Janji Bulan dan Bintang: Cerpen Fantasi tentang Persahabatan Sejati di Langit

Posted on

Gimana jadinya kalau bulan dan bintang, yang biasanya cuma jadi hiasan langit malam, ternyata punya cerita persahabatan yang lebih dalam dari sekadar bersinar bareng?

Di tengah gelapnya semesta, mereka saling janji buat selalu ada, meskipun jalan mereka kadang harus berbeda. Ini bukan sekadar cerita tentang langit, tapi tentang arti tetap bersama, meskipun segalanya berubah. Serius, siap-siap baper sama hubungan mereka yang sederhana tapi penuh makna ini!

 

Janji Bulan dan Bintang

Awal Mula Cahaya

Langit malam itu tampak berbeda. Setiap bintang seperti bercerita tentang masa lalu yang tak terlupakan, dan bulan, dengan sinarnya yang lembut, memandang jauh ke dalam ruang tanpa batas. Di atas dunia yang penuh hiruk-pikuk, ada dua sahabat yang sudah lama tak bertemu, meskipun mereka selalu bersama, meskipun mereka tak pernah benar-benar saling menyentuh.

Liora, sang bulan, bersinar dengan lembut dari kejauhan. Cahaya putihnya memantulkan ketenangan di tengah malam yang sepi. Astris, sang bintang, bersinar lebih terang dari yang lain. Keberadaannya selalu memberikan rasa aman, selalu ada di sana untuk menemani malam-malam sunyi. Namun, meski keduanya saling berbicara dalam diam, hari itu terasa berbeda. Ada sesuatu yang mengambang di antara mereka, sesuatu yang belum pernah mereka ungkapkan.

“Astris,” suara Liora terdengar samar, melayang di antara angkasa yang gelap. “Apa kamu pernah merasa… seperti ada sesuatu yang lebih dari sekadar cahaya ini? Sesuatu yang mungkin kita belum bisa mengerti?”

Astris, yang terbang jauh di sisi langit yang tak terbatas, berhenti sejenak, cahaya yang dipancarkannya berkilau seakan berpikir lebih dalam. “Apa maksudmu, Liora?” jawabnya, suaranya seperti gema yang mengalun lembut dari jauh. “Kita selalu ada di sini, selalu bersinar bersama, bukan?”

Liora menghela napas, meskipun tidak ada udara di sana. “Iya, kita selalu ada. Tapi bagaimana kalau ada saatnya kita harus pergi? Apa yang akan terjadi pada janji kita?”

Astris tertawa kecil, cahayanya berkelip dengan lembut. “Liora, kamu tahu itu bukanlah pilihan. Kita berdua sudah berjanji sejak awal, kan? Tidak peduli berapa lama waktu berlalu, atau betapa jauh kita terpisah, kita akan selalu bersama. Itu janji kita, bukan?”

“Janji yang sudah lama kita buat,” Liora menjawab, nadanya seperti membawa kedalaman yang tak terucapkan. “Tapi… kadang aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar janji kita. Aku ingin memastikan, Astris. Aku ingin memastikan kita tidak pernah benar-benar terpisah.”

Astris diam sejenak, perasaannya menghangat meskipun suhu angkasa begitu dingin. “Kamu selalu khawatir, Liora. Tapi itu justru yang membuat kita lebih kuat. Tidak ada yang bisa mengubah apa yang sudah kita pilih. Kita adalah cahaya yang sama, meski berbeda. Kapan pun kamu merasa ragu, ingatlah bahwa kita tak akan pernah benar-benar hilang.”

Liora memandang ke bawah, ke bumi yang jauh di bawah sana. Beberapa manusia sedang tidur, sementara yang lainnya terjaga, mungkin tak menyadari bahwa di atas sana, dua sahabat sedang berbicara, saling berbagi ketakutan yang tak pernah bisa mereka ungkapkan kepada siapapun.

“Apakah kamu pernah bertanya-tanya,” Liora melanjutkan dengan lembut, “apa yang terjadi jika kita tak ada lagi? Jika kita terpisah… bahkan untuk sekejap?”

Astris tidak langsung menjawab. Ia merasakan perasaan yang sama, meskipun ia tak ingin mengungkapkannya. “Kadang-kadang, aku berpikir tentang itu. Tentang waktu yang tak pernah kita kendalikan, tentang langit yang terus bergerak tanpa kita minta. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, Liora—selama kita masih ada di langit yang sama, kita akan selalu menemukan jalan kembali satu sama lain.”

Liora tersenyum samar, cahaya putihnya berkilau lembut. “Ya, mungkin kamu benar. Janji kita lebih kuat daripada apapun. Aku hanya ingin memastikan aku tidak pernah kehilangan kamu, Astris. Tidak peduli apa yang terjadi.”

Astris tidak bisa menahan rasa harunya. “Kamu tidak akan kehilangan aku, Liora. Bahkan jika langit terpecah, bahkan jika bintang-bintang mulai meredup, aku akan tetap ada. Selalu.”

Malam itu mereka saling diam, menikmati keheningan yang penuh arti. Tidak ada kata-kata lebih yang dibutuhkan, karena mereka sudah saling memahami. Mereka tahu, meskipun dunia ini luas dan tak terjangkau, mereka akan selalu menjadi bagian dari satu sama lain.

Cahaya mereka menyatu di tengah kegelapan, memberikan harapan kepada setiap jiwa yang memandang. Ada janji yang lebih kuat dari waktu, lebih terang dari malam—sebuah janji bahwa meskipun terpisah jauh, mereka akan selalu bersama. Selalu ada, di setiap malam yang mereka temani, di setiap sudut langit yang mereka jaga.

Dan malam itu, seiring waktu bergerak dengan perlahan, janji itu tetap bertahan, terpatri dalam hati kedua sahabat yang tak terpisahkan.

 

Kedalaman Langit yang Tak Terjamah

Pagi datang perlahan di bawah sana, tetapi di langit, malam masih berkuasa. Meskipun langit biru mulai merayap di horizon, Liora dan Astris tetap setia berada di tempatnya, saling berbicara dalam hening yang hanya mereka berdua yang bisa dengar.

Bulan itu terasa lebih gelap dari biasanya, seperti sedang menunggu sesuatu yang besar. Liora, yang biasanya tampak tenang dan penuh cahaya, kini tampak lebih peka, lebih memikirkan apa yang akan datang. Astris merasakan perubahan itu, meskipun ia tak mengatakan apapun. Tidak perlu kata-kata, karena ia tahu apa yang ada dalam hati Liora.

“Apakah kamu merasakan itu?” tanya Liora, suaranya terdengar lebih rendah, seperti suara angin yang menyentuh ujung jari.

Astris menoleh, cahayanya berkilau lebih cerah. “Rasakan apa?”

“Seperti ada sesuatu yang sedang menunggu di luar sana… jauh sekali, di batas ruang yang belum pernah kita capai,” Liora menjawab, matanya menatap ke sisi langit yang belum pernah mereka jelajahi.

Astris mengikuti arah pandang Liora, menyelami kegelapan yang lebih dalam, di luar jangkauan mereka. “Aku tahu apa yang kamu maksud,” jawabnya. “Aku juga merasakannya. Sesuatu yang lebih besar, yang lebih luas dari apa yang kita tahu.”

Mereka berdua memandang ke angkasa yang tak terjamah. Ratusan galaksi berputar, namun ada satu titik yang tak bisa mereka jangkau. Itu seperti sebuah ruang yang penuh dengan misteri, seperti ada sesuatu yang menunggu di baliknya, sesuatu yang membuat langit terasa semakin tak terbatas.

“Apa yang kamu pikirkan, Liora?” tanya Astris, suaranya mengandung keinginan untuk tahu, ingin mendalami pikiran sahabatnya.

Liora menghela napas, cahayanya semakin redup, seakan-akan ia sedang berusaha memikirkan jawaban yang tepat. “Kita telah bersama begitu lama, Astris. Tak terhitung tahun sudah berlalu, dan aku mulai berpikir… apakah kita akan selalu berada di sini? Apakah kita akan selalu menjadi bagian dari langit yang sama?”

Astris menatapnya, cahayanya berkelip lembut. “Tentu saja kita akan selalu bersama. Itu janji kita, Liora. Tidak ada yang bisa memisahkan kita.”

Liora tersenyum samar, tapi ada kesan keraguan yang terselip di balik senyum itu. “Aku tahu kita berjanji untuk selalu bersama, Astris. Tapi aku takut kalau janji itu akhirnya hanya menjadi kenangan. Apakah kamu merasa seperti itu juga?”

Astris tidak langsung menjawab. Ia merasakan ketegangan yang mulai tumbuh di antara mereka. “Liora, aku mengerti perasaanmu. Kadang, saat kita terdiam, ada perasaan kosong yang datang, seolah-olah dunia ini terlalu luas dan kita terlalu kecil. Tapi aku ingin kamu tahu, kita tidak pernah benar-benar sendirian. Ada banyak bintang di langit ini, banyak dunia yang saling terhubung dengan cara yang tak bisa kita lihat. Kita selalu punya tempat kita.”

Liora mengangguk perlahan, meresapi kata-kata Astris. Meskipun ia tahu sahabatnya sedang berusaha meyakinkannya, ada perasaan yang tak bisa ia pungkiri. Rasa takut kehilangan, rasa khawatir akan waktu yang terus berjalan. Ia bertanya-tanya, apakah ada batasan untuk semuanya.

“Kadang aku merasa… apakah kita hanya sebentar, Astris?” kata Liora, suaranya penuh keraguan. “Sama seperti bintang-bintang yang tiba-tiba padam, atau bulan yang hilang di balik awan. Apa yang terjadi jika kita tak bisa menemukan jalan kembali?”

Astris mengguncangkan dirinya dengan lembut. “Jangan pikirkan hal-hal itu. Kita adalah bagian dari sesuatu yang lebih besar, Liora. Bahkan jika satu bintang terpadam, yang lainnya akan menggantikannya. Kita tidak pernah berhenti bersinar. Kita adalah bagian dari siklus yang abadi.”

Liora menatap Astris, merasakan ketenangan yang tiba-tiba datang. Walaupun ada rasa takut yang masih menghantuinya, ia tahu bahwa sahabatnya benar. Mungkin langit memang sangat luas, mungkin alam semesta memang penuh dengan misteri yang belum mereka pahami. Namun satu hal yang pasti—selama mereka masih ada, mereka akan selalu bersama.

“Dalam setiap kegelapan,” kata Liora perlahan, “kita tetap akan menemukan satu sama lain, kan?”

Astris tersenyum, sinarnya semakin terang. “Selalu, Liora. Selalu.”

Dengan itu, keduanya kembali diam, menikmati kedamaian yang datang setelah percakapan yang penuh makna itu. Mereka tahu, meskipun dunia ini tak terjangkau dan segala sesuatu di sekitar mereka terus bergerak tanpa henti, mereka akan selalu menjadi bagian dari malam yang sama, menjadi bagian dari janji yang tak akan pernah terputus.

 

Janji yang Tak Terucap, Namun Dirasakan

Malam semakin dalam, dan langit kian sunyi, hanya dipenuhi dengan desiran angin yang samar di antara bintang-bintang. Waktu seperti berhenti di antara keduanya, Liora dan Astris, yang kini merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar persahabatan mereka. Sesuatu yang lebih dalam, lebih kuat, yang menghubungkan mereka di luar batas ruang dan waktu.

Namun, meskipun mereka sudah saling berbicara dengan hati yang terbuka, ada sebuah kekosongan yang tak bisa dijelaskan. Seperti sebuah ruang yang menunggu diisi, seperti janji yang belum sepenuhnya terucap.

“Kadang aku merasa,” kata Liora setelah beberapa saat hening, suaranya lembut, hampir tak terdengar, “apakah kita tahu tujuan kita, Astris? Maksudku, kita telah begitu lama bersinar di langit ini, selalu ada, selalu menunggu. Tapi apa kita pernah tahu apa yang kita inginkan sebenarnya? Apa tujuan kita selain bersinar?”

Astris mendengarkan, cahayanya berkilau sedikit lebih redup, seakan merenungkan pertanyaan itu. “Kita bersinar karena kita ada. Itu sudah cukup, bukan?” jawabnya, mencoba mencari jawaban dalam kata-katanya sendiri. “Mungkin kita tidak perlu tahu semuanya, Liora. Mungkin yang terpenting adalah kita terus ada untuk satu sama lain.”

Liora mengangguk, tetapi hatinya terasa berat. “Aku tahu, Astris. Tapi ada saat-saat ketika aku merasa sepi, bahkan meskipun kita bersama di sini. Seperti ada jarak antara kita, meski kita sudah sangat dekat. Apakah kamu merasakannya juga?”

Astris tidak langsung menjawab. Ia merasakan hal yang sama, namun ia tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Dalam keheningan malam, di antara galaksi-galaksi yang berputar, ada rasa yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata.

“Apa yang sebenarnya kamu cari, Liora?” tanya Astris akhirnya, suaranya penuh dengan rasa ingin tahu. “Apakah kamu mencari sesuatu di luar sana? Di luar langit ini?”

Liora menatap jauh ke dalam kegelapan yang mengelilingi mereka. “Aku tidak tahu. Tapi terkadang aku merasa… seperti ada yang hilang. Sesuatu yang lebih dari sekadar cahaya. Sesuatu yang belum aku temukan. Mungkin kita memang ada di sini untuk saling menemani, untuk tetap bersinar, tapi bagaimana kalau kita tidak pernah tahu apa arti sebenarnya dari semua ini?”

Astris merasakan perasaan Liora. Ia tahu sahabatnya sedang mencari lebih dari sekadar keberadaan mereka yang sederhana di langit yang luas. Ia menghela napas, mencoba mencari cara untuk meyakinkan Liora. “Mungkin arti itu bukan sesuatu yang bisa kita temukan dengan mudah, Liora. Mungkin kita hanya perlu terus berjalan, terus bersinar, meskipun kita tidak tahu arah mana yang harus kita tuju. Kadang, tujuan itu akan datang pada waktunya.”

Liora merenung sejenak. Kata-kata Astris mengingatkannya pada janji yang mereka buat. Meskipun dunia ini penuh dengan ketidakpastian, meskipun mereka tidak tahu apa yang akan datang, satu hal yang pasti—mereka tidak pernah benar-benar sendirian.

“Astris,” Liora berkata pelan, “aku tahu kita sudah lama bersama, tapi kadang aku merasa takut. Takut jika suatu saat kita terpisah, atau jika kita tidak bisa lagi menemukan jalan kembali ke satu sama lain.”

Astris merasakan kegelisahan yang begitu dalam dari sahabatnya. “Liora, kamu tidak perlu takut. Kita akan selalu bersama, apapun yang terjadi. Bahkan jika langit ini berubah, bahkan jika kita terpisah jauh, kita akan selalu saling menemukan. Itu janji kita, kan?”

Liora menatapnya, merasa sedikit lebih tenang. “Janji kita,” jawabnya, seperti mengingat kembali kekuatan dari janji itu.

Malam semakin larut, dan mereka berdua diam dalam kesepian yang penuh makna. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan. Mereka tahu, meskipun perjalanan mereka penuh dengan ketidakpastian, meskipun langit ini begitu luas dan penuh misteri, mereka akan selalu menjadi bagian dari satu sama lain.

Cahaya mereka, meskipun terkadang redup, tetap ada. Bersinar, tidak peduli apa yang terjadi. Tidak peduli seberapa jauh mereka terpisah. Janji itu, meskipun tidak pernah terucap dengan kata-kata, tetap terpatri dalam setiap detik perjalanan mereka.

Dan begitu, mereka berdua tetap bersinar. Bersama, meski dalam keheningan yang tak terucapkan.

 

Kembali ke Rumah Langit

Pagi kembali datang, meskipun di dunia mereka, waktu tak pernah benar-benar beranjak. Langit tetap sama, penuh dengan bintang yang berkelip, dan bulan yang setia menjaga tempatnya di cakrawala. Namun, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Ada keheningan yang lebih dalam, seperti alam semesta sedang menunggu sesuatu, menunggu sebuah keputusan.

Liora dan Astris kini berdiri berhadap-hadapan, saling memandang dengan tatapan yang penuh arti. Waktu yang mereka habiskan bersama selama ini terasa begitu berharga, namun juga memberatkan hati mereka. Mereka berdua tahu bahwa, seperti semua benda langit lainnya, suatu saat akan ada waktu di mana mereka harus menjalani takdir mereka masing-masing.

“Astris,” suara Liora lembut, seakan mengandung beban yang tak terucapkan, “kamu tahu kan, suatu saat nanti kita mungkin akan berbeda, bukan? Mungkin tak akan selalu seperti ini. Langit kita tidak selalu akan sama.”

Astris menatap sahabatnya dengan lembut, cahayanya berkilau dengan ketenangan yang mendalam. “Aku tahu, Liora. Kita mungkin harus berpisah, atau menjalani jalur kita masing-masing. Tapi itu bukan berarti kita akan berhenti bersama. Bahkan jika kita terpisah sejauh galaksi, kita tetap akan saling menemukan. Itu sudah tertulis.”

Liora tersenyum tipis, namun senyum itu penuh dengan rasa syukur. “Aku tahu. Dan aku mulai menerima kenyataan itu. Mungkin kita memang harus terus berjalan, meskipun arah kita berbeda. Mungkin kita tidak perlu selalu ada di tempat yang sama untuk tetap bersama.”

Astris mengangguk pelan. “Tapi kita akan selalu kembali ke rumah langit yang sama, Liora. Apapun yang terjadi, langit ini adalah tempat kita, dan di sini, kita tidak pernah benar-benar terpisah.”

Liora mengangkat tatapannya ke langit, melihat bintang-bintang yang berkedip seolah menjawab kata-kata Astris. Semuanya terasa lebih damai sekarang. Seperti sebuah beban yang terangkat, meskipun tak sepenuhnya hilang. Mereka tahu bahwa perpisahan tak selalu berarti akhir, bahwa perjalanan mereka bersama hanyalah salah satu bagian dari sebuah cerita yang jauh lebih besar.

“Astris,” Liora berkata lagi, dengan suara yang semakin penuh ketenangan. “Aku bersyukur, aku punya kamu di langit ini. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi aku tahu satu hal. Kita sudah saling memberi cahaya, dan itu akan tetap ada, meskipun waktu terus berlalu.”

Astris tersenyum, cahayanya memancar lebih terang, seakan menyatu dengan cahaya Liora. “Dan kita akan terus memberi cahaya, Liora. Untuk langit ini, dan untuk satu sama lain. Janji itu tidak akan pernah pudar.”

Di sana, di tengah kegelapan yang dipenuhi dengan keindahan dan misteri, keduanya merasakan kekuatan yang tak terungkapkan dalam setiap kedipan cahaya. Tidak ada kata-kata yang lebih indah selain janji yang terucap dalam keheningan. Tidak ada perpisahan yang benar-benar terjadi di antara mereka. Hanya perjalanan yang berbeda arah, menuju tempat yang lebih luas, namun selalu kembali ke rumah yang sama.

Langit ini adalah rumah mereka. Tidak peduli seberapa jauh mereka terpisah. Tidak peduli waktu yang berjalan. Mereka tahu bahwa selama mereka ada, mereka akan selalu bersinar, bersama, tak terpisahkan oleh ruang atau waktu.

Dan dengan itu, mereka tetap bersama. Dalam setiap detik, dalam setiap kilatan cahaya. Karena bintang dan bulan, meskipun kadang tampak jauh, tetap ada untuk satu sama lain, selalu.

 

Dan begitu saja, bulan dan bintang membuktikan bahwa persahabatan sejati nggak butuh jarak dekat untuk tetap terasa. Mereka saling menyinari, saling menguatkan, meski semesta memisahkan arah mereka.

Janji mereka nggak pernah hilang, tetap hidup di setiap kerlip cahaya di langit malam. Jadi, lain kali kalau kamu lihat bintang dan bulan, ingatlah: mereka nggak cuma menghias langit, tapi juga mengajarkan kita tentang arti selalu ada, meski tak selalu bersama.

Leave a Reply