Jarak Tak Memisahkan Kita: Cerita Cinta yang Menguji Kesetiaan

Posted on

Jarak bisa bikin hati bingung, apalagi kalau cinta lagi diuji. Tapi, ada kalanya kita harus memilih untuk percaya dan bertahan, meski semuanya serba gak pasti.

Cerita ini tentang sepasang hati yang berusaha untuk gak terpisahkan oleh jarak, meski cobaan dan gangguan datang silih berganti. Kalau kamu pernah merasa ada yang menghalangi hubungan, pasti ngerti banget deh rasanya. Yuk, ikuti kisahnya!

 

Jarak Tak Memisahkan Kita

Angin yang Membawa Rindu

Aku sedang duduk di teras kafe kecil, menatap ke layar ponsel dengan mata yang terasa berat. Sudah hampir sepuluh menit sejak aku membuka aplikasi pesan, dan satu pesan pun belum masuk. Aku menunggu, berharap Valen, yang entah di mana sekarang, akan menghubungiku. Tapi tidak ada.

Angin senja berhembus pelan, membawa harum kopi dan daun-daun kering yang berjatuhan dari pohon di sekitarku. Biasanya, aku suka momen seperti ini—sendiri, tenang, dengan langit yang mulai menggelap. Namun hari ini terasa berbeda. Rasanya, ada sesuatu yang hilang. Ada kekosongan yang sulit kuterima, seolah jarak yang memisahkan kami mulai merayap masuk ke dalam hati, menumbuhkan keraguan yang tidak seharusnya ada.

“Hmm, kenapa kamu kelihatan gak tenang?” suara Marsha tiba-tiba memecah keheningan. Sahabatku ini datang dari arah pintu kafe dengan segelas jus jeruk di tangan, matanya memandangku dengan tajam.

Aku hanya tersenyum, sedikit dipaksakan. “Gak apa-apa, cuma lagi mikir aja.”

Marsha duduk di seberangku, menatapku tanpa berkata apa-apa. Dia tahu aku tidak akan langsung bercerita jika tidak ditanya, jadi dia memutuskan untuk menunggu. “Tentang Valen?”

Aku mengangguk pelan. “Iya, tentang dia.”

“Tadi dia masih belum balas pesan kamu, ya?” tanya Marsha.

Aku menghela napas panjang. “Iya, sudah hampir seharian, Mar. Aku tahu dia sibuk, tapi kok rasanya beda gitu, ya?”

Marsha melanjutkan mengaduk jus jeruknya, seakan merenung. “Aku tahu kamu khawatir, tapi kamu juga tahu kan, Valen orang yang gak gampang lepas kontrol. Kalau dia bilang sibuk, berarti dia memang sibuk. Jangan mikir yang aneh-aneh dulu.”

Tapi aku tahu, Marsha hanya mencoba menenangkan diriku. Kenyataannya, aku tidak bisa menahan pikiranku yang terus menerus bertanya-tanya tentang apa yang terjadi. Mungkin aku terlalu cemas, tapi rasanya hati ini mulai dibanjiri rasa takut yang tak bisa kuhindari. Jarak ini, entah kenapa, mulai terasa begitu besar.

“Aku cuma takut… kalau dia mulai lelah dengan semua ini.” Suaraku hampir berbisik, seperti takut jika aku mengatakannya keras-keras, maka kenyataan itu akan semakin nyata.

Marsha meletakkan gelas jusnya, menatapku dengan tatapan yang penuh pengertian. “Leo, jangan buat cerita yang gak perlu ada. Jarak itu memang berat, tapi kamu tahu kan, dia juga berjuang dengan cara dia. Cinta itu gak cuma soal ketemu setiap hari. Tapi soal kepercayaan.”

Aku tersenyum tipis, tapi hatiku tidak bisa sepenuhnya tenang. Aku menganggap kata-kata Marsha itu masuk akal, namun perasaan takut dan cemas itu tetap menggerogoti pikiranku.

Aku tahu, di dalam hati, aku sangat mencintainya. Tapi apakah dia merasakan hal yang sama? Setiap kali kami berbicara, dia selalu terdengar yakin, tegas, seperti dia tahu betul apa yang kami miliki. Tapi di sisi lain, aku merasa seolah-olah aku hanya menunggu dia menyadari bahwa jarak ini mungkin lebih sulit dari yang dia bayangkan.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku segera membuka pesan yang masuk dengan tangan yang sedikit gemetar. Nama Valen muncul di layar. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri sebelum membaca pesannya.

Maaf, aku terlambat membalas. Ada banyak pekerjaan akhir-akhir ini, tapi aku ingin kau tahu, aku selalu memikirkanmu.

Aku menatap pesan itu lebih lama dari yang seharusnya. Ada yang terasa hangat dan menenangkan dari kata-kata itu, tapi juga ada sesuatu yang terasa kurang. Sesuatu yang tidak bisa kujelaskan dengan kata-kata. Aku ingin membalasnya, mengatakan bahwa aku percaya, bahwa aku akan selalu ada di sini untuknya, tapi rasanya aku tidak tahu harus mulai dari mana.

“Sudah dapat kabar dari dia?” Marsha bertanya, seakan tahu perasaanku.

Aku mengangguk. “Dia minta maaf. Katanya dia sibuk banget.”

Marsha tersenyum dan mengelus punggung tanganku. “Itu kan wajar. Dia kerja keras buat masa depan kalian berdua. Kamu harus percaya.”

Aku mengangguk, meski masih ada ragu yang mengendap di hatiku. “Aku tahu, Mar. Aku cuma… aku cuma takut dia akan berubah.”

“Leo,” kata Marsha dengan suara yang lebih serius. “Kadang kita perlu berhenti takut. Semua hubungan itu ada ujiannya. Jika dia benar-benar mencintaimu, maka apapun yang terjadi, kalian akan bisa melewati ini.”

Aku terdiam, mencerna kata-kata Marsha. Benar, setiap hubungan pasti ada cobaan. Tapi tetap saja, entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang ingin menjauh. Mungkin aku yang terlalu cemas. Mungkin aku yang terlalu takut.

Ketika malam datang, aku kembali duduk di tempat yang sama, menunggu kabar dari Valen. Tak ada kabar yang datang hingga larut malam. Rasa sepi itu menyelimutiku. Aku menatap langit yang gelap, berharap seberkas bintang muncul untuk memberikan petunjuk.

“Jarak ini terlalu jauh,” kataku pelan pada diri sendiri. “Tapi aku masih percaya, kita bisa melaluinya.”

Tapi, apakah aku bisa tetap percaya?

 

Bayangan di Antara Kita

Hari demi hari berlalu tanpa perubahan berarti. Valen masih sibuk dengan pekerjaannya, dan aku masih berusaha bertahan dengan pikiranku yang terus melayang. Meskipun aku tahu jarak kami bukanlah alasan untuk merasa ragu, ada saat-saat ketika aku merasa seperti aku sedang berdiri di ujung jurang yang dalam. Jika aku melangkah sedikit lebih jauh, aku bisa terjatuh dan kehilangan semuanya.

Saat aku duduk di taman sore itu, menatap layar ponselku yang kosong, rasa cemas itu kembali datang. Pesan-pesan dari Valen semakin jarang. Tidak ada lagi cerita tentang hari-harinya, tidak ada lagi kata-kata manis yang dulu selalu berhasil membuatku merasa tenang.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Aku hampir melompat dari kursi, meraih ponsel dengan cepat, berharap itu Valen. Tapi, ketika melihat nama yang tertera, mataku sedikit menyipit.

Alessia.

Aku tahu siapa dia. Teman lama Valen yang selalu ada di sekitar dia, meski tidak pernah terlalu dekat. Mereka berteman sejak lama, dan aku selalu merasa seperti ada jarak tak kasat mata antara aku dan Alessia. Rasanya, perempuan ini selalu ada di sekeliling Valen, meski tak pernah terlihat jelas. Sejak awal hubungan kami, aku selalu merasa sedikit cemas dengan keberadaannya.

Aku membuka pesan dari Alessia dengan perasaan yang campur aduk.

Hey, Leo. Aku cuma mau bilang kalau Valen sibuk banget belakangan ini. Dia mungkin gak bisa jawab pesanmu, tapi dia pasti mikirin kamu kok.

Aku menelan ludah. Pesan itu terdengar tulus, tapi ada sesuatu yang terasa ganjil. Kenapa Alessia yang memberitahuku hal ini? Apakah dia yang lebih tahu daripada aku?

Aku berusaha menenangkan diri dan membalas dengan hati-hati. Terima kasih, Alessia. Aku cuma khawatir aja.

Tak lama setelah itu, pesan dari Alessia kembali muncul.

Jangan khawatir. Kamu tahu, Valen itu gak pernah bisa lepas dari kamu. Dia cuma butuh waktu untuk fokus sekarang. Aku yakin semuanya akan baik-baik aja.

Aku menatap pesan itu dengan perasaan yang campur aduk. Ada semacam kelegaan, tapi juga keraguan. Apakah ini hanya omong kosong, atau benar-benar sebuah pengingat bahwa Valen masih ada di sisiku, meski tidak selalu tampak?

Tapi, kenapa Alessia yang merasa perlu memberitahuku ini? Apa sebenarnya yang sedang terjadi di antara mereka?

Aku mendengus pelan, mencoba mengusir pikiran-pikiran yang mengganggu itu. Aku tahu ini tidak adil, tapi rasa cemburu itu datang begitu saja, mengalir tanpa bisa kuhalangi.

Hari berikutnya, Valen akhirnya menghubungiku. Aku merasa sedikit lega, meskipun masih ada rasa bimbang yang belum hilang.

Maaf, Leo. Aku tahu aku udah gak sering ngabarin, dan aku bener-bener minta maaf. Pekerjaan aku lagi banyak banget akhir-akhir ini. Tapi aku janji, gak ada yang berubah tentang perasaan aku ke kamu.

Aku ingin membalas dengan kata-kata yang meyakinkan, tapi sesuatu dalam hatiku menahan. Aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang disembunyikan. Sesuatu yang mungkin aku tidak ingin tahu, tapi juga tidak bisa diabaikan begitu saja.

Aku paham kok, Valen. Aku cuma… cuma merasa jauh aja belakangan ini. Aku cuma butuh tahu kalau semuanya baik-baik aja.

Aku menekan tombol kirim dan menatap layar ponselku, berharap dia membalas dengan kata-kata yang bisa menghapus keraguan ini. Tapi, justru sebaliknya. Tidak ada balasan segera. Hanya keheningan yang kembali menyelimuti kami.

Jam demi jam berlalu, dan aku merasa semakin terperangkap dalam ruang hampa. Sesuatu dalam diriku terus bertanya-tanya apakah ini memang benar-benar apa yang aku inginkan. Aku mencintainya, tapi apakah dia masih mencintaiku dengan cara yang sama?

Sore itu, saat aku berjalan sendirian di sepanjang trotoar, aku melihat sebuah pasangan yang berjalan berdampingan, tertawa dan berbicara dengan mesra. Mereka tampak begitu dekat, begitu nyaman satu sama lain. Sesuatu dalam diriku tergerak, merasa seolah-olah aku tertinggal begitu jauh dari mereka. Kenapa aku tidak bisa merasakannya? Kenapa rasanya, semakin lama, semakin banyak jarak yang tercipta di antara aku dan Valen?

Aku menekan dadaku, merasakan sakit yang mulai merayap. Tidak, ini tidak bisa terjadi. Aku harus tetap percaya. Aku harus tetap bertahan.

Saat aku sampai di rumah, ponselku kembali bergetar. Kali ini, ada pesan dari Valen.

Leo, aku gak pernah mau bikin kamu merasa kayak gini. Aku minta maaf. Aku tau kita udah jauh, dan aku gak mau kamu ngerasa sendiri. Aku janji, aku akan bikin semuanya lebih baik.

Hatiku menghangat saat membaca pesan itu, tapi entah kenapa, perasaan ragu itu masih mengganggu. Sepertinya, jarak ini semakin menjadi bayangan besar yang mulai menutupi segala yang ada di antara kami.

Aku menarik napas dalam-dalam. “Apa kita bisa terus bertahan, Valen?” gumamku pelan, meski hanya diriku yang mendengarnya. “Apa cinta kita cukup kuat untuk melawan semua ini?”

 

Ujian Tak Terduga

Beberapa hari setelah percakapan itu, aku merasa seperti berada dalam limbo—tergantung di antara harapan dan ketakutan. Setiap kali ponselku bergetar, aku hampir bisa merasakan detak jantungku yang semakin cepat. Itu Valen, atau mungkin… ada sesuatu yang akan mengguncang lagi?

Pagi itu, aku duduk di kafe favorit kami, tempat yang selalu kami kunjungi setiap kali kami ingin melarikan diri dari keramaian dunia. Di sini, semuanya terasa lebih tenang, lebih intim. Tapi kali ini, aku sendirian. Tak ada Valen di sebelahku, tak ada obrolan ringan tentang apa yang kami lakukan di masa depan. Hanya ada aku dan ruang kosong yang begitu terasa.

Aku melirik ke sekeliling. Semua orang tampak sibuk dengan dunianya masing-masing—ada yang berbicara lewat telepon, ada yang sibuk mengetik pesan, dan ada pula yang duduk dengan pasangannya. Melihat itu semua, hatiku serasa tertusuk. Kenapa aku merasa begitu jauh? Apa yang sebenarnya terjadi dengan hubungan kami?

Sambil menunggu pesanan datang, aku menarik napas panjang dan membuka pesan Valen yang sudah kubaca beberapa kali. Itu hanya sebuah kalimat pendek, sederhana, tapi penuh arti:

“Leo, aku butuh waktu. Bukan untuk kita, tapi untuk diriku sendiri.”

Ada sesuatu yang mengganggu dalam kata-kata itu. Kenapa Valen butuh waktu? Apakah ini pertanda buruk? Aku sudah mencoba memahami, tapi semakin aku memikirkannya, semakin aku merasa cemas. Ada sesuatu yang dia sembunyikan dariku, dan aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

Tiba-tiba, ponselku bergetar lagi. Kali ini, dari Alessia.

Leo, kamu tahu kan kalau Valen sedang dalam tekanan besar? Aku cuma mau bilang, dia itu gak akan bisa ngomong dengan jelas ke kamu sekarang. Tapi kamu harus percaya, dia masih peduli kok. Aku yakin, dia cuma butuh ruang, bukan untuk menjauh dari kamu, tapi untuk dirinya sendiri.

Aku menghela napas, merasakan beratnya kata-kata itu. Alessia seperti menjadi perantara antara aku dan Valen, dan meskipun aku tahu niatnya baik, aku mulai merasa seperti ada tembok besar yang tak terlihat di antara kami. Kenapa semuanya harus terasa serba salah? Kenapa perasaan ini selalu datang bersamaan dengan keraguan yang semakin besar?

Tiba-tiba, terdengar suara familiar yang membuat jantungku berhenti sejenak. Aku menoleh dan melihat Valen berdiri di pintu kafe, mengenakan jaket hitam yang selalu dia pakai saat kami pertama kali bertemu. Matanya memandang ke arahku, dan dalam sekejap, dunia terasa terhenti.

Dia tersenyum kecil, tapi tidak ada kehangatan di sana. Senyumnya datar, seperti ada sesuatu yang menahan semuanya. Perlahan-lahan, dia berjalan mendekat.

“Aku tahu kamu pasti bingung, Leo.” Suaranya serak, seolah-olah kata-kata itu tertahan lama di tenggorokannya.

Aku hanya bisa menatapnya, cemas. “Kenapa kamu gak bilang apa-apa, Valen? Kenapa aku merasa kamu semakin jauh?”

Valen duduk di depan meja, matanya tidak bisa menatapku langsung. Ada jarak yang semakin lebar di antara kami.

“Aku… aku merasa seperti aku kehilangan arah,” jawabnya perlahan. “Terkadang, aku merasa aku butuh waktu untuk menyusun semuanya, bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang hidupku yang sedang kacau.”

Aku merasakan kekosongan itu semakin dalam. “Tapi kenapa, Valen? Apa yang terjadi? Apa aku gak cukup buat kamu?”

Kata-kata itu keluar dengan sendirinya, seperti duri yang tertusuk dalam. Valen terdiam, matanya menatap ke luar jendela, mencoba menghindar dari tatapanku. Aku bisa melihat cemasnya di wajahnya, dan aku tahu, ini bukan hanya tentang aku.

“Leo,” akhirnya dia mengangkat wajahnya, menatapku dengan tatapan yang penuh penyesalan, “kamu gak tahu betapa aku ingin semuanya berjalan lancar. Aku gak pernah mau kamu merasa seperti ini. Tapi terkadang, aku merasa aku gak bisa menanggung beban itu sendirian.”

Aku menunduk, meremas tangan di atas meja, mencoba menenangkan diri. Semua ini terasa terlalu berat. “Aku paham, Valen. Aku cuma… cuma takut.”

“Takut apa?” tanyanya lembut.

“Takut kita gak bisa bertahan. Takut kamu akan pergi jauh banget, dan aku akan kehilangan kamu.”

Suasana itu menggantung begitu lama, keduanya terjebak dalam ketidakpastian yang semakin besar. Valen menghela napas panjang dan meraih tanganku, menggenggamnya erat. “Leo, aku gak akan pergi. Aku cuma butuh waktu untuk menemukan kembali jalan yang benar, jalan yang bisa aku jalani tanpa mengorbankan apa pun. Tanpa kehilangan diri sendiri.”

Aku menatapnya, menahan air mata yang mulai menggenang di kelopak mata. Ada rasa lega, tapi juga ketakutan. Apa aku benar-benar bisa menunggu dia? Apa aku bisa terus percaya, meskipun semuanya semakin suram?

“Jadi kamu ingin aku… menunggu?” tanyaku dengan suara hampir tak terdengar.

Valen menatapku dalam-dalam, seolah berusaha meyakinkanku dengan matanya. “Jika kamu bisa, Leo, aku janji aku akan kembali. Aku butuh waktu untuk memperbaiki diriku, tapi aku gak akan pernah meninggalkanmu.”

Itulah janji yang dia buat, namun entah kenapa, hatiku tetap ragu. Apakah ini akhir dari segalanya? Atau ini hanya awal dari ujian yang lebih berat? Aku tidak tahu. Tapi satu hal yang pasti, jarak ini semakin menguji kami, semakin menekan hati kami. Namun, entah bagaimana, aku tetap ingin percaya.

 

Menyusun Kembali Kepingan

Waktu terus berlalu, dan rasa cemas yang sempat menguasai diriku mulai mereda, meskipun tak sepenuhnya hilang. Setiap hari, aku mengingat janji Valen. Janji yang mengikat kami meski jarak menghalangi, meski ketidakpastian selalu mengintai. Namun, janji itu tetap menyala, kecil namun kuat, seperti api yang tak mudah padam.

Aku mencoba untuk tetap sibuk, mencoba untuk tidak terlarut dalam kekosongan yang dulu seringku rasakan tanpa kehadiran Valen. Ada kalanya aku hampir lupa, tetapi setiap kali aku melangkah keluar rumah, aku melihat dunia seakan menuntut aku untuk tetap bertahan, untuk tetap berharap.

Valen memulai hari-harinya dengan langkah yang lebih ringan, aku bisa merasakannya dari setiap pesan yang kami tukar. Tidak lagi ada kecemasan di balik kata-katanya, hanya harapan dan sebuah upaya untuk memperbaiki semuanya. Aku melihat perubahan kecil itu, meskipun mungkin hanya sedikit, tetapi cukup untuk membuatku merasa tenang.

Namun, tak semua hal berjalan mulus. Beberapa minggu kemudian, saat aku sedang duduk di taman, meresapi angin sore yang menyejukkan, ponselku bergetar. Nama Valen muncul di layar, dan sebuah senyuman mulai muncul di bibirku, meskipun aku tak tahu apa yang akan dia katakan.

“Halo?” suaraku agak gemetar, entah karena rasa rindu atau rasa takut yang tak bisa kujelaskan.

“Leo, kita harus bicara.”

Kata-katanya terdengar tegas, namun ada ketegangan yang bisa kurasakan. Aku menghela napas, mencoba untuk tidak panik. “Ada apa? Kenapa kayak gitu?”

“Jangan khawatir. Aku cuma… aku cuma pengen ngomong tentang sesuatu yang penting.”

Itu membuatku sedikit tenang, meskipun masih ada kekhawatiran. “Apa itu?”

“Leo, aku ingin kita mulai lagi. Aku tahu ini mungkin terdengar gila, tapi aku ingin kita mencoba kembali. Bukan hanya untuk kita, tapi untuk diri kita masing-masing. Aku nggak mau lagi membuatmu bingung, aku gak mau kamu merasa sendirian.”

Aku merasa seperti ada beban besar yang terangkat dari dadaku. Hanya beberapa kata itu, tapi aku tahu, itu adalah keputusan besar yang tidak hanya diambil begitu saja. Aku bisa merasakan ketulusan dalam suaranya, meskipun dia tidak mengatakan lebih banyak.

“Kamu yakin, Valen? Aku nggak ingin ada lagi jarak yang memisahkan kita.”

“Aku yakin, Leo. Aku tahu kita sudah melalui banyak hal, dan aku juga tahu betapa kerasnya usaha kita selama ini. Tapi, aku janji ini bukan hanya tentang aku atau kamu. Ini tentang kita. Kita akan melewati semua ini bersama, meskipun dunia di luar sana selalu mencoba memisahkan kita.”

Aku tersenyum, meskipun aku tahu dia tidak bisa melihatnya. Ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatku merasa kuat, bahwa kami bisa melewati semua cobaan ini. Tidak ada lagi keraguan, hanya keyakinan yang tumbuh perlahan.

“Aku percaya sama kamu, Valen.”

“Tunggu aku, Leo. Aku akan selalu kembali ke kamu, seperti yang sudah aku janji.”

Aku menutup telepon itu dengan perasaan penuh harapan. Aku tahu, kami masih harus berjuang. Jarak ini akan terus menguji kami, tetapi dengan setiap percakapan, dengan setiap langkah yang kami ambil, aku merasa semakin yakin bahwa cinta ini tidak akan pernah pudar.

Hari-hari kami kembali, tak lagi ada rasa cemas yang melilit. Kami mulai membangun kembali apa yang sempat terhenti, dengan hati yang lebih matang, dengan komitmen yang lebih kuat. Dan meskipun banyak orang yang mencoba mengganggu, meskipun cobaan terus datang, kami tahu bahwa kami akan bertahan. Tidak ada yang bisa memisahkan kami, karena kami telah membuktikan bahwa cinta ini lebih kuat dari apapun.

Aku menatap langit biru di atas sana, dan merasakan kedamaian. Tidak ada lagi kekhawatiran, hanya sebuah keyakinan bahwa apapun yang terjadi, kami akan tetap bersama. Karena jarak, seberapa pun jauh, tak pernah benar-benar bisa memisahkan kami.

 

Jadi, meski jarak kadang bikin kita ragu dan banyak hal di luar sana yang coba ngedistrak kita, yang terpenting adalah seberapa kuat kita percaya sama satu sama lain. Kalau hati udah bilang iya, jarak gak akan bisa ngebatasin apapun.

Cinta itu tentang bertahan dan saling percaya, kan? Semoga cerita ini ngasih semangat buat kamu yang lagi berjuang, karena nggak ada yang lebih indah selain cinta yang nggak pernah lelah untuk kembali.

Leave a Reply