Daftar Isi
Terkadang, cinta itu nggak datang dengan cepat. Ada kalanya kita harus menunggu, bersabar, dan meyakini bahwa waktu yang tepat akan datang. Begitulah kisah tentang Zayd dan Aisha, dua jiwa yang dipertemukan dalam cara yang tak terduga, melalui perjalanan panjang penuh doa dan kesabaran.
Cinta mereka nggak langsung berjalan mulus, tapi justru dari proses menunggu itulah mereka belajar arti sejati dari cinta yang tumbuh dengan penuh keikhlasan. Yuk, ikuti cerita mereka yang penuh harapan dan keteguhan hati ini!
Cinta yang Bersabar
Bait Cinta yang Tertunda
Pagi itu, Zayd berjalan keluar dari bengkel kayu yang terletak di pinggir desa. Udara pagi yang sejuk menyejukkan tubuhnya yang lelah setelah semalaman bekerja. Dia berhenti sejenak, menarik napas dalam-dalam. Beberapa hari terakhir pikirannya tak lepas dari Aisha. Nama itu terus berulang dalam setiap doa yang ia panjatkan, dalam setiap langkah yang ia ambil. Cinta yang tumbuh dalam hatinya bukanlah cinta biasa. Ini adalah cinta yang mengarah pada Allah, yang ingin ia penuhi dengan kesabaran.
Zayd sudah lama mengagumi Aisha, tetapi ia tidak pernah berani mengungkapkan perasaannya. Bukan karena ia takut, tetapi lebih karena ia merasa dirinya tidak pantas. Aisha adalah putri seorang alim ulama, seorang gadis yang tak hanya cantik secara fisik, tetapi juga memiliki akhlak yang luar biasa. Ia tahu bahwa jika ada seorang pria yang pantas untuk Aisha, itu pasti bukan dirinya. Namun, Allah punya cara-Nya sendiri.
Sore itu, di sebuah warung kecil yang terletak di tengah desa, Zayd mendengar percakapan yang membuat hatinya terasa sempit. Seorang pedagang kaya dari kota datang melamar Aisha. Pedagang itu memiliki segalanya: harta, kedudukan, dan kekuasaan. Zayd merasa langkahnya semakin jauh dari Aisha, namun ia tidak menyerah. Ia yakin, kalau Aisha adalah jodohnya, Allah akan memberi petunjuk.
Di atas sajadahnya, Zayd berdoa, memohon agar Allah memberikan ketenangan hati jika Aisha bukan takdirnya. Ia tahu bahwa cinta yang sejati adalah yang membawa kedekatan kepada Allah, bukan yang didasari oleh keinginan pribadi semata. Cinta yang harus bersabar dan menunggu waktu yang tepat.
“Ya Allah, jika Aisha adalah takdirku, mudahkanlah. Jika bukan, lapangkanlah hatiku dan kuatkanlah aku untuk menerima takdir-Mu,” Zayd berdoa dengan penuh keikhlasan.
Namun, perasaan yang tumbuh di dalam hatinya tak bisa ia tutup rapat-rapat. Hari demi hari, perasaan itu semakin kuat, bahkan saat ia berusaha untuk melepaskannya. Mungkin, itu adalah ujian dari Allah. Bagaimana bisa Zayd mengaku bahwa ia mencintai Aisha, jika ia tidak bisa bersabar dalam menunggu waktu yang tepat?
Suatu sore, setelah beberapa minggu berlalu, Zayd mendengar kabar baru. Aisha sedang melakukan sholat istikharah untuk memutuskan apakah menerima lamaran pedagang kaya itu atau tidak. Zayd merasa hatinya terguncang. Di satu sisi, ia ingin Aisha memilih dengan hati yang penuh petunjuk, tapi di sisi lain, ia merasa cemas jika pilihan Aisha jatuh pada orang lain.
Di balik ketegaran yang ia tunjukkan, Zayd merasa gelisah. Namun, ia tahu, jika ia benar-benar mencintai Aisha karena Allah, ia harus ikhlas menerima apapun yang terjadi. Segala sesuatu sudah ditentukan oleh-Nya. Ia hanya perlu bersabar.
Beberapa hari kemudian, Zayd pergi ke rumah Aisha. Hatinya berdebar, namun ia tidak bisa lagi mengabaikan perasaannya. Dengan langkah hati-hati, ia mengetuk pintu rumah yang sudah lama ia idam-idamkan untuk masuk ke dalamnya.
Pintu dibuka oleh ayah Aisha, seorang alim ulama yang sangat dihormati di desa. Zayd memberi salam, dan ayah Aisha membalasnya dengan senyum lembut. Namun, dalam hati Zayd merasa sedikit cemas.
“Ada yang bisa saya bantu, Zayd?” tanya ayah Aisha dengan penuh rasa ingin tahu.
Zayd menundukkan kepala, menahan gugup yang hampir menguasai dirinya. “Tuan, saya datang untuk menyampaikan niat saya. Saya ingin melamar Aisha.”
Ayah Aisha terdiam sejenak, seolah mencerna kata-kata Zayd. “Melamar Aisha?” kata ayah Aisha, nada suaranya penuh kebijaksanaan. “Apakah kamu siap untuk itu, Zayd? Aisha bukan sembarang gadis. Dia anakku, dan aku hanya ingin yang terbaik untuknya.”
Zayd menundukkan kepala lebih dalam, mencoba menenangkan perasaannya. “Saya tahu, Tuan. Saya mungkin bukan orang yang kaya, tapi saya berjanji, jika Allah mengizinkan saya untuk menjaga Aisha, saya akan mencintainya karena Allah dan membimbingnya sebaik mungkin.”
Ayah Aisha memandang Zayd dalam diam. Sesaat, suasana menjadi hening. Zayd bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang terasa begitu keras. Ia tahu bahwa apa yang ia katakan adalah janji yang besar, dan ia harus memegangnya seumur hidup.
Akhirnya, setelah beberapa saat, ayah Aisha berkata, “Aisha memang gadis yang baik, Zayd. Namun, aku ingin dia menikah dengan seseorang yang bisa membimbingnya ke jalan yang lebih baik lagi, yang bisa menjadi pemimpin baginya dalam kebaikan. Jika kamu yakin dengan niatmu, aku akan bicarakan dengan Aisha terlebih dahulu.”
Zayd merasa sedikit lega, meskipun ia tahu bahwa ini bukanlah keputusan final. Tapi setidaknya, ia mendapat kesempatan untuk menunjukkan kesungguhannya.
Sesampainya di rumah, Zayd berdoa lagi, memohon kepada Allah agar diberikan petunjuk. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi, tetapi ia percaya bahwa semua yang terbaik sudah direncanakan oleh Allah.
“Mungkin inilah saatnya aku untuk sabar,” pikir Zayd sambil memandang langit malam yang tenang, berharap bahwa apa yang ia lakukan adalah keputusan yang tepat.
Penantian di Tengah Harapan
Hari-hari berlalu, dan Zayd kembali menjalani rutinitasnya dengan penuh kesabaran. Setiap pagi ia bangun sebelum fajar untuk berdoa, memohon kepada Allah agar diberikan ketenangan hati dalam menghadapi setiap keputusan yang akan diambil. Ia masih ingat betul pertemuannya dengan ayah Aisha, dan betapa hati Zayd berdebar saat ia menyampaikan niatnya. Namun, setelah itu, rasa cemas dan harapannya justru semakin kuat. Ia sadar, perjalanannya belum selesai. Semua ini adalah ujian kesabaran.
Aisha, setelah mendengar niat Zayd, meminta waktu untuk beristikharah, melakukan sholat yang lebih mendalam agar bisa mendapatkan petunjuk dari Allah. Zayd merasa bahwa waktu yang dia perlukan bukan hanya untuk menunggu jawaban Aisha, tetapi juga untuk mempersiapkan dirinya jika jalan yang ia harapkan tidak terwujud. Ia terus merenung dan memperbaiki diri, berharap Allah memberinya kekuatan untuk menerima apapun hasil akhirnya.
Pada suatu sore yang cerah, Zayd duduk di beranda rumahnya, memandangi langit biru yang luas. Angin bertiup lembut, membawa harum dari pohon jati yang tumbuh di sekitar bengkel kayu. Suasana itu menenangkan, namun hatinya masih gelisah. Zayd berpikir tentang Aisha, tentang kebaikan dan kesederhanaannya yang menggetarkan hatinya. Namun, ia tidak tahu harus bagaimana jika akhirnya Aisha memilih pria lain.
Tiba-tiba, suara ketukan di pintu rumahnya mengalihkan perhatian Zayd. Ia bangkit, membuka pintu, dan melihat seorang pemuda berdiri di depan rumah. Pemuda itu membawa kabar dari keluarga Aisha.
“Assalamualaikum, Zayd. Saya dari rumah Aisha. Ini ada pesan dari Ayah Aisha untukmu,” kata pemuda itu sambil menyerahkan sepucuk surat.
Zayd terkejut. Ia menerima surat itu dengan tangan sedikit gemetar, merasa ada sesuatu yang besar yang akan terjadi. Setelah pemuda itu pergi, Zayd segera duduk di bangkunya dan membuka surat tersebut.
Bismillahirrahmanirrahim,
Zayd yang terhormat,
Semoga Allah senantiasa memberikan petunjuk dan kekuatan pada langkah-langkahmu. Aisha telah melakukan istikharah dan memohon petunjuk kepada Allah. Kami berterima kasih atas niat tulusmu untuk melamar Aisha.
Namun, Aisha meminta waktu lebih untuk memikirkan keputusan ini. Ia ingin memastikan bahwa pilihannya sesuai dengan apa yang dikehendaki Allah dan tidak hanya berdasarkan perasaan semata. Kami berharap engkau dapat bersabar, karena Allah akan menunjukkan jalan-Nya pada waktunya.
Wassalam,
Ayah Aisha
Zayd menundukkan kepalanya, membaca surat itu berulang kali. Sungguh, jawabannya masih belum ada. Aisha masih membutuhkan waktu untuk memikirkan keputusan besar dalam hidupnya. Namun, Zayd tidak merasa kecewa. Malah, ia merasa lebih dikuatkan. Surat itu bukanlah penolakan, melainkan sebuah tanda bahwa Aisha memang mempertimbangkan segalanya dengan sangat hati-hati. Ini bukan tentang Zayd, tetapi tentang memilih jalan yang benar menurut petunjuk Allah.
Dengan hati yang lebih tenang, Zayd memutuskan untuk kembali bersabar. Dia yakin bahwa Allah sedang menguji keteguhan hatinya. Meski terkadang keraguan datang, Zayd percaya bahwa kesabaran adalah bagian dari iman. Zayd tahu, jika Aisha adalah takdirnya, Allah pasti akan mengatur segalanya dengan sempurna. Jika bukan, ia akan menerima dengan lapang dada.
Zayd kembali ke bengkel kayunya, menggali tumpukan kayu untuk pekerjaan hari itu. Tangannya mulai sibuk, namun pikirannya tetap tertuju pada Aisha. Namun kali ini, pikirannya tidak dipenuhi dengan kerisauan, melainkan dengan rasa syukur. Ia bersyukur karena Allah memberikan waktu untuknya belajar lebih banyak tentang kesabaran dan ikhlas.
Hari-hari berikutnya berlalu begitu saja, dan Zayd tidak lagi menunggu dengan gelisah. Setiap kali ia memikirkan Aisha, ia hanya berdoa agar yang terbaik terjadi, apakah itu bersama Aisha atau tidak. Zayd merasa bahwa Allah sedang mengajarinya untuk tidak menggantungkan kebahagiaan pada satu harapan saja, melainkan pada kepercayaan bahwa setiap takdir-Nya adalah yang terbaik.
Di suatu sore yang hangat, Zayd tengah duduk di masjid setelah sholat ashar. Ia merasa ada yang berbeda hari itu. Tiba-tiba, seorang sahabat lamanya, Farhan, datang menghampirinya.
“Zayd, kamu kelihatan tenang akhir-akhir ini. Ada yang baru?” tanya Farhan sambil duduk di sebelahnya.
Zayd tersenyum kecil. “Tidak ada, hanya sedang belajar sabar, Farhan.”
Farhan mengangguk. “Sabarlah, Zayd. Terkadang, Allah hanya menguji sejauh mana kita bisa menunggu. Semua ada waktunya.”
Zayd mengangguk setuju. Ia tahu benar kata-kata sahabatnya itu. Allah selalu memberikan apa yang terbaik pada waktunya, selama kita terus berusaha dan bersabar.
Malam itu, Zayd kembali berdoa, seperti malam-malam sebelumnya. Kali ini, hatinya terasa lebih ringan. Ia tahu, kesabaran bukan berarti berdiam diri tanpa berusaha, melainkan usaha yang dilandasi dengan doa dan tawakal. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi ia tahu bahwa Allah sedang menuntunnya menuju jalan yang benar.
Sementara itu, jauh di dalam hati Aisha, rasa kebingungannya mulai menghilang. Ia merasa telah mendapatkan petunjuk yang ia cari. Semua ini bukan hanya soal memilih antara dua pria, tetapi tentang memilih yang terbaik bagi masa depannya, yang akan membawanya lebih dekat kepada Allah.
Keduanya, Zayd dan Aisha, sedang berada di persimpangan jalan, di mana keduanya harus memilih jalan yang paling diridhai Allah. Dan pada akhirnya, takdir-Nya akan mengungkapkan jawaban yang selama ini mereka cari.
Ketika Takdir Menemui Jalan-Nya
Malam itu, Zayd menatap langit yang dipenuhi bintang. Ia duduk di halaman rumahnya, menikmati kedamaian yang perlahan mengisi hatinya. Sore tadi, saat ia berdoa di masjid, ia merasa lebih dekat dengan Allah, lebih yakin bahwa setiap langkah yang ia ambil akan selalu berada dalam bimbingan-Nya. Keputusan yang ia ambil untuk bersabar bukanlah keputusan mudah, tetapi ia merasa inilah jalan yang benar. Semua ini adalah ujian, dan ia merasa bahwa setiap ujian datang dengan hikmah yang lebih besar.
Pada pagi yang cerah keesokan harinya, Zayd mendapatkan kabar yang membuat hatinya berdebar. Aisha akhirnya memutuskan untuk berbicara dengannya setelah beberapa minggu menunggu. Rasa cemas bercampur dengan rasa harap, namun ia berusaha menenangkan diri. Ia tahu bahwa apapun yang akan dikatakan Aisha nanti adalah bagian dari takdir yang telah ditentukan oleh Allah.
Pagi itu, Zayd mengenakan pakaian terbaik yang ia miliki, namun bukan untuk memamerkan dirinya. Ia melangkah menuju rumah Aisha dengan hati yang penuh doa. Ia bertekad, apapun yang terjadi, ia akan menerima dengan lapang dada. Ini bukan lagi tentang dirinya, tetapi tentang apa yang terbaik untuk mereka berdua. Saat ia sampai di depan rumah Aisha, ia melihat ayah Aisha yang menyambutnya dengan senyuman.
“Zayd, terima kasih sudah datang,” kata Ayah Aisha dengan penuh kehangatan.
Zayd membalas senyum itu, meskipun hatinya berdebar. “Terima kasih, Pak. Saya datang untuk mendengarkan keputusan Aisha.”
Ayah Aisha mengangguk, lalu memberi isyarat agar Zayd duduk. Beberapa saat kemudian, Aisha datang dari dalam rumah. Ia terlihat anggun dengan jilbab yang menutupi rambutnya, namun ada rona kecemasan di wajahnya. Zayd merasakan hal yang sama, tetapi ia berusaha menenangkan dirinya.
Aisha duduk di hadapannya, tidak terlalu jauh, seolah memberi ruang agar mereka bisa berbicara dengan tenang. “Zayd, aku sudah beristikharah beberapa kali, memohon pada Allah agar memberikan petunjuk yang terbaik untukku dan untukmu. Aku minta maaf atas ketidakpastian yang kuberikan selama ini.”
Zayd menatapnya dengan penuh perhatian. “Aisha, aku sudah berusaha bersabar, dan aku percaya bahwa Allah akan menunjukkan yang terbaik bagi kita.”
Aisha tersenyum kecil, meskipun ada kesedihan di matanya. “Aku tahu kamu sudah sabar, Zayd. Aku melihat kesungguhanmu. Tetapi ini bukan soal aku memilih antara kamu atau pria lain. Ini lebih dari itu. Ini tentang apa yang terbaik untuk kita semua, untuk keluarga kita, dan untuk agama kita.”
Zayd merasa dadanya sesak, namun ia tetap tenang. “Aku mengerti, Aisha. Apa pun keputusanmu, aku akan menerimanya dengan ikhlas. Aku hanya ingin yang terbaik untukmu.”
Aisha menunduk, lalu berbicara dengan suara yang semakin lirih. “Zayd, dalam beberapa waktu terakhir, aku merasa lebih dekat dengan Allah. Aku ingin memastikan bahwa jika aku memilihmu, itu adalah keputusan yang tepat di mata-Nya. Aku ingin yakin bahwa aku bisa menjalani hidup ini dengan seseorang yang selalu mengingatkan aku untuk taat kepada-Nya, yang bisa menjadi pemimpin yang baik dalam rumah tangga, dan yang siap untuk menuntun aku ke jalan yang benar.”
Zayd merasakan hatinya semakin penuh dengan harapan, tetapi ia juga tahu bahwa ini bukan waktunya untuk terburu-buru. “Aisha, aku sudah bertekad sejak awal untuk menjadi yang terbaik untukmu. Aku ingin kita sama-sama belajar dan tumbuh dalam iman. Semua akan indah pada waktunya, InsyaAllah.”
Aisha terdiam, kemudian mengangkat wajahnya. Ada keharuan di matanya, seolah ia telah menemukan ketenangan yang selama ini ia cari. “Zayd, aku memilihmu. Aku yakin kamu adalah orang yang tepat. Aku ingin berjalan bersamamu, mengarungi hidup ini, dan semoga Allah meridhai langkah kita.”
Zayd hampir tidak percaya dengan kata-kata Aisha. Hatinya dipenuhi kebahagiaan yang tak terucapkan. Namun, ia tahu bahwa ini bukan akhir dari segalanya. Sebaliknya, ini adalah awal dari perjalanan yang lebih panjang, penuh dengan tantangan dan ujian. Tetapi kali ini, Zayd merasa siap. Dengan Aisha di sisinya, mereka akan menghadapi segala sesuatu dengan sabar dan tawakal.
“Aku bersyukur, Aisha. Aku janji akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untukmu,” kata Zayd, suaranya penuh dengan keyakinan.
Aisha mengangguk, senyum kecil terbentuk di wajahnya. “Aku juga, Zayd. Aku akan selalu berusaha menjadi yang terbaik untuk kita.”
Keduanya duduk bersama, berbicara tentang masa depan yang mereka impikan. Zayd merasa seperti beban yang selama ini ada di hatinya mulai terangkat. Di tengah kebahagiaan itu, ia menyadari bahwa perjalanan cinta mereka bukanlah sebuah cerita yang mudah. Namun, dengan kesabaran dan kepercayaan pada takdir, semuanya akhirnya dipertemukan dalam waktu yang tepat.
Namun, Zayd tahu bahwa ini baru permulaan. Allah mengajarkan mereka untuk bersabar, untuk terus berdoa, dan untuk meyakini bahwa segala sesuatu indah pada waktunya. Mereka hanya perlu berjalan bersama, dan tetap berpegang pada keyakinan bahwa di balik setiap ujian, akan ada kemudahan yang datang.
Hari itu, Zayd dan Aisha mengawali perjalanan baru mereka dengan harapan yang besar. Mereka tahu bahwa cinta mereka tidak datang begitu saja tanpa perjuangan, tetapi dengan sabar dan tawakal, mereka yakin bahwa segala hal akan berjalan sesuai dengan takdir Allah yang paling indah.
Menyulam Cinta dalam Takdir yang Indah
Waktu berlalu dengan cepat, dan Zayd serta Aisha mulai menapaki kehidupan baru bersama. Setelah berbulan-bulan penuh dengan doa dan kesabaran, mereka akhirnya memutuskan untuk menikah, mengikat janji suci di hadapan Allah. Acara pernikahan mereka sederhana, tetapi penuh makna. Hanya keluarga dan sahabat terdekat yang hadir, namun kehangatan dan kebahagiaan yang terpancar membuat setiap detil terasa begitu istimewa.
Pada hari pernikahan mereka, Zayd dan Aisha duduk bersama di pelaminan, saling memandang dengan penuh harap dan cinta. Aisha mengenakan hijab putih yang menambah kesan suci dan indah pada penampilannya. Zayd, meskipun tampak tenang di luar, merasa hatinya penuh dengan kebahagiaan yang tak terkira. Mereka akhirnya bisa bersama, setelah melalui perjalanan panjang yang penuh ujian dan kesabaran.
Setelah ijab kabul, mereka berdua saling berpelukan, merasakan kedamaian yang luar biasa. Zayd memegang tangan Aisha dengan erat, dan di situ ia merasa bahwa semua yang telah dilalui adalah jalan yang paling indah. Mereka mengingat kembali bagaimana mereka sampai di titik ini—melalui kesabaran, doa, dan keyakinan bahwa takdir Allah selalu yang terbaik.
“Aisha,” ujar Zayd pelan, sambil menatap mata Aisha yang kini dipenuhi air mata kebahagiaan. “Kita akhirnya sampai di sini. Aku bersyukur kepada Allah atas segala yang telah diberikan-Nya. Aku berjanji akan selalu mendampingimu, tak hanya di saat senang, tetapi juga di saat susah.”
Aisha menatap Zayd dengan mata yang berbinar. “Aku juga bersyukur, Zayd. Aku tahu, ini bukan perjalanan yang mudah, tapi aku percaya Allah selalu memiliki rencana terbaik untuk kita. Aku akan selalu ada di sisimu, menghadapi segala hal bersama.”
Mereka berdua terdiam sejenak, menikmati kebahagiaan yang begitu tulus, seolah-olah waktu berhenti sejenak untuk memberi mereka kesempatan merasakan indahnya perjalanan cinta yang penuh dengan kepercayaan dan kesabaran. Dalam setiap detil pernikahan mereka, Zayd dan Aisha merasa Allah senantiasa menyertai mereka. Setiap langkah yang mereka ambil, setiap doa yang mereka panjatkan, selalu dipenuhi dengan harapan agar cinta mereka tetap diberkahi dan diberi kekuatan untuk menghadapi masa depan.
Beberapa minggu setelah pernikahan, mereka mulai membangun rumah tangga dengan penuh kasih sayang dan kebersamaan. Setiap malam, sebelum tidur, mereka selalu berdoa bersama, memohon agar Allah senantiasa melindungi dan membimbing mereka dalam setiap langkah. Zayd belajar banyak tentang bagaimana menjadi suami yang baik, bagaimana memberikan ketenangan dan perlindungan, serta bagaimana menjadi pemimpin yang dapat diandalkan.
Aisha pun, meskipun sudah menjadi seorang istri, tak pernah berhenti belajar. Ia selalu mendukung Zayd, berusaha menjadi wanita yang bisa menyejukkan hati suaminya dengan kasih sayang dan doa. Mereka saling mengingatkan satu sama lain untuk tetap berada di jalan-Nya, dan saling memberi motivasi untuk terus berkembang menjadi pribadi yang lebih baik.
Di setiap hari yang mereka jalani, mereka selalu mengingat bahwa ini semua adalah berkah dari Allah. Mereka merasa cinta mereka semakin tumbuh, berakar kuat dalam ketulusan hati. Namun, lebih dari itu, mereka sadar bahwa cinta sejati tidak hanya tentang kebahagiaan, tetapi juga tentang kesabaran dan pengorbanan yang harus selalu ada. Mereka berdua sudah siap menghadapi setiap ujian yang datang, bersama-sama, dengan penuh tawakal kepada Allah.
Suatu sore yang tenang, Zayd dan Aisha duduk di beranda rumah mereka, menikmati senja yang perlahan menutupi langit dengan warna jingga. Zayd memandang Aisha dengan penuh kasih, dan Aisha tersenyum lebar, mengeratkan tangannya yang menggenggam tangan suaminya. Dalam heningnya senja itu, mereka merasa bahwa ini adalah cinta yang diberkahi. Cinta yang datang bukan hanya dengan perasaan, tetapi dengan iman yang kuat, kesabaran yang teruji, dan doa yang tak putus.
“Aisha,” kata Zayd perlahan, matanya tetap tertuju pada langit yang semakin gelap. “Aku percaya, cinta kita akan selalu indah, karena Allah yang menyatukan kita. Ini baru permulaan, perjalanan kita masih panjang. Aku siap untuk terus bersamamu, di setiap langkah, di setiap detik.”
Aisha menatap Zayd dengan penuh haru, “Dan aku pun siap, Zayd. Aku percaya, Allah akan selalu memandu kita. Cinta ini akan tumbuh bersama waktu, bersama doa, dan bersama-Nya.”
Senja itu, mereka berdua duduk dalam diam, tidak membutuhkan kata-kata lagi. Semua terasa sempurna dalam kesederhanaan. Cinta mereka telah diuji, diperkuat oleh kesabaran dan pengorbanan, dan kini mereka siap menapaki perjalanan hidup bersama, penuh dengan harapan, iman, dan cinta yang indah, yang datang di saat yang tepat—pada waktu yang telah ditentukan oleh Allah.
Akhirnya, Zayd dan Aisha membuktikan bahwa cinta yang dibangun dengan kesabaran dan doa tidak akan pernah sia-sia. Mereka menemukan kebahagiaan bukan hanya karena perasaan, tetapi karena saling percaya dan menyandarkan diri pada takdir Allah.
Cinta yang tumbuh perlahan, namun penuh makna, akhirnya membawa mereka ke jalan yang indah. Jadi, ingatlah, bahwa cinta sejati memang butuh waktu, dan saatnya akan datang pada waktu yang paling tepat.