Cerpen Jangan Bangunkan Aku Hari Ini: Kisah Kehampaan dan Harapan di Tengah Kegelapan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasain hari-hari yang terasa begitu berat, kayak semuanya salah, tapi nggak tahu kenapa? Pagi yang nggak pernah dimulai dengan baik, mimpi yang malah bikin tambah bingung, dan perasaan yang selalu kosong. Kalau kamu pernah, mungkin kamu bakal paham banget sama apa yang dialami Iqbal.

Dia cuma pengen satu hal: Jangan bangunin aku hari ini. Karena setiap kali dia bangun, seolah dunia makin jauh, dan setiap detik yang dia lewati cuma nambah beban yang nggak kelihatan. Mungkin, nggak ada yang bisa bantu… atau mungkin ada. Tapi untuk saat ini, dia cuma pengen tetap di tempat yang aman, di dalam mimpi, jauh dari semua kenyataan yang menyakitkan.

 

Cerpen Jangan Bangunkan Aku Hari Ini

Pagi yang Tak Pernah Tiba

Pagi ini, seperti pagi-pagi sebelumnya, tak ada yang berbeda. Iqbal terbangun dengan tubuh terasa lebih berat dari biasanya. Jam alarm yang berdering keras di meja samping tempat tidurnya tak memberi efek apapun. Bahkan, suara itu terasa jauh, seperti datang dari tempat yang sangat jauh, tak berhubungan dengan tubuhnya yang terbaring lesu.

Langit di luar masih abu-abu, dengan cahaya matahari yang terhalang awan gelap. Ia menatap langit-langit kamar dengan tatapan kosong. Rasanya, waktu sudah berhenti. Setiap detik yang berlalu hanya menambah beban di pundaknya, seakan dunia tak pernah berhenti memberi tekanan.

Saat itu, Iqbal merasa ingin tidur lagi. Tidur selamanya. Tidur jauh dari segala masalah, dari hari yang penuh dengan harapan palsu yang selalu datang, hanya untuk ditinggalkan begitu saja. Tidur adalah tempat yang paling nyaman, satu-satunya tempat di mana ia merasa bisa sedikit melarikan diri dari kenyataan.

Namun, tubuhnya enggan bergerak. Ia mengerang pelan, mencoba untuk menendang selimut yang menutupi tubuhnya. Tapi, rasanya sulit. Setiap gerakan terasa begitu berat, seolah ada sesuatu yang menahannya, menariknya kembali ke tempat tidur. Tidak ada yang ingin keluar dari tempat yang begitu nyaman. Bahkan, matanya yang terpejam seolah menolak untuk terbuka.

“Ayo, Iqbal. Jangan lama-lama,” bisik suara di dalam dirinya, mencoba untuk meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini adalah hari yang baru, bahwa ini adalah kesempatan untuk bangkit lagi. Tetapi, suaranya sendiri terdengar seperti kebohongan. Semakin keras ia meyakinkan dirinya, semakin besar rasa lelah yang ia rasakan.

Dengan setengah hati, Iqbal akhirnya bangun dari tempat tidurnya. Ia menggantungkan kakinya di tepi kasur, merasakan lantai yang dingin menyentuh telapak kakinya. Ia menarik napas panjang, berusaha mengumpulkan energi yang hampir habis. Langkah pertama menuju dapur terasa begitu berat, langkah demi langkah semakin melambat. Semuanya terasa seperti sebuah ritual yang harus dijalani tanpa pilihan lain.

Dapur yang sepi menyambutnya. Hanya ada beberapa lembar roti di meja makan dan sebotol air yang hampir habis. Tak ada yang ingin dimakan, tak ada yang ingin diminum. Iqbal hanya duduk di sana, menatap makanan yang tidak menggugah selera. Pikirannya kosong, dan perasaan hampa semakin menyelimutinya.

Pagi ini terasa seperti rutinitas tanpa akhir. Ia ingin tidur lagi, bersembunyi dari dunia yang tak pernah menunjukkan kebaikan. Tetapi saat matanya tertutup, bayangan wajah-wajah yang dulu ia kenal muncul. Wajah ibu, ayah, teman-teman lama yang selalu menantangnya untuk bangkit. Semua itu datang dalam mimpi, dan kini, semuanya terasa jauh.

“Apa yang kamu lakukan, Iqbal?” suara itu kembali, lebih keras kali ini. Ia tahu suara itu berasal dari Rizky, teman yang tak pernah menyerah untuk menghubunginya. Ia memejamkan mata, mencoba untuk menghindari kenyataan, mencoba untuk menghindari Rizky yang selalu muncul dengan pertanyaan yang sama.

“Iqbal, kamu butuh bantuan. Jangan terus-menerus menghindar,” kata Rizky dengan nada yang penuh keprihatinan. Iqbal tahu apa yang akan dia katakan. “Kamu bisa melewati ini. Kamu punya kesempatan.”

Tetapi, baginya, semua itu terasa seperti angin yang lewat tanpa meninggalkan jejak. Kata-kata itu tidak bisa mengubah apapun. Tidak bisa mengubah rasa lelah yang telah lama menguasai dirinya. Semua nasihat itu terdengar kosong. Ia sudah terlalu lama merasakan kesakitan yang mendalam, yang tak bisa disembuhkan dengan kata-kata.

Iqbal berdiri dan melangkah ke luar rumah, mencoba untuk mengalihkan pikirannya. Di luar, suara kendaraan yang riuh menyapa telinganya. Orang-orang berlalu-lalang tanpa memperhatikannya. Seperti biasa, dunia terus berjalan tanpa peduli. Ia bukan siapa-siapa di tengah keramaian ini. Bahkan, kehadirannya tak berarti bagi siapa pun.

Ketika matanya melihat seseorang yang berjalan mendekat, ia mengenali sosok itu. Rizky. Dia selalu ada di sana, mencoba untuk menariknya keluar dari pusaran kegelapan. Tetapi hari ini, Iqbal merasa tidak punya kekuatan untuk berbicara.

Rizky berhenti di depannya. “Iqbal,” katanya dengan suara yang lebih lembut kali ini. “Aku tahu kamu merasa sangat berat, tapi kamu harus bangkit. Aku di sini, bro. Kamu tidak sendirian.”

Iqbal hanya mengangguk lemah, tapi tak berkata apa-apa. Ia merasa seperti boneka yang dipaksa untuk bergerak, dipaksa untuk menjalani hidup yang tidak pernah ia pilih.

“Aku… aku nggak bisa, Rizky,” jawab Iqbal akhirnya, suaranya serak. “Aku sudah terlalu lelah. Tidak ada lagi yang bisa membuatku bangkit.”

Rizky terlihat terkejut, tapi hanya bisa menatap Iqbal dengan penuh keprihatinan. Ia tahu bahwa kata-kata tidak akan bisa mengubah keadaan. Namun, ia tetap berusaha untuk memberi semangat, meski tahu Iqbal sedang terjebak dalam kesendirian yang begitu dalam.

Iqbal melangkah pergi, tanpa sepatah kata pun. Ia tidak ingin lagi mendengar kata-kata yang baik darinya. Hari ini, seperti hari-hari lainnya, tidak ada yang bisa mengubah perasaannya. Dunia ini terlalu keras, dan ia merasa terlalu rapuh untuk menghadapinya.

Sesampainya di rumah, Iqbal kembali ke kamarnya dan terbaring di tempat tidur, menarik selimut hingga menutupi wajahnya. Ia ingin tidur lagi, jauh dari semua yang mengganggu pikirannya. Tidur adalah satu-satunya tempat di mana ia merasa aman, tempat di mana ia bisa mengabaikan dunia sejenak.

Namun, meskipun matanya terpejam, suara-suara dari luar terus mengganggu. Ia tidak bisa menghindar, bahkan dalam tidurnya sendiri. Iqbal hanya bisa berbaring, menunggu waktu berlalu, berharap untuk bisa menemukan sedikit kedamaian.

 

Di Antara Tidur dan Kehidupan

Hari itu, cuaca tetap tak berubah—abunya meresap hingga ke dalam jiwa. Iqbal merasa seperti sebuah potongan puzzle yang hilang, terperangkap di suatu tempat antara tidur dan kehidupan. Ia merasa terbangun, tapi tubuhnya masih berbaring di tempat yang sama. Seakan dunia memaksanya untuk tetap tinggal dalam ruang gelap yang tak pernah benar-benar terang.

Langkah-langkahnya berat. Bahkan untuk mengambil napas pun terasa susah. Namun, apa yang bisa ia lakukan selain menjalani hari yang kembali sama? Tidur adalah pelarian yang mudah, tetapi kenyataan terus mengejarnya, memaksanya untuk bangkit dan menghadapi semuanya.

Kehidupan sepertinya berputar di sekitar dirinya tanpa memberi ruang untuk beristirahat. Setiap hari, Iqbal terjaga dan merasa seperti orang yang terperangkap dalam mimpi buruk yang tak kunjung berakhir. Entah sudah berapa lama ia merasa seperti ini—terus-menerus terjaga namun tetap merasa seolah-olah masih terlelap.

Ia duduk di kursi makan, mata kosong memandang piring yang sudah setengah kosong, tanpa nafsu untuk menghabisinya. Ia mengingat kata-kata Rizky tadi pagi—“Kamu tidak sendirian.” Kalimat itu kembali berputar di kepalanya, tapi kali ini ia merasa lebih jauh dari kenyataan. Mengingatnya seperti membangunkan rasa sakit yang sempat terkubur sejenak.

Namun, saat itu, matanya menangkap sebuah pesan di ponselnya. Itu dari Ibu. “Iqbal, jangan lupa makan siang. Kami akan ke rumah nenek nanti sore.”

Iqbal menatap pesan itu tanpa rasa. Ia tahu bahwa meskipun ada usaha untuk mengingatkan, tak ada yang bisa mengubah keadaan. Ibu selalu mengirim pesan seperti itu, dengan harapan ada sedikit perubahan. Tapi, kenyataannya tidak pernah berubah. Segala usaha yang dilakukan untuk menariknya keluar dari kegelapan tampaknya sia-sia. Ia merasa seperti sebuah beban bagi orang-orang di sekitarnya. Mereka yang peduli, mereka yang terus berusaha, bahkan mereka yang selalu memberi kata-kata penuh harapan.

“Apa yang mereka harapkan dariku?” pikirnya. “Aku bukan siapa-siapa lagi.”

Tapi meskipun hatinya terasa penuh dengan kebisuan, ponselnya bergetar lagi. Kali ini, bukan dari Ibu. Itu dari Rizky.

“Bro, gimana? Jangan menutup diri, ya. Aku akan ke sana malam ini. Kita ngobrol.”

Iqbal menatap pesan itu lama sekali, hampir tidak mempercayai apa yang dibacanya. Rizky, teman yang selalu hadir, yang tak pernah berhenti berusaha, ingin datang malam ini.

Tapi perasaan yang muncul bukanlah rasa rindu atau keinginan untuk bertemu. Ia merasa terpojok, terpenjara dalam situasi yang tak ingin ia hadapi. Ketika semua orang menganggapnya bisa bangkit, ia justru merasa semakin terbenam. Apa yang mereka inginkan darinya? Mengapa mereka tidak melihat betapa ia telah kehabisan energi?

Lalu, muncul lagi suara itu—suara yang selalu hadir saat ia sedang terperangkap dalam kebingungannya. Suara itu berasal dari dalam dirinya sendiri, suara yang berkata dengan pelan, namun penuh dengan kepedihan.

“Bangunlah, Iqbal. Jangan biarkan ini mengalahkanmu.”

Tetapi ia hanya mengabaikannya. Sudah terlalu lama ia mendengarkan suara itu, dan setiap kali, ia merasa seperti berada di tempat yang lebih gelap. Tidur adalah satu-satunya cara untuk melarikan diri, dan ia ingin kembali ke sana. Ia ingin kembali bersembunyi di balik bayangan yang ia ciptakan untuk dirinya sendiri.

Di luar jendela, suara riuh kehidupan yang berjalan terus memanggil. Iqbal tahu, ia harus pergi—ke dunia yang terus berputar, tempat orang-orang bergerak maju. Tetapi tubuhnya terasa begitu berat, seakan ia tertanam dalam tanah. Hari ini, ia merasa lebih lelah dari sebelumnya.

Dengan langkah tak bersemangat, ia berdiri dan melangkah keluar rumah. Langkah-langkahnya terasa seperti berjalan di dalam kabut tebal, di mana ia hanya mengikuti jejak tanpa tahu tujuan. Jalanan di luar terlihat sepi, dengan kendaraan yang berlalu-lalang di kejauhan. Tak ada wajah yang dikenalnya. Tak ada seseorang yang peduli.

Namun, di tengah jalan yang sepi, langkahnya terhenti ketika ia melihat seseorang. Itu adalah seorang wanita, berjalan sendirian, dengan tatapan kosong yang mengingatkannya pada dirinya sendiri. Wanita itu membawa tas hitam kecil yang terlihat lusuh, dengan rambut yang acak-acakan, seolah-olah baru saja keluar dari mimpi yang buruk.

Iqbal menatapnya lebih lama, rasa penasaran mengusik hatinya. Apakah dia merasa seperti dirinya? Apakah dia juga terjebak dalam dunia yang tak pernah memberi ruang untuk bernafas?

Wanita itu melihatnya, dan untuk sesaat, mata mereka bertemu. Tidak ada kata-kata, hanya tatapan yang penuh dengan keheningan, penuh dengan kesedihan yang tak terucapkan. Iqbal bisa merasakannya, meski hanya dalam sekejap.

Namun, wanita itu hanya melanjutkan langkahnya, tanpa berkata apa-apa. Dan Iqbal, yang merasa sedikit terhubung, kembali melanjutkan perjalanan tanpa tujuan. Ia tak tahu apakah ia akan bertemu lagi dengan wanita itu. Tetapi ada sesuatu dalam tatapan mereka yang membuatnya merasa sedikit lebih mengerti, sedikit lebih menerima rasa kesendirian ini.

Malam pun tiba, dan ponsel Iqbal bergetar lagi. Rizky mengirim pesan.

“Bro, aku akan datang malam ini. Jangan tidur lebih awal.”

Iqbal menatap pesan itu, kemudian meletakkan ponselnya di meja. Suara itu kembali berbisik di dalam dirinya, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Untuk pertama kalinya, ia merasa seperti sebuah pilihan—apakah ia akan tetap tidur atau menghadapi kenyataan yang begitu menyakitkan?

Tetapi, untuk saat ini, Iqbal tahu satu hal dengan pasti. Ia tidak akan bisa tidur lama. Hari-hari yang penuh kebingungan ini sudah terlalu lama membelenggunya, dan mungkin, hanya dengan membuka mata untuk menghadapi dunia sekali lagi, ia bisa menemukan sedikit harapan.

 

Bayangan yang Tak Pernah Pergi

Malam itu terasa lebih berat daripada biasanya. Iqbal duduk di sudut kamarnya, menatap layar ponselnya yang sudah mati. Pesan dari Rizky yang datang beberapa jam sebelumnya tak lagi terasa seperti pesan dari seorang teman. Itu hanya sebuah pengingat—bahwa dunia masih terus berjalan meskipun ia merasa terjebak dalam kehampaan.

Dia menatap langit malam lewat jendela yang terbuka sedikit. Angin malam yang dingin berhembus masuk, membawa suara-suara sepi dari luar. Jalanan yang terlihat kosong, lampu-lampu jalan yang berkelap-kelip, dan bayangan dirinya yang tercermin di kaca jendela membuatnya merasa semakin kecil. Entah sudah berapa lama ia merasa seperti ini—seperti sebuah bayangan yang tak bisa keluar dari kegelapan.

Iqbal merasa seolah waktu itu tidak berlaku baginya. Dia terjebak dalam ruang tanpa waktu, tanpa arah. Seiring dengan berjalannya malam, tubuhnya semakin lelah, namun pikirannya tetap terjaga, berputar-putar dalam kekosongan yang tak terhingga.

Dia menoleh ke arah pintu kamarnya yang terbuka, suara langkah kaki dari lantai bawah terdengar samar-samar. Ibu dan ayah sudah kembali dari rumah nenek. Mungkin mereka sedang berbicara, tapi Iqbal tak bisa mendengar percakapan mereka dengan jelas. Semuanya terasa kabur, seperti ada tirai yang membatasi dunia dengan dirinya. Ia tahu mereka khawatir, tetapi apa yang bisa mereka lakukan? Apa yang bisa mereka berikan padanya selain kata-kata kosong yang tidak lagi berarti?

Suara pintu terbuka menandakan kehadiran seseorang. Ibu masuk ke dalam kamar, berdiri di depan Iqbal dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ibu sudah mulai menua, rambutnya yang semula hitam mulai diselipkan uban di sana-sini. Wajahnya selalu penuh dengan perhatian, tapi Iqbal merasa itu semakin jauh darinya. Dia merasa tak pantas mendapat perhatian itu lagi.

“Iqbal, kenapa kamu nggak ikut makan malam?” Ibu bertanya dengan suara lembut. “Kamu makan apa tadi?”

Iqbal hanya terdiam, matanya tetap tertuju pada ponselnya yang masih mati. Semua pertanyaan itu terasa begitu jauh. Ia ingin menjawab, tapi kata-kata terasa begitu berat, seperti bebannya terlalu besar untuk dikeluarkan. Sebuah keheningan mengisi ruangan, dan ibu hanya berdiri di sana, menunggu sesuatu yang tak pernah datang.

Setelah beberapa detik yang terasa seperti berjam-jam, Iqbal mengangkat wajahnya, menatap ibu dengan mata yang kosong. “Aku nggak lapar, Bu.”

Ibu menghela napas panjang, seolah mencoba menelan rasa sakit yang datang begitu mendalam. “Iqbal, kamu harus makan. Kamu harus bangun, bertindak. Jangan terus-menerus seperti ini.”

Kata-kata itu, meskipun penuh dengan kasih sayang, terasa seperti pisau yang menancap dalam. “Aku nggak bisa, Bu. Aku nggak bisa… apa yang kalian harapkan dari aku? Aku udah nggak tahu lagi harus gimana.”

Ibu mendekat, duduk di samping Iqbal, lalu menatapnya dengan tatapan penuh keprihatinan. “Kita semua cuma ingin kamu bahagia, Iqbal. Aku tahu ini berat, tapi kamu harus mencoba. Jangan terus-terusan lari dari masalah.”

Iqbal menunduk, matanya basah, tetapi air mata itu tidak jatuh. Ia ingin menangis, ingin melepaskan semua beban yang terasa begitu berat, tetapi ia merasa seperti sesuatu yang tak bisa ditangisikan. Ia ingin berteriak, tetapi suaranya tak keluar. Semua yang ada di dalam dirinya seperti terjebak di dalam tubuhnya sendiri.

“Ibu, aku… nggak tahu harus mulai dari mana. Semua hal yang dulu aku cintai, yang dulu aku impikan, semuanya hilang. Aku merasa seperti aku nggak ada di sini. Aku cuma… bayangan. Semua orang, semua yang ada di sekitar aku… mereka semua punya tujuan. Tapi aku?” Iqbal memandang kosong ke luar jendela, melihat refleksi dirinya yang terbalut dalam bayangan malam. “Aku nggak tahu siapa aku lagi.”

Ibu hanya diam, seakan kata-kata Iqbal mengiris hatinya. Namun, ia tahu, ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dalam semalam. Ibu meraih tangan Iqbal, menggenggamnya dengan lembut, mencoba memberi rasa aman yang tak bisa lagi ia berikan dengan kata-kata.

“Percayalah, Iqbal. Walau kamu merasa hilang, kamu masih punya kita. Kita akan menemanimu, meski kamu merasa semuanya sudah berakhir.” Ibu menundukkan kepala, mencoba menahan air mata yang sudah tidak bisa ia tahan lagi. “Jangan biarkan dirimu tenggelam lebih dalam.”

Tetapi kata-kata itu terasa seakan tidak cukup. Iqbal hanya terdiam, dan meskipun ada kehangatan yang datang dari sentuhan ibu, rasanya itu tak cukup untuk menghapus kegelapan yang ada dalam dirinya. Ia merasa seolah dunia terus berputar, sementara dirinya tertinggal jauh di belakang, tak tahu arah mana yang harus diambil.

“Ibu…” Iqbal akhirnya memutuskan untuk berkata, namun kata-katanya hilang begitu saja. Tidak ada yang bisa ia katakan untuk menjelaskan perasaannya. Hanya ada kesunyian yang memenuhi ruang antara mereka.

“Ibu, aku takut,” katanya, suara hampir tak terdengar. “Aku takut aku nggak akan bisa keluar dari ini. Takut kalau aku terus terjebak seperti ini. Aku nggak bisa tidur, aku nggak bisa bangun, dan aku nggak bisa apa-apa.”

Ibu menatapnya dengan tatapan penuh kasih, tetapi seolah ia tahu, ada yang lebih besar dari ini yang Iqbal hadapi. Ada sesuatu yang jauh lebih dalam daripada rasa takut yang bisa ia jelaskan. Dan meskipun Ibu berusaha memberi dukungan, Iqbal tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa membebaskannya dari rasa itu.

Malam semakin larut, dan setelah beberapa lama, Ibu akhirnya bangkit dan mencium kening Iqbal. “Aku akan di luar, kalau kamu butuh aku.”

Iqbal mengangguk pelan, menunggu ibu keluar dari kamarnya. Saat pintu tertutup, ia merasa semakin terisolasi, semakin terperangkap dalam dirinya sendiri. Tidur seakan-akan menjadi pilihan yang terakhir—pelarian yang paling mudah, meskipun ia tahu itu tidak akan menyelesaikan apapun. Tetapi untuk saat ini, tidur adalah satu-satunya hal yang memberinya kedamaian sejenak.

Namun, saat matanya terpejam, perasaan yang lebih berat datang menyerangnya. Tidur adalah tempat yang ingin ia hindari, karena setiap kali ia tidur, ia merasa semakin jauh dari kenyataan. Seakan mimpi yang datang hanya memperburuk keadaan, memperdalam rasa sakit yang ia rasakan.

Di luar sana, dunia terus berputar, namun bagi Iqbal, semuanya seakan terhenti.

 

Hati yang Tak Pernah Tahu Cara Pulih

Pagi itu, Iqbal terbangun dengan tubuh yang terasa berat, seolah setiap inci dirinya dipenuhi dengan pasir yang menekan. Matahari yang menyelinap masuk lewat celah tirai hanya menambah rasa lelahnya. Setiap pagi adalah perjuangan untuk menghadapinya, namun tidak ada lagi cara untuk mundur. Tidur yang seharusnya menjadi pelarian justru membawanya kembali ke dalam mimpi buruk yang berulang, mimpi yang sama yang terus menghantui setiap malamnya.

Dia duduk di tepi tempat tidur, tangan meremas sprei yang sudah kusut. Di luar kamar, suara-suara rumah terdengar samar, ibu yang sedang menyiapkan sarapan, suara televisi yang menyala dari ruang tengah, dan sesekali terdengar langkah kaki kakaknya yang sibuk beraktivitas. Namun, semuanya terasa jauh. Seolah dunia ini bergerak dengan kecepatan yang berbeda, jauh lebih cepat daripada dirinya yang terperangkap dalam kekosongan waktu.

Iqbal menghela napas, merasakan perasaan yang lebih berat daripada kemarin. Setiap hari yang ia jalani hanya menambah beban yang tak tampak, seakan semuanya semakin menenggelamkannya. Walaupun ada keluarga yang peduli, teman yang mencoba hadir, ia merasa kesepian. Tidak ada yang bisa mengerti apa yang ia rasakan—betapa dalamnya perasaan itu, betapa beratnya rasa kosong yang membelenggunya.

Dia melangkah ke luar kamar dengan langkah yang lemas, tubuhnya seakan berjalan otomatis. Saat sampai di ruang makan, ibu menyapanya dengan senyum yang sudah terlalu familiar, senyum yang mencoba menutupi kekhawatiran. Namun, Iqbal hanya mengangguk pelan, duduk di kursi yang sudah disiapkan. Makanan terhidang di hadapannya, namun ia tak merasa nafsu makan sedikit pun. Semua terasa hambar, kosong, dan ia hanya bisa menatap piring di depannya tanpa merasa ada urgensi untuk makan.

“Iqbal, kamu harus makan. Kamu nggak bisa terus begini,” ibu berkata lembut, duduk di hadapannya dengan wajah yang penuh harapan. Tapi bagi Iqbal, harapan itu seperti bayangan yang hilang seiring waktu.

“Ibu…” Iqbal berkata pelan, suaranya hampir tenggelam dalam keheningan. “Aku nggak bisa. Aku nggak bisa ngerasain apa-apa lagi. Semua yang dulu aku cintai, semua yang dulu aku perjuangin, sekarang nggak berarti apa-apa. Semua cuma… kosong.”

Ibu terdiam, dan dalam diam itu, Iqbal tahu bahwa kata-kata ini hanya akan menyakitkan, hanya akan membuat Ibu semakin khawatir. Namun, tidak ada lagi yang bisa ia lakukan. Semua yang ada di dalam dirinya hanya kehampaan yang tak bisa dijelaskan. Ia merasa seperti terperangkap dalam dunia yang tidak ia kenal, seperti seorang asing di dalam kehidupannya sendiri.

Iqbal meletakkan sendoknya di piring, menatap ibu dengan tatapan kosong. “Aku… capek, Bu. Capek banget. Aku nggak tahu harus gimana lagi. Aku udah nggak bisa keluar dari ini.”

Air mata ibu menetes, perlahan, tetapi cukup untuk membuat suasana semakin berat. Ibu meraih tangan Iqbal, menggenggamnya dengan lembut, mencoba memberi ketenangan yang tak bisa ia temukan. “Iqbal, kamu nggak sendiri. Kamu nggak akan pernah sendiri. Aku di sini, ayah di sini, kita semua ada untuk kamu.”

Namun, meskipun ada cinta yang mengalir dari sentuhan ibu, Iqbal merasa itu tidak cukup. Cinta itu terasa seperti angin, datang, tapi tak pernah bisa menyentuh inti hatinya. Ibu tidak tahu seberapa dalam rasa sakitnya, seberapa besar kehampaan yang ia rasakan setiap hari.

Hari berlalu, dan meskipun dunia di sekitar Iqbal terus berjalan, ia tetap berada di tempat yang sama. Wajah-wajah yang datang dan pergi, suara-suara yang terdengar, semuanya terasa seperti terpisah dari dirinya. Bahkan saat dia berusaha untuk mendengarkan, dia merasa seolah berada di luar dunia ini, menonton semuanya dari jauh.

Saat malam tiba, ia merasa sedikit lebih lelah dari biasanya. Tapi kali ini, sesuatu berbeda. Ada perasaan aneh yang mulai merayap masuk ke dalam dirinya—perasaan yang tidak bisa ia singkirkan. Mungkin rasa ini adalah pertanda bahwa ia tidak akan selamanya terjebak dalam kegelapan, meskipun jalan keluar itu masih sangat jauh.

Iqbal duduk di tepi tempat tidur, menatap langit malam yang kelam. Sesekali, cahaya bintang yang samar menyelinap melalui celah tirai. Entah kenapa, ia merasa sedikit lebih tenang malam ini. Mungkin, hanya mungkin, kegelapan yang ia rasakan selama ini tidak akan selamanya menguasainya. Mungkin ia bisa menemukan sebuah celah kecil di dalam dirinya untuk mulai menghadapinya, sedikit demi sedikit.

Meskipun ia merasa kelelahan yang tak terkatakan, meskipun ia masih tidak tahu arah mana yang harus diambil, ada sebuah harapan kecil yang muncul. Harapan itu tidak besar, tidak cerah, tetapi cukup untuk memberinya kekuatan untuk bangun lagi keesokan harinya. Untuk mencoba melangkah lebih jauh, meski langkahnya terasa berat dan lambat.

Iqbal menatap bintang di langit, merasa sedikit lebih lega. Seperti ada sesuatu yang mengingatkan dirinya, bahwa meskipun hari-hari terasa buruk, meskipun ia merasa tak ada lagi jalan keluar, hidup masih memberi kesempatan untuk mencoba sekali lagi. Karena terkadang, meskipun kita merasa sangat kehilangan, kita masih bisa menemukan secercah cahaya yang memberi kita harapan.

Dan dengan itu, Iqbal menutup matanya, membiarkan tidur datang pelan-pelan, berharap bahwa keesokan harinya akan membawa sedikit lebih banyak kedamaian.

 

Kadang, harapan datang dalam bentuk yang paling sederhana—sebuah langkah kecil yang penuh keraguan. Iqbal mungkin belum sepenuhnya keluar dari bayang-bayang kekosongan yang menelannya, tapi setidaknya malam ini dia bisa tidur dengan sedikit ketenangan, meski hanya sebentar.

Karena meskipun dunia terasa begitu berat, kadang ada sedikit cahaya yang bisa bikin kita bertahan, meski nggak tahu apakah itu cukup untuk membawa kita keluar dari kegelapan. Tapi siapa tahu, kan? Mungkin esok, semuanya bisa sedikit lebih baik.

Leave a Reply