Daftar Isi
Gimana rasanya mencintai dalam diam? Nggak pernah bilang, nggak pernah ngungkapin, tapi tetap berharap agar semua doa dan harapan sampai ke yang dicinta. Kadang, kita merasa lebih baik menjaga perasaan itu, takut kalau kata-kata justru merusak semuanya.
Tapi, siapa sangka, Allah selalu punya cara untuk menjawab doa, bahkan tanpa kita ungkapkan sepatah kata pun. Cerita ini tentang cinta yang disimpan rapat-rapat, tentang doa yang dipanjatkan dalam hening, dan tentang bagaimana semuanya bisa jadi lebih indah dengan sabar dan kepercayaan.
Cinta dalam Diam
Cinta yang Tersembunyi dalam Doa
Sejak kecil, Faizan sudah diajarkan oleh kedua orang tuanya untuk selalu menjaga hatinya. Ayahnya sering berkata, “Cinta yang sejati adalah cinta yang tidak terburu-buru, Faizan. Cinta yang datang dalam diam dan doa adalah yang paling murni.” Kata-kata itu mengingatkan Faizan setiap kali hatinya tergelitik oleh perasaan yang tak bisa ia ungkapkan. Namun, ada satu sosok yang membuat perasaan itu muncul setiap kali ia menatapnya. Sosok itu bernama Zafira.
Pagi itu, seperti biasa, Faizan sudah berada di masjid. Ia selalu datang lebih awal sebelum azan pertama berkumandang, menjaga kebiasaan yang sudah ia jalani sejak muda. Tangannya sibuk membersihkan karpet masjid, menyiapkan tempat untuk jamaah yang akan datang. Sinar matahari yang menerobos jendela masjid menyorot wajahnya yang tenang, dengan kerutan halus di dahi tanda keseriusan.
Hatinya terasa berat. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya pagi ini. Zafira. Perasaan itu datang lagi, seperti sudah menjadi kebiasaan setiap kali mereka berpapasan. Tetapi Faizan tahu, ini bukan waktunya untuk terbawa perasaan. Ia memilih untuk tetap tenang, berdoa dalam diam, dan berharap Allah menunjukkan jalan yang terbaik.
Saat azan pertama berkumandang, Faizan mendengar langkah kaki di belakangnya. Ia berbalik, dan di sana, di depan pintu masjid, berdiri Zafira. Perempuan itu mengenakan jilbab putih, dengan gaun panjang yang sederhana namun sangat anggun. Wajahnya berseri, dengan senyum kecil yang membuat Faizan seketika terdiam.
“Assalamu’alaikum, Faizan,” sapanya lembut. Suara Zafira begitu merdu, membuat Faizan sedikit terkejut, tetapi ia cepat menenangkan dirinya.
“Wa’alaikumsalam, Zafira. Ada yang bisa aku bantu?” jawab Faizan dengan suara yang sengaja ia lembutkan, meskipun hatinya berdebar.
Zafira tersenyum, lalu melihat sekeliling masjid. “Aku hanya ingin memastikan semuanya siap sebelum kajian dimulai. Ada yang perlu dibantu?” tanyanya.
Faizan menunduk, merasa sedikit kikuk. “Semuanya sudah siap. Terima kasih sudah datang lebih awal. Kalau ada yang perlu nanti, pasti aku kabari.”
Zafira mengangguk, tapi matanya tak lepas dari wajah Faizan. “Aku selalu senang datang ke sini. Rasanya tenang,” ucapnya, perlahan.
“Masjid ini memang selalu memberikan kedamaian,” jawab Faizan, berusaha terlihat biasa saja meskipun hatinya terus bertanya-tanya, apakah Zafira merasa hal yang sama?
Namun, percakapan mereka terhenti ketika seorang jamaah lain datang, membawa kotak-kotak kecil yang berisi makanan untuk konsumsi setelah kajian. Zafira segera mengalihkan perhatiannya, membantu pemuda itu membawa kotak-kotak tersebut. Faizan hanya mengamatinya, namun tak ada yang bisa ia lakukan. Ia tahu, Zafira adalah perempuan yang penuh perhatian, dan ia sendiri tak ingin mengganggu kesibukannya.
Hari itu, kajian berjalan dengan lancar. Faizan duduk di barisan depan, khusyuk mendengarkan ustaz yang memberikan materi. Di sisi lain, Zafira duduk bersama teman-temannya di barisan tengah. Sekali lagi, Faizan menatap Zafira dari jauh, berharap agar Allah memberikan petunjuk mengenai perasaannya ini. Namun, saat itu juga, ia berusaha menahan diri.
Setelah kajian selesai, Faizan kembali ke ruangannya untuk melanjutkan beberapa tugas mengajinya. Ia mengambil tempat di sudut yang sepi, berharap bisa lebih fokus. Namun, bayangan Zafira tak bisa hilang dari benaknya. Rasanya seperti ada sesuatu yang mengikat mereka, meskipun mereka belum pernah benar-benar berbicara panjang.
Di dalam kesunyian, Faizan memejamkan matanya dan mengangkat tangannya dalam doa. Di bawah langit malam yang terang, ia berdoa seperti biasa, dengan hati yang penuh harap.
“Ya Allah, Engkau mengetahui setiap rasa yang ada di dalam hatiku. Aku mencintainya dengan cara yang Engkau ridhai, dalam diam yang penuh sabar. Jika Zafira adalah takdir yang terbaik untukku, dekatkanlah kami dalam cara yang penuh berkah. Namun, jika perasaan ini hanya akan membuatku jauh dari jalan-Mu, hilangkanlah rasa ini dan gantilah dengan ketenangan hati.”
Faizan mengucapkan doa itu dengan penuh keyakinan, berharap Allah mengarahkan hatinya. Sebab, ia tahu bahwa cinta yang dipupuk dalam doa adalah cinta yang paling suci, dan hanya Allah yang mampu menentukan apakah jalan ini akan berlanjut atau berhenti di sini.
Keheningan masjid kembali menyelimuti Faizan. Ia duduk di tempat yang sama, mencoba untuk melanjutkan hafalan Al-Qurannya. Namun, perasaannya masih terfokus pada Zafira. Hatinya tak pernah bisa benar-benar tenang tanpa mengetahui bagaimana Zafira merasa.
Tiba-tiba, pintu masjid terbuka, dan masuklah Zafira. Kali ini, ia tidak sendirian. Ia datang bersama beberapa anak yatim yang akan mengikuti kegiatan sosial yang diadakan oleh masjid. Mereka semua tampak ceria, membawa banyak tas dan peralatan yang dibutuhkan untuk kegiatan. Zafira terlihat sangat sibuk membantu anak-anak itu, memastikan semuanya berjalan dengan baik.
Faizan hanya bisa melihat dari kejauhan. Ia tahu, Zafira adalah perempuan yang sangat peduli dengan sesama, sesuatu yang membuat Faizan semakin kagum padanya. Namun, ia juga tahu bahwa mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk mendekatkan diri lebih jauh. Ia memutuskan untuk tetap menjaga jarak, mengikuti prinsipnya untuk mencintai dalam diam dan berdoa.
Namun, takdir seolah punya rencananya sendiri. Saat Zafira tengah membawa tas besar berisi perlengkapan untuk kegiatan, ia tak sengaja tersandung di ujung karpet masjid. Tas itu terjatuh, dan beberapa barang di dalamnya berhamburan. Faizan yang melihat kejadian itu segera berlari untuk membantu.
“Zafira, hati-hati!” serunya, tak mampu menahan khawatir saat melihatnya terjatuh.
Zafira mengangkat wajahnya, terkejut mendengar suara Faizan. “Oh, Faizan, terima kasih…” Ia terlihat malu.
Faizan segera membantunya mengumpulkan barang-barang yang berjatuhan. “Tidak apa-apa, Zafira. Hati-hati lain kali,” jawabnya, mencoba terdengar tenang meski hatinya berdebar kencang.
Sesaat setelah itu, Zafira tersenyum padanya. “Aku… Aku rasa aku sedikit canggung. Terima kasih sudah membantu.”
Faizan hanya bisa tersenyum, meskipun hatinya masih penuh tanya. Ia ingin sekali mengungkapkan rasa yang sudah lama ia pendam, tetapi entah mengapa, ia merasa belum waktunya. Zafira masih terlalu jauh dari dirinya, dan doa adalah satu-satunya cara untuk menjaga hatinya tetap di jalan yang benar.
“Tidak masalah. Kalau ada yang perlu dibantu lagi, aku di sini,” jawab Faizan sambil tersenyum hangat.
Zafira mengangguk, kemudian bergegas melanjutkan tugasnya. Sementara Faizan berdiri di sana, matanya masih mengamati langkah Zafira yang semakin menjauh.
Di dalam hatinya, ada doa yang terus ia panjatkan. Cinta yang ia simpan dalam diam ini hanya bisa ia percayakan kepada Allah. “Ya Allah, jika Zafira adalah takdirku, dekatkan kami dengan cara yang Engkau ridhai. Jika tidak, hilangkanlah rasa ini dengan lembut.”
Faizan tahu, cinta yang tidak terucap dalam dunia ini, pasti akan dihargai oleh Allah dengan cara yang indah. Namun, ia juga sadar bahwa Allah adalah pemilik takdir terbaik. Dan untuk saat ini, ia akan terus berdoa, menjaga hatinya, hingga waktu yang tepat tiba.
Pertemuan Tak Sengaja di Dapur Masjid
Hari-hari berlalu, dan Faizan merasa hidupnya mulai kembali tenang, meskipun perasaan terhadap Zafira tak kunjung hilang. Ia terus menjalani rutinitasnya di masjid dengan penuh dedikasi, namun hatinya sering teralihkan pada Zafira yang senantiasa hadir dalam setiap doa dan lamunannya. Ada rasa yang begitu dalam, namun tetap terpendam dalam diam.
Pagi itu, masjid kembali dipenuhi oleh riuhnya suara para jamaah yang datang untuk mengikuti kegiatan sosial yang diadakan oleh komunitas masjid. Faizan telah terbiasa membantu acara-acara seperti ini, dan meskipun hati kecilnya berharap Zafira akan ada di sana, ia tahu ia harus bersikap profesional.
Selesai mengikuti shalat Dhuha, Faizan menuju ruang belakang masjid, tempat para relawan sering berkumpul untuk menyiapkan segala keperluan. Ketika ia membuka pintu dapur, ia mendapati Zafira tengah sibuk menata beberapa piring dan gelas yang akan dibagikan kepada para jamaah. Tanpa disangka, mereka bertemu dalam jarak yang sangat dekat.
Zafira terkejut melihat Faizan di sana. “Oh, Faizan! Maaf, aku tak melihatmu,” kata Zafira dengan suara lembut, matanya sedikit melebar karena terkejut.
Faizan tersenyum kecil. “Tidak masalah, Zafira. Lagi sibuk menyiapkan makanan untuk acara?” tanya Faizan sambil melangkah mendekat.
Zafira mengangguk. “Iya, ada banyak yang perlu disiapkan. Para anak-anak yatim akan datang sebentar lagi.” Wajah Zafira tampak berseri-seri ketika berbicara tentang kegiatan sosial yang akan berlangsung.
Faizan merasa kagum, seperti biasa, melihat ketulusan dalam diri Zafira. “Alhamdulillah, Zafira. Aku yakin acara ini akan membawa berkah.”
Zafira memandangnya dan tersenyum manis. “Aku harap begitu. Rasanya menyenangkan bisa berbagi, apalagi dengan anak-anak yang membutuhkan perhatian. Hanya dengan sedikit, kita bisa membuat mereka bahagia.”
Terdengar suara pintu terbuka, dan beberapa orang masuk membawa bahan-bahan masakan. Zafira segera sibuk membantu mereka, sementara Faizan tetap berdiri di sana, merasa sedikit canggung namun tetap ingin membantu.
“Boleh aku bantu?” tanya Faizan, meskipun ia sadar dirinya bukanlah ahli dalam urusan dapur.
Zafira menoleh dan memandang Faizan dengan ekspresi yang lembut. “Tentu, Faizan. Bisa bantu menata piring-piring ini, ya?”
Faizan mengangguk, merasa bahagia bisa sedikit membantu meskipun hanya dengan hal-hal kecil. Ia mulai menata piring-piring di meja panjang, sesekali mencuri pandang ke arah Zafira yang tampaknya begitu sibuk, tetapi tetap bisa tersenyum cerah.
“Zafira…” suara Faizan pelan, hampir terdengar ragu. Zafira menoleh.
“Ada apa?” tanya Zafira, tetap dengan senyumannya yang menenangkan.
Faizan menunduk sejenak, lalu melanjutkan, “Aku… aku merasa sangat bersyukur bisa berada di sini. Melihat kebaikan yang kamu lakukan untuk orang lain, membuat aku merasa bahwa hidup ini punya makna lebih besar.”
Zafira terdiam sejenak. Ada kilauan kebahagiaan di matanya, seperti ada rasa syukur yang sama dalam dirinya. “Aku merasa hal yang sama, Faizan. Allah selalu menunjukkan jalan untuk kita, dan kadang, perasaan itu datang tanpa kita duga. Aku hanya ingin bisa berbagi sedikit kebahagiaan dengan orang lain.”
Mendengar kata-kata itu, Faizan merasa hatinya bergetar. Ia tahu, meskipun Zafira tidak mengungkapkan perasaannya secara langsung, ada ketulusan di dalam setiap ucapan yang keluar dari bibirnya. Faizan merasa seperti ada satu benang tipis yang menghubungkan dirinya dengan Zafira, meskipun mereka hanya berbicara sedikit, namun entah mengapa, hatinya terasa lebih dekat dengannya.
“Zafira,” Faizan mulai lagi, kali ini dengan suara yang lebih dalam. “Aku ingin berdoa, agar Allah selalu memberi kemudahan dalam setiap langkahmu. Semoga setiap amal yang kamu lakukan menjadi cahaya bagi jalanmu.”
Zafira terdiam sejenak, matanya seolah mencari tahu maksud Faizan. Namun kemudian ia tersenyum dan mengangguk. “Aamiin, Faizan. Semoga doa itu juga kembali untukmu.”
Suasana di dapur masjid itu terasa hangat dan penuh dengan kedamaian. Faizan merasa seolah-olah ia sedang berada di tempat yang tepat. Meskipun ia masih tidak tahu apa yang akan terjadi di antara mereka, perasaannya tetap sama. Ia ingin menjaga hati Zafira, tanpa terburu-buru, dan mengandalkan doa dalam setiap langkahnya.
Beberapa saat kemudian, Zafira kembali sibuk dengan pekerjaan lainnya, dan Faizan juga melanjutkan tugasnya menata piring. Waktu terasa berjalan begitu cepat, dan suasana di dapur masjid semakin ramai seiring dengan kedatangan lebih banyak jamaah. Namun di hati Faizan, ada perasaan yang lebih tenang. Ia tahu, meskipun cinta ini masih tertutup dalam diam, doa adalah cara terbaik untuk menghadapinya.
Dengan setiap langkah yang ia ambil, ia semakin percaya bahwa Allah akan memberikan yang terbaik. Zafira mungkin belum tahu perasaan Faizan, dan mungkin mereka belum waktunya untuk saling mengungkapkan, tetapi dalam hati Faizan, ia sudah merasa cukup dekat dengan Zafira—dalam doa dan harapan.
Zafira berjalan mendekat, membereskan beberapa piring yang sudah terpakai. Sebelum pergi, ia menoleh dan berkata, “Terima kasih sudah membantu, Faizan. Semoga Allah membalas kebaikanmu.”
Faizan hanya bisa tersenyum, dengan hati yang penuh harap. “Aamiin. Semoga segala kebaikanmu juga dibalas dengan yang lebih baik, Zafira.”
Dan dengan itu, mereka kembali ke rutinitas masing-masing, namun ada sesuatu yang berbeda di antara mereka. Sebuah ikatan yang tak terucapkan, tetapi tetap terasa di dalam hati mereka. Cinta yang terpendam dalam doa, yang hanya Allah yang tahu kapan akan terbuka.
Di Antara Doa dan Harapan
Malam itu, masjid terasa lebih tenang dari biasanya. Setelah acara pembagian makanan selesai, para jamaah pulang satu per satu, meninggalkan ruang yang kini hanya dipenuhi dengan suara gemericik air wudhu yang terdengar dari ruang sebelah. Faizan menatap sekeliling masjid yang sudah mulai sepi. Sementara itu, Zafira masih ada di sana, menyelesaikan tugas terakhirnya: membersihkan ruang doa yang baru saja digunakan.
Faizan tahu, malam ini ia takkan bisa tidur lelap. Sebuah perasaan yang selalu mengganggu dirinya belakangan ini, perasaan yang semakin kuat meskipun ia berusaha menahannya. Cinta yang tak terucapkan, rasa yang tak ingin ia ungkapkan begitu saja. Setiap kali ia melihat Zafira, hatinya berdebar-debar, namun ia tahu, jalan menuju hati Zafira bukanlah hal yang mudah. Tidak seperti kisah cinta pada umumnya, yang bisa dimulai dengan kata-kata indah atau pertemuan tak terduga.
Zafira sudah selesai membersihkan ruang itu, dan ia berjalan mendekat ke arah Faizan, yang masih berdiri di depan mihrab. “Faizan, sudah selesai. Alhamdulillah, akhirnya kita bisa sedikit beristirahat,” katanya sambil menyapu peluh yang mengalir di dahinya.
Faizan mengangguk dan memandangnya dengan senyuman tulus. “Alhamdulillah, Zafira. Semoga Allah memberikan keberkahan pada apa yang telah kita lakukan hari ini.”
Zafira tersenyum lembut. “Aamiin. Aku berharap semuanya berjalan lancar dan Allah menerima setiap niat baik kita.”
Mereka berdua berdiri sejenak dalam diam, menikmati ketenangan malam itu. Sesekali, Faizan mencuri pandang ke arah Zafira, merasa semakin yakin bahwa perasaannya bukanlah hal yang bisa diabaikan begitu saja. Namun ia juga tahu, mengungkapkan perasaan itu saat ini bukanlah langkah yang tepat. Ia harus bersabar, berdoa, dan menyerahkan semuanya kepada Allah.
“Aku ingin berbicara tentang sesuatu,” kata Faizan akhirnya, suaranya cukup pelan namun tegas.
Zafira menoleh padanya, sedikit terkejut. “Tentu, ada apa Faizan?”
Faizan sedikit terdiam, mencari-cari kata yang tepat. “Tentang hati. Tentang perasaan yang sering datang tanpa kita duga. Aku sering merasa, hati ini seperti… berjalan sendiri. Tapi aku tahu, setiap perasaan itu harus dijaga dengan baik. Tak semua bisa diungkapkan begitu saja.”
Zafira terdiam sejenak, seolah meresapi kata-kata Faizan. Ia tahu betul bahwa Faizan bukan orang yang mudah membuka perasaannya. Namun, ia juga bisa merasakan ada sesuatu yang berbeda dalam ucapan Faizan tadi, seperti ada beban yang ingin ia lepaskan.
“Faizan, perasaan itu memang tidak selalu mudah untuk dimengerti, apalagi jika kita harus menunggu waktu yang tepat untuk mengungkapkannya. Tapi yang paling penting, kita harus menjaga hati, kan?” jawab Zafira, suaranya lembut namun penuh makna.
Faizan mengangguk pelan, merasakan kedamaian dalam kata-kata Zafira. “Iya, benar. Hanya dengan menjaga hati, kita bisa menemukan kedamaian dalam diri kita sendiri. Allah akan selalu menunjukkan jalan yang terbaik bagi kita.”
Zafira tersenyum penuh pengertian, “Allah pasti akan memberi yang terbaik untuk kita, Faizan. Kita hanya perlu berusaha dan bersabar.”
Malam itu, percakapan mereka berakhir tanpa adanya pengungkapan yang jelas, tanpa kata-kata cinta yang terucapkan. Namun, ada sesuatu yang lebih dalam di antara mereka—sebuah perasaan yang saling mengerti, meskipun tidak diungkapkan dengan kata-kata. Sebuah ikatan yang hanya bisa dimengerti oleh hati dan doa.
Faizan berjalan menuju pintu keluar masjid, merasa hatinya lebih tenang daripada sebelumnya. Zafira, yang semula berada di sampingnya, kini berhenti sejenak di ambang pintu.
“Faizan, terima kasih,” kata Zafira, dengan mata yang berbinar. “Aku merasa sangat dihargai bisa bekerja bersamamu.”
Faizan tersenyum ringan, menatap Zafira dengan hati yang penuh harapan. “Aku juga, Zafira. Semoga Allah selalu memberkahi langkah kita.”
Zafira mengangguk, lalu melangkah keluar. Sebelum benar-benar pergi, ia menoleh sekali lagi. “Semoga apa yang kita lakukan hari ini membawa kebaikan untuk kita semua.”
Faizan melihat Zafira pergi dengan langkah yang ringan, dan untuk pertama kalinya, ia merasa yakin bahwa perasaannya bukanlah sesuatu yang sia-sia. Meski perasaan itu tetap tersembunyi, ia tahu bahwa di balik setiap doa yang ia panjatkan, ada harapan yang tidak pernah padam.
Hari itu berakhir dengan damai, namun perasaan Faizan tetap berkecamuk. Ia tahu, cinta dalam diam ini harus terus berjalan dengan penuh ketulusan dan kesabaran. Allah lah yang akan mengatur semuanya, dan Faizan berjanji pada dirinya sendiri untuk terus menjaga perasaan itu, tanpa terburu-buru mengungkapkannya.
Karena di setiap doa, ada kekuatan yang lebih besar dari segala yang terlihat.
Allah Menjawab Dalam Diam
Minggu demi minggu berlalu dengan keheningan yang tenang. Faizan masih menjalani hari-harinya dengan rutinitas yang tidak berubah, meskipun dalam hatinya, ada rasa yang terus berkembang—rasa yang belum ia ungkapkan kepada siapa pun, bahkan kepada Zafira sekalipun. Setiap kali mereka bertemu, ia merasa hatinya lebih tenang, namun juga semakin penuh dengan doa yang tak terucapkan. Ia mulai memahami bahwa mencintai dalam diam bukanlah hal yang mudah, namun adalah bagian dari ujian untuk menjaga hati tetap suci dan ikhlas.
Pagi itu, masjid kembali dipenuhi dengan jamaah yang datang untuk shalat Dhuha. Faizan berjalan memasuki masjid, membawa serta harapan yang sama: semoga Allah memberinya kekuatan untuk terus menjaga perasaan ini dengan sabar. Ia melihat Zafira sudah berdiri di salah satu sudut masjid, menyusun buku-buku yang akan digunakan untuk pelajaran di kelas tahfidz. Pemandangan itu, seperti biasa, menenangkan hati Faizan.
Saat ia melangkah mendekat, Zafira menoleh dan tersenyum. “Faizan, Assalamu’alaikum,” katanya dengan senyum yang selalu bisa mencuri perhatian Faizan, meskipun ia berusaha untuk tetap tidak memperlihatkan perasaan itu.
“Wa’alaikumussalam, Zafira. Apa kabar?” tanya Faizan, mencoba menyembunyikan getaran di dalam dirinya.
“Aku baik, Alhamdulillah. Baru selesai menyiapkan buku-buku untuk pelajaran nanti. Kamu sendiri?” jawab Zafira sambil menyusun beberapa buku ke dalam tas.
“Alhamdulillah, baik. Semoga hari ini berjalan lancar,” jawab Faizan, sambil membantu Zafira menata beberapa buku di meja.
Suasana antara mereka terasa akrab, tetapi tetap ada jarak yang tak bisa dijangkau dengan mudah. Faizan merasa, meskipun ia begitu dekat dengan Zafira, perasaan yang ia simpan masih terlalu besar untuk sekadar diungkapkan dalam satu percakapan biasa. Namun, satu hal yang Faizan tahu, ia harus menyerahkan semua kepada Allah.
Hari itu, setelah kelas tahfidz selesai, mereka berdua duduk di taman masjid, menikmati teh hangat yang biasa mereka nikmati setelah mengajar. Zafira menatap langit yang cerah, kemudian mengalihkan pandangannya kepada Faizan.
“Faizan,” Zafira memulai, suaranya lembut dan penuh ketulusan. “Aku ingin mengucapkan terima kasih. Terima kasih telah menjadi teman yang baik selama ini. Aku merasa sangat diberkati bisa bekerja bersama seseorang yang hatinya tulus.”
Faizan menatapnya dengan mata yang penuh makna. Dalam hatinya, ia merasa kata-kata Zafira seperti doa yang begitu mendalam, sebuah doa yang ia harapkan akan membawa mereka menuju jalan yang lebih baik. “Aku juga merasa diberkahi, Zafira. Allah pasti memiliki rencana yang baik untuk kita, meskipun terkadang kita tidak bisa melihatnya dengan jelas.”
Zafira mengangguk, kemudian diam sejenak, seperti sedang memikirkan sesuatu yang lebih dalam. “Faizan, aku ingin mengatakan sesuatu yang mungkin sudah lama ingin aku katakan.” Mata Zafira menatap Faizan dengan penuh ketenangan, dan untuk pertama kalinya, Faizan merasakan ada kedekatan yang lebih daripada sekadar pertemanan biasa.
“Apa itu?” tanya Faizan, meskipun hatinya sudah mulai berdebar.
Zafira menarik napas panjang, seolah-olah sedang menyiapkan kata-kata yang penuh makna. “Aku ingin kita berdoa bersama. Berdoa agar Allah memberikan jalan terbaik untuk kita. Entah itu untuk masa depan kita, atau apapun yang terbaik menurut-Nya.”
Faizan tertegun mendengar permintaan Zafira. Tanpa sadar, ia mengangguk. “Aamiin. Aku setuju. Semoga Allah memudahkan jalan kita, Zafira.”
Mereka pun berdua duduk dengan tenang, menundukkan kepala, dan memulai doa bersama. Di dalam hati Faizan, ia memanjatkan doa untuk dirinya sendiri, dan juga untuk Zafira. Ia berdoa agar Allah menjaga Zafira, dan memberinya kekuatan untuk terus berjalan di jalan yang lurus. Ia juga berdoa agar Allah memberi petunjuk tentang langkah terbaik untuk dirinya dan Zafira, apakah jalan mereka akan berakhir dalam cinta atau hanya menjadi teman yang saling mendukung.
Setelah berdoa, Zafira tersenyum dengan penuh ketenangan. “Terima kasih, Faizan. Aku merasa lebih ringan setelah berdoa.”
Faizan tersenyum lembut. “Sama-sama, Zafira. Aku merasa Allah telah memberikan ketenangan dalam hatiku melalui doa kita.”
Hari itu, meskipun tak ada kata-kata cinta yang terucap, Faizan merasa lebih dekat dengan Zafira. Ia tahu, jalan yang ia pilih untuk menjaga perasaan ini dalam diam bukanlah tanpa makna. Allah memiliki rencana terbaik, dan Faizan yakin bahwa dengan doa dan sabar, apa pun yang terjadi ke depan, mereka akan selalu dalam perlindungan-Nya.
Ketika Zafira berpamitan dan berjalan pergi, Faizan hanya bisa menatapnya dengan penuh harapan. Meskipun hatinya penuh dengan cinta yang tak terucapkan, ia tahu bahwa mencintai dengan cara ini adalah pilihan yang terbaik. Karena cinta yang disandarkan pada Allah adalah cinta yang akan selalu diberkahi, meskipun tidak selalu terlihat oleh mata manusia.
Allah tahu segalanya. Dan itu sudah cukup bagi Faizan.
Kadang, cinta yang diam-diam itu terasa lebih mendalam daripada yang tampak di luar. Tak selalu perlu diucapkan, karena Allah sudah mendengarnya dengan sangat jelas. Mungkin, dalam setiap doa yang tak terucapkan, ada jalan terbaik yang sudah disiapkan untuk kita.
Semua berjalan sesuai takdir-Nya, dan kita hanya perlu percaya. Karena yang paling indah bukanlah kata-kata, tapi ketulusan yang ada di dalam hati yang bersandar penuh pada-Nya.