Daftar Isi
Siapa bilang jadi baik itu gampang? Dalam cerita ini, kamu bakal diajak ngebuka mata tentang gimana kebaikan itu nggak cuma soal senyum manis atau kata-kata indah. Terkadang, jadi baik itu lebih tentang memilih untuk tetap bertahan meski dunia seakan nggak berpihak.
Gimana kalau ternyata kebaikan bisa jadi jalan buat menemukan kedamaian yang selama ini kita cari? Yuk, simak ceritanya dan rasain sendiri gimana kebaikan itu mengubah segalanya!
Kebaikan yang Tulus
Bayang di Balik Cahaya
Pagi itu, seperti biasa, toko kecil milik Calla Adair dipenuhi cahaya matahari yang menembus melalui jendela besar. Terlihat banyak barang kerajinan tangan yang tertata rapi—keramik buatan tangan, lukisan-lukisan kecil, dan beragam perhiasan yang dipajang dengan indah. Toko ini sudah menjadi bagian dari Darenshire, kota kecil yang hangat dan akrab. Calla berdiri di belakang meja kayu, menyusun beberapa pot tanaman kecil yang baru saja ia terima dari pemasoknya.
Ada satu hal yang membuat Calla berbeda dari banyak orang di sekitarnya—kebaikan hatinya yang tulus. Bukan hanya soal senyum yang selalu menghiasi wajahnya atau cara dia menyapa setiap orang yang datang, tetapi juga tentang tindakan-tindakan kecil yang selalu ia lakukan tanpa pamrih. Setiap orang yang datang ke tokonya, baik yang membeli atau hanya sekadar melintas, selalu mendapat perhatian khusus. Jika seseorang terlihat lelah, ia akan menawarkan secangkir teh hangat. Jika ada yang membutuhkan bantuan, Calla akan dengan sigap membantu tanpa merasa terganggu.
Namun, kebaikan ini tidak selalu mendapat apresiasi. Di balik senyum yang selalu ia tampilkan, ada saja orang yang berbisik—mengatakan bahwa semuanya itu hanyalah bagian dari pencitraan. “Pura-pura baik,” bisik beberapa orang, bahkan ada yang dengan berani mengatakan, “Dia pasti punya rahasia besar yang disembunyikan.” Tapi Calla tidak peduli. Ia selalu percaya bahwa kebaikan sejati tak memerlukan pembuktian.
Pada suatu siang yang terik, ketika Calla sedang merapikan barang-barang, seorang pria masuk ke toko dengan langkah tegap dan tatapan tajam. Luther Kane, pria dengan sikap dingin yang sudah lama dikenal di kota itu, berdiri di ambang pintu. Tidak banyak yang tahu tentang Luther, selain fakta bahwa ia seorang yang penuh skeptisisme, seringkali muncul dengan sikap sinis terhadap orang-orang di sekitarnya.
“Selamat siang, Tuan Kane,” Calla menyapa dengan senyum yang hangat, berusaha menanggapi kedatangannya dengan cara yang sama seperti ia menyambut siapa pun. “Ada yang bisa saya bantu?”
Luther tidak langsung menjawab. Ia memandang sekeliling toko kecil itu, matanya menilai setiap sudut dengan curiga. “Aku ingin tahu,” katanya, suaranya datar namun penuh tanda tanya, “Apakah semua kebaikanmu ini benar-benar tulus, atau hanya untuk membuat dirimu terlihat lebih baik di mata orang lain?”
Pernyataan itu seperti sebuah batu yang dilempar ke permukaan air yang tenang. Calla tidak terkejut, meski kata-kata itu jelas tidak menyenangkan. Ia tetap tersenyum, mempertahankan sikap tenangnya. “Kebaikan tidak membutuhkan alasan, Tuan Kane. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar.”
Luther mengangkat alis, ekspresinya berubah menjadi lebih tajam. “Begitu ya? Ada yang bilang kau hanya melakukannya untuk mendapat pujian. Katanya, semua ini cuma sebuah pencitraan belaka.”
Calla menatapnya sejenak, matanya lembut, namun penuh keteguhan. “Orang bebas berpikir apa yang mereka mau. Kalau mereka merasa lebih damai dengan mengira aku berpura-pura, itu bukan urusanku. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar.”
Suasana di dalam toko tiba-tiba terasa tegang. Beberapa pelanggan yang sedang melihat-lihat barang berhenti sejenak, mendengarkan percakapan itu dengan cemas. Namun, Calla tidak tampak terganggu. Ia melangkah dengan tenang menuju rak perhiasan, seolah tidak ada yang salah dengan keadaan saat itu.
Luther berdiri di tempatnya, matanya tajam menatap Calla. Ia sepertinya mencari celah—sesuatu yang bisa ia gunakan untuk meruntuhkan citra baik Calla yang sudah begitu mendalam di mata masyarakat. Ia menilai bahwa tidak mungkin ada orang yang sebaik itu tanpa ada alasan tersembunyi di baliknya.
“Tapi kenapa?” Luther melanjutkan, suara kali ini terdengar sedikit lebih tajam. “Kenapa kau selalu terlihat begitu sempurna? Tidak ada satu pun yang bisa menggoyahkan citramu. Bahkan orang-orang yang mencurigaimu pun akhirnya jatuh dalam pesona kebaikanmu.”
Calla berhenti sejenak, tangannya menyentuh sebuah kalung yang dipajang di depan. Ia membalikkan badan dengan senyum yang tidak lekang. “Kebaikan itu bukan tentang tampil sempurna, Tuan Kane. Kadang kita perlu memberi tanpa mengharapkan balasan, dan itu sudah cukup membuat hidup terasa penuh.”
Luther terdiam sejenak, kebingungannya jelas terlihat. Ada sesuatu dalam jawaban Calla yang membuatnya merasa ragu, meskipun hatinya tetap dipenuhi keraguan. Ia ingin sekali menggali lebih dalam, menemukan bukti bahwa semua ini hanyalah topeng belaka. Namun, tak ada yang lebih banyak ia temukan selain kebaikan yang tidak bisa ia sangkal.
“Jadi, kau yakin kebaikan itu datang tanpa alasan apapun?” tanya Luther, masih mencoba mencari celah.
Calla menatapnya dengan tenang, senyumnya tidak hilang. “Ya, aku yakin. Kadang kita terlalu banyak bertanya, padahal jawabannya sudah ada di dalam setiap tindakan kita.”
Luther mendengus pelan. Ia ingin mengatakan sesuatu lagi, mungkin mencoba untuk menggali lebih dalam atau menantang lagi. Tapi, sesaat sebelum ia membuka mulut, Calla sudah kembali sibuk dengan pekerjaannya, melanjutkan apa yang sedang ia lakukan tanpa terburu-buru atau merasa terganggu.
Di luar toko, angin berhembus lembut, membawa aroma segar dari taman kota yang tak jauh dari sana. Luther berdiri beberapa detik, merenung di tengah keramaian yang tiba-tiba terasa sunyi. Ia ingin meyakinkan dirinya sendiri bahwa apa yang dilihatnya hanyalah sebuah permainan. Namun, semakin lama ia berada di sana, semakin sulit baginya untuk menepis kenyataan—bahwa mungkin, hanya mungkin, Calla benar-benar memiliki hati yang tulus.
Dengan langkah berat, Luther akhirnya berbalik dan meninggalkan toko itu, meninggalkan Calla dalam kedamaian yang ia miliki. Namun, di dalam dirinya, sesuatu telah mulai berubah. Mungkin ia masih ragu, tapi benih kebingungannya mulai tumbuh—tentang kebaikan yang tidak bisa ia pahami.
Akan ada waktu bagi Luther untuk mencari jawaban yang lebih dalam.
Terjebak dalam Kebaikan
Pagi keesokan harinya, Luther tidak bisa mengalihkan pikirannya dari pertemuannya dengan Calla semalam. Kata-kata wanita itu terus terngiang dalam benaknya, seolah mengusik kesenangan yang selama ini ia anggap sebagai kenyamanan. Selama bertahun-tahun, Luther telah hidup dengan keyakinan bahwa dunia ini penuh dengan kepura-puraan dan kepentingan pribadi. Kebaikan adalah alat untuk mengendalikan, untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Namun, Calla… dia berbeda. Setiap langkahnya, setiap kata yang terucap dari bibirnya, tampak begitu tulus.
Hari itu, Luther memutuskan untuk tidak langsung mencari Calla. Ia lebih memilih untuk berjalan-jalan di sekitar Darenshire, mencoba mengatur pikirannya, mencari sedikit ketenangan. Ia menuju ke tepi sungai yang mengalir pelan, tempat di mana ia sering datang untuk merenung sejak kecil. Suara air yang mengalir memberikan ketenangan yang ia butuhkan, meskipun bayangan wajah Calla tak bisa ia buang begitu saja.
Sesaat setelah duduk di bawah pohon besar, Luther mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Asap yang mengepul memenuhi udara, dan ia menarik napas panjang, mencoba menenangkan pikirannya.
“Tuan Kane?” suara seorang wanita terdengar di belakangnya, membuatnya terkejut. Ia menoleh, dan di sana berdiri Calla dengan senyum tipis di wajahnya.
“Calla? Apa yang membawamu ke sini?” tanya Luther, berusaha tidak terdengar terkejut.
Calla duduk di sebelahnya tanpa permisi, matanya memandang ke arah sungai. “Aku sering datang ke sini. Tempat ini memberi ketenangan, bukan?” jawabnya pelan, seolah-olah dia telah tahu jawabannya.
Luther hanya mengangguk, mencoba menenangkan diri meski perasaannya sedang bergemuruh. “Ketenangan,” gumamnya. “Tapi ada juga yang merasa terperangkap di dalamnya.”
Calla tersenyum, tetapi kali ini senyumnya tidak secerah biasanya. “Terperangkap? Apakah itu yang kamu rasakan, Tuan Kane?”
Luther tidak menjawab langsung. Ia hanya menatap sungai yang mengalir, berusaha menenangkan diri. “Aku rasa aku hanya sedang… bingung. Bingung dengan banyak hal.”
Calla mendengus pelan, lalu menoleh ke arah Luther. “Bingung tentang apa?”
Luther menatap wajah Calla. Ia tahu ini saat yang tepat untuk mengungkapkan keraguannya, tetapi entah mengapa, ia merasa ragu. Sesuatu dalam dirinya menahan kata-kata itu keluar. “Bingung dengan dirimu,” akhirnya Luther mengakui, suaranya rendah. “Kebaikanmu, Calla. Apa yang aku lihat di dirimu… itu terlalu sempurna. Aku… aku tidak mengerti.”
Calla terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Luther. Lalu ia tertawa pelan, tertawa yang terdengar lebih seperti pelepasan. “Aku paham kenapa kamu merasa begitu,” jawabnya pelan. “Kebaikan itu, di mata banyak orang, sering dianggap sebagai bentuk kepura-puraan. Banyak yang merasa bahwa tidak ada yang sebaik itu di dunia ini, termasuk aku.”
Luther menatapnya dengan tatapan bingung. “Lalu kenapa kamu tetap seperti ini? Kenapa tidak seperti orang lain yang lebih realistis?”
Calla menatapnya dengan mata yang dalam, seolah-olah sedang mencoba menelusuri setiap lapisan perasaan Luther. “Karena kebaikan, meski tampak tidak nyata bagi sebagian orang, tetap membuat dunia ini sedikit lebih baik. Aku tidak ingin mengubah diriku hanya karena takut dianggap palsu. Aku melakukannya karena itu adalah pilihan, Tuan Kane.”
Luther merasa hatinya kembali bergejolak. Kata-kata Calla membuatnya merasa semakin terasing dengan dirinya sendiri. Selama ini, ia beranggapan bahwa ia tahu bagaimana dunia ini berjalan, bahwa ia bisa mengendalikan segala sesuatu. Namun, di hadapan Calla, ia merasa seolah-olah semua yang ia percayai mulai hancur, dan itu membuatnya takut.
“Jadi, kamu benar-benar tidak punya rahasia?” tanya Luther akhirnya, suaranya lebih lemah dari yang ia harapkan.
Calla tersenyum, namun kali ini senyumnya lebih muram. “Semua orang punya rahasia, Tuan Kane. Termasuk aku. Tetapi rahasia itu bukan untuk disembunyikan dari orang lain. Kadang, kita hanya butuh waktu untuk memahami mengapa kita memilih untuk tetap bertahan.”
Luther terdiam, perasaannya semakin kacau. Sebelumnya, ia selalu merasa bahwa dunia ini hanya tentang pengaruh dan kekuasaan. Tetapi kini, di depan Calla, ia merasakan ada sesuatu yang jauh lebih dalam. Kebaikan yang ia anggap sebagai topeng, kini terasa seperti jaring yang menjebaknya dalam kebingungannya sendiri.
“Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan,” Luther akhirnya berkata dengan suara parau. “Aku merasa… terjebak. Terjebak dalam pikiranku sendiri.”
Calla mengangguk, seolah memahami. “Kadang kita harus terjebak dalam kebingungan untuk menemukan jalan keluar. Jangan takut untuk merasa bingung, Tuan Kane. Itu adalah bagian dari proses.”
Luther menatapnya, dan untuk pertama kalinya sejak mereka berbicara, ia merasa ada sesuatu yang lebih besar dari kebingungannya yang selama ini mendalam. Sesuatu yang, mungkin, bisa memberikan jawaban yang selama ini ia cari.
Malam itu, Luther kembali pulang dengan perasaan yang lebih kompleks dari sebelumnya. Ia tahu bahwa pertemuan-pertemuan ini bukanlah kebetulan, dan meskipun ia tidak menemukan jawaban yang pasti, ia merasa bahwa ia baru saja memulai perjalanan yang jauh lebih dalam dari yang ia kira.
Namun satu hal yang pasti—Calla telah menanamkan sebuah benih yang tak bisa ia cabut begitu saja. Sebuah benih tentang kebaikan yang, meskipun penuh keraguan, mungkin bisa mengubah cara pandangnya tentang dunia ini selamanya.
Akhir yang Tidak Terduga
Pagi itu, Luther terbangun dengan perasaan yang lebih ringan. Hanya beberapa hari setelah pertemuannya dengan Calla, perasaan bingung yang selama ini membebaninya mulai mengendur. Ia merasa seolah-olah sedang berada di persimpangan jalan yang besar, di mana segala yang selama ini ia yakini mulai dipertanyakan, dan dirinya mulai berusaha untuk mengerti dunia dengan cara yang berbeda. Ia sadar, sesuatu telah berubah dalam dirinya—sesuatu yang mulai menggantikan keraguan yang bertahun-tahun ia pelihara.
Hari itu, Luther berjalan menuju Darenshire, bukan untuk mencari kebenaran atau bukti, tetapi untuk melihat dunia dengan mata yang lebih terbuka. Ia ingin mengetahui lebih banyak tentang Calla, bukan hanya dari perasaan curiganya yang terus mengganggu, tetapi dari apa yang benar-benar ada dalam dirinya—dalam kebaikannya.
Setibanya di pasar, Luther melihat Calla di depan toko, seperti biasa, sedang berbicara dengan seorang pelanggan. Senyumnya yang selalu cerah itu tampak begitu tulus, dan untuk pertama kalinya, Luther merasa tidak terganggu oleh hal itu. Malah, ia merasa ada sesuatu yang membangkitkan rasa hormat yang selama ini ia coba hindari.
Namun, saat Calla menoleh dan melihatnya, senyum itu sedikit mengendur. Luther tahu, ia tidak datang dengan niat yang baik sebelumnya. Ia merasa sedikit bersalah, seolah telah mengganggu kedamaian yang selama ini Calla coba sebarkan.
Luther menghampirinya perlahan, menunggu momen yang tepat untuk berbicara. Calla menatapnya, seolah menunggu, dan Luther akhirnya berkata dengan suara lebih lembut dari yang biasanya:
“Calla, aku… aku ingin meminta maaf.”
Calla terkejut, matanya sedikit melebar, tetapi kemudian ia tersenyum, senyum yang kali ini tidak hanya menunjukkan kebaikan, tetapi juga pengertian. “Tidak perlu minta maaf, Tuan Kane. Aku tahu kamu sedang melalui banyak hal. Tapi, aku percaya bahwa kamu mulai menemukan jawabanmu, bukan?”
Luther terdiam. Sesuatu dalam dirinya menjawab, tetapi kata-kata itu seolah macet di tenggorokannya. “Aku tidak yakin kalau aku sudah menemukan jawaban. Tapi aku tahu, aku tidak lagi bisa melihat dunia hanya dengan cara yang lama.”
Calla mengangguk pelan, terlihat puas dengan kata-kata Luther. “Itu langkah pertama yang baik, Tuan Kane. Kadang kita hanya perlu membuka hati untuk bisa melihat lebih jelas.”
Luther menghela napas panjang. “Aku ingin tahu lebih banyak tentang kamu, Calla. Bukan untuk mencari sesuatu yang hilang atau salah, tapi hanya untuk… mengerti. Karena aku merasa, aku bisa belajar banyak darimu.”
Calla mengamati Luther sejenak, dan kali ini, tatapannya terasa lebih dalam. “Tapi ingat, Tuan Kane, aku bukan orang yang sempurna. Aku punya sisi gelap yang mungkin tidak akan pernah aku ceritakan kepadamu. Semua orang punya masa lalu dan kelemahan. Yang membedakan kita adalah bagaimana kita memilih untuk berdamai dengan itu.”
Luther terdiam, meresapi kata-kata itu. Ia merasa seolah ia telah melihat ke dalam mata Calla lebih jauh dari yang pernah ia lakukan sebelumnya. Mungkin selama ini ia terlalu sibuk mencari kelemahan dalam diri orang lain, hingga ia lupa melihat sisi manusiawi yang sesungguhnya ada dalam dirinya. Dan sekarang, di hadapan Calla, ia mulai mengerti bahwa kebaikan bukanlah tentang kesempurnaan, melainkan tentang pilihan untuk tetap baik meskipun dunia kadang tampak keras.
“Kebaikan itu bukan tanpa perjuangan, bukan?” Luther bertanya pelan, matanya kini menatap Calla dengan keingintahuan yang tulus.
Calla tersenyum, lebih lembut dari biasanya. “Kebaikan itu datang dengan tantangan. Namun, setiap langkah kecil yang kita ambil untuk tetap baik, itu adalah kemenangan tersendiri.”
Luther mengangguk perlahan. Tiba-tiba, ia merasa seolah beban berat yang selama ini menekan dirinya mulai terangkat. Dunia mungkin tidak selalu adil, dan orang-orang mungkin tidak selalu bisa dipahami sepenuhnya, tetapi ada sesuatu yang lebih besar dari semua itu—sesuatu yang jauh lebih bernilai: memilih untuk tetap menjadi baik.
Hari itu, Luther memutuskan untuk meninggalkan Darenshire dengan pikiran yang lebih jernih, tetapi juga dengan hati yang lebih terbuka. Ia tahu, perjalanan ini belum berakhir, dan mungkin ia masih harus menghadapi banyak kebingungan di masa depan. Namun, ia juga tahu bahwa Calla, dengan segala kebaikan dan kebijaksanaannya, telah mengajarinya sesuatu yang tak ternilai: bahwa dalam dunia yang penuh dengan ketidakpastian, kebaikan yang tulus tetap memiliki tempatnya.
Ketika ia melangkah pergi, Luther merasa seolah dunia ini tidak lagi terlihat seperti sebelumnya. Tidak ada lagi bayangan gelap yang mengancam di setiap sudut, hanya cahaya yang perlahan menyinari setiap jalan yang ada di hadapannya. Mungkin kebaikan, meskipun sering terabaikan, adalah kekuatan yang lebih besar daripada yang pernah ia bayangkan.
Dan mungkin, hanya dengan menjadi baik, kita bisa menemukan kedamaian yang selama ini kita cari.
Jadi, setelah semua yang terjadi, satu hal yang bisa kita ambil adalah kebaikan itu nggak selalu mudah, tapi pasti membawa kita ke tempat yang lebih baik. Mungkin nggak semua orang bisa ngerti, dan mungkin jalan menuju kebaikan penuh tantangan, tapi yang jelas, itu selalu worth it.
Jadi, mulai dari sekarang, yuk pilih untuk tetap baik, walau dunia nggak selalu memberi alasan untuk itu. Siapa tahu, kedamaian yang kita cari selama ini ada di sana, di ujung pilihan itu.