Daftar Isi
Tasikmalaya, siapa sih yang nggak pengen mampir ke kota ini? Tempat yang penuh kejutan, dari keindahan alam sampai vibes yang tenang. Kalau kamu suka jalan-jalan, pasti bakal seneng banget sama cerita kali ini.
Bayangin aja, perjalanan seru yang dimulai dari jalanan kecil di kampung, terus berlanjut ke danau yang luas, dan ditutup dengan senja yang nggak ada duanya. Penasaran kan gimana serunya? Yuk, simak ceritanya, dan siap-siap ikut kebawa suasana!
Kenangan Tak Terlupakan
Nasi Tutug Oncom dan Senyuman Penuh Rasa
Kereta Argo Wilis melaju pelan meninggalkan Stasiun Bandung, dan pemandangan di luar jendela berubah menjadi hamparan hijau sawah yang terhampar luas. Di sisi aku, Ayana asyik menatap layar ponselnya, memindai foto-foto yang baru saja dia ambil di Stasiun.
Aku menghela napas, terbangun dari lamunan dan mengalihkan pandangan ke luar jendela. Tasikmalaya. Kota itu selalu terasa begitu jauh dari kehidupan sehari-hari, entah kenapa. Mungkin karena aku selalu membayangkan jalanan kota yang ramai, tapi sesekali memancarkan ketenangan. Sebuah kontras yang tak bisa dijelaskan.
Ayana menoleh ke arahku, matanya berkilat dengan semangat yang sudah tak bisa dibendung. “Kamu siap, Ka?” katanya dengan suara ceria.
“Siap buat apa?” jawabku tanpa mengalihkan pandangan dari jendela, meski aku sudah tahu apa yang dia maksud.
“Jalan-jalan! Lihat aja nanti, kita bakal makan enak, foto-foto di tempat seru, terus cari tempat yang penuh sejarah!”
Aku hanya tersenyum dan mengangguk, meskipun aku tahu, dia yang bakal jadi pemandu perjalanan ini. Sejak kuliah, Ayana memang seperti itu—selalu tahu tempat-tempat unik yang sering kali aku bahkan belum pernah dengar.
Tidak lama setelah kereta mulai melaju, Ayana membuka tas punggungnya dan mengeluarkan beberapa kertas berisi daftar tempat yang akan kami kunjungi. “Kamu nggak akan nyesel, Ka. Ini Tasik, kota yang nggak cuma enak buat makan, tapi juga buat relaksasi!”
Aku mengangkat alis, sedikit curiga dengan kata-katanya. “Relaksasi? Apa yang bakal kita lakuin di sini?”
Ayana tertawa kecil. “Bukan cuma kuliner, tapi suasana kota ini yang bikin kita bisa lepas sejenak dari kesibukan.”
Pukul dua siang, kereta berhenti di Stasiun Tasikmalaya. Begitu keluar dari stasiun, udara terasa lebih segar, dan angin sepoi-sepoi menyapu wajah. Suasana di sini berbeda, lebih tenang, meski ada banyak orang yang lalu lalang.
“Kita ke warung Abah Jangkung dulu, Ka. Nasi tutug oncomnya legendaris,” kata Ayana sambil menggandeng lenganku.
“Warung Abah Jangkung? Apa itu?” aku bertanya penasaran, meski tak bisa menahan senyum melihat betapa semangatnya Ayana.
Dia menceritakan tentang warung itu dalam perjalanan. Warung yang sudah berdiri sejak puluhan tahun dan terkenal dengan nasi tutug oncom, salah satu kuliner khas Tasikmalaya. “Kalau kamu pernah makan nasi tutug oncom di tempat lain, pasti nggak akan sebanding sama yang di sini.”
Setibanya di warung, kami disambut oleh aroma menggoda yang langsung menyusup ke hidung. Warung kecil dengan meja-meja kayu sederhana ini penuh sesak dengan pengunjung. Kami duduk di salah satu sudut yang agak lebih tenang.
“Aku sih selalu pesan nasi tutug oncom, tapi kali ini kita juga coba tahu tempe bacem,” kata Ayana sambil memesan. “Tempe di sini beda, nggak seperti tempe bacem di tempat lain.”
Aku melirik menu dan tersenyum. “Nggak apa-apa, aku ikut aja.”
Tak lama setelah itu, pesanan kami datang. Nasi tutug oncom yang hangat, sambal yang menggugah selera, dan ikan asin goreng yang tampak begitu menggoda. Aku menyendok nasi dengan sambal dan mencicipinya. Rasa pedas sambal yang gurih bercampur dengan manisnya oncom, rasanya benar-benar menggigit. Belum lagi, ikan asin goreng yang renyah memberikan sentuhan yang pas.
“Wah, ini baru yang namanya makan enak!” kataku sambil tersenyum puas.
Ayana hanya tertawa. “Kan udah bilang! Tasik itu punya cara untuk bikin lidah kamu bahagia.”
Kami melanjutkan makan dalam hening, menikmati setiap suapan sambil sesekali berbicara tentang betapa nyaman dan tenangnya suasana kota ini. Warung ini, meskipun kecil, seolah menyimpan energi yang berbeda. Setiap gigitan nasi tutug oncom memberi rasa seperti mengingatkan kita pada rumah yang jauh.
“Sekarang, kita ke mana?” tanyaku setelah menikmati hampir seluruh hidangan.
“Masih banyak, Ka. Tapi sebelum ke tempat lain, aku mau ngajak kamu ke pasar tradisional dulu. Ada sesuatu yang harus kamu lihat.”
“Pasar tradisional? Buat apa?”
Ayana mengangkat bahu dengan ekspresi penuh misteri. “Nanti aja, pokoknya kamu bakal kaget.”
Kami berjalan menuju pasar yang terletak tak jauh dari warung. Pasar ini ramai, dipenuhi oleh pedagang yang menjual berbagai macam barang, dari sayuran segar hingga kerajinan tangan. Ayana tampak sangat familiar dengan setiap sudut pasar ini, seolah dia sudah sering ke sini.
“Yang perlu kamu lihat itu ada di pojok sana,” katanya sambil menunjuk ke arah sebuah stan yang dikelilingi oleh kerumunan orang.
Aku mengikutinya tanpa banyak bertanya. Saat kami sampai, aku langsung disambut oleh pemandangan yang tak terduga. Di stan itu, ada seorang ibu-ibu tua yang sedang menjual berbagai macam kerajinan tangan, dari anyaman bambu hingga kain tradisional yang dihiasi dengan motif khas Tasik.
“Apa yang menarik, Ay?” tanyaku.
Ayana tersenyum, lalu menunjukkan sebuah kipas bambu kecil yang ada di atas meja. “Ini, Ka. Kipas bambu buatan tangan ibu ini. Setiap helainya dibuat dengan penuh cinta. Dan yang paling keren, ada cerita di balik setiap kipas.”
Aku memerhatikan kipas itu dengan seksama. “Cerita apa?”
Ayana mengangkat bahu. “Konon, ibu ini sudah belajar membuat kipas sejak kecil. Dulu, dia tinggal di Kampung Naga dan setiap kali ada acara adat, kipas ini selalu digunakan. Kipas itu membawa keberuntungan dan kedamaian.”
Aku mengangguk pelan, merasa ada sesuatu yang lebih dari sekadar kerajinan tangan. “Kayaknya Tasik ini punya banyak cerita ya, Ay.”
“Betul, Ka. Setiap sudut kota ini punya kisahnya sendiri.”
Sambil berjalan keluar dari pasar, aku merasa seolah-olah Tasikmalaya telah mulai membuka dirinya padaku, sedikit demi sedikit. Perjalanan ini baru dimulai, tapi aku sudah mulai merasakan bagaimana kota ini, dengan segala keunikannya, bisa meninggalkan jejak di hati.
Ayana menyadari tatapanku yang penuh pemikiran. “Jangan khawatir, Ka. Masih banyak yang harus kita temui. Ini baru permulaan.”
Aku tersenyum, menatapnya. “Aku mulai merasa kalau aku bakal suka banget sama kota ini.”
Dengan senyuman di wajah Ayana, kami melanjutkan perjalanan ke tempat berikutnya. Tasikmalaya, aku yakin, menyimpan banyak cerita yang akan terus membekas dalam perjalanan kami.
Langkah Kecil ke Kampung Naga
Sesaat setelah meninggalkan pasar tradisional, Ayana menarikku menuju jalan setapak yang lebih sepi, jauh dari keramaian kota. Kami berjalan menyusuri trotoar yang dikelilingi oleh pepohonan rimbun, udara segar yang menenangkan, dan suara burung berkicau yang semakin terasa jelas. Rasanya seperti berada di dunia yang berbeda, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari.
“Ayo, Ka, kita ke Kampung Naga!” Ayana berkata sambil tersenyum lebar. “Ini tempat yang benar-benar beda, kamu bakal terkesan.”
Aku memandangnya bingung. “Kampung Naga? Emangnya ada apa di sana?”
Ayana hanya tersenyum tanpa menjawab, seperti biasa. Aku tahu dia ingin aku merasakannya sendiri, seperti dia selalu bilang—”Biar kamu punya pengalaman yang lebih nyata.”
Kami terus berjalan, semakin menjauh dari pusat kota. Semakin banyak pedesaan yang kami lewati, dengan rumah-rumah panggung yang sederhana dan hamparan sawah yang membentang. Jalan menuju Kampung Naga tidak terlalu jauh, namun rasanya setiap langkah mengantar kami ke sebuah tempat yang benar-benar berbeda. Tanah merah yang menguar bau segar di bawah kaki, dan udara yang terasa lebih sejuk.
Setelah hampir setengah jam berjalan, kami tiba di sebuah gerbang batu besar yang dikelilingi oleh tanaman merambat. “Kampung Naga, Ka,” kata Ayana sambil menunjuk gerbang yang penuh ukiran khas Tasik. “Tempat ini punya sejarah yang dalam.”
Aku memperhatikan gerbang itu dengan cermat. Ukirannya sangat halus dan penuh detail, menggambarkan cerita tentang asal-usul kampung ini dan kepercayaan yang telah terjaga turun-temurun. Begitu masuk, aku langsung disambut dengan pemandangan alam yang menakjubkan. Kampung Naga terletak di lembah yang dikelilingi oleh pegunungan hijau. Di sini, waktu seperti berjalan lebih lambat, dan suasananya penuh kedamaian.
“Kamu tahu nggak, Ka,” Ayana memulai sambil berjalan di sampingku, “Kampung Naga ini adalah kampung adat yang masih memegang tradisi asli. Semua orang di sini masih hidup sesuai dengan aturan leluhur mereka.”
“Jadi, nggak ada listrik?” tanyaku dengan rasa ingin tahu.
“Betul,” jawab Ayana. “Mereka hidup dengan cara yang sederhana. Tanah mereka subur, dan mereka menanam apa yang mereka butuhkan. Listrik? Nggak ada, mereka menggunakan lentera minyak untuk penerangan di malam hari. Dan mereka juga punya aturan yang ketat soal menjaga alam sekitar.”
Aku merasa tertarik, semakin dalam aku mendengarkan cerita Ayana. Kampung ini memang tidak seperti yang aku bayangkan. Semua rumah di sini terbuat dari bambu dan kayu, dengan atap rumbia yang khas. Di setiap sudut, ada kebun sayuran dan tanaman buah yang subur. Orang-orang berjalan dengan santai, mengenakan pakaian adat yang sangat berbeda dengan apa yang biasa aku lihat di kota besar.
“Ini tempat yang tenang banget, ya,” kataku sambil mengamati sekitar.
“Tenang itu benar, tapi jangan salah, Ka. Orang-orang di sini juga punya kehidupan yang penuh makna. Mereka beribadah, bekerja, dan merayakan kebahagiaan dengan cara mereka sendiri,” jawab Ayana.
Kami melanjutkan perjalanan lebih dalam lagi ke kampung, melewati jalan setapak yang tertata rapi. Di sini, tanahnya begitu subur, dan di mana-mana ada suara air mengalir dari saluran yang dibuat penduduk setempat. Air yang jernih dan segar mengalir deras, menyirami kebun-kebun mereka. Tak jauh dari sana, tampak sebuah rumah tradisional yang lebih besar dari rumah lainnya. Di depannya, ada sebuah halaman luas dengan beberapa orang sedang duduk berkumpul.
“Di sana, itu rumah kepala adat,” Ayana menunjukkan dengan lembut. “Mereka bertanggung jawab atas segala aturan dan kebijakan yang ada di kampung ini.”
Aku mengangguk, kagum dengan keteraturan dan kedamaian yang terpancar dari tempat ini. Kampung Naga memang tempat yang berbeda. Kehidupan mereka seolah berjalan dalam ritme yang lebih lambat, jauh dari tekanan zaman modern.
Kami mendekat ke rumah kepala adat, dan seorang pria paruh baya yang mengenakan pakaian adat menyapa kami dengan senyum ramah. Ayana mengenalkanku padanya, “Ini Ka, teman aku dari Bandung.”
“Apa kabar, nak?” tanya pria itu dengan suara tenang, diikuti dengan ajakan untuk duduk. Kami duduk di bawah pohon besar yang rindang, menikmati udara yang segar. Tuan rumah itu mulai bercerita tentang kampung mereka, bagaimana mereka menjaga keseimbangan antara kehidupan tradisional dan alam sekitar. “Kami belajar dari alam, Nak,” ujarnya. “Kehidupan kami hanya bisa bertahan jika kami menjaga alam dengan baik. Semua yang kami tanam adalah untuk keberlanjutan hidup, bukan hanya untuk hari ini.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya, terasa ada kedalaman yang luar biasa dalam cara pandang mereka terhadap alam. “Jadi, kalian nggak pernah mengubah cara hidup kalian, ya?” tanyaku.
“Betul,” jawabnya dengan mantap. “Kami tetap hidup dengan cara leluhur kami. Menghormati alam dan menjaga tradisi. Itu yang membuat kami tetap kuat.”
Aku merenung sejenak. Tasikmalaya, yang aku kira hanya sebuah kota biasa, ternyata menyimpan banyak pelajaran berharga tentang kehidupan, keberlanjutan, dan hubungan manusia dengan alam. Kampung Naga, dengan keindahan alamnya dan kearifan lokal yang terjaga, memberi perspektif baru tentang bagaimana kita seharusnya hidup.
Ayana yang duduk di sampingku tersenyum. “Gimana, Ka? Menarik kan?”
Aku mengangguk, tidak bisa berkata-kata. Ada rasa kagum dan keheningan yang memenuhi hatiku. “Tempat ini benar-benar luar biasa.”
Dengan langkah yang lebih ringan, kami melanjutkan perjalanan. Kampung Naga memberikan lebih dari sekadar pemandangan indah atau tempat yang menarik untuk dikunjungi. Ia memberi pelajaran tentang kehidupan yang sesungguhnya, tentang kedamaian yang hanya bisa ditemukan ketika kita hidup selaras dengan alam.
Langit mulai meredup, memberi tanda bahwa petualangan hari ini belum selesai. Kami akan kembali ke kota, tapi rasa takjub yang tersisa dari kunjungan ini akan tetap menghantui aku, seolah-olah jejak Kampung Naga tertinggal di setiap langkah yang kami ambil.
Senja di Ujung Jalan
Sore mulai merayap, membalut langit dengan rona oranye keemasan. Kami berjalan perlahan kembali menuju gerbang Kampung Naga, meninggalkan keheningan yang sempat mengisi setiap langkah kami. Perasaan damai yang menghantui, namun kali ini ada sedikit rasa kehilangan. Aku merasa seolah kami baru saja meninggalkan sesuatu yang lebih besar dari sekadar sebuah tempat.
Ayana berjalan di sampingku, seperti biasanya, penuh dengan energi positif. Dia tampaknya tahu apa yang sedang kupikirkan, karena dia tersenyum dan berkata, “Ka, kamu suka kan di sini?”
Aku mengangguk tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Kata-kata terasa sia-sia di tengah keheningan yang mengelilingi kami. Aku tahu Ayana mengerti. Dia selalu bisa menangkap apa yang ada di pikiranku tanpa aku harus menjelaskannya. Itu yang membuatku merasa nyaman berada di sampingnya, meskipun kami sering kali tidak sepenuhnya saling mengerti.
Kami kembali ke jalan utama yang sudah agak sepi. Dari sini, kami bisa melihat pemandangan yang sangat berbeda—gunung-gunung yang mengelilingi kami, sebagian tertutup oleh kabut tipis, menambah kesan magis di sore yang hampir gelap. Perjalanan ke Kampung Naga mungkin hanya setengah hari, tapi rasanya seperti telah menghabiskan waktu yang sangat lama. Waktu seperti melambat di sana, seakan kami berada di dalam cerita yang tak ingin berakhir.
“Ke mana lagi nih, Ka?” tanya Ayana, suaranya ceria, meski aku bisa menangkap sedikit kekhawatiran di sana. Dia tahu aku mulai merasa berat untuk meninggalkan tempat ini.
Aku tidak langsung menjawab. Pikiranku masih melayang di sekitar kampung yang baru saja kami tinggalkan, meresapi setiap detail yang kami lewati. Satu-satunya hal yang bisa mengalihkan pikiranku adalah keinginan untuk melanjutkan perjalanan. Aku tahu Tasikmalaya memiliki banyak tempat lain yang menarik, dan kami baru saja menginjak permukaan dari sekian banyak keindahannya.
“Bagaimana kalau kita ke Situ Gede?” aku akhirnya memberi saran, menarik perhatian Ayana. “Aku dengar danau itu juga cantik banget.”
Ayana langsung menyeringai. “Situ Gede? Ah, itu sih udah wajib. Yuk, Ka, kita ke sana! Pasti seru.”
Kami pun kembali melangkah dengan semangat baru, menuju Situ Gede, sebuah danau besar yang terletak tak jauh dari pusat kota Tasikmalaya. Di perjalanan, Ayana kembali bercerita tentang tempat-tempat yang belum sempat kami singgahi. Aku semakin merasa seperti berada di dalam perjalanan yang lebih dari sekadar liburan—ini adalah sebuah penemuan, sebuah perjalanan untuk mengenal tempat dan orang-orang yang lebih dalam.
Begitu sampai di Situ Gede, aku langsung terpesona dengan pemandangan yang terbentang di depan mata. Danau yang luas dengan air yang tenang, dikelilingi oleh pepohonan hijau yang tampak begitu asri. Dari kejauhan, tampak beberapa perahu kayu yang melaju perlahan di permukaan danau, membawa pengunjung untuk menikmati keindahan alam dari dekat. Ada beberapa orang yang memancing di pinggir danau, dan suara tawa anak-anak yang bermain air menambah keceriaan suasana.
“Enak banget di sini,” kataku, memandang ke sekeliling dengan rasa kagum. “Kalau di Bandung, kayaknya nggak ada tempat kayak gini.”
Ayana mengangguk setuju. “Makanya aku suka banget ke sini. Walaupun nggak banyak yang tahu, tempat ini punya keindahan yang nggak bisa dibandingkan sama yang lain.”
Kami duduk di bangku kayu yang menghadap ke danau, menikmati angin sepoi yang membawa kesegaran setelah berjalan cukup jauh. Sesekali ada perahu lewat, dan pemandangan itu terasa seperti lukisan hidup, indah dan tenang.
“Ka, kamu pernah nggak sih, merasa kalau hidup ini cuma soal melangkah dari satu tempat ke tempat lain?” Ayana tiba-tiba bertanya, tatapannya mengarah ke danau. “Kayak, kita cari tempat yang bikin kita nyaman, terus setelah itu… kita cuma lanjut lagi ke tempat berikutnya.”
Aku menatapnya, sedikit bingung dengan pertanyaannya. “Maksud kamu apa, Ay?”
Ayana tersenyum tipis. “Maksud aku, kadang kita nggak sadar kalau kita sudah sampai di tempat yang kita cari. Kita sibuk nyari yang lebih baik lagi, lebih nyaman, lebih keren, padahal… yang kita cari itu udah ada di depan kita.”
Aku terdiam. Kata-katanya menggugah sesuatu di dalam diriku. Aku sadar, dalam hidupku—dalam perjalanan ini—aku sering kali merasa belum puas, terus mencari tempat atau tujuan yang lebih baik, tanpa benar-benar menikmati setiap langkah yang sudah kuambil. Tapi di sini, di Tasikmalaya, aku merasa… ada ketenangan yang belum pernah kurasakan sebelumnya. Seolah segala sesuatu yang aku cari ada di sini.
“Jadi… kamu rasa kita udah sampai di tempat yang tepat, kan?” tanyaku, mencoba memahami apa yang sebenarnya Ayana ingin katakan.
Ayana hanya mengangguk, tatapannya tetap jauh, seperti menikmati ketenangan yang kami rasakan. “Kadang yang kita cari itu bukan tempat, Ka. Tapi rasa nyaman itu datang dari dalam hati. Kalau kita bisa merasa nyaman di tempat yang sederhana, itulah yang namanya rumah.”
Aku merasa ada kehangatan dalam setiap kata Ayana, meskipun dia tidak mengatakannya dengan lantang. Kami duduk diam untuk beberapa saat, hanya menikmati suasana, tanpa kata-kata yang perlu ditambah.
Sore mulai beranjak malam, dan langit yang semula cerah mulai dihiasi dengan bintang-bintang yang mulai bermunculan. Seperti perjalanan kami yang tak pernah benar-benar berakhir, meski malam datang menyapa, kami tahu bahwa setiap langkah membawa kami menuju tempat yang lebih dalam—tempat yang lebih memaknai perjalanan itu sendiri.
Pulang Dengan Senyuman
Malam sudah benar-benar turun, membawa kedamaian yang menenangkan setiap langkah kami. Angin malam yang sejuk menyentuh kulit, menggiring kami kembali ke mobil yang terparkir di dekat pintu masuk Situ Gede. Kami tak banyak bicara lagi, namun ada perasaan yang tak bisa kami ungkapkan dengan kata-kata—sesuatu yang mengikat kami, meskipun kami tahu bahwa perjalanan ini akan segera berakhir.
Aku menyetir dengan tenang, meninggalkan keindahan yang baru saja kami nikmati. Jalanan di Tasikmalaya semakin sepi, hanya ada cahaya lampu jalan yang bersinar temaram, seakan memberi petunjuk tentang arah yang harus kami tuju. Ayana duduk di sampingku, masih dengan senyuman yang belum pudar, seolah dia tahu bahwa setiap perjalanan, tak peduli sependek atau sepanjang apa, selalu punya cerita yang berharga.
“Ka, terima kasih ya,” Ayana akhirnya membuka suara, suaranya lembut namun penuh makna. “Aku senang banget bisa jalan-jalan bareng kamu. Ke Tasikmalaya ini… lebih dari sekadar liburan.”
Aku meliriknya sekilas, lalu mengangguk. “Aku juga, Ay. Rasanya, kita udah menemukan sesuatu yang lebih dari sekadar tempat. Aku nggak tahu kenapa, tapi Tasikmalaya punya cara sendiri untuk bikin kita merasa seperti di rumah.”
Ayana tertawa kecil, suaranya yang riang melengkapi suasana malam yang semakin hening. “Iya, kan? Kadang kita cuma perlu keluar dari rutinitas buat tahu apa yang bener-bener penting. Dan ternyata, yang penting itu adalah merasakannya, bukan cuma sekadar melihatnya.”
Aku hanya tersenyum mendengar kata-katanya. Rasanya, perjalanan ini bukan hanya tentang tempat-tempat yang kami singgahi, tetapi tentang kenangan yang kami bangun bersama, tentang bagaimana kami saling mengisi tanpa kata-kata, hanya dengan kehadiran. Perjalanan ini memberi pelajaran yang tak ternilai—bahwa kebahagiaan itu sering kali datang dari hal-hal sederhana.
Jalanan menuju kembali ke kota mulai sedikit ramai, tapi tidak ada lagi yang bisa mengganggu ketenangan yang kurasakan. Tak jauh dari sini, kami akan kembali ke dunia yang sibuk dengan rutinitas masing-masing, tetapi kami tahu bahwa ada bagian dari kami yang telah tertinggal di Tasikmalaya—di setiap sudut yang pernah kami jelajahi, di setiap percakapan yang kami lakukan, dan dalam setiap tawa yang kami bagi.
Beberapa saat kemudian, kami sampai di tempat tujuan, di dekat stasiun yang akan membawa Ayana pulang ke Bandung. Aku menepikan mobil di pinggir jalan, mematikan mesin, dan kami terdiam beberapa detik, menikmati kenyataan bahwa perjalanan ini akhirnya sampai juga di titik akhir.
“Ay, kamu sudah siap pulang?” tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya.
Ayana mengangguk, matanya menyiratkan perasaan yang sulit diungkapkan. “Iya, Ka. Tapi, aku yakin kita akan kembali lagi ke sini. Kan, perjalanan ini nggak berhenti sampai sini aja, kan?”
Aku tertawa pelan, merasa ada benang merah yang menghubungkan kami lebih dari sekadar perjalanan ini. “Pasti. Tasikmalaya bukan cuma tempat, Ay. Dia punya banyak cerita yang menunggu kita untuk ditemukan.”
Kami berdua kemudian turun dari mobil, dan aku membantunya membawa tasnya. Kami berpelukan, melepaskan perpisahan yang bukan berarti berakhir. Ada sesuatu yang lebih dalam daripada sekadar kata-kata, sebuah perasaan yang melampaui jarak dan waktu.
Setelah itu, Ayana melambaikan tangan, berjalan masuk ke dalam stasiun, dan aku mengamati langkahnya yang semakin jauh. Sesekali dia menoleh, senyum tetap terukir di wajahnya, lalu hilang di balik pintu. Aku kembali ke mobil, menatap jalanan yang masih sepi, merenung. Sore yang damai, malam yang penuh bintang, dan perjalanan yang telah kami lalui… semuanya akan menjadi kenangan yang tak terlupakan.
Aku menyalakan mesin mobil dan melaju pelan. Tasikmalaya, dengan segala kenangannya, akan selalu ada dalam ingatanku. Perjalanan ini telah mengajarkan aku bahwa terkadang kita tidak perlu mencari jauh-jauh untuk menemukan apa yang benar-benar kita butuhkan. Kadang, kebahagiaan itu ada di tempat yang sederhana, di momen yang tak terduga, bersama orang-orang yang membuat setiap perjalanan terasa berarti.
Dengan senyum yang tak terhapus, aku melanjutkan perjalanan kembali ke rumah, meninggalkan sebuah kota yang kini akan selalu punya tempat di hatiku.
Gitu deh, perjalanan ke Tasikmalaya yang nggak cuma seru tapi juga penuh makna. Kadang, kita nggak perlu jauh-jauh atau ke tempat yang mewah untuk ngerasain kebahagiaan.
Cukup keluar dari rutinitas, jalan-jalan santai, dan nikmatin momen, semuanya jadi terasa lebih spesial. Semoga cerita ini bisa bikin kamu ngerasa pengen langsung jalan-jalan ke Tasikmalaya juga, siapa tau bisa nambahin kenangan indah kamu di tempat yang penuh keajaiban ini!