Janji di Bawah Langit Biru: Cerpen Romantis Penuh Haru dan Emosional

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kayak hidup kamu itu berputar di sekitar satu orang aja? Kayak segala yang kamu lakuin itu cuma buat dia, dan janji-janji yang pernah diucapin cuma ada di antara kalian berdua.

Tapi, gimana kalau tiba-tiba, dunia kamu berubah dan dia nggak ada di sana? Cerita ini tentang itu. Tentang janji yang harus dipertahankan meski waktu dan jarak mulai menghalangi. Penasaran? Yuk, baca ceritanya!

 

Janji di Bawah Langit Biru

Langit Biru yang Pertama

Pagi itu, langit di atas kami begitu biru, seolah tak ada secuil awan pun yang mampu menutupi keindahannya. Di taman kota yang sepi, hanya ada kami berdua, duduk di bangku kayu yang sudah usang, dikelilingi pepohonan yang begitu hijau dan bunga-bunga yang tampaknya tengah tersenyum cerah. Angin sepoi-sepoi menyentuh kulit, dan di sinilah semuanya dimulai.

Aku ingat betul saat pertama kali kita bertemu di sini. Saat itu, aku sedang duduk sendirian, menikmati ketenangan, mencari ruang untuk menenangkan pikiran yang semakin kacau setelah minggu-minggu penuh ujian. Lalu kamu datang, duduk di bangku tepat di sampingku. Saat itu, kamu tak berkata apa-apa, hanya duduk diam, seperti aku, menyerap udara pagi yang segar.

“Aku juga suka di sini,” kata kamu tiba-tiba, dengan suara yang tenang, tak terlalu keras, tapi cukup jelas untuk aku dengar.

Aku terkejut, langsung menoleh. Kamu tersenyum, senyum yang sederhana, tanpa ada kesan paksa. “Tempat ini tenang. Bisa bikin pikiran lebih jernih,” lanjutmu.

Aku hanya mengangguk, sedikit canggung. Entah kenapa, aku merasa ada yang berbeda saat itu. Kamu tak seperti orang lain yang seringkali mengganggu ketenanganku, malah sebaliknya, kamu malah menambah kedamaian. Kamu tidak mengajakku berbicara banyak, hanya duduk di sana, dan waktu seolah melambat.

Beberapa minggu setelah itu, kita mulai saling mengenal lebih dekat. Kamu yang pendiam, dan aku yang selalu sibuk dengan pikiranku sendiri, ternyata punya banyak kesamaan. Kami sering bertemu di taman ini, berbicara tentang segala hal, mulai dari buku yang baru kami baca hingga keinginan kita tentang masa depan.

Sore itu, setelah banyak pertemuan di sini, aku duduk bersamamu lagi, menatap langit yang sama. “Arka,” aku memanggilmu, sambil menatap langit biru yang begitu luas, seolah bisa menampung semua impian kita. “Apa yang kamu lihat di langit itu?”

Kamu mengikuti arah pandangku, lalu tersenyum lembut. “Aku melihat sebuah janji.”

Aku menoleh ke arahmu, tak mengerti. “Janji?” tanya aku, memiringkan kepala. “Janji apa?”

Kamu menghela napas pelan, seolah sedang memikirkan kata-kata yang tepat untuk menjawab. “Janji bahwa kita akan selalu bersama,” jawabmu, matamu tetap fokus pada langit, seolah langit itu bisa menjadi saksi bisu dari segala yang kamu katakan. “Meski waktu berjalan, meski kita terpisah, aku ingin janji ini tetap ada.”

Aku terdiam, kata-kata itu masuk ke dalam hatiku dengan cara yang tak bisa kujelaskan. Kenapa rasanya seperti ada sesuatu yang mengikatku pada janji yang baru saja kamu ucapkan?

“Arka,” aku mencoba memecah keheningan. “Apakah kamu yakin?”

Kamu menoleh padaku, dan aku bisa melihat tatapan serius di matamu, yang jarang aku lihat. “Aku yakin, Kirana. Janji itu bukan hanya kata-kata kosong. Aku ingin kamu tahu bahwa aku akan selalu ada, meskipun kita tidak selalu bersama.”

Aku menunduk, ada perasaan aneh yang mulai tumbuh dalam hatiku. Sebuah perasaan yang aku tak tahu harus kubawa ke mana. Janji itu… janji itu terasa begitu berat, tapi aku tahu, di dalam hatiku, ada sesuatu yang memanggil untuk meyakini itu.

“Kamu yakin, Arka? Dunia kita akan berubah, dan kita nggak pernah tahu ke mana arah hidup kita.” Suaraku bergetar sedikit, meski aku berusaha untuk tetap tenang. “Aku takut… kalau janji itu hanya sebuah kata-kata.”

Kamu tersenyum, dan kali ini senyummu begitu tulus. “Aku tidak akan melupakan janji ini, Kirana. Dunia memang bisa berubah, waktu bisa membuat segalanya berbeda, tapi kalau janji itu datang dari hati, dia akan tetap ada. Kamu tidak perlu khawatir.”

Aku mengangguk pelan, meski hatiku masih dipenuhi dengan keraguan. Tapi entah kenapa, ada sesuatu dalam dirimu yang membuatku merasa aman. Seperti ada sebuah ikatan tak terlihat yang menghubungkan kita berdua, meski hanya dengan sebuah janji sederhana yang tak tahu apakah bisa bertahan menghadapi waktu.

“Janji kita, Arka, akan tetap di sini, di bawah langit biru ini, kan?” tanyaku, memandangmu dengan penuh harapan.

Kamu meraih tanganku dengan lembut, menggenggamnya erat. “Ya, Kirana. Di bawah langit biru ini, janji itu akan tetap ada. Kita akan jaga bersama.”

Aku menatapmu dalam-dalam, seolah ingin menghafalkan setiap detil dari wajahmu, dari senyumanmu, dari setiap kata yang keluar darimu. Aku tahu, mungkin kita tidak akan selalu bersama, tapi selama kita punya janji ini, rasanya aku tak perlu takut menghadapi apapun yang datang.

Dan di bawah langit biru yang penuh dengan harapan itu, aku merasakan kebahagiaan yang sederhana, yang terasa begitu indah. Mungkin dunia kami akan berubah, tapi janji itu… janji itu takkan pernah pudar.

 

Genggaman di Antara Awan

Hari-hari berlalu begitu cepat setelah janji itu terucap. Arka dan aku semakin sering menghabiskan waktu bersama. Taman itu tetap menjadi tempat kami berdua, meskipun ada banyak tempat lain di kota ini yang bisa kami jelajahi. Entah kenapa, di sana, di bangku tua yang sama, aku merasa lebih hidup, lebih tenang. Seperti ada kekuatan dari tempat itu yang selalu mengingatkan kami akan janji yang kami buat.

Namun, semakin lama aku semakin merasakan perubahan. Ada sesuatu yang berbeda dalam diri Arka, sesuatu yang tak kuerti. Saat kami duduk bersama, terkadang aku menangkap tatapan kosong di matanya, seolah pikirannya sedang jauh. Dia lebih banyak diam, lebih banyak tenggelam dalam dunia imajinasinya.

“Ada apa, Arka?” tanyaku suatu sore saat kami duduk bersama, saling berbagi diam. “Kamu nggak seperti biasanya. Ada yang mengganggu pikiranmu?”

Arka menoleh padaku, sedikit terkejut, lalu tersenyum. “Tidak ada, Kirana. Aku hanya… sedikit lelah akhir-akhir ini.”

Aku tidak bisa menepis perasaan kalau ada yang disembunyikan dariku. Kenapa dia tak pernah menceritakan apa yang sebenarnya ada di benaknya? Kami sudah terlalu dekat untuk tidak saling berbagi. Aku ingin tahu, aku ingin mengerti, tapi sepertinya ada dinding yang menghalangi kami.

Satu minggu setelahnya, Arka mengajakku bertemu di taman seperti biasa. Tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa berbeda. Ketika aku sampai, dia sudah duduk di bangku kami, tetapi ekspresinya lebih serius dari biasanya. Matanya menatap jauh ke depan, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Ada apa, Arka?” tanyaku, duduk di sampingnya. “Kamu kelihatan bingung.”

Dia menghela napas panjang. “Kirana, aku… aku mendapat tawaran kerja di luar kota.”

Aku terdiam, tidak langsung memahami. “Tawaran kerja?” ulangku, mencoba menangkap maksudnya.

“Ya. Perusahaan tempat aku bekerja sekarang ingin aku pindah ke cabang mereka di luar kota. Itu kesempatan besar, Kirana. Dan aku… aku harus menerimanya.”

Rasanya dunia berhenti sejenak. Jantungku berdegup kencang. “Tapi… bagaimana dengan kita, Arka? Kita baru saja membuat janji itu. Apa yang akan terjadi dengan janji kita?”

Arka menatapku dengan mata yang penuh penyesalan. “Aku tidak tahu, Kirana. Aku… aku tidak ingin pergi, tapi ini kesempatan yang tidak bisa kutinggalkan. Aku harus memilih, dan aku rasa ini adalah jalan terbaik untuk masa depanku.”

Aku menggigit bibir, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. “Jadi, kamu akan pergi begitu saja?” Suaraku bergetar, namun aku berusaha keras agar tidak terlihat lemah.

“Ini bukan karena aku tidak peduli padamu, Kirana. Aku—” Arka terdiam, mencari kata-kata yang tepat. “Aku ingin masa depan yang lebih baik, dan aku rasa aku harus mengikuti kesempatan ini.”

Aku menunduk, memikirkan kata-kata Arka. Aku mengerti, aku tahu betapa besar arti kesempatan ini baginya, tapi hatiku terasa begitu sesak. Aku takut, aku takut kehilangan dirinya.

“Kirana,” Arka melanjutkan, meraih tanganku. “Aku akan selalu ingat janji kita. Meskipun jarak memisahkan kita, aku akan berusaha untuk tetap menjaga ikatan ini.”

Aku menatap tangan kami yang saling menggenggam, merasakan kehangatan yang seolah memberikan sedikit ketenangan di tengah kekalutan hatiku. “Tapi bagaimana kalau jarak membuat kita lupa, Arka? Bagaimana kalau kita berubah, terpisah oleh waktu dan ruang?”

Dia mengangkat daguku dengan lembut, memaksaku untuk menatap matanya. “Kirana, kamu tidak perlu takut. Janji itu sudah ada di hati kita, dan hati tidak bisa terpisah oleh jarak. Aku berjanji, apa pun yang terjadi, aku akan selalu ada di sini, di hati kita.”

Suara Arka begitu penuh keyakinan, dan meskipun hatiku terasa pedih, aku tahu aku harus percaya padanya. Aku mengangguk pelan, meski masih ada kekhawatiran yang menggelayuti pikiranku.

“Aku akan merindukanmu, Arka,” bisikku, merasa seperti ada bagian dari diriku yang terpisah.

“Aku juga, Kirana,” jawabnya pelan, senyumnya kali ini sedikit menyakitkan. “Tapi kita harus kuat. Kita harus saling percaya.”

Saat itu, aku ingin rasanya waktu bisa berhenti, agar aku bisa tetap berada di sini, di bawah langit biru yang luas bersama Arka, tanpa ada perpisahan yang harus kami hadapi. Tapi kenyataan berkata lain. Dalam beberapa hari, Arka akan pergi, membawa janji yang kami buat di bawah langit biru itu ke tempat yang jauh.

“Aku akan menunggumu, Arka,” kataku akhirnya, dengan tekad yang sedikit rapuh. “Di sini, di bawah langit biru ini.”

Dan dengan genggaman tangan yang semakin erat, aku berharap bahwa meskipun perpisahan datang, janji kami akan tetap hidup di dalam hati masing-masing. Di bawah langit biru yang sama.

 

Ketika Langit Tak Lagi Biru

Bulan pertama setelah Arka pergi, aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku yang paling berharga. Setiap sudut kota ini mengingatkanku pada dia, pada semua percakapan kami, tawa kami, dan tentu saja, pada janji yang dia tinggalkan di bawah langit biru. Setiap kali aku duduk di taman itu, aku selalu merasa ada yang kurang. Tidak ada lagi suara tawa kami, tidak ada lagi tatapan tenang dari matanya yang selalu memberikan rasa aman. Taman itu terasa hampa, dan langit biru yang dulu kami pandangi bersama kini terasa begitu jauh.

Namun, meski begitu, aku berusaha untuk tetap kuat. Aku mulai sibuk dengan pekerjaanku, mengalihkan perhatian ke banyak hal untuk melupakan rasa rindu yang terus menghantuiku. Tapi seiring berjalannya waktu, aku mulai merasakan perubahan dalam hubungan kami. Pesan-pesan yang dulu selalu kami kirimkan setiap hari mulai berkurang. Panggilan telepon yang dulunya penuh cerita kini menjadi singkat dan terburu-buru. Arka mulai terlihat sibuk, dan meski dia berjanji untuk tetap menjaga janji itu, aku bisa merasakan ada jarak yang semakin lebar di antara kami.

Suatu malam, setelah sekian lama tidak mendengar kabarnya, aku memutuskan untuk meneleponnya. Suara dering di ujung sana terasa begitu lama, dan ketika akhirnya dia mengangkatnya, aku mendengar suara yang berbeda dari sebelumnya.

“Halo, Kirana?” suara Arka terdengar agak serak, seperti baru saja bangun tidur. “Ada apa?”

Aku menelan ludah, mencoba mengatasi rasa cemas yang semakin menggunung. “Kapan terakhir kali kamu menghubungiku, Arka? Kita nggak pernah ngobrol lama lagi, kamu sibuk banget, ya?” tanyaku, berusaha terdengar biasa, meski ada kerinduan yang tak bisa kutahan.

“Maaf, aku… agak banyak kerjaan di sini,” jawab Arka, suaranya terdengar agak gelisah. “Kamu baik-baik saja?”

Aku menunduk, merasakan dadaku sesak. “Aku baik-baik aja, tapi…” Aku berhenti sejenak, memilih kata-kata yang tepat. “Aku cuma… rindu kamu, Arka. Kita nggak bisa terus kayak gini, kan? Aku nggak bisa terus menunggu tanpa ada kepastian.”

Ada keheningan sejenak di seberang sana. Aku bisa mendengar Arka menarik napas dalam-dalam. “Kirana…” Suaranya terdengar penuh kebingungannya. “Aku nggak ingin kamu merasa seperti itu. Aku janji, aku nggak akan pergi dari kamu begitu saja.”

Aku menggigit bibirku, menahan air mata yang hampir tumpah. “Tapi kenapa kamu menjauh, Arka? Kenapa semuanya terasa berbeda sekarang? Apa janji kita nggak berarti lagi?” tanyaku, hampir terisak.

“Jangan salah paham, Kirana,” jawab Arka dengan lembut. “Aku masih mengingat janji itu. Tapi terkadang, hidup nggak selalu berjalan sesuai rencana. Aku nggak tahu bagaimana menghadapinya, dan aku takut… takut kita akan terjebak dalam kebiasaan yang nggak sehat, terus-menerus menahan rindu tanpa bisa bertemu.”

Aku terdiam, merasakan sakit di hatiku. Rasa rindu ini seolah menjadi beban yang semakin berat. Aku tahu, ini bukan salah Arka, tapi kenyataan bahwa hidup kami memang berubah. Mungkin janji itu memang harus dipertanyakan. Mungkin kami berdua sedang menghadapi kenyataan yang lebih sulit dari yang kami kira.

“Kirana,” suara Arka terdengar lembut, penuh penyesalan. “Aku ingin kamu tahu, meski aku jauh, aku nggak akan berhenti peduli padamu. Tapi kadang, kita harus belajar untuk membiarkan satu sama lain berkembang. Mungkin kita butuh waktu… waktu untuk menemukan siapa kita sebenarnya di luar dari janji yang kita buat.”

Aku merasakan sesak di dadaku. Dia benar. Kadang, kita harus belajar melepaskan, meski itu terasa sangat sulit. “Aku… aku mengerti, Arka. Aku nggak mau mengikatmu dengan harapan yang terlalu besar. Aku cuma nggak mau kehilangan kamu.”

“Aku juga nggak mau kehilanganmu, Kirana,” jawab Arka dengan suara yang sedikit pecah. “Tapi aku rasa, kita perlu ruang untuk tumbuh, untuk menjadi lebih baik. Jangan biarkan janji itu menjadi beban, ya?”

Aku mengangguk, meskipun dia tak bisa melihatnya. “Aku akan mencoba, Arka. Aku janji.”

Setelah percakapan itu, kami sama-sama terdiam. Entah apa yang sedang kami pikirkan, tapi aku bisa merasakan ada banyak ketidakpastian yang terpendam di dalam hati kami berdua. Aku tahu, langit biru yang pernah menjadi saksi janji kami kini tampak begitu jauh. Perubahan ini tak bisa dihindari. Namun, di dalam hatiku, ada sedikit harapan yang tak bisa padam. Meskipun jarak kami semakin jauh, meskipun kami berdua sedang berjuang dengan kehidupan masing-masing, janji itu tetap ada, tetap hidup dalam kenangan.

Namun, entah bagaimana, langit biru yang dulu begitu penuh dengan harapan kini terasa begitu luas dan kosong.

 

Akhir dari Sebuah Janji

Waktu terus berlalu, dan meskipun jarak di antara kami semakin lebar, ada sesuatu yang selalu membuatku tak bisa sepenuhnya melepaskan diri dari Arka. Meski kami jarang berbicara, meski hari-hariku mulai dipenuhi dengan rutinitas baru, janji itu tetap terpatri dalam pikiranku. Tidak pernah ada kata perpisahan antara kami—hanya sebuah keheningan yang semakin lama semakin menghentikan semua percakapan yang pernah mengisi hari-hari kami.

Suatu sore yang cerah, aku duduk di bangku taman itu lagi. Taman yang selalu menjadi tempat kami berbagi cerita, tempat kami membuat janji. Di sana, di bawah langit biru yang sama, aku merasa seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari kenyataan yang semakin hari semakin terasa menyesakkan. Tapi untuk beberapa detik, aku menutup mata dan membiarkan angin membawa kenangan itu kembali.

Tiba-tiba, suara langkah kaki yang familiar mengganggu lamunanku. Aku menoleh dan, entah kenapa, jantungku berdegup kencang. Arka berdiri di depanku, dengan senyum yang tak pernah berubah. Senyum yang sama, yang selalu mampu menenangkan hatiku.

“Kirana,” ucapnya, dengan suara yang lebih tenang dari sebelumnya. “Aku kembali.”

Aku hanya bisa diam, tidak tahu harus berkata apa. Mataku menatapnya, mencoba meyakinkan diriku bahwa dia memang nyata, bukan sekadar bayangan dari masa lalu.

“Kamu… bagaimana bisa?” tanyaku, sedikit terbata. “Bukankah kamu sudah begitu sibuk di sana? Kenapa kamu kembali?”

Arka duduk di sampingku, mendekatkan wajahnya, seolah mencoba mencari tahu apa yang ada di dalam hatiku. “Aku kembali karena aku ingin menepati janji itu, Kirana,” jawabnya, matanya penuh dengan kesungguhan. “Aku tahu, kita sudah berjarak, dan aku tahu kamu merasa aku menjauh. Tapi aku sadar, janji itu tidak bisa aku biarkan begitu saja. Aku ingin kita kembali, tidak hanya sebagai kenangan.”

Aku terdiam, perasaan campur aduk memenuhi dada. “Tapi Arka, kita sudah berubah. Kehidupanmu di sana, kehidupan kita di sini… semuanya tidak seperti dulu. Apa yang akan kita lakukan dengan semuanya yang sudah terjadi?”

Arka meraih tanganku dengan lembut, menggenggamnya erat. “Aku tahu, Kirana. Kita sudah berubah. Tapi aku percaya, meskipun semuanya berbeda, ada hal-hal yang tidak berubah—termasuk janji kita. Aku ingin kita menemukan cara untuk tetap bersama, meskipun tak selalu mudah.”

Aku menunduk, merenung. Rasa rindu itu begitu kuat, namun ada ketakutan yang lebih besar—ketakutan akan kenyataan yang telah kami hadapi. Apakah kami bisa kembali seperti dulu? Apakah kami bisa menjaga janji itu dalam dunia yang serba berubah?

“Arka,” ucapku pelan, “apakah kita bisa tetap seperti ini? Walaupun kita tahu segala sesuatunya sudah berubah?”

Arka tersenyum, meskipun ada kilatan kesedihan di matanya. “Aku tidak tahu, Kirana. Tapi aku berjanji, aku akan berusaha. Aku tidak ingin kehilanganmu.”

Dan di sana, di bawah langit biru yang luas, kami berdua duduk bersama, diam-diam menyadari bahwa janji itu bukan sekadar tentang kata-kata yang terucap. Janji itu adalah tentang bagaimana kita memilih untuk bertahan, untuk mencintai, meskipun dunia terus bergerak maju, meskipun segala hal berubah.

Hari itu, aku tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku tidak tahu bagaimana kami akan melanjutkan perjalanan ini. Tapi satu hal yang aku tahu, janji kami—meskipun terjalin dalam keheningan, meskipun terkadang terasa sepi—adalah sesuatu yang tidak bisa dihancurkan oleh jarak atau waktu. Janji itu, meskipun diwarnai dengan air mata dan ketidakpastian, tetap hidup di hati kami berdua.

Saat langit mulai berubah menjadi oranye di balik cakrawala, aku menatap Arka, dan aku tahu, meskipun jalan kami tidak mudah, kami akan terus melangkah bersama. Dalam sunyi, di bawah langit biru yang luas, kami akhirnya menemukan kembali jalan kami.

 

Gimana, setelah baca cerita ini, kamu ngerasa nggak sih kalau janji itu lebih dari sekadar kata-kata? Kadang, janji bisa jadi pengikat, bisa juga jadi beban.

Tapi satu hal yang pasti, dalam dunia yang penuh perubahan ini, kita tetap butuh alasan untuk bertahan. Semoga cerita ini bisa jadi pengingat kalau meskipun banyak yang berubah, janji yang tulus itu nggak pernah benar-benar hilang.

Leave a Reply