Daftar Isi
Kadang, cinta datang dari tempat yang nggak pernah kita duga. Seperti yang terjadi di cerita ini—di tempat kerja, antara bos dan karyawan. Mereka berdua, yang awalnya cuma saling tatap tanpa pernah punya niat lebih, akhirnya terjebak dalam perasaan yang nggak bisa lagi ditahan. Gimana rasanya jatuh cinta di tempat yang salah? Penasaran? Yuk, simak ceritanya!
Cerpen Romantis Jatuh Cinta pada Karyawan
Cangkir Kopi yang Terjatuh
Pagi itu, kantor terasa lebih sepi dari biasanya. Hanya suara ketikan keyboard dan desiran AC yang mengisi ruang, menciptakan atmosfer yang sedikit menekan. Aku baru saja membuka pintu masuk kantor, dan langsung disambut dengan pemandangan yang sudah biasa—ruang kerja yang rapi, meja-meja dengan tumpukan dokumen yang harus segera diselesaikan, dan beberapa karyawan yang sibuk dengan pekerjaan mereka masing-masing.
Namun, ada satu hal yang tidak biasa pagi itu. Fira. Asisten administrasi baru kami yang selalu ceria, baru saja masuk kantor. Aku bisa melihatnya dari ujung lorong, sedang berjalan cepat ke meja kerjanya. Di tangannya ada setumpuk kertas, dan di bibirnya ada senyum yang tidak pernah absen. Tapi, entah kenapa hari itu, aku merasa ada yang sedikit berbeda dengan Fira. Dia terlihat lebih gugup daripada biasanya, seperti ada sesuatu yang mengganggu pikirannya.
Aku berjalan pelan menuju meja kerjaku yang terletak di sisi lain ruangan, mencoba mengabaikan pikiran aneh yang tiba-tiba muncul. Namun, sebelum aku bisa duduk, suara langkah kaki yang terburu-buru terdengar lebih dekat. Aku menoleh, dan dalam hitungan detik, kertas-kertas di tangan Fira berhamburan jatuh ke lantai.
“Ah! Tidak!” serunya, suaranya panik, ketika beberapa tumpukan kertas terlempar begitu saja. Dia buru-buru membungkuk, mencoba merapikan semuanya, namun justru membuatnya semakin berantakan. Aku mendekat dengan langkah cepat.
“Fira, kamu nggak apa-apa?” tanyaku, sedikit terkejut melihatnya dalam keadaan seperti itu.
Fira yang sedang sibuk mengumpulkan kertas-kertas yang jatuh mendongak, wajahnya memerah. “Eh, Raka… maaf, aku… aku ceroboh,” katanya, sambil tertawa canggung. Di tengah kekacauan itu, aku hanya bisa tersenyum. Fira memang selalu punya cara membuat suasana jadi sedikit lucu, bahkan di tengah situasi yang tidak tepat.
Aku menunduk, ikut membantu mengumpulkan kertas-kertas itu. “Tidak masalah, kok. Ini cuma kertas,” jawabku, berusaha menenangkan.
Fira terlihat semakin canggung, matanya melirik ke arahku. “Aku… benar-benar nggak mau ngecewain kamu, Raka,” katanya, lebih pelan. Aku tersentak mendengarnya. Aku hanya seorang bos muda, dan dia hanya seorang asisten yang baru saja bergabung. Kenapa dia merasa seperti itu?
“Fira, kamu nggak perlu merasa begitu,” jawabku, sedikit lebih serius. “Kita semua pernah ceroboh kok, bahkan aku juga sering banget bikin kesalahan.”
Fira terdiam, mungkin mencoba mencerna kata-kataku. Beberapa detik kemudian, dia mulai tertawa pelan, mencoba meredakan ketegangannya. “Kalau gitu, aku harus lebih hati-hati,” katanya sambil tersenyum lebar. Aku hanya mengangguk, ikut tersenyum kecil.
Setelah semuanya rapi, Fira duduk di meja kerjanya, dan aku kembali ke mejaku. Namun, anehnya, aku merasa ada hal yang berbeda dalam interaksi itu. Aku sering bekerja dengan banyak orang, tapi entah kenapa Fira selalu membuatku merasa sedikit lebih hidup. Mungkin itu karena dia selalu bisa menemukan sisi ringan dalam segala hal, bahkan di saat-saat yang terkesan serius sekalipun.
Hari berlalu dengan cepat, dan aku mulai terbiasa dengan kehadiran Fira di sekitar kantor. Setiap kali aku melihatnya, ada sesuatu yang menggelitik di dalam diriku. Mungkin hanya perasaan biasa, aku mencoba meyakinkan diriku sendiri. Tapi entah kenapa, saat dia tersenyum, rasanya seperti ada yang bergerak di dalam dadaku.
Di ruang rapat, di antara tumpukan dokumen dan presentasi, aku lebih sering melirik Fira yang duduk di meja administrasi. Ketika rapat berlangsung, dia selalu mencatat hal-hal penting, sering kali tergesa-gesa, seperti ada banyak hal yang ingin diselesaikan. Begitu cepatnya dia menulis, terkadang aku tertawa kecil melihatnya. Semua orang di ruang rapat tampak serius, tetapi Fira—dengan gaya dan caranya yang khas—mampu membuat semua terasa sedikit lebih ringan.
Hari itu, rapat berlangsung cukup lama. Aku mulai merasa lelah, tapi masih ada beberapa hal yang harus diselesaikan. Setelah beberapa waktu, aku melihat Fira melirik ke arahku dengan wajah sedikit bingung. Mungkin dia merasa tidak nyaman karena terlalu lama berada di ruang rapat, dan aku pun bisa merasakannya. Aku memutuskan untuk sedikit melonggarkan suasana.
“Fira, kalau kamu capek, istirahat dulu aja,” kataku sambil tersenyum, berharap dia tidak terlalu tertekan dengan pekerjaan.
Fira tampak terkejut, tapi segera mengangguk. “Eh, iya… aku sih nggak masalah. Tapi kalau aku pergi dulu, nanti aku balik lagi kok!” jawabnya dengan semangat, seolah ingin menunjukkan bahwa dia benar-benar ingin berkontribusi.
Aku tertawa kecil. “Jangan khawatir, Fira. Kamu boleh istirahat sejenak, nggak perlu terlalu terburu-buru.”
Ketika rapat selesai, aku kembali ke mejaku, tapi pandanganku tak bisa lepas dari Fira. Ketika dia berbicara dengan rekan-rekannya, dia tertawa dengan polosnya, dan aku merasa seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar pekerjaan yang menghubungkan kami. Mungkin itu cuma perasaan aku, tetapi rasanya, sesuatu yang tak terucapkan itu ada di antara kami.
Fira mungkin tidak menyadari, tapi aku merasa ada sesuatu yang membuatku ingin lebih dekat dengannya. Sebuah rasa yang muncul tanpa aku minta, tanpa aku rencanakan. Terkadang, perasaan seperti itu datang tanpa bisa dikendalikan, hanya bisa dirasakan, tanpa bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Dan pagi itu, ketika aku melihatnya lagi, tanpa sengaja kami bertemu di lorong kantor, aku bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang perlahan mulai tumbuh di antara kami. Tapi, seperti biasa, aku tak bisa langsung mengungkapkannya. Perasaan itu… aku rasa masih terlalu cepat.
Obrolan yang Tak Pernah Habis
Beberapa hari setelah insiden tumpahan kertas itu, aku merasa aneh. Ada sesuatu yang tak terungkapkan di antara Fira dan aku, seperti sebuah benang halus yang menghubungkan kami tanpa kami sadari. Setiap kali aku berpapasan dengannya, entah kenapa perasaan itu kembali muncul—rasa yang aneh, tapi cukup kuat untuk membuatku penasaran.
Pagi itu, aku kembali terjebak dalam rapat yang sepertinya tak pernah berakhir. Di ruang rapat yang cukup besar itu, suasana cukup tegang, meski tidak ada yang benar-benar mendesak. Semua orang asyik dengan presentasi masing-masing, sementara aku sendiri mulai merasa bosan. Aku melirik ke meja administrasi, di mana Fira sibuk mengetik sesuatu di laptopnya. Ia tidak menyadari bahwa aku memandangi dirinya.
Tiba-tiba, tangannya berhenti sejenak, dan Fira menoleh ke arahku. Mungkin dia merasa ada yang mengawasinya, tapi dia hanya tersenyum kecil, membuat matanya sedikit menyipit. Aku tidak tahu kenapa, tetapi senyumnya itu membuat perasaanku semakin melayang.
Rapat selesai lebih cepat dari yang kuterprestasikan. Semua orang segera berdiri, berpencar ke meja masing-masing untuk melanjutkan pekerjaan. Aku berniat kembali ke mejaku, tetapi langkahku terhenti ketika Fira menutup laptopnya dan berdiri.
“Raka, aku bisa minta tolong nggak?” suara Fira memecah kesunyian, cukup lembut namun penuh kepercayaan. “Ada dokumen yang harus kamu tanda tangan,” katanya sambil memegang selembar kertas.
Aku tersenyum dan mengangguk. “Tentu, serahkan saja padaku,” jawabku sambil melangkah mendekat. Tanpa berpikir panjang, aku menerima dokumen itu darinya. Matanya menatapku sesaat, lalu kembali memfokuskan pandangannya pada meja.
“Terima kasih, Raka. Boleh aku… ngambil kopi dulu?” tanyanya, sedikit canggung.
Aku tersenyum mendengarnya, merasa sedikit geli melihat kecanggungannya yang tiba-tiba. “Kamu nggak perlu minta izin sama aku kalau cuma buat ngambil kopi,” jawabku sambil tertawa pelan.
Fira tertawa kecil, wajahnya memerah sedikit. “Iya sih… tapi kadang aku merasa kalau kamu lebih serius dari biasanya, jadi malu,” katanya dengan mata yang menghindar.
Aku merasa sedikit terkejut. Tidak biasanya Fira tampak ragu-ragu seperti itu, apalagi dia yang biasanya penuh energi dan percaya diri. Aku menatapnya beberapa detik, mencoba mencari tahu apa yang ada di balik ekspresinya yang berubah tiba-tiba.
“Kamu tahu nggak, Fira,” kataku sambil beranjak menuju meja kopi di sudut ruangan, “sering kali, orang yang kelihatan paling percaya diri itu juga yang paling banyak punya rasa ragu. Bahkan aku sendiri nggak selalu yakin dengan setiap keputusan yang aku ambil.”
Fira menyusulku ke meja kopi. Matanya yang masih ragu, perlahan mulai mencerahkan. “Jadi… kamu juga pernah merasa nggak cukup bagus?” tanyanya, suaranya terdengar ringan, tapi aku bisa menangkap ketertarikannya.
Aku mengambil dua cangkir kopi, lalu menyerahkan salah satunya pada Fira. “Ya, pasti. Siapa sih yang nggak pernah merasa kayak gitu?” jawabku sambil meminum kopiku. “Cuma, kadang kita harus belajar nggak terlalu keras pada diri sendiri, kan?”
Fira menerima kopi itu dengan senyuman yang sedikit lebih lega. “Makasih, Raka,” katanya, seolah ada yang terlepas dari beban di pundaknya.
Kami duduk di sudut ruang istirahat, tak terlalu banyak orang di sana, dan suasana terasa lebih santai. Aku menikmati percakapan kecil yang tak terduga ini. Mungkin bukan percakapan yang penting, tapi rasanya ada ikatan yang mulai terbentuk—sesuatu yang lebih dari sekedar bos dan karyawan. Tapi aku belum tahu apa itu.
“Ngomong-ngomong,” kata Fira, sambil mengatur posisi duduknya, “aku kadang mikir, kenapa ya aku nggak bisa lebih… apa ya, lebih santai kayak kamu?” Dia tertawa pelan, mencoba mengurai kebingungannya. “Maksudnya, kamu kayak bisa tetap tenang meskipun ada masalah yang banyak banget.”
Aku tersenyum mendengar pertanyaan itu. “Itu cuma soal kebiasaan,” jawabku. “Tapi, kamu tahu, santai itu nggak berarti kita nggak peduli. Justru, kadang santai itu yang bikin kita bisa lebih fokus. Yang penting, kita bisa menikmati prosesnya.”
Fira menatapku dengan serius, kemudian tersenyum. “Iya, mungkin aku perlu belajar dari kamu. Kadang-kadang, aku terlalu khawatir sama hal-hal kecil,” katanya, lalu menghela napas. “Kadang aku terlalu takut untuk melakukan kesalahan.”
Aku mengangguk, meresapi kata-katanya. “Kamu nggak sendiri, kok. Semua orang pasti pernah ngerasain itu,” jawabku. “Tapi kalau kita terus khawatir tentang kesalahan, kita nggak akan pernah tahu sejauh mana kita bisa berkembang.”
Kopi kami mulai habis, tapi obrolan kami rasanya tak pernah berakhir. Kami bicara tentang banyak hal, dari yang ringan hingga yang lebih pribadi, meski tak pernah terlalu mendalam. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti angin segar, dan aku merasa semakin nyaman berada di dekatnya.
Namun, aku tak bisa mengabaikan perasaan yang mulai tumbuh di dalam diriku. Apa ini hanya perasaan sementara, ataukah sesuatu yang lebih serius? Aku belum tahu. Tetapi yang aku tahu pasti adalah, Fira bukan hanya asisten biasa bagiku. Dia lebih dari itu, meski aku masih tak bisa mengungkapkannya dengan jelas.
Suasana semakin santai, dan aku merasa seolah-olah dunia sekitar kami menghilang. Hanya ada kami berdua, berbicara tentang segala hal yang tak terlalu penting, namun dengan cara yang sangat berarti.
Sentuhan yang Terselip di Antara Kata
Hari-hari setelah percakapan di ruang istirahat itu terasa semakin aneh, tetapi cara yang menyenankan. Fira dan aku mulai menghabiskan lebih banyak waktu bersama, meskipun tak selalu dengan niat untuk berbicara. Kami bisa berlama-lama hanya dengan saling melirik, berbagi senyum singkat di tengah kesibukan kantor, atau kadang-kadang, hanya duduk berdua di sudut ruang, menikmati secangkir kopi tanpa harus saling mengutarakan kata-kata besar.
Namun, semakin aku mengenalnya, semakin aku merasa ada sesuatu yang lebih dari sekedar hubungan bos dan karyawan. Tidak ada yang begitu eksplisit, tidak ada yang langsung tertulis di atas kertas, tetapi ada benang merah yang semakin jelas—sesuatu yang tak bisa kusembunyikan lagi, meskipun aku berusaha mengabaikannya.
Hari itu, setelah rapat yang membosankan, aku kembali ke mejaku dengan tumpukan dokumen yang harus segera diselesaikan. Di luar jendela, hujan rintik-rintik turun perlahan, memberi suasana tenang yang mendalam. Aku menatap layar laptopku, fokus pada pekerjaan, tapi pikiranku terus melayang ke Fira. Bagaimana bisa seorang karyawan biasa bisa begitu… membuat aku merasa seperti ini? Apakah ini hanya kebetulan? Atau ada sesuatu yang lebih dari sekedar tatapan biasa?
Tiba-tiba, terdengar suara langkah kaki mendekat. Aku tahu siapa itu tanpa harus menoleh. Fira berdiri di samping mejaku, membawa secangkir kopi lagi, kali ini lebih hangat dari sebelumnya.
“Ini buat kamu,” katanya, menyodorkan kopi itu dengan senyum kecil di wajahnya. “Aku pikir kamu butuh sedikit penyegaran.”
Aku menatapnya sebentar, merasa senang, tapi juga bingung. “Kamu tahu banget, ya,” jawabku sambil menerima kopi itu. “Aku udah hampir tenggelam dalam tumpukan kerjaan.”
Fira duduk di kursi sebelah mejaku, lebih dekat dari biasanya. Dia mengatur posisi duduknya dengan sedikit gugup, meskipun berusaha terlihat santai. “Aku cuma pengen bantu, kok. Nggak apa-apa kan kalau aku nemenin kamu sebentar?” tanyanya, matanya mencari-cari reaksi dariku.
Aku merasa ada yang berbeda dalam cara dia berbicara kali ini. Suaranya terdengar lebih lembut, lebih hati-hati, seolah ada sesuatu yang dia coba ungkapkan tapi enggan untuk langsung mengatakan. Aku mengangguk, mencoba mencerna suasana yang mulai berubah.
“Kenapa tiba-tiba kamu jadi lebih… perhatian kayak gini?” aku bertanya tanpa berpikir. Suara di dalam kepalaku seperti menuntun kata-kata itu keluar begitu saja.
Fira terdiam sejenak, matanya menatap kopi di tangannya. “Aku nggak tahu, Raka. Tapi ada sesuatu yang berbeda tentang kamu… atau tentang kita,” katanya, suaranya lebih pelan, hampir seperti bisikan.
Aku terkejut mendengar itu. Terkadang, kita tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai orang lain mengungkapkannya, dan itu terasa sangat nyata. Namun, aku hanya bisa menatapnya tanpa bisa langsung merespon. Apa yang sedang kami rasakan? Aku bahkan tak bisa mengatakannya dengan kata-kata.
“Fira…” aku mulai, tapi suaraku terhenti ketika dia menatapku dengan mata yang begitu penuh arti.
Aku bisa merasakan ketegangan di udara antara kami. Semuanya terasa begitu dekat, tapi tidak ada kata-kata yang benar-benar keluar. Fira menghembuskan napas pelan, lalu berdiri perlahan.
“Aku nggak mau membuat suasana aneh, Raka,” katanya sambil mengangkat bahu dengan sikap yang terlihat agak canggung, namun tetap manis. “Kita kembali ke kerjaan aja, ya?”
Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin menahan agar dia tidak pergi, tetapi kata-kata itu terasa terjebak di tenggorokanku. “Iya,” jawabku pelan, meskipun hatiku merasa sedikit kecewa melihatnya mundur begitu cepat.
Namun, Fira hanya tersenyum kecil sebelum berbalik dan pergi kembali ke mejanya. Aku menatap punggungnya yang semakin menjauh, merasakan ada hal yang tak terungkapkan di antara kami, seperti benang tipis yang menghubungkan dua hati yang mencoba menghindar satu sama lain.
Saat itu, aku merasa ada sesuatu yang bergema di dalam diriku—perasaan yang semakin kuat, meskipun aku berusaha keras untuk tidak mengakuinya. Fira bukan hanya karyawan biasa bagiku. Ada lebih banyak hal yang aku rasakan untuknya, lebih dari sekedar hubungan profesional yang biasa.
Aku kembali ke pekerjaan, tetapi pikiranku tak bisa lepas darinya. Setiap kali aku melihat Fira, ada sesuatu yang menggelitik di dalam hatiku, sesuatu yang aku coba pertahankan di balik senyumku, sesuatu yang mulai terasa begitu jelas, meskipun aku masih enggan untuk menghadapinya.
Hujan di luar semakin deras, namun perasaan yang ada di dalam hatiku tidak pernah sesederhana cuaca. Aku mulai bertanya pada diriku sendiri, apakah aku benar-benar siap untuk membuka hati pada seseorang yang ada di bawahku dalam hierarki pekerjaan? Atau apakah aku sedang merasakan hal yang tak seharusnya aku rasakan? Aku tak tahu pasti, tetapi satu hal yang aku yakin—perasaan ini, entah bagaimana, semakin nyata.
Ketika Semua Berubah Tanpa Kata
Pagi itu, kantor terasa lebih sunyi dari biasanya. Aku duduk di kursi, memandang keluar jendela besar yang menghadap ke jalanan kota yang ramai. Fira sudah tidak ada di sini, dan rasa hampa itu datang begitu saja, seakan seharusnya ada yang kurang. Aku tidak tahu pasti apa yang aku harapkan, tapi ada semacam kekosongan yang menyusup begitu dalam ke dalam diriku. Mungkin karena hari-hari terakhir ini aku sudah terlalu sering berpikir tentangnya, terlalu sering terbuai oleh bayangannya yang tak terucapkan.
Tapi hari itu berbeda. Ketika aku berjalan menuju ruang kerjaku setelah rapat singkat, pandanganku tertuju pada sebuah kertas di atas mejaku. Kertas itu tergulung rapi, diikat dengan pita merah. Tanpa berpikir panjang, aku membuka gulungan itu. Di dalamnya hanya ada satu kalimat, tulisan tangan yang familiar.
“Aku rasa kita nggak bisa terus menghindar, kan?”
Tepat di bawah kalimat itu, ada tanda tangan kecil dari Fira. Tanda tangan yang entah kenapa, membuat dadaku berdegup kencang. Rasanya seperti disambar petir, tapi dengan cara yang paling lembut dan penuh harapan.
Aku merasa gelisah. Mungkin ini waktunya untuk menghadapi semuanya—semua perasaan yang sudah lama aku sembunyikan. Tapi bagaimana kalau aku salah? Bagaimana kalau aku terlalu cepat mengambil langkah ini?
Pikiranku terpecah saat pintu ruanganku terbuka. Fira muncul dengan wajah cemas, matanya mencari-cari reaksiku.
“Kamu baca?” tanya Fira dengan suara yang sedikit gemetar.
Aku mengangguk pelan, menatapnya dengan hati yang berdebar. “Iya, aku baca,” jawabku, mencoba menenangkan diriku sendiri. “Fira, aku…”
Fira mendekat, menatapku dengan penuh harap. “Jangan bilang kamu nggak merasa apa-apa juga, Raka. Aku sudah lama mencoba untuk menutupi ini, tapi semakin aku mencoba menjauh, semakin aku merasa itu nggak benar.”
Aku terdiam. Kata-kata itu menggantung di udara antara kami, dan aku tahu ini adalah momen yang tidak bisa lagi dihindari. Rasanya, aku tidak perlu melanjutkan kalimatku—kami berdua sudah tahu apa yang sebenarnya ada di dalam hati masing-masing. Fira dan aku tidak bisa lagi mengelak dari kenyataan ini.
Langkahku terasa berat saat aku berdiri dari kursi dan mendekatinya. Aku bisa merasakan setiap detik, setiap napas yang kami ambil bersama, membawa kami lebih dekat ke keputusan yang telah lama kami hindari.
“Kamu nggak salah,” jawabku pelan, suaraku serak, seperti ada beban yang menekan dadaku. “Aku juga merasa itu, Fira. Aku nggak tahu sejak kapan, tapi ini bukan hal yang bisa aku abaikan lagi.”
Fira tersenyum tipis, senyum yang begitu lembut dan penuh rasa lega. “Jadi… kita mulai dari sini, ya?” tanyanya, matanya berbinar, penuh harapan.
Aku mengangguk, meski perasaan itu masih terasa canggung. Tapi kali ini, canggung itu terasa manis. Kami berdua tahu bahwa langkah ini adalah langkah pertama dari perjalanan panjang yang entah akan membawa kami kemana.
“Ya, kita mulai dari sini,” jawabku, dan untuk pertama kalinya, aku merasakan ketenangan dalam hatiku. Semua ketakutan dan keraguan yang sempat ada, perlahan menghilang begitu saja. Kami saling tersenyum, dan meskipun tak ada kata-kata besar yang terucap, aku tahu kami sudah berada di tempat yang benar. Bersama.
Hari-hari setelah itu berlalu begitu cepat. Semua menjadi lebih mudah, lebih ringan, meskipun kami tetap menjaga batas-batas yang ada di kantor. Tapi di luar itu, perasaan kami semakin jelas. Kami lebih sering berbicara, tertawa, dan menjalani hari-hari bersama—tanpa perlu menyembunyikan apa pun.
Di luar kantor, di antara hiruk-pikuk dunia yang tak berhenti bergerak, kami menemukan cara untuk tetap bersama. Dan meskipun dunia di sekitar kami tak pernah berubah, aku tahu bahwa kami telah menemukan sesuatu yang lebih dari sekedar sekilas pertemuan di dunia ini—sesuatu yang berharga, yang hanya bisa kami rasakan bersama.
“Raka,” suara Fira memecah keheningan di satu sore yang cerah. Dia tersenyum, tangannya meraih tanganku dengan lembut. “Kita nggak perlu lagi takut, kan?”
Aku hanya tersenyum dan menggenggam tangannya dengan erat. “Nggak ada yang perlu ditakutkan, Fira. Kita sudah memulai ini, dan aku yakin kita akan bisa melangkah bersama.”
Di saat itu, aku merasa seperti dunia ini hanya milik kami berdua—dalam heningnya, dalam tawa kami, dalam setiap langkah yang kami ambil bersama. Dan saat itu juga, aku tahu bahwa kisah ini adalah awal dari banyak kisah lainnya.
Jadi, siapa sangka kan? Kadang cinta itu nggak butuh tempat yang sempurna atau waktu yang pas. Cinta bisa tumbuh di mana aja, bahkan di tempat yang paling nggak terduga—seperti di kantor ini. Kalau kamu masih ragu buat ngejar perasaan kamu, ingat aja cerita ini. Mungkin aja, kamu juga bakal punya cerita seru seperti mereka. Siapa tahu, kan?