Daftar Isi
Gimana sih rasanya kalau tiba-tiba kamu pengen banget ganti panggilan untuk orang tua, tapi nggak asal ganti? Misalnya, dari Mama jadi Umi, dengan alasan yang bisa bikin semua orang ngakak tapi juga tersentuh.
Cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam dunia penuh kekonyolan, tawa, dan juga momen-momen hangat antara seorang anak dan ibunya. Kalau kamu siap buat senyum-senyum sendiri dan ngerasa kebawa suasana, siap-siap aja baca ceritanya sampai habis!
Cerpen Lucu dan Menggemaskan
Pahlawan Hidup yang Belum Dikenal
Pagi itu, ruang tamu di rumah kami terasa begitu biasa. Cahaya matahari masuk melalui jendela besar yang menghadap ke taman belakang, memantul lembut pada lantai ubin yang sudah mulai kusam. Aku duduk di sofa, memandangi Mama yang sedang sibuk di dapur. Seperti biasa, Mama selalu sibuk dengan segala macam aktivitas rumah—dari memasak, mencuci, hingga merapikan rumah. Dia selalu ada untuk segala hal, selalu jadi yang pertama bangun dan yang terakhir tidur. Ibu yang satu ini memang luar biasa.
Tapi, ada satu hal yang selalu mengganggu pikiranku. Rasanya panggilan “Mama” sudah terlalu biasa, terlalu umum. Aku menginginkan sesuatu yang lebih. Sesuatu yang terdengar lebih keren, lebih islami, dan pastinya lebih punya aura. Aku ingin Mama dipanggil “Umi.”
“Ma, boleh tanya?” Aku memulai, mencoba mengalihkan perhatian Mama yang sedang mengaduk sayur di dapur. Mama menoleh ke arahku, matanya tetap fokus pada sayur yang sedang dimasak, tapi dia tetap mendengarkan.
“Apa, Nak?” jawab Mama dengan suara lembut. Aku bisa merasakan kehangatan dari suaranya yang biasa.
Aku menatap wajah Mama dengan serius, meskipun dalam hati sudah tertawa. Harus hati-hati dalam memilih kata-kata agar rencanaku berhasil. “Mama, aku rasa sudah saatnya aku ganti panggilan deh. Bukan Mama lagi, tapi… Umi.”
Mama berhenti mengaduk sayur dan menatapku dari balik wajan. Ada ekspresi kebingungannya yang semakin jelas. “Umi? Umi siapa? Mama baru tahu siapa umi, ya?”
Aku menahan tawa. Ini lebih susah dari yang aku bayangkan. Aku tahu kalau Mama bukan orang yang gampang dipengaruhi. Tetapi, kali ini aku punya argumen yang cukup kuat. “Bukan, Ma. Aku bukan ngomong soal umi kayak di TV itu. Maksudku… aku ingin panggil Mama ‘Umi’. Kan lebih keren, lebih islami, gitu.”
Mama kembali menatapku dengan tatapan bingung, lalu tersenyum tipis. “Umi? Hmm… kenapa mesti Umi? Kamu enggak mau panggil Mama aja, gitu?”
Aku menghela napas panjang, lalu berdiri dan berjalan ke dapur. Aku perlu menunjukkan dengan jelas apa maksudku. “Umi itu kayak… lebih ada aura ‘penuh hikmah’ gitu, Ma. Lebih keren daripada Mama yang cuma… ya Mama gitu.”
Mama menurunkan sendok pengaduknya, lalu berjalan ke meja makan, dan duduk di kursi dengan tatapan penasaran. “Aura penuh hikmah? Kamu pikir aku ini siapa, Siti Khadijah, ya?” Dia terkekeh, tapi matanya tetap serius menatapku. “Kamu ini suka banget deh sama yang aneh-aneh.”
Aku merasa ada peluang di sini. “Bayangin deh, Ma. Kalau aku panggil kamu Umi, terus teman-temanku nanya, ‘Anwar, siapa tuh umi kamu?’ dan aku jawab, ‘Umi itu bukan cuma ibu, dia pahlawan hidup aku.’ Keren banget, kan?”
Mama terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan perkataanku. Aku merasa sudah mulai meraih kemenangan kecil, tapi aku harus meyakinkan Mama lebih jauh lagi. “Umi itu pahlawan hidup, Ma. Bisa masak, bisa cuci, bisa bersihin rumah, bahkan bisa tidur sambil baca buku. Umi itu pahlawan yang serba bisa!”
Mama kembali tersenyum, kali ini lebih lebar. Dia jelas merasa geli dengan ide gila yang aku bawa. “Pahlawan hidup? Kayak superhero gitu, ya?”
Aku mengangguk serius, mencoba menjaga wibawa agar ideku terlihat masuk akal. “Betul banget, Ma! Mama itu seperti Wonder Woman di rumah ini. Bisa ngapa-ngapain. Mana ada ibu lain yang kayak Mama?”
Mama tertawa, membuat tangannya yang memegang sendok pengaduk sedikit terangkat. “Kamu ini, ya, Anwar. Bikin Mama ketawa aja deh. Selalu ada-ada aja.”
Aku merasa semangatku mulai meredup. “Jadi, gimana, Ma? Mama mau kan jadi Umi atau enggak?”
Mama menatapku dengan tatapan yang penuh tawa. “Umi? Kamu ini suka banget sama nama itu ya? Kalau begitu, kamu panggil Mama Umi, tapi kamu harus janji satu hal.”
Aku terdiam, berpikir. “Apa tuh?”
“Mama enggak mau disebut pahlawan, Nak. Kamu yang harus jadi pahlawan. Kalau Mama jadi Umi, kamu mesti jadi anak yang lebih rajin bantuin Mama di rumah. Kalau enggak, Umi juga enggak mau disebut pahlawan, deh!” jawab Mama dengan senyuman nakal.
Aku tertawa terbahak-bahak, sampai hampir tumpah air minum di meja. “Ya ampun, Umi! Gimana sih, aku belum siap!” jawabku, sambil menyerah pada tawa.
Mama pun mengangguk-angguk, masih dengan senyum manisnya yang khas. “Kalau begitu, kamu siap jadi anak yang lebih rajin ya, Nak. Kalau kamu mau panggil Mama Umi, jangan cuma ngomong doang. Buktikan dengan perbuatan.”
Aku menghela napas, merasa terkepung oleh tuntutan itu. “Oke deh, Umi, aku janji. Aku bakal lebih bantu-bantu di rumah. Tapi… aku masih belum yakin bisa manggil Mama Umi.”
Mama menatapku lagi, kali ini dengan tatapan yang lebih serius, meskipun masih ada senyum di ujung bibirnya. “Terserah kamu, Nak. Tapi jangan bilang Umi kalau kamu enggak serius. Umi cuma mau dipanggil sama anak yang tahu cara bertanggung jawab.”
Aku terdiam, merenung. Mungkin benar, bukan soal nama panggilan yang penting, tapi bagaimana cara kita saling menghargai. Dengan sebutan apapun, yang penting Mama—eh, Umi—tetap jadi pahlawan hidupku.
Namun, perbincangan ini baru saja dimulai, dan aku yakin masih ada banyak cara untuk meyakinkan Mama. Untuk sekarang, aku harus buktikan dulu kalau aku bisa menjadi anak yang lebih rajin dan bertanggung jawab. Tapi tentu saja, aku tetap berharap panggilan “Umi” jadi kenyataan.
Umi yang Serba Bisa
Hari itu, aku merasa lebih semangat dari biasanya. Sepertinya, tantangan yang Mama (eh, Umi) berikan bukan sekadar janji kosong. Aku benar-benar harus berubah. Semua demi panggilan “Umi” yang keren itu. Aku sudah berniat untuk menjadi anak yang lebih rajin, lebih tanggung jawab. Tapi tentu saja, bukan berarti aku harus kehilangan jati diri, kan?
Pagi-pagi, aku sudah terjaga lebih awal dari biasanya. Biasanya, aku baru bangun kalau aroma kopi dari dapur sudah memenuhi rumah. Tapi kali ini, aku memutuskan untuk mengambil langkah pertama. Mengambil alih sedikit pekerjaan rumah.
Aku berjalan menuju dapur, berharap bisa memberikan kejutan kecil pada Umi. Tetapi begitu aku melihatnya di sana, sedang sibuk menyiapkan sarapan, aku merasa malu sendiri. Umi memang luar biasa. Dia bisa memasak berbagai macam hidangan dengan tangan yang cekatan, sambil bersenandung ringan di mulutnya. Sungguh, aku ingin sekali menjadi sehebat dia.
Aku mendekati Umi yang sedang mengaduk adonan kue. “Umi, aku mau bantu, deh,” kataku dengan penuh semangat, mencoba menutupi rasa canggung. Umi menoleh dengan ekspresi yang sulit dibaca, antara kaget dan terkejut.
“Bantu? Beneran kamu mau bantu?” Umi tersenyum tipis, namun matanya mengandung keheranan. Mungkin dia tak percaya aku serius.
“Iya, Ma—eh, Umi. Aku mau bantu. Jangan bilang ke siapa-siapa ya,” jawabku dengan senyum kecil, berharap bisa meyakinkannya. “Apa yang bisa aku bantu?”
Umi tersenyum dan menunjuk ke rak di dekat kompor. “Ambil itu, Nak. Tepung terigu dan gula. Kita mau bikin pancake, kan?”
Aku mengangguk dan dengan langkah mantap mengambil tepung terigu dan gula. Setelah itu, aku mulai merasa sedikit bangga pada diriku. Pekerjaan pertama sudah berjalan dengan lancar. Tapi… ada satu hal yang belum aku pikirkan.
Aku mencoba menata bahan-bahan di meja, lalu dengan percaya diri, aku mulai menambahkan tepung ke dalam mangkuk besar. Namun, tak lama setelah itu, aku menyadari kalau adonan pancake yang Umi buat sedikit berbeda. Ada banyak langkah yang aku tidak tahu, dan rasanya semuanya mulai berantakan. Tepungnya tumpah, dan sedikit taburan gula tercecer di lantai.
Umi yang melihat ke arahku hanya tertawa kecil. “Mau bikin pancake kok malah jadi salju. Kamu memang kalau bantu, ada-ada aja, ya?” katanya dengan nada yang tidak marah, malah terkesan geli.
Aku melihat ke lantai dan ikut tertawa. “Maaf, Umi. Aku enggak sengaja. Tapi kan Umi bilang, bantu! Ini bentuk bantuanku!” Aku merapikan tepung yang tercecer dan mencoba melanjutkan, meskipun rasanya agak konyol.
Umi meletakkan sendok kayu di atas meja dan berjalan mendekat. “Kalau kamu mau bantu, kamu harus hati-hati. Pancake ini bukan cuma soal bahan-bahan. Coba, kita buat sama-sama, ya.”
Aku mengangguk, dan akhirnya kami mulai mengaduk adonan bersama-sama. Umi menjelaskan dengan sabar, sambil sesekali melemparkan guyonan. Aku mulai merasa nyaman bekerja bersamanya, dan meskipun aku merasa canggung, aku belajar banyak hal tentang ketekunan dan sabar dari Umi.
Di tengah-tengah kami berdua sibuk mengaduk adonan, Umi tiba-tiba berbicara dengan serius. “Kamu tahu, Nak, di dunia ini enggak ada yang serba bisa. Semua butuh proses, butuh latihan. Termasuk aku.”
Aku berhenti sejenak dan menatap Umi. “Maksud Umi?”
Umi menatapku dengan mata yang penuh arti. “Dulu, waktu Umi baru menikah sama Ayah kamu, Umi nggak bisa masak. Semua yang kamu lihat sekarang ini—semua yang Umi bisa, itu semua hasil latihan bertahun-tahun. Kamu jangan cepat menyerah. Kalau kamu mau sesuatu, kamu harus mau berusaha, bukan cuma ngomong.”
Aku tercenung. Seolah kata-kata Umi menembus langsung ke hatiku. Ini bukan cuma soal panggilan “Umi”, tapi juga soal tekad dan usaha. Umi memang benar. Setiap hal yang kita inginkan butuh usaha.
Aku merasa sedikit malu, namun juga bersemangat. “Oke, Umi. Aku janji bakal lebih sabar. Aku mau belajar banyak dari Umi.”
Umi tersenyum dengan penuh kasih sayang. “Gitu dong. Setiap pekerjaan itu, meskipun kecil, punya nilai. Kalau kamu mau jadi orang yang serba bisa, kamu harus belajar dari hal-hal kecil seperti ini.”
Dengan semangat baru, aku kembali melanjutkan tugas yang sepertinya tak akan pernah selesai—membuat pancake yang sempurna. Di tengah kekocakan kami, aku merasa lebih dekat dengan Umi, bukan hanya karena panggilan baru yang aku inginkan, tapi karena aku mulai mengerti apa arti usaha dan ketulusan dalam setiap hal yang dia lakukan.
Umi dan Dapur yang Tak Pernah Sepi
Sejak pagi itu, aku mulai merasa seperti ada hal baru yang membuka mataku. Setiap kali aku berdiri di dekat Umi, baik itu saat memasak atau cuma ngobrol sambil santai di ruang tamu, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku mulai belajar lebih banyak tentang kerja keras, ketekunan, dan sabar dari Umi. Bahkan meski dia kerap terlihat sangat sibuk dan serius, Umi tetap bisa mengubah semua situasi menjadi lebih ringan dan menyenangkan.
Hari itu, Umi lagi-lagi sibuk di dapur. Seperti biasa, dia sudah memulai pekerjaannya lebih awal. Aku duduk di meja makan, dengan segelas air jeruk di tanganku. Belum lama, suara ketukan spatula di wajan pun terdengar dari dapur. Aku melirik sekilas, dan kali ini, aku tidak hanya mengamati Umi memasak. Aku ingin ikut andil. Jadi, aku mendekat dan melontarkan ide gila.
“Umi, gimana kalau hari ini kita coba masak… spaghetti?” tanyaku, dengan nada yang penuh semangat.
Umi yang sedang sibuk menumis bahan-bahan untuk sayur, menoleh dengan ekspresi sedikit ragu. “Spaghetti? Kamu tahu cara masaknya?”
Aku tersenyum lebar. “Tentu, tahu! Cuma, aku butuh sedikit bantuan Umi. Karena kan… spaghetti bukan cuma soal masak, kan? Kita harus bikin sausnya juga.”
Umi melanjutkan pekerjaannya, tidak tampak terkejut, malah terlihat seperti tahu aku hanya mencari-cari alasan untuk tetap berada di dekatnya. “Oke, kalau begitu. Tapi jangan salah, ya. Kamu yang ngajarin Umi tadi pagi, sekarang giliran Umi ngajarin kamu. Jangan nyerah sebelum waktunya.”
Aku tertawa dan langsung menyambar beberapa bahan di rak. “Tenang, Umi. Kali ini, aku pasti nggak bikin konyol. Eh, maksud aku, enggak bakal bikin berantakan.”
Dengan penuh percaya diri, aku mulai mencincang bawang dan tomat, mempersiapkan bahan-bahan untuk saus. Umi hanya mengamatiku dengan mata tajam, sesekali tersenyum geli melihat tingkah lakuku yang sedikit terburu-buru.
Namun, begitu aku menyalakan kompor, aku menyadari satu hal. Aku hampir tidak tahu apa yang harus dilakukan selanjutnya. Semua terasa begitu asing. Kue pancake tadi pagi jauh lebih mudah daripada ini. Aku menatap potongan bawang yang mulai terbakar sedikit, dan jelas, aku panik.
“Umi, kok rasanya… agak terbakar, ya?” tanyaku dengan suara gugup, sambil mencoba mengaduk bahan yang mulai menunjukkan tanda-tanda kerusakan.
Umi hanya menatapku dengan mata lebar dan senyum yang tidak bisa disembunyikan. “Lihat, kan? Itu tuh namanya proses. Kalau kamu nggak salah sedikit, kamu nggak akan belajar. Yang penting, jangan berhenti. Ayo, aduk lagi!”
Aku menatap Umi sejenak, kemudian memutuskan untuk mengikuti saran Umi, meski tangan gemetar. Aku mulai mengaduk dengan hati-hati, dan tiba-tiba, kejadian lucu itu terjadi. Salah satu tomat yang aku potong terlepas dari pisau dan meluncur ke lantai.
“Umi! Aku nggak sengaja…” aku tertawa malu, merunduk untuk memungut tomat yang sudah jatuh.
Umi tertawa terbahak-bahak, “Nak, kamu itu memang, ya! Ada-ada aja. Jangan cuma bisa ngomong, harus aksi, dong!” sambil membantu aku memungut tomat yang terjatuh.
Akhirnya, setelah beberapa kali mengalami kekonyolan kecil, kami berhasil menyelesaikan saus spaghetti dengan rasa yang—meski tidak sempurna—cukup bisa diterima. Tapi, yang lebih penting, aku merasa bangga. Kami melakukannya bersama, dan setiap kesalahan yang aku buat malah menjadikan pengalaman itu semakin berkesan.
Saat spaghetti terhidang di meja makan, aku merasa senang karena tak hanya makanannya yang terasa enak, tetapi juga karena momen kebersamaan ini. Umi duduk di depanku, dengan senyum penuh arti.
“Gimana, Nak? Cukup enak, kan?” Umi bertanya, sedikit menggoda.
Aku mengangguk dengan penuh keyakinan. “Enak banget, Umi. Aku… aku rasa ini jadi kenangan yang nggak akan pernah aku lupa.”
Umi tersenyum lebar, lalu memelukku singkat. “Kamu tahu, Nak, kadang yang kita butuhkan bukan hanya bisa, tapi mau mencoba. Walau sedikit konyol, kan?”
Aku mengangguk sambil tersenyum lebar, mengingat hari itu penuh dengan kekonyolan dan hal-hal lucu yang ternyata menyimpan makna lebih dalam. “Iya, Umi. Aku tahu sekarang, kadang kita harus jatuh dulu supaya bisa bangkit lebih kuat.”
Umi tertawa. “Betul. Dan Umi tahu, kamu pasti bisa jadi Umi yang hebat suatu hari nanti.”
Kami berdua tertawa, melanjutkan makan bersama, menikmati spaghetti buatan kami yang meskipun tak sempurna, tapi penuh dengan kenangan indah. Dan untuk pertama kalinya, aku merasa panggilan “Umi” bukan hanya soal sebutan, tetapi juga tentang cara kami bersama-sama menghadapinya, walau penuh dengan tawa dan kekonyolan.
Umi, Aku, dan Panggilan yang Tak Terlupakan
Hari-hari berlalu dengan cepat, dan aku semakin merasa nyaman dengan panggilan “Umi”. Meskipun aku belum sempurna seperti yang Umi harapkan, setiap langkah kecil yang aku ambil untuk menjadi lebih baik terasa menyenangkan. Seperti yang sudah Umi bilang, semua itu butuh proses. Kadang, kita harus tertawa dulu sebelum bisa mengerti maksud dari sebuah pelajaran.
Suatu sore, saat aku baru saja pulang dari sekolah, aku melihat Umi sedang duduk di ruang tamu sambil membaca buku resep. Biasanya, aku yang lebih dulu nyalakan TV atau main ponsel, tetapi hari itu aku memilih untuk duduk di sebelahnya.
“Umi, aku harus ngomong sesuatu,” kataku sambil duduk di dekat Umi, mencoba membuka pembicaraan dengan serius.
Umi menoleh ke arahku dengan senyum khasnya, yang selalu bisa menenangkan hatiku. “Ada apa, Nak? Kok tiba-tiba kelihatan serius gitu?”
Aku menatapnya dan sedikit merasa canggung. “Aku tahu aku belum sempurna jadi anak yang bisa bantu Umi setiap saat. Tapi, aku mulai bisa ngerti kenapa Umi selalu bilang kalau belajar itu bukan hanya soal bisa. Tapi juga soal mau coba dan nggak takut jatuh.”
Umi menatapku dengan tatapan lembut, lalu mengangguk. “Ya, itu yang aku mau kamu pahami, Nak. Nggak ada yang langsung bisa. Semua butuh waktu. Yang penting, kamu nggak nyerah.”
Aku tersenyum, merasa semakin yakin dengan kata-kata Umi. “Aku janji, Umi. Aku bakal terus belajar. Aku mau jadi seperti Umi, yang bisa banyak hal, yang sabar, dan selalu ada.”
Tiba-tiba Umi tertawa ringan, memelukku, dan berkata, “Kamu itu lucu, deh. Tapi nggak apa-apa. Umi senang kalau kamu mau belajar, meskipun enggak gampang.”
Kami berdua tertawa, dan saat itu aku merasa seolah-olah waktu berhenti. Tidak ada hal lain yang lebih penting selain aku dan Umi, di sini, bersama-sama. Rasanya, panggilan “Umi” bukan hanya sekedar nama. Itu adalah simbol dari ikatan yang kuat antara kami. Ikatan yang bukan hanya dibangun dari masakan yang kami buat bersama atau lelucon konyol yang sering terjadi, tetapi juga dari cinta, perhatian, dan keberanian untuk belajar bersama.
Saat itu, aku menyadari satu hal: yang terpenting bukanlah apakah aku sudah bisa melakukan semuanya dengan sempurna. Yang terpenting adalah aku sudah mau berusaha, dan Umi selalu ada untuk mengingatkanku bahwa setiap usaha itu berarti. Walaupun kadang aku gagal, aku tahu Umi akan selalu ada untuk mendukungku, mengajarkan, dan tertawa bersamaku.
Dan aku pun tahu, panggilan “Umi” itu sudah tertanam di hatiku, tak akan pernah berubah. Dia bukan hanya ibu bagiku, tapi juga teman, guru, dan inspirasi. Aku ingin menjadi orang yang bisa membuatnya bangga, walau perjalanan kita masih panjang.
“Umi, terima kasih ya. Terima kasih karena sudah jadi Umi yang hebat,” kataku, dengan mata yang sedikit berkaca-kaca.
Umi tersenyum dengan penuh kasih. “Kamu juga hebat, Nak. Kita hebat, bersama-sama.”
Dengan itu, kami terus duduk bersama, berbincang tentang hal-hal kecil yang seakan tak pernah ada habisnya. Dan dalam setiap tawa yang kami bagi, aku tahu satu hal pasti: aku ingin terus menjadi anak yang bisa membuat Umi bangga, tak hanya dengan panggilan yang aku beri, tetapi dengan setiap langkah kecil yang kuambil dalam hidup ini.
Dan untuk pertama kalinya, aku merasa seperti benar-benar memiliki Umi—dengan segala kebaikan, sabar, dan cinta yang tak pernah habis.
Jadi, kadang hal kecil seperti mengganti panggilan bisa jadi momen yang penuh makna, ya. Dari sekadar lelucon, ternyata bisa jadi cara baru buat lebih dekat dan lebih menghargai orang yang kita sayang.
Umi dan Anwar mungkin belum sempurna, tapi yang penting kita selalu ada satu sama lain, nggak peduli seberapa konyolnya hari-hari kita. Semoga cerita ini bisa bikin kamu ketawa, tapi juga ngingetin betapa berharganya ikatan keluarga.