Daftar Isi
Kadang, kita nggak tahu kenapa cinta bisa datang dan pergi begitu saja. Bahkan, saat kita udah berusaha sekuat hati untuk mempertahankannya, takdir malah bilang lain. Seperti kisah Naura dan Faiq, dua hati yang pernah saling berharap, tapi akhirnya harus belajar untuk melepaskan.
Cerita ini bukan cuma soal cinta yang nggak terbalas, tapi juga tentang ketulusan, pengorbanan, dan seberapa besar kita bisa ikhlas menerima kenyataan. Penasaran gimana perjalanan cinta yang penuh air mata ini? Yuk, simak cerita selengkapnya!
Takdir Cinta dan Keikhlasan
Pertemuan yang Tak Terduga
Naura duduk di ruang tamu rumahnya, memandangi secangkir teh yang sudah lama dingin. Pikirannya melayang ke mana-mana. Tak terasa, hari ini sudah beberapa kali ia menatap jam dinding yang terus bergerak tanpa henti, tetapi ada hal yang sama sekali tak bergerak—hati kecilnya.
Pagi itu, keluarganya mempersiapkan kedatangan tamu yang sangat penting. Ayah Naura, yang dikenal sangat bijaksana, pernah berbicara tentang kemungkinan pernikahannya dengan seseorang dari keluarga terpandang. Naura, yang sejak lama merasa bahwa cinta bukanlah hal yang perlu dipaksakan, tidak tahu apa yang sebaiknya ia rasakan saat mendengar kabar ini. Tentu saja, ia tidak ingin menolak keinginan orang tuanya, tetapi di dalam hati, ia merasakan kegelisahan yang tak terdefinisikan.
“Ada apa, Naura? Kok terlihat melamun begitu?” tanya ibunya, yang masuk ke ruang tamu dengan senyum ceria.
Naura menoleh, mencoba menunjukkan senyum terbaiknya. “Ah, nggak, Bu. Hanya… agak capek aja.”
Sebenarnya, Naura tidak merasa capek. Ia merasa sangat cemas, tapi tak ingin menunjukkan itu. Hari ini adalah hari yang penting, karena Faiq, pria yang menurut orang tuanya sangat cocok dengannya, akan datang ke rumah mereka. Ia hanya mendengar tentangnya dari cerita-cerita, tapi tak pernah bertemu secara langsung.
Tiba-tiba, bel pintu terdengar. Suara itu cukup keras untuk mengganggu ketenangannya. Ayah Naura yang berdiri di dekat pintu segera membukanya, dan Naura bisa melihat dua sosok yang masuk—seorang lelaki dan seorang wanita yang elegan. Wanita itu mengenakan jilbab putih yang anggun, tampak begitu tenang. Lelaki di sampingnya, yang tak lain adalah Faiq, mengenakan pakaian yang rapi dan sederhana, tetapi ada aura ketenangan yang begitu kuat terpancar darinya.
“Aa, Naura,” panggil ayahnya sambil tersenyum, “Ini Faiq, anak dari keluarga yang sudah kami kenal lama. Dan ini, ibu Faiq.”
Naura berdiri dan menyambut mereka dengan senyuman yang terkendali. Faiq menatapnya dengan pandangan yang tidak terburu-buru. Matanya tenang, seolah menyimpan banyak cerita yang belum terungkap. Faiq tidak berkata banyak, hanya memberikan salam dengan suara yang lembut, membuat Naura merasa sedikit canggung.
“Selamat datang, Faiq,” Naura berkata pelan, berusaha untuk tidak menunjukkan ketegangan di hatinya. “Silakan duduk.”
Mereka duduk di ruang tamu yang sederhana namun nyaman. Percakapan pun dimulai, diawali dengan topik-topik yang biasa, tentang keluarga, pendidikan, dan sebagainya. Naura, yang sejak tadi terdiam, mencoba ikut serta dalam percakapan, meski pikirannya tetap melayang ke arah hal lain. Ia merasa ada sesuatu yang berbeda dari Faiq—sesuatu yang tak bisa ia pahami dengan jelas, tapi bisa ia rasakan.
Faiq berbicara dengan nada yang sangat tenang, seolah-olah tak ada tekanan apapun. Ia bercerita tentang studinya di luar kota, tentang cita-citanya yang ingin berkontribusi pada masyarakat, dan tentang keluarganya yang selalu mengajarkan nilai-nilai agama yang sangat kuat. Naura, yang awalnya merasa aneh dan canggung, mulai merasa terkesan dengan ketulusan Faiq, meskipun ia tahu bahwa ini hanya pertemuan pertama dan semuanya masih terasa sangat formal.
“Apa kamu sudah pernah ke tempat ini sebelumnya?” tanya Naura, mencoba mencairkan suasana.
Faiq tersenyum tipis, tatapannya tetap teduh. “Belum, baru pertama kali. Tapi rumahmu sangat nyaman, Naura.”
Naura mengangguk, sedikit terkejut mendengar pujian itu. “Terima kasih. Semoga kamu merasa betah.”
Obrolan berlanjut dengan topik ringan, tetapi ada yang aneh. Di setiap kata yang keluar dari mulut Faiq, ada ketenangan yang tak biasa. Faiq bukanlah tipe orang yang banyak bicara, namun ia selalu mampu membuat orang merasa nyaman. Ini adalah hal yang membuat Naura merasa semakin cemas. Meskipun ia merasa nyaman dalam percakapan itu, ada ketegangan di dalam dirinya yang tak bisa dijelaskan.
Seiring berjalannya waktu, suasana menjadi semakin akrab, tetapi di dalam hati Naura, ada satu pertanyaan besar yang terus mengganggu. Kenapa ia merasa seperti ini? Kenapa jantungnya berdebar lebih kencang saat Faiq menatapnya dengan mata yang begitu dalam? Apakah ini hanya perasaan sementara? Atau… ada sesuatu yang lebih dari itu?
Ketika Faiq hendak berpamitan, ia menatap Naura dengan pandangan yang lebih intens. Naura merasa ia ditarik ke dalam sebuah kedalaman yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.
“Naura,” panggil Faiq lembut, membuat Naura menoleh. “Aku senang bisa mengenalmu hari ini. Semoga kita bisa berjumpa lagi dalam waktu dekat.”
Naura hanya mengangguk, mencoba mengontrol perasaan yang tiba-tiba datang begitu kuat. “Aku juga senang bisa bertemu denganmu, Faiq.”
Setelah itu, Faiq dan ibunya berpamitan dengan sangat sopan. Naura berdiri di pintu, menyaksikan mereka pergi, namun perasaan di dalam hatinya semakin membingungkan. Ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, tapi yang pasti, pertemuan pertama ini telah mengubah segalanya.
Di malam hari, saat Naura duduk sendiri di kamar, memikirkan semuanya, hatinya terasa penuh dengan banyak perasaan. Ada rasa bingung, ada rasa cemas, dan ada sesuatu yang terasa sangat dekat, namun juga sangat jauh.
“Ya Allah,” bisiknya dalam doa, “aku serahkan semuanya kepada-Mu. Jika dia adalah jodohku, maka dekatkanlah. Jika tidak, berilah aku kekuatan untuk menerima takdir-Mu.”
Naura menutup matanya, berdoa dengan sepenuh hati, tanpa mengetahui bahwa perjalanan ini akan membawa mereka pada sebuah takdir yang lebih besar dan lebih rumit dari yang pernah ia bayangkan.
Cinta yang Tertunda
Beberapa minggu setelah pertemuan itu, hidup Naura kembali seperti biasa. Ia melanjutkan rutinitasnya, mengajar anak-anak di pesantren, dan menjaga dirinya dalam kesederhanaan yang selalu ia pilih. Meski begitu, perasaan aneh itu masih terus menghantui. Faiq hadir dalam pikirannya lebih sering daripada yang ia inginkan, seperti bayangan yang tak bisa dihapuskan begitu saja.
Hari-hari berlalu, dan meskipun Naura berusaha keras untuk tidak memikirkan Faiq, kenyataannya adalah ia tak bisa melupakan ketenangan yang dipancarkan lelaki itu. Setiap kali ayahnya atau ibunya menyebutkan Faiq, hatinya terasa sesak, seperti ada yang ingin ia ungkapkan tetapi tak mampu. Faiq, dengan segala kelembutan dan kesungguhan yang ia miliki, membuat hati Naura terperangkap dalam kebingungannya sendiri.
Suatu sore, Naura sedang duduk di pelataran rumah, menikmati secangkir teh manis yang dibuat oleh ibunya. Angin sepoi-sepoi meniup lembut, dan langit yang mulai memerah memberi suasana yang tenang. Namun, saat itu juga, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
“Assalamu’alaikum, Naura. Apa kabar? Semoga selalu dalam lindungan Allah.”
Itu pesan dari Faiq.
Naura terdiam sejenak, menatap pesan itu dalam diam. Sudah beberapa kali Faiq mengirimkan pesan seperti itu, menanyakan kabar dan memberi doa-doa yang tulus. Naura tak bisa mengabaikan rasa yang datang setiap kali pesan itu muncul di layar ponselnya. Ada rasa hangat yang mengalir di dalam dadanya, tetapi juga ada rasa takut yang mengikutinya. Takut jika ia terlalu berharap, takut jika perasaan ini hanya akan berakhir sia-sia.
“Waalaikumsalam, Faiq. Alhamdulillah, aku baik-baik saja. Semoga kamu juga demikian.”
Naura membalas pesan itu dengan hati yang berdebar. Beberapa saat kemudian, pesan balasan datang.
“Alhamdulillah. Aku ingin mengajakmu bertemu suatu saat nanti, jika kamu tidak keberatan. Aku ingin bicara tentang banyak hal.”
Pesan itu membuat Naura tertegun. Faiq ingin bertemu dengannya lagi? Keinginan yang sudah sejak lama ia pendam mulai muncul ke permukaan. Naura tahu bahwa pertemuan ini bisa berarti banyak hal, tapi ia tidak tahu apa yang sebaiknya ia rasakan.
Dalam keraguan itu, Naura memutuskan untuk memberikan jawaban.
“Tentu saja. Kapan pun kamu ingin bertemu, aku akan berusaha menyempatkan waktu.”
Setelah mengirimkan balasan itu, Naura merasa hati dan pikirannya semakin kacau. Keinginan untuk bertemu dengan Faiq begitu kuat, namun ia juga merasa cemas. Apa yang sebenarnya Faiq inginkan? Apakah ia hanya ingin menjadi teman, ataukah ada hal lain yang ingin ia ungkapkan?
Beberapa hari kemudian, Faiq menghubunginya lagi untuk mengatur pertemuan. Mereka sepakat untuk bertemu di sebuah taman yang sepi, tempat yang tenang untuk berbicara tanpa gangguan. Naura merasa jantungnya berdebar saat menuju tempat itu. Saat ia tiba, Faiq sudah duduk di sebuah bangku panjang di bawah pohon besar, mengenakan kemeja putih dan celana panjang gelap.
Faiq tersenyum ketika melihatnya. “Assalamu’alaikum, Naura.”
“Waalaikumsalam, Faiq.” Naura membalas salamnya, meski suara di hatinya mulai bergetar.
Mereka duduk bersama, dan untuk beberapa saat, hanya ada keheningan. Angin sore berhembus lembut, dan Naura merasa sedikit canggung, namun di saat yang sama, ada rasa nyaman yang membuatnya tidak ingin mengalihkan pandangan dari Faiq.
“Ada yang ingin aku bicarakan denganmu, Naura,” kata Faiq, suaranya serius namun tetap tenang. “Tentang… masa depan kita.”
Mendengar kata-kata itu, Naura terkejut. Hatinya seperti terhenti sesaat. Apa maksudnya?
Faiq melanjutkan, “Aku tahu ini mungkin terdengar tiba-tiba, tetapi aku ingin kamu tahu bahwa aku sangat menghargai perasaan ini. Sejak pertama kali bertemu denganmu, aku merasa ada sesuatu yang istimewa.”
Naura menundukkan kepala, berusaha menenangkan dirinya. “Faiq… Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan.”
Faiq tersenyum, mengerti kebingungannya. “Aku paham. Aku tidak ingin memaksamu, Naura. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku menganggapmu sangat berarti, dan aku berharap kita bisa saling mengenal lebih dalam.”
Perkataan Faiq begitu sederhana, namun sangat jelas. Naura merasa ada kehangatan yang menyelimuti hatinya, tetapi juga ketakutan yang mendalam. Bagaimana jika perasaan ini tak sejalan dengan apa yang diinginkan oleh keluarga mereka? Bagaimana jika ini hanya sebuah perasaan sementara, yang akhirnya akan menggoreskan luka?
“Aku… aku ingin mengenalmu lebih baik juga, Faiq,” kata Naura akhirnya, suaranya hampir berbisik. “Tapi aku takut. Aku takut jika ini hanya akan berakhir menyakitkan.”
Faiq menatapnya dengan penuh pengertian. “Aku tidak akan membuatmu merasa sakit, Naura. Aku ingin kita berjalan bersama, dengan niat yang baik, dan saling mendoakan.”
Naura menatap Faiq lama. Ada ketulusan di matanya yang membuat hatinya mulai meleleh. Ia ingin percaya. Ia ingin merasakan cinta yang mungkin sudah lama ia inginkan. Namun, ada sesuatu yang menghalanginya—takdir, yang selalu berada di luar jangkauan mereka.
Pada akhirnya, mereka duduk dalam diam, tetapi tidak ada lagi rasa canggung. Hati Naura terasa lebih ringan, meskipun perasaan ragu masih menyelimuti. Mungkin ini adalah awal dari sesuatu yang besar, atau mungkin juga hanya sebuah kenangan indah yang harus diterima dengan lapang dada. Namun, untuk saat ini, Naura hanya ingin menikmati momen ini—bersama Faiq, dengan segala ketulusan yang ada di dalam hati mereka berdua.
Ketulusan yang Menguji
Hari-hari setelah pertemuan itu berlalu dengan cepat. Naura kembali sibuk dengan rutinitasnya di pesantren, tetapi kali ini ada sesuatu yang berbeda. Hatinya tak lagi merasa kosong, karena Faiq telah mengisi sebagian besar ruang itu dengan perhatian dan doa-doanya. Meskipun tak selalu bertemu, percakapan mereka lewat pesan singkat atau telepon selalu menjadi pengisi hari-harinya. Namun, semakin lama, semakin banyak rasa ragu yang muncul dalam benaknya.
Ia merasa seperti terjebak di antara harapan dan kenyataan. Keinginan untuk lebih dekat dengan Faiq begitu kuat, tetapi ia tahu betul bahwa jalan mereka tidak akan mudah. Ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. Ada keluarga, ada masa depan yang tak pasti, dan yang terpenting—ada hati yang harus dijaga agar tetap lurus di jalan Allah.
Suatu pagi, setelah shalat Subuh, Naura duduk di serambi rumahnya, memandang matahari yang mulai terbit di balik pegunungan. Udara segar menyentuh wajahnya, namun hatinya tetap gelisah. Ia tak bisa menepis perasaan itu. Faiq—laki-laki yang penuh ketulusan dan kehangatan—tetap ada dalam pikirannya, tapi ia tahu jalan yang mereka pilih harus sesuai dengan apa yang telah digariskan oleh Allah.
Ponselnya berdering. Satu pesan masuk dari Faiq.
“Naura, aku ingin mengajakmu berbicara tentang sesuatu yang penting. Apakah kamu ada waktu untuk bertemu?”
Naura membaca pesan itu dengan hati yang berdebar. Ketika Faiq berkata bahwa ia ingin berbicara tentang sesuatu yang penting, Naura tahu bahwa itu bukan hal yang sepele. Mungkin ini adalah percakapan yang akan menentukan arah hubungan mereka. Naura memikirkan sejenak, lalu membalas pesan itu dengan hati-hati.
“Tentu, Faiq. Aku bisa bertemu. Kapan?”
Tak lama, pesan balasan datang.
“Bagaimana kalau sore nanti? Kita bisa bertemu di taman yang biasa.”
Naura setuju. Ia merasa cemas, tapi juga penasaran dengan apa yang ingin disampaikan Faiq. Rasa ingin tahu itu terus mendorongnya untuk melangkah maju, meskipun hatinya terasa berat.
Saat sore hari tiba, Naura berjalan menuju taman yang sudah mereka sepakati. Seperti biasa, Faiq sudah menunggu di bangku panjang di bawah pohon besar. Senyumannya yang lembut membuat hati Naura sedikit tenang, tetapi kecemasan tetap ada di dalam dirinya.
“Assalamu’alaikum, Naura,” sapa Faiq dengan suara tenang.
“Waalaikumsalam, Faiq.” Naura membalas salamnya, duduk di sampingnya dengan hati yang berdebar. Ia bisa merasakan ketegangan yang ada di udara, meskipun Faiq berusaha membuat suasana menjadi ringan.
Faiq menatapnya serius. “Naura, aku ingin jujur denganmu. Aku sudah merenung lama, dan aku ingin mengajakmu berbicara tentang masa depan kita. Tentang apa yang sebenarnya kita harapkan dari hubungan ini.”
Naura menundukkan kepala. Ia tahu pembicaraan ini akan sulit. “Aku… aku sudah tahu bahwa kita harus memikirkan masa depan dengan lebih matang, Faiq,” jawabnya pelan. “Tapi aku juga takut. Takut jika akhirnya kita terjebak dalam perasaan yang tidak jelas arahnya.”
Faiq menghela napas. “Aku mengerti ketakutanmu, Naura. Aku juga merasa hal yang sama. Tapi satu hal yang perlu kamu tahu, aku benar-benar ingin berjalan bersama denganmu, dalam cara yang benar, di jalan yang Allah ridhoi.”
Naura menatap Faiq dengan mata yang penuh harapan. “Tapi, Faiq… aku tidak tahu apakah aku cukup kuat untuk itu. Aku tidak ingin mengecewakan orangtuaku, atau membuat mereka terluka karena keputusan yang aku ambil.”
Faiq menggenggam tangan Naura dengan lembut. “Aku tahu, Naura. Aku tahu betapa pentingnya keluarga bagimu. Aku juga merasa sama. Tetapi, aku percaya jika kita berjalan di jalan yang benar, jika kita berdoa dan memohon petunjuk Allah, Allah akan memberi jalan yang terbaik untuk kita.”
Naura diam sejenak. Ia merasakan kehangatan dari genggaman tangan Faiq, tetapi perasaan takut dan ragu itu kembali muncul. Bagaimana jika mereka salah? Bagaimana jika harapan-harapan itu hanya akan berakhir dengan kekecewaan? Ia tahu bahwa ia harus mempertimbangkan banyak hal. Namun, di sisi lain, ada perasaan yang tidak bisa ia nafikan—perasaan yang semakin dalam tumbuh dalam hatinya untuk Faiq.
“Aku ingin mencoba, Faiq,” jawab Naura akhirnya, dengan suara yang terdengar sangat pelan namun penuh ketulusan. “Tapi aku ingin kita menjalani ini dengan sangat hati-hati. Aku ingin agar semuanya sesuai dengan syariat Islam. Kita harus jujur, harus menjaga hati kita agar tidak terjerumus pada hal-hal yang tidak baik.”
Faiq tersenyum mendengarnya. “Aku berjanji, Naura. Kita akan bersama-sama menjaga hati kita. Kita akan saling mendukung untuk menjadi pribadi yang lebih baik, untuk mencapai tujuan yang lebih mulia. Aku akan menunggu kamu, jika itu yang kamu inginkan.”
Naura merasa lega mendengar kata-kata itu. Meskipun jalan mereka masih panjang dan penuh tantangan, setidaknya mereka memiliki niat yang sama. Mereka ingin saling menjaga dan mengarungi kehidupan dengan penuh kesabaran dan keyakinan kepada Allah.
Saat mereka berbicara lebih lanjut, waktu terasa berlalu begitu cepat. Ketika Naura berdiri untuk pulang, Faiq kembali menatapnya dengan senyuman hangat. “Naura, terima kasih sudah mau mendengarkan hatiku. Aku berharap ini bukan akhir dari pertemuan kita, melainkan awal dari perjalanan kita bersama.”
Naura tersenyum malu, tetapi hatinya terasa sedikit lebih tenang. “Aamiin, Faiq. Semoga Allah memberikan jalan yang terbaik untuk kita.”
Mereka berpisah dengan doa dan harapan, namun di dalam hati masing-masing, rasa cemas dan ragu masih ada. Meskipun demikian, mereka berdua tahu bahwa langkah pertama sudah diambil, dan sekarang saatnya untuk menyerahkan segala sesuatu pada takdir dan kehendak Allah.
Takdir yang Menyapa
Waktu terus berputar, dan Naura menjalani hari-harinya dengan perasaan yang lebih tenang, meski hatinya tetap dipenuhi dengan banyak pertanyaan. Keputusan untuk berjalan bersama Faiq, meski dilakukan dengan hati-hati dan penuh doa, tidak serta merta membuat semuanya menjadi mudah. Setiap langkah yang mereka ambil terasa penuh ujian, tetapi Naura tetap merasa bahwa setiap doa yang mereka panjatkan menjadi penguat.
Hari-hari itu penuh dengan pertemuan yang semakin jarang. Faiq, yang juga sibuk dengan urusannya, seringkali harus menghadap banyak hal, dan Naura pun tak bisa menghindari kenyataan bahwa dirinya harus lebih fokus pada kewajibannya sebagai seorang santriwati. Namun, mereka masih saling berhubungan, berbicara tentang segala hal—tentang kehidupan, harapan, dan apa yang ingin mereka capai bersama di masa depan.
Namun, semakin lama Naura merasa ada jarak yang semakin lebar antara mereka. Tidak ada kata-kata yang terucap, tetapi di dalam hatinya, Naura merasa perubahan itu. Sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan pasti, tetapi yang pasti—sesuatu dalam hubungan mereka mulai merasakan kegelisahan.
Satu malam, setelah shalat Isya, Naura duduk sendiri di kamarnya. Pikirannya kembali mengingat Faiq dan semua yang telah mereka bicarakan. Perasaan itu datang lagi—perasaan yang sulit untuk diungkapkan dengan kata-kata. Ia merasa bingung dan terombang-ambing di antara dua jalan yang saling berseberangan: jalan yang penuh dengan harapan, tetapi juga dipenuhi dengan ketidakpastian.
Ponselnya berdering lagi, dan nama Faiq muncul di layar. Naura menatap layar itu dengan perasaan yang bercampur aduk. Apakah ini saatnya mereka membicarakan sesuatu yang lebih penting? Naura mengambil nafas panjang, lalu menerima panggilan itu.
“Assalamu’alaikum, Naura,” suara Faiq terdengar dari ujung telepon, lembut namun penuh dengan keheningan yang aneh.
“Waalaikumsalam, Faiq. Ada apa?” jawab Naura, mencoba untuk terdengar tenang meski hatinya berdebar.
“Naura,” suara Faiq terdengar lebih berat kali ini, “Aku ingin kita berbicara. Tentang kita.”
Naura menelan ludah. “Apa maksudnya, Faiq? Apa ada yang salah?”
“Naura, aku tahu ini sangat sulit untuk diungkapkan, tapi aku rasa aku sudah mencoba untuk memperjuangkan ini sebaik mungkin. Namun, aku merasa… aku merasa aku belum siap untuk melangkah lebih jauh. Mungkin aku bukan orang yang tepat untukmu.”
Naura terdiam. Kata-kata itu seperti petir yang menyambar di tengah malam yang hening. Segala perasaan yang selama ini ia tahan mulai meluap, tetapi ia berusaha untuk tetap tenang. “Jadi, kamu ingin mengakhiri ini?” tanyanya pelan.
Faiq tidak menjawab langsung. Ada keheningan yang terasa begitu berat, lalu terdengar suara Faiq yang bergetar. “Aku tidak ingin melukai perasaanmu, Naura. Aku tahu ini bukan yang terbaik untukmu. Aku merasa kalau aku terus melanjutkan hubungan ini, aku akan membuatmu terluka lebih dalam lagi. Aku ingin kamu bahagia, dan aku rasa itu bukan bersama aku.”
Naura menutup mata. Ia bisa merasakan ketulusan di balik kata-kata itu, namun hatinya tetap merasa hancur. Ia telah mencoba untuk menerima perasaan ini dengan sepenuh hati, mencoba untuk berjalan bersama Faiq dalam langkah yang benar, tetapi kenyataannya berbicara lain.
“Tapi aku… aku sudah mencoba untuk menjaga hatiku, Faiq. Aku sudah berusaha untuk yakin bahwa ini adalah yang terbaik,” Naura menjawab dengan suara bergetar, menahan tangis yang ingin pecah. “Kenapa kita harus berhenti? Kenapa kita tidak bisa terus berjuang bersama?”
Faiq terdiam sejenak. “Aku tidak ingin kamu merasa terjebak. Aku tidak ingin kamu merasa bahwa kamu harus memilih antara aku dan yang terbaik untuk dirimu. Mungkin, untuk saat ini, jalan kita harus berpisah.”
Naura merasakan hatinya pecah. Semua yang ia impikan, semua yang ia rasakan, seolah lenyap begitu saja. Kekecewaan itu begitu dalam, dan rasa sakit yang hadir tidak bisa ia bendung. Namun, di dalam kesedihan itu, ada rasa syukur yang mulai tumbuh—rasa syukur karena Faiq tidak memaksanya untuk memilih jalan yang salah, meskipun hatinya hancur karena kehilangan seseorang yang begitu ia harapkan.
“Aku mengerti, Faiq,” Naura berkata dengan suara pelan, meskipun hatinya berantakan. “Aku juga ingin yang terbaik. Aku harap Allah memberikan petunjuk-Nya, dan kita bisa bahagia, meskipun itu berarti kita harus berpisah.”
“Aamiin, Naura,” jawab Faiq dengan lembut. “Aku selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga Allah memberi petunjuk yang benar untuk kita masing-masing.”
Setelah percakapan itu, Naura menutup telepon dan duduk diam di kamarnya. Air mata mengalir tanpa bisa dihentikan. Rasa kehilangan itu begitu dalam, namun Naura tahu bahwa Allah selalu memiliki rencana yang lebih baik. Mungkin cinta mereka bukanlah yang terbaik untuk dunia ini, tetapi Naura yakin bahwa Allah akan memberikan cinta yang lebih indah, yang lebih sesuai dengan takdir-Nya.
Di tengah tangisnya, Naura merasa ada sebuah ketenangan yang mulai meresap dalam hatinya. Meski Faiq bukan bagian dari hidupnya, Naura tahu bahwa Allah selalu dekat, dan Dia lah yang akan menyembuhkan hatinya. Dengan penuh keyakinan, Naura berdoa, memohon agar diberi ketabahan dan kebahagiaan yang sejati, yang hanya bisa datang dari-Nya.
Takdir mungkin telah membawa mereka pada perpisahan, tetapi Naura tahu bahwa dengan setiap perpisahan, ada jalan baru yang menanti. Sebuah perjalanan baru yang penuh harapan dan berakhir di tempat yang lebih indah, di bawah kasih sayang-Nya.
Jadi, begitulah cerita Naura dan Faiq, tentang cinta yang tak selalu berakhir bahagia seperti yang kita harapkan. Kadang, melepaskan itu lebih berat daripada mempertahankan, tapi dengan ikhlas, kita bisa menemukan kedamaian.
Karena, seperti yang kita tahu, takdir Tuhan selalu punya alasan yang lebih baik untuk setiap perpisahan. Semoga cerita ini bisa mengingatkan kita semua bahwa dalam setiap kesedihan, ada pelajaran berharga dan harapan yang menanti di ujung jalan. Terus percaya, karena Allah selalu punya rencana terbaik.