Jangan Biarkan Aku Pergi: Cerpen Cinta yang Terlalu Sakit untuk Dilepaskan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa udah cinta banget sama seseorang, tapi di sisi lain, tahu kalau hubungan itu udah nggak bisa dipertahankan lagi? Rasanya kayak diikat sama kenangan yang nggak bisa dilupakan, tapi juga harus melepaskan karena cinta itu malah bikin sakit.

Cerpen ini bakal bikin kamu ngerasa gimana kalau perasaan nggak bisa lagi dipaksakan, meski seberat apapun rasa itu bertahan. Jangan biarkan aku pergi, karena mungkin, kita cuma bisa melangkah maju setelah semua selesai.

 

Jangan Biarkan Aku Pergi

Hujan yang Menyatukan, Hati yang Memisahkan

Aku berdiri di tepi jendela kamar, memandangi hujan yang turun dengan deras. Setiap tetesnya seperti irama yang tak bisa dihentikan, mengalir ke tanah dan hilang begitu saja. Aku tidak tahu kenapa hujan selalu membuatku merasa kesepian, padahal banyak orang mengatakan hujan itu romantis. Mungkin karena hujan mengingatkanku pada saat pertama kali aku bertemu dengannya. Saat itu, hujan juga turun dengan sangat lebat.

Hari itu, langit seakan tahu kalau hidupku akan berubah. Aku tidak pernah membayangkan akan bertemu dengannya, Agus, di tengah hujan yang mengguyur deras. Waktu itu, aku hanya seorang gadis yang sedang berlari menuju shelter, melindungi diri dari hujan yang semakin deras. Namun, entah kenapa langkahku terhenti ketika aku melihatnya.

Agus sedang berdiri di bawah pohon besar di depan kafe kecil yang selalu aku lewati. Dia memegang buku di tangannya, seperti tidak peduli dengan hujan yang menggenang di sekitarnya. Matanya menatap kosong ke jalan yang basah. Aku tidak tahu apa yang menarik, tapi ada sesuatu dalam tatapan matanya yang membuatku mendekat.

“Aku rasa hujan ini bukan milikmu,” aku tiba-tiba berbicara, tanpa sengaja, hanya untuk mengusir rasa canggung yang aku sendiri tidak bisa jelaskan.

Agus menoleh. Senyumnya, meskipun terkesan sedikit bingung, membuat hatiku berdebar. “Maksud kamu?” katanya, suaranya dalam, penuh rasa ingin tahu.

Aku tersenyum tipis. “Sepertinya hujan ini lebih memilih orang-orang yang tidak peduli,” jawabku santai, meski hatiku berdetak lebih cepat dari biasanya. “Jadi, mungkin kamu harus segera pergi dari sini.”

Agus tertawa, pelan, tetapi cukup untuk membuatku merasa sedikit lebih nyaman. “Mungkin kamu benar,” katanya, menutup bukunya dan memandangku. “Tapi aku tidak pernah pergi hanya karena hujan.”

Aku merasa ada sesuatu yang berbeda di dalam dirinya, semacam ketenangan yang sulit aku pahami. Aku hanya bisa tersenyum, meskipun dalam hati ada banyak pertanyaan.

Hari-hari setelah pertemuan itu berjalan biasa saja. Hingga suatu malam, saat aku sedang berjalan sendirian pulang dari perpustakaan, aku bertemu Agus lagi. Kali ini, hujan sudah berhenti, tapi udara tetap terasa dingin. Agus berdiri di depan toko buku, memegang secangkir kopi.

“Aku sudah menunggu kamu,” katanya tanpa basa-basi, seperti sudah mengenalku lama. Aku terkejut, tapi tidak bisa menahan senyum. Aku tak tahu kenapa, tapi entah kenapa, aku merasa dia adalah seseorang yang bisa aku percayai.

“Dari mana kamu tahu aku lewat sini?” tanyaku, mencoba bersikap santai meski hati sudah mulai menggebu.

Agus hanya tersenyum. “Aku selalu tahu.” Dia menyerahkan secangkir kopi padaku. “Ini buat kamu.”

Aku mengambil kopi itu, terdiam beberapa detik, lalu berkata, “Kamu selalu tahu segalanya.”

Agus mengangkat bahunya. “Tidak juga. Tapi aku merasa, mungkin kamu butuh kopi hangat.”

Aku merasa nyaman berada di dekatnya. Ada sesuatu yang menenangkan, sesuatu yang membuat aku merasa seperti berada di rumah, meski aku tahu aku belum sepenuhnya mengenalnya. Tapi semakin aku dekat dengannya, semakin aku merasa ada sesuatu yang hilang dalam hidupku.

Hari-hari berlalu, dan semakin banyak waktu yang aku habiskan dengannya. Kami sering bertemu di tempat yang sama, duduk berdua, bicara tentang segala hal, dari yang ringan hingga yang berat. Ada banyak tawa, tapi juga banyak kesunyian. Setiap kali aku melihatnya, hatiku selalu merasa penuh. Tapi aku juga tahu, ada sesuatu yang tidak bisa aku raih.

Suatu malam, setelah makan malam bersama, kami berjalan menyusuri trotoar yang hampir kosong. Hujan sudah berhenti, tapi angin malam membuat udara terasa dingin. Agus berjalan di sampingku, diam, seperti sedang memikirkan sesuatu yang berat.

“Kenapa kamu diam?” aku bertanya, tidak bisa menahan rasa ingin tahu.

Dia menoleh ke arahku. “Aku hanya berpikir… tentang kita.”

Aku terdiam sejenak. “Apa maksud kamu?”

“Sepertinya aku mulai merasa…” Dia berhenti, menelan ludah, lalu melanjutkan, “Aku mulai merasa kalau kita ini seperti dua orang yang berjalan ke arah yang berbeda. Meskipun kita sering bersama, aku merasa ada jarak di antara kita.”

Aku menatapnya, tidak tahu harus berkata apa. Ada rasa takut yang tiba-tiba muncul dalam diriku. “Apa maksud kamu?”

Agus berhenti berjalan dan menatapku dalam-dalam. “Aku tidak tahu, Ariel. Tapi ada kalanya aku merasa aku tidak bisa memberi apa-apa lagi. Aku takut, kalau aku terus berada di sini, aku hanya akan membuatmu kecewa.”

Aku merasa hatiku terhimpit, seolah-olah ada batu besar yang diletakkan di dadaku. “Jangan katakan itu,” aku berbisik, hampir tidak terdengar. “Aku tidak bisa tanpa kamu, Agus.”

Dia hanya memandangku dengan tatapan yang penuh kesedihan. “Ariel, aku ingin kamu tahu, aku peduli padamu. Tapi terkadang, peduli saja tidak cukup.”

Aku ingin berkata sesuatu, tetapi lidahku terasa kelu. Aku hanya bisa menatapnya, mencoba mencari jawabannya dalam matanya. Namun, aku tahu, jawaban itu tidak akan datang.

Kita berdua terdiam di tengah jalan yang sepi, dengan hanya angin yang terdengar di sekitar kami. Aku ingin lari, ingin menghilang dari sana. Tapi aku tahu, aku tidak bisa. Aku tidak bisa meninggalkannya, meskipun aku tahu, aku hanya akan semakin terluka.

Dan di malam itu, aku sadar satu hal—aku terlalu mencintainya. Tetapi apakah cinta itu cukup untuk membuatnya tetap tinggal?

Sampai sekarang, aku masih tidak tahu jawabannya.

 

Ketika Janji Menjadi Rutinitas

Kehidupan berjalan seperti biasa, meskipun hatiku terasa seperti dihimpit sesuatu yang berat setiap kali aku memikirkan Agus. Kami tetap bertemu, tetap berbicara, dan seolah-olah tidak ada yang berubah. Tapi di dalam diriku, segala sesuatunya berubah. Aku merasa semakin banyak waktu yang aku habiskan dengannya, semakin banyak yang aku harapkan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa begitu berarti, tetapi aku tahu, di balik tatapannya yang penuh keraguan, ada jarak yang semakin lebar.

Kami mulai terbiasa dengan pertemuan-pertemuan singkat, seperti sebuah rutinitas yang tak pernah selesai. Setiap minggu, kami berbagi kopi di kafe kecil tempat pertama kali kami bertemu. Tak ada lagi percakapan berat tentang hidup atau masa depan, hanya obrolan ringan yang terasa semakin datar. Aku mulai merasa, kami terjebak dalam kebiasaan yang sama, seolah-olah semuanya berjalan tanpa tujuan yang jelas.

Namun, setiap kali aku melihat senyumnya, hatiku kembali berdebar. Aku tahu aku masih mencintainya, meskipun terkadang aku merasa seolah-olah itu tidak cukup. Aku ingin lebih—lebih dari sekadar pertemuan yang terjadwal, lebih dari sekadar janji yang diulang-ulang. Aku ingin melihat matanya, aku ingin tahu apa yang ada di dalam hatinya.

Suatu sore yang mendung, setelah kami menghabiskan waktu di kafe, Agus mengajakku berjalan ke taman kecil yang tidak jauh dari sana. Aku sedikit bingung, karena dia biasanya tidak pernah mengajakku ke tempat seperti itu. Tapi aku mengikuti saja. Di taman itu, kami duduk di bangku yang terletak di bawah pohon besar. Aku bisa merasakan aroma tanah basah setelah hujan, dan angin sepoi-sepoi yang menyentuh wajahku.

“Kenapa kita ke sini?” aku bertanya, mencoba membuka percakapan.

Agus terdiam sejenak sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke arahku. “Aku merasa kita perlu bicara.”

“Memang ada apa?” Aku bisa mendengar kegelisahan dalam suara Agus, dan itu membuatku semakin khawatir.

“Ini tentang kita,” jawabnya pelan. “Aku tahu kita sudah lama bersama, tapi rasanya seperti kita mulai hidup dalam rutinitas yang kosong. Aku merasa aku tidak bisa memberikan yang terbaik untukmu, Ariel.”

Kata-kata itu menusukku lebih dalam dari yang aku bayangkan. Aku sudah tahu, memang ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya, tapi mendengarnya secara langsung membuat dunia di sekitarku terasa berputar. “Apa maksud kamu? Bukankah kita sudah sepakat untuk… untuk mencoba bersama?” suaraku bergetar, meskipun aku berusaha tetap tenang.

Agus menarik napas panjang. “Aku mencoba, Ariel. Aku benar-benar mencoba. Tapi semakin aku bersama kamu, semakin aku merasa aku bukan orang yang bisa membuatmu bahagia. Aku tahu kamu berhak mendapatkan lebih.”

Aku merasa seperti seluruh tubuhku beku mendengar kata-kata itu. “Jadi, kamu mau pergi?” tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya.

Agus menundukkan kepalanya. “Aku tidak ingin pergi, Ariel. Aku hanya ingin kita berhenti berpura-pura.”

“Jadi kamu sudah memutuskan?” Aku bisa merasakan dadaku sesak, napasku semakin berat. Setiap kata yang keluar dari mulutnya seperti pisau yang menusuk dalam-dalam.

Agus menatapku dengan tatapan penuh penyesalan. “Aku… aku tidak tahu. Aku masih mencintaimu, Ariel, tapi aku juga tahu kalau aku terlalu banyak membuatmu kecewa. Dan aku… aku tidak ingin melukai kamu lagi.”

Aku terdiam. Keheningan yang mengalir begitu tebal, seperti jarak yang semakin melebar antara kami. Aku ingin berkata sesuatu, ingin meyakinkannya, tapi kata-kata itu tidak muncul. Aku merasa seolah-olah segala yang pernah kami bangun sekarang hancur begitu saja. Bagaimana bisa cinta yang seharusnya menguatkan justru menjadi sumber kesedihan?

“Jangan biarkan aku pergi, Agus,” akhirnya aku berkata, suaraku hampir tidak terdengar. “Aku… aku tidak bisa tanpa kamu. Aku sudah terlalu dalam merasa untuk kamu. Jadi, tolong jangan pergi.”

Agus menghela napas panjang. “Aku tidak ingin menyakiti kamu, Ariel. Aku tidak ingin terus membuat kamu menunggu sesuatu yang tidak pasti.”

Aku merasakan air mata mulai menggenang di mataku, meskipun aku berusaha keras untuk menahannya. “Jangan… Jangan katakan itu,” aku berbisik. “Aku ingin kita bersama. Aku ingin memperbaikinya.”

Agus meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut. “Aku juga ingin itu, Ariel. Tapi aku tahu, aku tidak bisa memberi kamu apa yang kamu butuhkan.”

Aku ingin berteriak, ingin memaksanya untuk tetap di sini, untuk tidak pergi. Tetapi aku tahu, jika aku memaksa, aku hanya akan semakin merusak apa yang sudah ada. Jadi, aku hanya bisa terdiam, menatapnya dengan penuh harap, meskipun aku tahu harapan itu mungkin sia-sia.

Kami duduk dalam keheningan yang memekakkan telinga, di bawah pohon besar yang sudah mulai kehilangan daunnya. Hujan mungkin sudah berhenti, tapi hatiku terasa seperti terjebak dalam badai yang tak kunjung reda.

“Aku tidak bisa hidup tanpamu, Agus,” kataku akhirnya, suara ku bergetar. “Tapi jika kamu merasa kamu harus pergi, aku tidak akan bisa menghentikanmu.”

Agus menatapku dalam-dalam, seolah-olah mencoba mencari jawaban di dalam mataku. Aku tahu, meskipun dia mencintaiku, ada keraguan yang terlalu besar di dalam hatinya. Kami berdua tahu, cinta saja tidak cukup untuk membuat semuanya berjalan dengan baik.

Tapi meskipun aku tahu itu, aku tetap tidak ingin melepaskannya. Aku tidak ingin dia pergi.

 

Ketika Waktu Memilih Diam

Hari-hari berlalu, namun suasana hatiku tetap sama. Setiap langkahku terasa begitu berat, dan meskipun aku mencoba berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, kenyataannya tidak pernah seperti itu. Ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang dulu penuh dengan cahaya, kini hanya sisa bayangan yang memudar perlahan.

Agus dan aku tidak berbicara banyak setelah pertemuan di taman itu. Ada jarak yang tak terucapkan, sebuah ruang kosong yang ada di antara kami, seakan waktu yang lalu tidak pernah ada. Kami hanya saling menatap dalam diam, berusaha mencari kata-kata yang sepertinya tak pernah ditemukan.

Terkadang aku merasa, perasaan itu terlalu kuat untuk dibuang begitu saja, dan mungkin itu alasan mengapa aku masih bertahan. Tapi di sisi lain, aku tahu aku tidak bisa memaksanya untuk tetap tinggal jika hatinya sudah tidak sepenuhnya ada. Aku ingin dia bahagia, bahkan jika itu berarti aku harus melepaskannya. Meskipun kenyataan itu terasa sangat sulit diterima.

Pagi itu, aku duduk di balkon apartemenku, menatap langit yang perlahan memutih. Ada rasa sepi yang begitu kental, sebuah kehampaan yang datang begitu mendalam. Teleponku berdering, dan aku tahu siapa yang menelepon. Agus. Hatiku berdebar, dan aku menatap layar itu lama sebelum akhirnya memutuskan untuk menjawab.

“Halo,” kataku dengan suara yang agak tercekat, meskipun aku berusaha tetap terdengar tenang.

“Ariel…” Suara Agus terdengar sedikit ragu, seakan-akan dia sedang mencari-cari kata-kata. “Aku ingin berbicara denganmu.”

Aku menunduk, jari-jariku mengusap perlahan permukaan meja yang ada di depanku. “Tentang apa?”

“Yang kemarin… tentang kita.” Suara Agus terdengar lebih dalam, seperti ada kelelahan yang mengalir di setiap kata-katanya. “Aku… aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan.”

Aku menutup mataku sejenak, mencoba meredakan kegelisahan yang membuncah. “Agus, jika kamu merasa kita tidak bisa lagi bersama, aku mengerti. Aku sudah mencoba untuk memahami itu.”

“Aku tahu… aku tahu.” Agus terdengar seperti menahan napas. “Tapi ada sesuatu yang aku rasakan, Ariel. Sesuatu yang aku tidak bisa abaikan begitu saja.”

Aku terdiam, menunggu dia melanjutkan kata-katanya.

“Aku tidak ingin menyakiti kamu lagi. Aku tidak ingin kamu menunggu seseorang yang tidak bisa memberikanmu apa yang kamu harapkan,” Agus melanjutkan, suaranya kali ini terdengar lebih rendah, seperti sebuah bisikan. “Tapi aku juga tahu, aku tidak bisa begitu saja pergi tanpa memberi penjelasan yang lebih jelas.”

Aku menggigit bibir, menahan air mata yang ingin jatuh. “Lalu apa yang kamu inginkan, Agus?”

“Aku… aku hanya ingin kita berhenti berlarut-larut seperti ini,” jawabnya. “Aku tidak bisa terus-terusan memberi harapan yang aku tahu tidak bisa aku penuhi.”

“Aku sudah mencintaimu terlalu dalam, Agus,” kataku, suaraku semakin gemetar. “Tapi jika kamu merasa ini harus berakhir, aku akan mencoba untuk menerima kenyataan itu.”

Agus terdiam. Aku bisa merasakan betapa beratnya percakapan ini baginya, seperti ada sesuatu yang mengikat kami berdua di tempat yang sama, tetapi dengan arah yang berbeda. “Ariel, aku… aku tidak ingin kamu merasa terluka lebih lagi. Tapi aku takut, kita hanya akan menyakiti diri sendiri jika terus berusaha bertahan.”

Aku menutup mata, mencoba menenangkan hatiku yang semakin meradang. “Aku hanya ingin kita bersama, Agus,” aku hampir berbisik. “Apa pun itu, aku hanya ingin kamu tetap ada di sini, di sampingku.”

“Aku tahu, Ariel. Aku tahu betapa besar perasaanmu. Dan aku juga merasa hal yang sama. Tapi aku juga tahu, kalau aku terus membuat kamu menunggu, itu hanya akan semakin menyakitkan.”

Aku tidak tahu harus bagaimana. Kata-kata itu seperti pisau yang mengiris setiap sudut hatiku. Aku ingin berbicara lebih banyak, ingin meyakinkannya, tetapi aku tahu, tidak ada kata-kata yang cukup untuk membuatnya berubah pikiran. Karena kadang, cinta saja tidak cukup.

“Jika ini memang jalan terbaik untuk kita, aku akan coba untuk menerimanya,” aku berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar. “Tapi tolong, jangan hilang begitu saja, Agus. Jangan pergi tanpa memberiku kesempatan untuk memperbaiki semuanya.”

“Ariel…” Agus terdengar sangat tersiksa. “Aku tidak tahu apa yang akan terjadi ke depannya, tapi aku tahu satu hal. Aku tidak akan pernah melupakanmu.”

Aku merasa dunia ini begitu sunyi. Semua kata-kata yang sudah terlontar seolah terhenti di udara, tidak bisa menjangkau satu sama lain. Aku ingin percaya bahwa akan ada perubahan, tapi kenyataannya adalah—aku tak tahu apa yang harus kulakukan lagi. Keputusan itu terasa semakin berat, dan aku hanya bisa menunggu, menunggu untuk tahu apakah ada harapan yang tersisa untuk kami berdua.

Tapi waktu tidak memberikan jawaban, hanya diam yang terasa begitu pekat.

 

Ketika Semua Harus Berakhir

Waktu berlalu begitu cepat, membawa serta segala rasa yang tertahan. Setiap harinya terasa semakin berat, seperti beban yang tidak bisa aku tanggung sendirian. Meskipun kami masih bertemu, masih berbicara, ada sesuatu yang hilang—sesuatu yang tidak bisa aku temukan lagi dalam setiap kata dan tatapan Agus. Kami seolah-olah berada di dua dunia yang berbeda, meskipun fisik kami tetap bersama.

Pada suatu sore, saat hujan turun dengan derasnya, aku duduk di ruang tamu apartemenku, memandang ke luar jendela. Air hujan membasahi kaca jendela, menciptakan bayangan samar yang bergerak perlahan. Hati ini semakin kesepian, semakin hampa, meskipun aku tahu Agus masih ada di sekitar. Kami berbicara, tapi tidak ada lagi percakapan yang berarti. Kami berdua hanya berusaha menyembunyikan ketidakpastian yang sudah lama menyusup di antara kami.

Teleponku berdering, dan nama Agus muncul di layar. Aku terdiam sejenak, berpikir apakah aku siap untuk menghadapi apa yang akan dia katakan. Aku mengangkat telepon itu dengan tangan yang sedikit gemetar.

“Halo,” kataku pelan.

“Ariel, kita perlu bicara,” suara Agus terdengar datar, namun penuh dengan penekanan. “Aku sudah berpikir panjang tentang ini.”

Aku menarik napas panjang, mencoba menenangkan diriku. “Tentang apa?”

“Aku tahu kita sudah berusaha, Ariel. Tapi sepertinya ini sudah tidak bisa lagi dilanjutkan,” Agus berkata, nada suaranya lebih rendah dari biasanya. “Aku tidak ingin terus melukai kamu dengan harapan yang kosong.”

Sebuah rasa sakit tajam menyentak di dadaku. Aku tidak ingin mendengarnya, tidak ingin menerima kenyataan ini, tapi aku tahu, kadang cinta memang tidak bisa dipaksakan. “Jadi… ini akhirnya harus berakhir?” tanyaku, suara ku terhenti di tenggorokan.

Agus terdiam sejenak, seolah-olah kata-kata itu juga terasa berat baginya. “Aku tidak ingin berpisah, Ariel, tapi aku juga tidak bisa terus berpura-pura. Kita sudah mencoba, dan aku tahu itu tidak cukup.”

Kata-kata itu begitu menusuk, lebih dalam dari yang pernah aku bayangkan. Aku ingin mengatakan sesuatu, ingin meyakinkannya bahwa aku masih berharap, bahwa aku masih ingin kami tetap bersama. Tapi aku tahu, jika aku terus memaksakan kehendak, aku hanya akan semakin menyakitinya—dan diriku sendiri.

“Aku… aku tidak bisa hidup dalam ketidakpastian ini, Agus,” aku berkata, suara ku hampir tenggelam dalam isakan. “Aku mencintaimu terlalu banyak untuk terus terjebak dalam kebingunganku sendiri. Jika ini memang jalan terbaik untuk kita, aku akan coba untuk menerima kenyataan itu.”

“Ariel,” suara Agus terdengar penuh penyesalan, seperti ada sesuatu yang tidak bisa dia katakan. “Aku minta maaf. Aku tidak ingin menyakiti kamu. Tapi aku tahu ini yang terbaik.”

Aku menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang di mataku. “Aku harap suatu hari nanti kita bisa melihat kembali dan merasa bahwa semuanya sudah ada pada tempatnya,” kataku, berusaha mengucapkan kata-kata itu meski hatiku hancur.

“Aku juga harap begitu, Ariel,” jawab Agus, dan ada rasa yang tidak bisa diungkapkan dalam suaranya. “Tapi sekarang, kita harus memberi ruang untuk diri kita sendiri.”

Akhirnya, percakapan itu berakhir. Aku duduk di sana, dengan perasaan yang begitu kosong, seolah dunia ini terhenti sejenak. Semua yang kami bangun, semua kenangan yang kami bagi, kini terhapus begitu saja oleh kenyataan yang tak bisa dihindari. Aku merasa seperti kehilangan bagian dari diriku, sesuatu yang sudah terlalu lama ada dan kini lenyap begitu saja.

Hari-hari berikutnya terasa begitu sunyi. Tanpa Agus, hidupku terasa hampa, dan aku mulai menyadari betapa banyak waktu yang sudah terbuang hanya untuk menunggu. Menunggu sesuatu yang tidak pasti. Menunggu seseorang yang akhirnya memilih untuk pergi.

Aku tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Cinta tidak selalu berjalan seperti yang kita inginkan. Kadang, kita harus melepaskan untuk bisa menemukan kedamaian, meskipun itu terasa sangat menyakitkan. Aku mulai belajar, bahwa terkadang perpisahan adalah hal yang tak terhindarkan, meskipun itu melukai hati.

Aku masih mencintainya, dan mungkin aku akan selalu mencintainya, tetapi aku tahu, cinta yang terus-menerus menyakiti tidak akan pernah bisa menjadi alasan untuk terus bertahan. Aku harus melepaskan, agar aku bisa menemukan kedamaian dalam diriku sendiri.

Di luar sana, hujan mulai reda. Langit yang tadinya kelabu perlahan mulai cerah kembali, meskipun hatiku masih diliputi awan mendung yang tak kunjung berlalu. Tapi aku tahu, hidup harus terus berjalan. Dan suatu hari nanti, aku akan menemukan cahaya baru, meskipun mungkin bukan dari seseorang yang sama.

Kadang, waktu yang menyembuhkan segala luka, bahkan jika itu harus memakan banyak sekali kenangan.

 

Jadi, kadang kita harus belajar melepaskan, meski itu nggak mudah. Cinta memang bisa jadi hal yang paling indah, tapi juga bisa jadi penyebab luka yang mendalam.

Mungkin, kita harus biarkan semuanya berakhir supaya kita bisa belajar untuk tumbuh dan menemukan kebahagiaan yang lebih baik di masa depan. Karena meskipun sakit, hidup harus tetap berjalan, dan siapa tahu, di ujung perjalanan ada sesuatu yang lebih indah menunggu.

Leave a Reply