Daftar Isi
Terkadang, cinta nggak perlu terburu-buru. Kadang, jarak justru bikin perasaan lebih jelas, dan niat yang baik bisa menjaga segalanya tetap pada tempatnya. Cerpen ini bakal bikin kamu mikir, kenapa sih harus pacaran kalau bisa jalanin semuanya dengan cara yang lebih indah, lebih halal, dan lebih berkah? Yuk, simak perjalanan dua hati yang saling menjaga jarak, tapi nggak pernah jauh dari harapan.
Cinta dalam Doa
Jeda di Antara Kita
Hari itu, masjid Al-Furqan tampak lebih ramai dari biasanya. Kajian rutin yang diadakan setiap Jumat sore selalu menarik perhatian, terutama bagi mereka yang ingin memperdalam ilmu agama. Sejak pagi, cuaca sudah terasa hangat, namun begitu aku melangkah masuk ke dalam masjid, udara sejuk dan tenang langsung menyambut. Aku mengambil tempat di barisan belakang, seperti biasanya, berusaha tidak menarik perhatian.
Aku lebih suka duduk di sini, jauh dari pusat keramaian. Masjid ini memberi ketenangan yang tak bisa didapat di tempat lain. Setiap kali datang ke sini, aku merasa seperti menemukan ruang untuk diri sendiri, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan di luar. Di sekelilingku, sebagian besar jemaah sudah mulai duduk, menunggu kajian dimulai.
Mataku secara tak sengaja menatap ke arah saf pertama, dan di sana dia sedang duduk, Safina. Gadis itu selalu menarik perhatianku setiap kali aku datang ke masjid. Tidak hanya karena penampilannya yang sederhana namun anggun, tapi juga karena caranya mengikuti kajian dengan sungguh-sungguh.
Safina, dengan gamis hijau mint yang menutupi tubuhnya dan kerudung pastel yang melingkar di leher, duduk tegak, memperhatikan ustadz yang mulai membuka kajian. Aku sering melihatnya, namun tak pernah benar-benar berbicara dengannya. Bagaimana bisa? Aku selalu merasa canggung dan tak tahu harus memulai dari mana.
Saat kajian dimulai, aku kembali berkonsentrasi pada materi yang dibawakan. Namun entah kenapa, setiap kali aku melirik ke arah Safina, ada perasaan yang sulit dijelaskan. Aku tahu, dia juga sesekali menoleh ke arahku, namun aku tak yakin apakah itu hanya kebetulan atau ada sesuatu yang lebih.
Sesaat setelah kajian selesai, aku melihat Safina bangkit dari tempat duduknya. Ia menyimpan catatannya ke dalam tas dan mulai berjalan menuju pintu. Aku sempat terdiam, ragu apakah akan mendekatinya atau tidak. Namun, sebelum aku sempat melangkah, suara lembut Safina terdengar.
“Amar,” katanya.
Aku menoleh dengan sedikit terkejut. “Iya, Safina?”
“Catatanku tadi lengkap nggak?” Safina bertanya dengan senyum tipis. “Aku lihat kamu duduk di belakang, mungkin bisa bantu untuk disebarkan di grup kajian.”
Aku tersenyum kecil. “InsyaAllah, aku bantu. Kalau ada yang perlu ditambahkan, nanti aku lihat lagi.”
Dia mengangguk, lalu memberikan selembar kertas yang berisi catatannya. Aku menerimanya dengan hati-hati, berusaha menjaga jarak. Aku tidak ingin dia merasa canggung atau tidak nyaman.
“Tapi kalau misalnya ada yang kurang, kamu kasih tahu aja, ya?” Safina melanjutkan, matanya tak bisa lepas dari catatannya yang ada di tanganku.
“Iya, pasti.” Aku berkata dengan suara rendah, berusaha menjaga agar percakapan ini tidak terdengar terlalu formal. Aku merasa sedikit aneh, tapi aku juga tahu, ini adalah bagian dari cara kami menjaga adab di masjid.
Safina tersenyum dan perlahan berjalan pergi. Aku hanya bisa berdiri di tempat, menatap punggungnya yang perlahan menghilang di balik pintu masjid. Perasaan itu kembali datang, rasa yang sulit untuk aku jelaskan.
Aku menarik napas panjang, mencoba menghilangkan perasaan tidak karuan yang mulai tumbuh dalam diriku. “Astaghfirullah,” gumamku pelan, merasa sedikit canggung.
Di dalam hati, aku tak bisa menahan diri untuk bertanya-tanya. Apakah ini hanya perasaan sesaat, atau ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan? Apakah dia juga merasakan hal yang sama?
Saat aku menatap catatan yang masih berada di tanganku, ada sebuah doa yang aku panjatkan dalam hati. Semoga segala urusan ini berjalan dengan baik. Semoga jika ini adalah takdir dari Allah, maka Dia akan menunjukkan jalan yang terbaik.
Namun, untuk saat ini, aku hanya bisa menjaga jarak. Jarak yang menjagaku dan menjaga Safina dari perasaan yang mungkin saja salah, jika kami tidak tahu bagaimana menempatkan hati dengan benar.
Hikmah dari Jarak
Beberapa pekan berlalu sejak pertemuan singkat itu. Meskipun kami sering bertemu di masjid, aku merasa ada sebuah dinding tak tampak di antara kami. Dinding itu bukanlah halangan yang nyata, melainkan lebih kepada jarak yang kami pilih untuk menjaga kesopanan. Tidak ada interaksi yang lebih dari sekadar ucapan salam atau sapaan singkat setelah kajian. Semua itu membuatku merasa aman, tapi di sisi lain, ada perasaan yang semakin sulit untuk dipahami.
Hari itu, saat aku baru saja selesai mengikuti kajian, aku melihat Safina sedang berdiri di dekat rak sepatu. Dia tampak sedang memilih sandal dengan hati-hati. Aku berhenti sejenak, agak ragu apakah akan mendekatinya atau tidak. Namun, entah kenapa, perasaan ingin berbicara kepadanya kembali datang.
Aku melangkah mendekat, dan dengan suara lembut, aku menyapanya. “Safina, assalamu’alaikum.”
Dia menoleh dengan senyum kecil, wajahnya tetap sopan dan ramah. “Wa’alaikumussalam, Amar.” Suaranya begitu tenang, seperti angin yang menyentuh daun di pagi hari.
Aku terdiam sebentar, mencari kata-kata yang tepat. “Ada yang ingin kutanyakan,” kataku dengan hati-hati.
“Apa itu?” Safina bertanya dengan penuh perhatian, namun tetap menjaga jarak yang sopan.
“Kenapa kamu selalu memilih duduk di saf depan? Bukannya di belakang lebih enak?” Aku tahu pertanyaan ini terdengar sedikit sepele, tapi aku merasa itu adalah cara untuk memulai percakapan yang lebih panjang.
Safina tersenyum kecil, matanya berbinar. “Sebenarnya, aku merasa lebih fokus kalau duduk di depan. Lagipula, di depan itu aku bisa lebih dekat untuk mendengarkan setiap kata dari ustadz.”
Aku mengangguk, merasa kagum dengan jawabannya. “Itu bagus, Safina. Kamu memang punya semangat yang luar biasa untuk belajar.”
Dia tertawa pelan, kemudian menunduk. “Aku juga merasa begitu, Amar. Kalau nggak ada semangat, kita cuma jadi penonton, kan?”
Aku tertawa kecil, merasa ada kehangatan dalam kata-kata itu. Namun, perasaan canggung masih ada. Kami berdua masih menjaga jarak, meskipun percakapan ini terasa lebih mudah daripada sebelumnya.
Tiba-tiba, Safina menoleh ke arah jam tangan di pergelangan tangannya. “Oh, sudah waktunya maghrib. Aku harus pulang. InsyaAllah, kita ketemu lagi, ya, Amar.”
Aku merasa sedikit kecewa, tapi aku mengerti. “Iya, semoga Allah memudahkan segala urusanmu. Hati-hati di jalan, Safina.”
Sebelum pergi, Safina menoleh sejenak, senyum tipis di bibirnya. “Terima kasih, Amar. Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya.”
Lalu dia pergi, meninggalkan aku dengan perasaan yang semakin berat. Aku tidak tahu mengapa, tapi perasaan itu mulai tumbuh dengan kuat. Setiap kali aku melihatnya, ada harapan yang hadir tanpa aku minta. Namun aku tahu, ada batasan yang harus dijaga.
Pulang dari masjid, aku duduk termenung di kamar. Semua yang terjadi dalam beberapa pekan ini membuatku bertanya-tanya. Apa yang sebenarnya aku rasakan? Aku tidak ingin terburu-buru, tidak ingin jatuh dalam perasaan yang belum jelas. Namun, semakin lama aku mengenalnya, semakin aku merasa bahwa Safina adalah sosok yang tepat—bukan hanya untuk menjadi teman, tetapi juga untuk menjadi pendamping hidup.
Aku menghela napas panjang, lalu berdoa dalam hati. “Ya Allah, jika Engkau mempertemukan kami dengan cara yang baik, permudahlah. Tapi jika ini bukan jalan yang terbaik, aku mohon beri aku petunjuk.”
Aku tahu, apa pun yang terjadi, semuanya ada di tangan-Nya. Aku hanya bisa berusaha menjaga hati, menjaga adab, dan menjaga jarak. Karena terkadang, jarak yang ada bukan untuk menjauhkan, tetapi untuk menjaga agar cinta tetap berjalan sesuai dengan ridha-Nya.
Doa yang Tersembunyi
Waktu berlalu, dan meskipun kami tetap menjaga jarak, perasaan itu semakin tumbuh dengan sendiri. Setiap kali aku bertemu Safina di masjid, aku merasa seperti ada bagian dari hatiku yang lebih tenang. Aku tahu ini bukan perasaan biasa. Aku juga tahu, perasaan seperti ini tak bisa hanya diabaikan. Namun, aku tetap berusaha untuk tidak terburu-buru, menjaga segala sesuatunya agar tetap dalam koridor yang benar.
Hari itu, aku baru saja selesai mengikuti kajian dan keluar dari masjid. Udara sore yang sejuk mengusap wajahku, menenangkan pikiran yang semakin bertanya-tanya. Tiba-tiba, aku melihat Safina sedang berdiri di dekat pagar masjid, sepertinya menunggu seseorang. Tanpa kusadari, langkahku berhenti sejenak, mataku tertuju padanya.
Ketika dia menyadari keberadaanku, Safina mengangkat wajahnya dan tersenyum. “Amar,” sapanya pelan, namun ada kehangatan dalam suaranya.
Aku tersenyum kembali, meskipun sedikit terkejut. “Safina, ada yang bisa aku bantu?”
Dia terlihat ragu sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. “Aku… aku ingin meminta tolong, Amar. Boleh bantu aku sebentar?”
Aku mengangguk, merasa sedikit bingung. “Tentu, ada yang bisa kutolong?”
Dia menarik napas pelan, seolah menyiapkan diri. “Sebenarnya, aku sudah lama ingin membicarakan sesuatu denganmu. Tapi rasanya nggak tahu gimana mulai dari mana,” ujar Safina dengan wajah yang mulai memerah.
Aku bisa merasakan sedikit kecanggungan dalam suaranya, membuat hatiku semakin berat. Aku tahu ini bukan percakapan biasa. “Kamu bisa mulai dari apapun, Safina. Aku akan dengarkan.”
Safina tampak berusaha menenangkan dirinya. “Begini, Amar… sudah lama sebenarnya aku merenung tentang kehidupan, tentang jalan yang benar, dan tentang bagaimana Allah mengatur segala sesuatunya. Aku merasa… aku merasa ada yang kurang dalam hidupku.”
Aku mendengarkan dengan penuh perhatian, mencoba merasakan apa yang dia rasakan. “Lalu, apa yang kamu pikirkan selama ini?”
“Dulu, aku sering merasa bingung. Aku ingin dekat dengan Allah, tapi aku takut kalau aku melakukan hal yang salah. Dan aku tahu, dalam hidup ini, kita tidak bisa sembarangan memilih jalan. Jadi, aku ingin meminta pendapatmu.” Safina mengalihkan pandangannya, seakan bingung untuk melanjutkan.
Aku sedikit tersenyum, mencoba memberikan rasa tenang. “Safina, Allah itu Maha Pengasih, Dia selalu menunjukkan jalan bagi hamba-Nya yang mencari. Tidak ada yang sia-sia dalam setiap langkah yang kita ambil, selama itu untuk kebaikan. Allah selalu memberi jalan yang terbaik.”
Safina mengangguk, dan aku bisa melihat bahwa kata-kataku sedikit banyak memberi ketenangan padanya. “Tapi… aku juga merasa takut, Amar. Takut untuk berharap, takut untuk merasa lebih dari sekadar sahabat. Aku tahu, dalam Islam, ada batasan dalam pergaulan antara laki-laki dan perempuan. Aku takut perasaan ini bisa menjerumuskan kita,” ucapnya dengan suara pelan.
Aku terdiam, mendengar apa yang Safina katakan. Ada rasa haru yang tak bisa aku jelaskan. “Aku juga merasakannya, Safina. Rasanya bukan hanya perasaan biasa. Tapi kita harus menjaga hati, menjaga adab, agar tidak salah langkah.”
“Aku tahu, Amar. Aku ingin mengikuti jalan yang benar, tapi aku tidak tahu harus mulai dari mana,” jawab Safina, suaranya lirih namun penuh keikhlasan.
Aku merasa sebuah dorongan dalam diriku untuk berbicara lebih lanjut. “Safina, jika perasaan ini adalah takdir Allah, kita tidak bisa lari dari-Nya. Tapi yang penting adalah, kita menjaga niat kita. Kalau niat kita untuk menjadikan segala sesuatu sebagai jalan yang baik, InsyaAllah, Allah akan memudahkan.”
Safina menunduk, seolah merenungkan setiap kata yang baru saja aku ucapkan. “Aku percaya itu, Amar. Aku percaya bahwa Allah akan memberikan jalan yang terbaik. Tapi aku ingin melakukan ini dengan cara yang benar.”
Aku tersenyum, merasa sedikit lega. “Itulah yang aku rasakan juga, Safina. Kita tidak perlu terburu-buru, yang penting adalah berdoa dan berusaha dengan cara yang benar. Kalau Allah sudah mengizinkan, semuanya akan berjalan dengan indah.”
Kami berdua terdiam sejenak, membiarkan ketenangan itu mengalir. Sesaat kemudian, Safina menoleh kepadaku, wajahnya lebih tenang, meskipun matanya masih terlihat penuh harapan. “Terima kasih, Amar. Aku merasa lebih ringan setelah mendengarkan itu.”
“Aku hanya menyampaikan apa yang sudah diajarkan oleh agama kita, Safina. Semoga Allah memberikan petunjuk-Nya untuk kita.”
Dengan senyum kecil, Safina melangkah mundur sedikit, memberikan salam terakhir. “InsyaAllah, kita akan bertemu lagi, Amar. Semoga kita selalu dalam lindungan-Nya.”
Aku hanya mengangguk, merasa lega namun masih ada rasa yang menggantung. Setelah dia pergi, aku menatap langit yang mulai berwarna oranye, berdoa dalam hati agar segala perasaan ini bisa berjalan sesuai dengan ridha-Nya. Karena aku tahu, tak ada yang lebih baik selain mengikuti jalan yang ditentukan oleh Allah.
Jalan yang Terbuka
Beberapa minggu setelah percakapan kami yang berat dan penuh haru itu, aku mulai merasakan sebuah kedamaian yang tak pernah aku rasakan sebelumnya. Meski jarak masih ada, ada rasa ketenangan yang mengisi hati. Kami tidak lagi berbicara tentang perasaan kami, namun ada ikatan yang semakin jelas, ikatan yang tumbuh dengan cara yang sangat alami dan penuh kehati-hatian. Aku tahu bahwa segala sesuatu harus dijaga dengan baik, dan Allah selalu memberi petunjuk pada setiap langkah yang benar.
Hari itu, aku datang lebih awal dari biasanya ke masjid untuk mengikuti kajian. Seperti biasa, aku memilih tempat duduk yang sedikit lebih belakang, mempersiapkan diri untuk menerima ilmu yang akan dibagikan. Namun, seperti yang selalu terjadi, pandanganku teralihkan ketika Safina datang, mengenakan jilbab biru muda yang tampak sangat sederhana namun tetap anggun. Ada kedamaian yang terpancar dari dirinya.
Dia duduk di barisan depan, seperti biasa, dengan penuh khusyuk. Aku merasa sedikit canggung, karena rasanya aku ingin berbicara lebih banyak dengannya, tetapi aku tahu bahwa ini bukan waktu yang tepat untuk itu. Kami hanya saling berpandangan sesekali, tetapi tetap menjaga jarak yang sopan, seolah menyadari bahwa semuanya harus berada dalam aturan yang benar.
Kajian berlangsung dengan tenang, dan hatiku semakin tenteram. Saat istirahat sejenak, aku berdiri untuk mengambil air wudhu. Ketika aku kembali ke tempat duduk, aku melihat Safina berdiri di dekat pintu keluar, sepertinya sedang menunggu seseorang. Aku tahu, pertemuan ini bukan kebetulan.
Dengan hati-hati, aku mendekat. “Safina,” kataku, suara sedikit bergetar meski aku berusaha untuk tetap tenang.
Safina menoleh dengan senyuman manis yang sudah sangat familiar. “Amar,” ujarnya, dengan nada lembut. “Apa kabar?”
“Aku baik, Alhamdulillah. Kamu sendiri?” jawabku, mencoba menjaga percakapan tetap ringan.
“Alhamdulillah, baik juga.” Safina mengangguk, namun ada rona keheningan dalam sikapnya. “Amar, aku ingin mengucapkan terima kasih atas semua kata-kata yang kamu berikan beberapa waktu lalu. Itu benar-benar memberi pencerahan untukku.”
Aku hanya tersenyum, merasa sedikit canggung. “Tidak ada apa-apa, Safina. Aku hanya menyampaikan apa yang benar. Semoga itu membantu.”
Dia mengangguk, tetapi ada sesuatu yang berbeda kali ini. Safina tampak lebih terbuka, lebih percaya diri. “Sebenarnya, ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, Amar. Aku ingin bertanya tentang masa depan, tentang bagaimana kita bisa berjalan di jalan yang benar, tetapi tetap menjaga apa yang telah kita jaga selama ini.”
Aku merasa sedikit terkejut, tetapi juga merasa tenang. “Apa yang kamu maksud?”
Safina menatapku dengan penuh keyakinan, matanya berbinar. “Aku tahu ini bukan hal yang mudah, dan aku tidak ingin terburu-buru. Tapi… aku ingin kita menjaga niat yang baik. Jika Allah mengizinkan, aku ingin melangkah ke arah yang lebih serius, ke arah yang lebih baik.”
Aku terdiam, merasa hatiku berdebar. Namun, aku berusaha untuk tetap tenang, menahan emosi yang mulai tumbuh. “Aku juga merasa hal yang sama, Safina. Tapi kita harus benar-benar menjaga niat kita. Jangan terburu-buru, dan semoga Allah memberikan petunjuk yang terbaik untuk kita.”
Dia tersenyum, senyuman yang penuh harapan. “Aku ingin berjalan denganmu, Amar, dengan cara yang benar. Kita tidak perlu terburu-buru, yang penting adalah menjaga hati dan niat kita.”
Kata-kata itu membuat hatiku terasa begitu ringan. Aku tahu, ini adalah jalan yang benar, jalan yang penuh berkah, dan semoga Allah meridhoi setiap langkah yang kami ambil.
“Kita akan menjalani ini dengan cara yang baik, InsyaAllah,” jawabku dengan penuh keyakinan. “Kita akan menjaga jarak yang pantas, menjaga kesopanan, dan tidak ada yang perlu terburu-buru. Semua ini ada dalam kehendak-Nya.”
Safina mengangguk, matanya bersinar dengan kebahagiaan. “Terima kasih, Amar. Aku percaya ini adalah jalan yang terbaik.”
Kami berdua terdiam sejenak, menikmati ketenangan yang menyelimuti kami. Tidak ada kata-kata lebih lanjut yang perlu diucapkan, karena kami tahu bahwa Allah sedang merencanakan sesuatu yang indah untuk kami. Sesaat kemudian, Safina berpamitan untuk pulang, tetapi sebelum pergi, dia berkata, “Semoga Allah memudahkan jalan kita, Amar.”
Aku mengangguk, tersenyum dengan penuh harapan. “Amin, Safina. Semoga Allah selalu bersama kita.”
Saat Safina pergi, aku berdiri di tempatku sejenak, menatap langit yang semakin gelap. Ada rasa syukur yang mendalam dalam hatiku. Aku tahu, jalan ini tidak akan selalu mudah, tetapi selama kami tetap menjaga niat, menjaga adab, dan selalu berdoa, maka Allah akan membuka jalan yang terbaik.
Alhamdulillah, segala yang terjadi adalah takdir yang indah dari-Nya.
Jadi, cinta itu nggak selalu harus terburu-buru. Terkadang, jalan yang paling indah adalah yang ditempuh dengan sabar, penuh doa, dan niat yang benar. Semua yang kita harapkan, jika dilandasi dengan kesungguhan dan kesabaran, pasti akan dipermudah oleh-Nya. Semoga cerita ini bisa jadi pengingat, kalau cinta yang penuh berkah itu jauh lebih indah daripada cinta yang terburu-buru.