dunia Lyra. Dunia yang sudah dipenuhi dengan cinta yang bukan untuknya.
Sesampainya di kosan, Alex duduk di pinggir tempat tidur, menatap kosong ke jendela yang basah karena hujan. Hatinya seperti kosong, namun penuh pada saat yang sama. Dia tahu, tak ada jalan untuknya keluar dari rasa ini. Tak ada jalan untuknya meraih apa yang bahkan tak pernah menjadi miliknya.
Pernahkah ada waktu di mana dia merasa cukup? Cukup untuk bisa berdiri di samping Lyra dan berkata, “Aku ada di sini, dan aku mencintaimu”? Mungkin, tetapi itu adalah waktu yang terlalu jauh untuk diraih.
Akhir yang Tak Pernah Terucap
Waktu terus bergulir tanpa ampun. Hari-hari yang terasa tak berujung, seperti sebuah siklus yang tak pernah berubah. Alex masih menjalani hidupnya dengan kebisuan yang semakin mendalam. Setiap hari ia mencoba mengalihkan pikirannya dari Lyra, namun semakin dia berusaha, semakin kuat perasaan itu menggerogoti hatinya. Cinta yang tak pernah terbalas, yang tak pernah mendapat tempat di dunia yang penuh dengan orang-orang yang lebih pantas.
Hingga suatu sore, Alex kembali bertemu dengan Lyra di kafe kampus. Seperti biasa, mereka duduk bersama, berbincang tentang hal-hal kecil yang sebenarnya tak ada artinya bagi Alex. Tapi dia tetap duduk, mencoba menjadi bagian dari dunia yang bahkan tak pernah bisa dia jangkau.
Saat itu, Lyra terlihat sangat bahagia, senyumnya cerah seperti biasa. Di sampingnya, Julian duduk dengan nyaman, tampak lebih akrab dari sebelumnya. Alex hanya mengamati mereka berdua. Rasa sakit itu semakin terasa seiring waktu yang terus berlalu.
“Apa kabar, Alex?” tanya Lyra, suaranya riang seperti angin sepoi-sepoi.
Alex memaksakan senyum. “Baik-baik saja.”
“Serius? Kamu kelihatan capek banget.” Lyra menatapnya dengan tatapan yang penuh perhatian, tapi Alex bisa merasakan betapa kosongnya perhatian itu.
“Enggak kok, cuma sedikit banyak tugas aja.” jawab Alex, berusaha tetap terlihat biasa.
Namun, sepertinya Lyra tidak benar-benar mendengarkan. Matanya selalu kembali ke Julian, dan percakapan mereka berlanjut, lebih banyak tertawa, lebih banyak berbicara tentang kehidupan mereka yang penuh dengan kebahagiaan yang tak terjangkau oleh Alex.
Waktu berlalu, dan saat itu tiba—waktu yang sudah ia takutkan sejak awal. Julian berdiri, berkata bahwa dia harus pergi. “Aku harus ke acara lain, Lyra. Sampai ketemu nanti ya.”
Lyra mengangguk, memberikan senyum manisnya. “Iya, hati-hati ya, Julian.”
Setelah Julian pergi, Lyra menoleh ke Alex, dan suasana menjadi sunyi sejenak. Ada perasaan yang mengambang di udara, seperti sesuatu yang ingin terucap namun terhalang oleh sesuatu yang tak jelas.
“Alex, ada yang mau aku omongin,” kata Lyra, suaranya sedikit lebih lembut dari biasanya.
Alex menatapnya dengan rasa was-was. “Apa itu, Lyra?”
Lyra menghela napas, menatapnya dengan tatapan yang agak ragu. “Aku… aku nggak tahu gimana ngomongnya, tapi aku rasa, kita harus bicara tentang semuanya.”
Jantung Alex berhenti sesaat. Ada yang aneh dalam kata-kata Lyra, dan Alex merasakannya dengan sangat jelas. Dia bisa merasakan ada sesuatu yang akan berubah, sesuatu yang tak dia inginkan. Suara Lyra terdengar semakin jauh, seolah dunia ini menjadi semakin sempit baginya.
“Lyra, apa maksudmu?” tanya Alex dengan hati yang berdebar.
Lyra menggigit bibir, seolah mempertimbangkan kata-katanya. “Alex, aku tahu kamu banyak membantu aku, dan aku sangat menghargainya. Tapi aku… aku rasa kita harus berhenti bertemu terlalu sering. Kamu itu teman yang baik, tapi aku nggak bisa… aku nggak bisa memberikan lebih dari itu. Aku hanya merasa kita berbeda, dan aku nggak ingin kamu merasa terikat karena itu.”
Sakit. Begitu sakit. Seolah seluruh dunia terhempas begitu saja.
Alex tidak tahu harus berkata apa. Kata-kata itu seperti hantaman yang menghancurkan segalanya. Dia sudah tahu jawabannya, tapi mendengarnya langsung dari mulut Lyra tetap menghancurkan hatinya dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.
“Jadi, kamu ingin aku berhenti berteman denganmu?” tanya Alex, suaranya serak, mencoba menahan perasaan yang mulai merontokkan setiap bagian dirinya.
Lyra menunduk, “Aku nggak ingin kamu merasa terluka, Alex. Kamu pantas mendapatkan seseorang yang bisa memberikan lebih banyak, yang bisa ada untuk kamu seperti yang kamu harapkan. Tapi aku nggak bisa.”
Alex merasa matanya mulai panas, namun ia berusaha menahan air mata. Dia tahu, ini bukan hal yang mudah bagi Lyra. Namun, perasaan itu—perasaan yang dia sembunyikan sekian lama—terasa seperti beban yang tak tertahankan. Akhirnya, dia hanya bisa tertunduk, menahan semuanya sendirian.
“Aku mengerti,” jawab Alex pelan, suara hampir tak terdengar. “Aku cuma… aku cuma pengen kamu tahu, aku selalu ada. Tapi kalau ini yang terbaik buat kamu, aku nggak bisa ngelawan.”
Lyra menatapnya dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku… aku minta maaf, Alex. Aku harap kamu nggak merasa kecewa banget.”
Kecewa? Tidak hanya kecewa. Itu lebih dari sekadar kecewa. Tapi Alex hanya mengangguk, berusaha menahan diri agar tidak terjerembab ke dalam emosi yang lebih dalam.
“Enggak apa-apa, Lyra. Aku baik-baik aja.”
Lyra memberi senyum tipis sebelum bangkit dari kursinya. “Aku… semoga kamu menemukan seseorang yang tepat, Alex.”
Alex hanya menatapnya pergi. Dia tahu, inilah akhirnya. Cinta yang tak pernah terbalas, yang bertepuk sebelah tangan, akhirnya harus berakhir di sini—di tempat yang jauh dari harapan.
Saat Lyra pergi, Alex duduk sendiri, merasakan kekosongan yang begitu besar di dalam hatinya. Dunia di sekelilingnya terasa buram, seperti kabut yang tak pernah hilang. Dia tahu, dia akan kembali melanjutkan hidupnya, meski tanpa Lyra. Namun, perasaan ini—perasaan yang selalu ada, yang tak pernah benar-benar bisa dia ungkapkan—akan tetap ada, mengisi ruang kosong yang tak bisa terisi oleh apapun.
Dia hanya bisa melangkah pergi, mengikuti alur hidup yang tak pernah benar-benar dia pilih. Cinta yang tak terbalas, bertepuk sebelah tangan. Itu adalah akhir yang harus dia terima.
Yaudah deh, mungkin begitulah cinta bertepuk sebelah tangan, kadang memang nggak selalu ada balasan. Tapi hidup nggak berhenti di sini, kan? Meskipun hati terasa hancur, kita tetap harus jalanin hidup dan belajar nerima kenyataan.
Karena siapa tahu, di luar sana ada seseorang yang bakal ngasih kita cinta yang beneran kita butuhin. Jadi, jangan nyerah ya! Teruslah maju, dan semoga cerita ini bisa ngebantu kamu buat sedikit lebih ngerti soal cinta dan hatimu sendiri.