Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu: Cerpen Islami tentang Pengorbanan dan Perubahan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa kalau hidupmu penuh dengan kesalahan dan penyesalan? Tapi, di sisi lain, ada satu sosok yang nggak pernah berhenti ngasih dukungan tanpa syarat: ibu.

Cerpen ini bakal bawa kamu masuk ke dalam kisah Zikri, seorang anak yang akhirnya sadar setelah banyak waktu terbuang. Dengan kasih sayang seorang ibu, Zikri mulai menemukan jalan hidup yang lebih baik. Jadi, siap-siap deh buat ikutan nyesel dan belajar dari perjalanan Zikri, karena ternyata, surga itu emang ada di bawah telapak kaki ibu.

 

Surga di Bawah Telapak Kaki Ibu

Saat Langkahku Menyimpang

Di sebuah sore yang lembut, langit mulai memerah dan sinar matahari terasa semakin lemah, seperti hendak mengucapkan selamat tinggal. Zikri berdiri di depan kaca cermin kecil di kamar tidurnya. Ia menatap refleksinya, tampak ragu sejenak, lalu meraih jaket kulit hitam yang sudah lama ia simpan. Jaket itu tidak hanya melambangkan gaya, tetapi juga kebebasannya, sebuah simbol bahwa ia bisa berbuat apa saja tanpa terikat aturan apapun, termasuk aturan ibunya.

“Ibu pasti akan marah kalau tahu aku keluar malam ini,” gumam Zikri, tapi bibirnya mengukir senyum licik. Ia sudah bosan dengan segala teguran, sudah lelah dengan rasa terkekang. Setiap hari, ibunya Maryam seperti seorang penjaga yang tak pernah tidur, selalu mengawasi setiap langkahnya. Ia tidak butuh itu. Dia butuh ruang untuk dirinya sendiri.

Ia mengambil ponsel dan mengirim pesan singkat kepada teman-temannya: “Jangan lupa ya, jam 10 di sana. Aku bawa mobil.”

Langkah kaki Zikri terhenti sejenak saat mendengar suara lembut ibu memanggil dari bawah. “Zikri, nak, kamu mau ke mana malam-malam begini?”

Dengan gerakan cepat, Zikri membuka jendela kamar dan melangkah keluar. Tak ingin berdebat, ia hanya memberi jawaban seadanya, “Ke sana sebentar, Bu. Cuma ngobrol sama teman-teman.”

Maryam muncul di ujung tangga, wajahnya yang tegas terlihat lebih cemas dari biasanya. “Jangan lama-lama, Zikri. Malam ini anginnya dingin, kamu pasti tidak tahan di luar. Jangan lupa shalat Isya’ dulu,” katanya, suara penuh perhatian.

Namun Zikri hanya mengangguk sekilas, tanpa berniat mendengarkan lebih lanjut. “Iya, Bu. Jangan khawatir,” jawabnya dengan nada datar.

Maryam menghela napas, mengingatkan lagi, “Jangan sampai larut malam, nak.”

Zikri melambaikan tangan ke arah ibunya, dan langkahnya semakin menjauh dari rumah, berlari mengejar kebebasannya. Di luar, udara malam terasa menyambutnya dengan hawa segar. Ia naik ke mobil dan melaju tanpa tujuan yang pasti, hanya mengikuti dorongan hati untuk melarikan diri dari segala yang membatasi.

Namun, ia tak tahu, malam itu akan membawa perubahan besar dalam hidupnya.

Zikri tertawa terbahak-bahak bersama teman-temannya saat mereka menuju sebuah kafe di pinggiran kota. Mereka berbicara tanpa henti, membahas tentang film, musik, dan tentunya, tentang kebebasan mereka sebagai pemuda. Tanpa disadari, waktu berlalu begitu cepat. Pukul 11 malam, dan Zikri baru teringat akan ibunya.

“Zikri, kita pergi ke tempat lain, yuk!” ajak salah satu temannya.

Zikri menggeleng, meski hatinya sudah mulai ragu. “Sudah, cukup. Aku harus pulang, Ibu pasti khawatir.”

Teman-temannya tertawa sinis, “Jangan bawa-bawa Ibu terus, Zik. Kita sedang bersenang-senang, kok kamu malah ingat pulang?”

Zikri tersenyum canggung, namun akhirnya ia mengabaikan rasa bersalah dan memilih untuk tetap pergi.

Namun, tak lama setelah itu, kejadian tak terduga terjadi. Sebuah mobil melintas dengan kecepatan tinggi, hampir menabrak mobil Zikri. Ia kaget, memutar setir dengan cepat, dan tiba-tiba mobilnya meluncur keluar jalur, menabrak trotoar, dan menabrak pembatas jalan.

Suasana menjadi hening. Teman-temannya yang tadinya tertawa kini diam seribu bahasa. Zikri merasakan sakit luar biasa di tubuhnya. Saat ia berusaha bangkit, pandangannya kabur.

“Sial,” kata Zikri, terengah-engah. “Apa yang baru saja aku lakukan?”

Namun, semuanya sudah terlambat. Mobil itu rusak parah, dan Zikri terluka. Teman-temannya yang awalnya ramai, sekarang hanya menatap dengan cemas, bingung apa yang harus dilakukan. Mereka berlarian, meninggalkan Zikri sendiri dengan luka-luka yang mengerikan.

Dengan tubuh lemah dan kepala pusing, Zikri akhirnya sampai di rumahnya. Ia merangkak menuju pintu depan, namun tak bisa mengetuk. Pintu terbuka sedikit, dan di baliknya, Maryam berdiri dengan tatapan penuh kekhawatiran.

“Zikri, kamu kenapa?!” Maryam berlari, menangkap tubuhnya yang hampir terjatuh.

“Ibu…” Zikri berbisik lemah, wajahnya pucat. “Aku… aku minta maaf, Bu.”

Maryam menangis, namun ia tidak menghardik atau memarahi Zikri. Ia segera memeluk anaknya yang terluka itu, seolah melindunginya dari segala kesalahan yang telah ia buat. Tanpa berkata banyak, Maryam membawanya masuk ke dalam rumah, membersihkan luka-lukanya dengan tangan yang penuh kasih.

“Ibu tak pernah berhenti mendoakanmu, Zikri. Walaupun kamu tak pernah mendengarkannya,” kata Maryam dengan suara parau, penuh emosi.

Zikri menunduk, merasakan sesak di dadanya. Ia tahu betul, ibu tidak pernah berhenti mencintainya, meskipun ia sering mengecewakan. Namun, ia juga sadar bahwa ia telah memilih jalan yang salah selama ini.

“Bu, aku salah… Aku benar-benar menyesal.”

Maryam tersenyum lembut, meski air matanya terus mengalir. “Ibu tahu, nak. Ibu tahu kamu akan menyadari semuanya.”

Zikri merasakan sesuatu yang dalam menyentuh hatinya. Penyesalan yang begitu dalam, yang datang terlambat, namun kini menjadi pelajaran hidup yang tak akan pernah dilupakan.

Dan malam itu, dalam pelukan ibunya yang penuh kasih, Zikri merasa untuk pertama kalinya bahwa ia ingin berubah.

 

Doa Ibu yang Tak Pernah Putus

Pagi itu, Zikri terbangun dengan rasa sakit yang menyengat di tubuhnya. Lukanya mulai mengering, namun hatinya terasa lebih berat dari sebelumnya. Setiap gerakan terasa berat, seperti ada beban tak terlihat yang menekan setiap langkahnya. Ketika ia membuka matanya, ia melihat Maryam duduk di samping tempat tidurnya, memegangi secangkir teh hangat, wajahnya penuh kelelahan.

“Sudah pagi, nak,” kata Maryam lembut, suaranya seperti angin sejuk yang menyentuh hati. “Bagaimana perasaanmu?”

Zikri memandang ibunya dengan tatapan kosong, perasaan bersalah begitu membebaninya. “Aku… merasa sangat bodoh, Bu.”

Maryam mengusap rambut Zikri dengan lembut, sebuah gerakan yang selalu menenangkan meski ia tahu betapa besar kekecewaan yang dirasakan ibunya. “Jangan terlalu keras pada diri sendiri, Zikri. Setiap manusia pasti pernah membuat kesalahan. Tapi, Allah selalu memberi kita kesempatan untuk berubah, kan?”

Zikri terdiam, perasaan itu datang lagi—perasaan penyesalan yang mencekam. Selama ini, ia merasa hidupnya seperti berputar tanpa tujuan, hanya mengikuti keinginan hati tanpa memikirkan konsekuensinya. Ia selalu merasa ibu adalah penghalang, padahal dia adalah satu-satunya orang yang benar-benar peduli padanya.

“Bu…” Zikri menatap wajah ibunya yang penuh kasih. “Kenapa Ibu masih tetap sabar sama aku? Kenapa Ibu nggak marah?”

Maryam tersenyum tipis. “Zikri, kadang Allah memberi kita ujian untuk mengingatkan kita tentang tujuan hidup. Dan sebagai ibu, tugas Ibu adalah selalu mengingatkanmu tentang jalan yang benar. Ibu tahu kamu bisa lebih baik dari ini.”

Zikri menunduk, menahan air mata yang mulai menggenang. Sebuah perasaan yang sulit dijelaskan, perasaan terperangkap dalam kesalahan dan rasa malu yang mendalam. Ia merasa tidak pantas menerima kasih sayang ibunya. Namun, Maryam tidak pernah berhenti, bahkan sekali pun. Doanya untuk Zikri tak pernah putus, meski ia tahu anaknya sering menentang.

Setelah hari itu, Zikri berusaha untuk lebih mendengarkan kata-kata ibunya. Meski hatinya masih merasa cemas tentang masa depannya, ia memutuskan untuk mengubah jalan hidupnya. Ia mulai lebih memperhatikan ibunya, membantu pekerjaan rumah, dan mulai kembali mendalami agama, sesuatu yang sering ia abaikan selama ini.

Namun, ada satu hal yang selalu mengganggu pikirannya: doa ibunya. Zikri ingat betul, malam setelah kecelakaan itu, ia mendengar ibunya menangis dalam doanya.

“Ibu, kenapa kamu terus berdoa untukku?” bisik Zikri, menatap ibunya yang sedang shalat malam. “Aku tidak layak mendapatkan itu.”

Maryam berhenti sejenak, menatap anaknya dengan penuh kasih. “Karena doa seorang ibu untuk anaknya tidak pernah sia-sia, nak. Setiap tetes air mata yang Ibu jatuhkan adalah doa untuk kamu. Allah mendengar, meskipun kadang kita merasa jauh dari-Nya.”

Zikri merasa hatinya teriris mendengar kata-kata itu. Betapa besar kasih sayang seorang ibu yang tak terhingga, sebuah kasih yang selalu mengalir meski anaknya terluka atau salah.

Zikri mulai merasakan perubahan kecil dalam dirinya. Ia mulai menjalani kehidupan yang lebih terarah, tidak lagi terbuai oleh godaan dunia yang selama ini menariknya. Ia mulai kembali shalat, meluangkan waktu untuk membaca Al-Qur’an, dan berusaha mengurangi kebiasaan buruknya.

Tapi, ada satu hal yang Zikri masih belum bisa lepaskan—rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia merasa belum cukup untuk menghapus semua kesalahan yang telah ia buat, terutama pada ibunya.

Suatu malam, setelah Zikri selesai shalat Isya’, ia duduk di ruang tamu, merenung tentang hidupnya. Tanpa ia sadari, Maryam datang dan duduk di sampingnya. Tanpa kata, ibu itu mengulurkan tangan dan memegang tangan Zikri dengan lembut.

“Bu, aku ingin minta maaf. Aku ingin menjadi anak yang lebih baik, bukan hanya untuk Ibu, tapi juga untuk Allah.” Zikri berkata dengan suara yang hampir pecah.

Maryam menatapnya dengan mata penuh haru. “Zikri, setiap langkahmu yang kamu ambil untuk menjadi lebih baik adalah langkah menuju ridha Allah. Ibu bangga padamu, nak.”

Zikri merasakan kehangatan di dadanya, seolah ada cahaya yang masuk dan menghangatkan seluruh jiwanya. Doa ibu, yang terus-menerus mengalir, kini mulai membentuk sebuah keyakinan baru dalam dirinya. Ia tahu, ia harus terus memperbaiki diri, bukan hanya untuk ibu, tetapi untuk dirinya sendiri, dan yang terpenting, untuk Allah.

Malam itu, Zikri merasa lebih dekat dengan Allah, dan dengan ibunya. Sebuah kedamaian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya, sebuah kedamaian yang datang setelah penyesalan dan kesadaran akan kasih sayang yang tak ternilai dari seorang ibu.

“Ibu, terima kasih. Aku akan berusaha, untukmu, untuk diri aku sendiri, dan untuk Allah.”

Maryam hanya tersenyum, memeluk anaknya dengan penuh kasih, dan Zikri merasa, untuk pertama kalinya, bahwa ia benar-benar pulang.

 

Jalan Menuju Perubahan

Hari-hari berlalu dengan lambat, tetapi bagi Zikri, setiap detik yang ia jalani terasa lebih bermakna. Ia mulai melihat dunia dengan cara yang berbeda, bukan lagi sebagai tempat untuk mencari kesenangan semata, tapi sebagai tempat yang penuh dengan ujian, pelajaran, dan kesempatan untuk mendekatkan diri pada Sang Pencipta.

Zikri kembali ke sekolah dengan tekad baru. Meskipun perasaan takut dan cemas sering datang, ia tidak ingin menyerah. Ia mulai memperbaiki hubungannya dengan teman-temannya, yang selama ini terabaikan karena ia terlalu sibuk mengejar kebebasan yang semu. Ia sadar, kebebasan yang selama ini ia cari hanya membuatnya semakin jauh dari jalan yang benar.

Di kelas, Zikri tidak lagi jadi anak yang suka meremehkan pelajaran. Ia mulai mengerjakan tugas-tugas dengan sungguh-sungguh, mencoba meraih apa yang selama ini selalu ia abaikan. Namun, di dalam hatinya masih ada sebuah keraguan—apakah ia bisa benar-benar berubah?

Pada suatu sore yang cerah, saat Zikri sedang duduk di bangku taman sekolah, seorang teman lama, Rasyid, datang menghampirinya. Rasyid adalah teman yang dulu selalu ikut dalam pergaulannya yang tidak sehat. Mereka sering menghabiskan waktu dengan hal-hal yang sia-sia, jauh dari ajaran agama.

“Zikri, lama tak jumpa. Kok kamu jadi pendiam begini? Nggak asyik lagi, ya?” tanya Rasyid dengan nada yang menggoda.

Zikri memandang Rasyid dengan mata yang tajam, namun kali ini ia tidak merasa terintimidasi. “Aku sedang mencoba untuk berubah, Ras. Aku nggak bisa terus-terusan hidup kayak gini.”

Rasyid tertawa kecil, tampak tidak terlalu serius mendengarkan. “Kamu? Berubah? Ayo, Zikri, jangan jadi orang yang sok religius deh. Kita kan cuma sekali hidup. Masa harus dihabiskan dengan sesuatu yang membosankan?”

Zikri menghela napas panjang. Ia bisa merasakan godaan yang mengintainya, namun kali ini ia merasa lebih kuat. “Kita memang hanya sekali hidup, Ras. Tapi hidup itu bukan hanya tentang bersenang-senang. Aku belajar banyak, terutama dari ibu.”

Rasyid mengangkat alis, sedikit bingung. “Ibumu? Hahaha, jadi kamu berubah cuma karena dia?”

“Lebih dari itu,” jawab Zikri tegas. “Aku sadar, hidup ini bukan cuma tentang aku. Ibu selalu mengajarkan tentang arti pengorbanan dan kasih sayang. Aku nggak mau terus hidup seperti yang dulu. Aku ingin memberi kebahagiaan buat ibu.”

Rasyid diam, tak tahu harus berkata apa. Zikri bisa melihat bahwa kata-katanya mulai masuk ke dalam hati temannya. Ia tahu, perubahan dirinya mungkin tak akan langsung diterima oleh orang-orang di sekitarnya, namun ia tetap yakin pada pilihan yang ia buat.

Meski Zikri sudah mulai memperbaiki banyak hal dalam hidupnya, perjalanan menuju perubahan itu tidaklah mudah. Setiap hari, selalu ada godaan yang datang, menguji tekadnya. Beberapa teman lama yang ia temui kembali menawarkan ajakan untuk kembali ke jalan yang salah, tapi Zikri belajar untuk menolaknya dengan cara yang lebih bijaksana.

Suatu hari, saat sedang duduk di ruang tamu rumah, Zikri mendengar percakapan antara ibunya dan ayahnya, yang sedang membicarakan tentang masa depan Zikri.

“Ayah khawatir, Maryam. Zikri masih terlihat belum sepenuhnya stabil,” kata ayah dengan nada cemas.

Maryam hanya menghela napas, kemudian berkata lembut, “Zikri memang masih dalam proses, tapi aku yakin dia akan baik-baik saja. Doa ibu adalah yang paling kuat, Zikri akan menemukan jalannya sendiri. Semua yang penting adalah dia sadar dan mau berubah.”

Zikri yang mendengar itu merasa seperti ada beban besar yang jatuh ke pundaknya. Ia tahu, ibunya selalu berdoa untuknya. Setiap malam, setiap waktu, bahkan saat ia tak tahu apa yang sedang terjadi, ibunya selalu mengirimkan doa yang tak terputus. Zikri merasa terharu dan semakin ingin membuktikan bahwa ia mampu menjadi anak yang lebih baik.

Pagi berikutnya, Zikri pergi ke masjid untuk shalat subuh. Meski agak sulit bagi dirinya yang dulu jarang melakukannya, ia tetap berusaha. Ketika selesai shalat, ia duduk termenung, mengingat segala yang telah ia lalui. Tiba-tiba, ia mendengar suara lembut yang akrab di telinganya.

“Ibu?” Zikri menoleh dan melihat Maryam berdiri di pintu masjid, memandangnya dengan senyum penuh kasih.

“Kenapa di sini, nak?” tanya Maryam.

Zikri terdiam sejenak, merasa sangat bersyukur. “Aku ingin dekat dengan Allah, Bu. Aku ingin memperbaiki diriku.”

Maryam mengangguk dan duduk di sebelahnya. “Zikri, tidak ada yang lebih membahagiakan seorang ibu selain melihat anaknya mencari kebaikan. Jangan pernah berhenti berusaha, nak. Allah selalu bersama orang-orang yang berusaha untuk memperbaiki diri.”

Zikri menatap ibunya dengan penuh rasa syukur, merasa bahwa doa ibunya adalah kekuatan yang luar biasa. Ia tahu, meskipun perjalanannya masih panjang, ia tidak akan pernah merasa sendirian. Selama ada ibu, doa, dan Allah, ia yakin ia bisa melalui apapun.

Sejak saat itu, Zikri semakin giat belajar dan mendalami agama, berusaha menghilangkan kebiasaan buruk yang selama ini mengganggunya. Di sekolah, ia mulai aktif dalam kegiatan keagamaan, membantu teman-temannya yang membutuhkan, dan menjadi pribadi yang lebih baik.

Namun, perubahan itu tidak hanya terasa di dirinya. Zikri merasakan ada sesuatu yang berbeda di rumahnya. Maryam semakin sering tersenyum, dan ayahnya, meski masih khawatir, terlihat lebih percaya pada langkah Zikri. Rumah itu, yang dulu terasa penuh dengan kecemasan, kini dipenuhi dengan harapan dan kebahagiaan. Zikri tahu, ia harus terus melangkah. Karena perjalanannya belum selesai.

 

Melangkah Menuju Surga

Beberapa bulan telah berlalu sejak Zikri memutuskan untuk mengubah arah hidupnya. Hari-hari yang dilaluinya kini penuh dengan keikhlasan dan tekad. Ia tahu, meski perubahannya tak tampak instan, langkah demi langkah yang ia ambil membawa dirinya semakin dekat dengan jalan yang benar.

Zikri terus menjaga hubungan dengan ibunya, lebih mendengarkan nasihatnya, dan mencoba untuk membahagiakan hati wanita yang telah melahirkan dan merawatnya dengan penuh kasih. Setiap kali ia merasa lelah atau ragu, Zikri selalu mengingat kata-kata ibunya yang terdalam: “Surga itu ada di bawah telapak kaki ibu.” Kalimat itu seperti cahaya yang menyinari jalan hidupnya, memberikan kekuatan untuk tetap berjalan meski terkadang ia merasa terjatuh.

Suatu pagi, Zikri duduk di teras rumah sambil memandangi matahari terbit, merasa damai. Saat itu, Maryam datang menghampirinya dengan senyum hangat di wajahnya. Ia membawa secangkir teh hangat, yang selalu menjadi kebiasaan mereka setiap pagi.

“Nak, kamu terlihat lebih tenang akhir-akhir ini. Apa yang kamu rasakan?” tanya Maryam sambil duduk di samping Zikri.

Zikri tersenyum, matanya tampak bersinar. “Aku merasa lebih baik, Bu. Aku merasa ada kedamaian yang datang dari dalam diri ini. Mungkin, karena aku sudah mulai mengerti apa arti pengorbanan ibu, dan aku ingin berusaha jadi anak yang lebih baik.”

Maryam mengangguk pelan, matanya berbinar bangga. “Aku selalu percaya padamu, Zikri. Doa ibu tak pernah berhenti, dan Allah selalu mendengar setiap doa itu.”

Zikri menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir menetes. Ia tahu, perjalanannya untuk mencari kebaikan tak akan pernah selesai. Namun, ia sudah menemukan kedamaian dalam dirinya. Ia sadar bahwa hidupnya bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk ibu yang selalu mendukungnya.

Kehidupan yang lebih baik bukan berarti tanpa ujian. Zikri tahu bahwa akan selalu ada tantangan yang harus dihadapi, namun ia merasa lebih siap. Setelah beberapa waktu, ia memutuskan untuk mengikuti program pengajian di masjid dan mulai aktif dalam kegiatan sosial. Zikri ingin menebus semua waktu yang telah ia sia-siakan, memberi manfaat bagi orang lain, dan membuat ibunya bangga.

Pada suatu hari, Zikri datang ke masjid setelah shalat berjamaah. Di sana, ia bertemu dengan Rasyid, yang kali ini tampak berbeda. Temannya itu tidak lagi dengan sikap acuh tak acuh, melainkan tampak serius, bahkan lebih pendiam dari biasanya.

“Zikri, aku… aku mulai merasa seperti kamu. Aku ingin berubah juga,” kata Rasyid, dengan suara yang penuh penyesalan.

Zikri terkejut, namun ia tahu bahwa perubahan itu adalah langkah yang tepat. “Aku senang mendengarnya, Ras. Kita bisa saling membantu untuk menjadi lebih baik.”

Rasyid mengangguk, dan Zikri menyadari bahwa setiap perubahan, sekecil apapun, bisa membawa dampak yang besar. Bahkan orang yang dulu sangat ia kenal sebagai teman yang salah, kini mulai terinspirasi untuk mencari kebaikan.

Beberapa bulan kemudian, Zikri mendapati dirinya berada di sebuah ruang seminar, memberikan ceramah kepada para remaja yang ingin memperbaiki diri, berbagi pengalaman tentang perubahan yang telah ia jalani. Di sana, ia melihat ibu tercinta hadir di antara para pendengar, dengan senyum bangga di wajahnya. Maryam selalu mendukung setiap langkah Zikri, meski ia tak pernah meminta penghargaan atau ucapan terima kasih.

Setelah ceramah selesai, Zikri mendekati ibunya dan memeluknya erat. “Terima kasih, Bu. Terima kasih telah menunjukkan jalan yang benar. Aku mungkin tidak bisa membayar semua pengorbananmu, tapi aku akan berusaha membuatmu bangga.”

Maryam membalas pelukannya, matanya berkaca-kaca. “Kamu sudah membuktikan segalanya, nak. Aku bahagia melihatmu menjadi anak yang baik. Dan, kamu tahu, surga itu memang di bawah telapak kaki ibu.”

Zikri tersenyum, merasakan ketenangan yang tak bisa dijelaskan. Ia tahu, perjalanan hidupnya baru saja dimulai. Ada banyak hal yang harus ia capai, banyak kesalahan yang harus diperbaiki, tetapi ia kini yakin bahwa setiap langkah yang ia ambil akan selalu dihiasi dengan doa dan kasih sayang dari ibunya.

Di dalam hatinya, Zikri merasa bahwa ia sudah menemukan surga di dunia ini, tepat di bawah telapak kaki ibunya.

 

Jadi, kalau kamu pernah ngerasa hidupmu terjatuh atau tersesat, ingatlah bahwa kasih ibu selalu ada untuk membimbingmu kembali. Perubahan itu nggak instan, tapi dengan niat tulus dan doa dari orang yang kita cintai, semuanya jadi mungkin.

Zikri udah buktiin kalau surga itu nggak jauh, malah ada di dekat kita—di bawah telapak kaki ibu. Jadi, yuk, mulai hargai dan berusaha menjadi lebih baik untuk orang-orang yang selalu ada buat kita.

Leave a Reply