Indahnya Berbagi dengan Sahabat: Kisah Persahabatan yang Tak Terpisahkan

Posted on

Pernah nggak sih, kamu ngerasa punya seseorang yang selalu ada buat kamu, baik dalam suka maupun duka? Itu dia, persahabatan sejati. Gak selalu tentang bertemu setiap hari atau berbagi rahasia besar, tapi lebih ke rasa saling memahami yang nggak bisa dijelaskan.

Di cerita ini, kamu bakal ngerasain gimana indahnya berbagi dengan sahabat yang lebih dari sekadar teman. Coba deh, simak, siapa tahu kamu juga pernah ngerasain hal yang sama.

 

Indahnya Berbagi dengan Sahabat

Bayangan dalam Hujan

Langit mulai menggelap, awan hitam menggantung rendah di atas kota yang tak pernah berhenti berdenyut. Hujan turun perlahan, meneteskan rintik-rintik dingin yang jatuh satu per satu, kemudian membesar hingga akhirnya mengguyur seluruh kota. Aku berjalan cepat menembus hujan, mengenakan jaket yang tidak terlalu tebal, berharap bisa sampai ke tempat perlindungan sebelum basah kuyup. Aku tahu, tempat itu akan selalu ada, tempat di mana aku bisa berteduh bersama seseorang yang sudah menjadi bagian dari hidupku, hampir tanpa aku sadari.

Taman kota, dengan pohon-pohon besar dan bangku-bangku yang terpasang rapi, sudah menjadi tempat favorit kami. Mungkin karena di sini, aku bisa benar-benar merasa seperti diriku sendiri. Di antara hiruk-pikuk dunia, ada satu sudut kecil yang hanya milik kami berdua. Aku melihatnya di sana, berdiri di bawah pohon besar, dengan jaketnya yang agak lusuh dan sepatu sneakers yang sudah penuh lumpur. Tidak ada yang aneh dari penampilannya, kecuali senyuman di wajahnya yang selalu bisa membuatku merasa tenang meski dunia sedang berputar dengan cepat.

Raka menyadari kedatanganku dan melambaikan tangan, mengundangku untuk bergabung di bawah pohon yang sama. “Kamu nggak bawa payung?” tanyanya sambil tersenyum lebar, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan yang semakin deras.

Aku menggelengkan kepala, melangkah mendekat ke arahnya. “Aku lupa,” jawabku, sedikit tergesa-gesa namun tetap mencoba tersenyum. “Sepertinya kita akan basah kuyup, ya?”

Dia hanya tertawa pelan. “Jangan khawatir, kamu kan tahu, hujan nggak pernah cukup untuk memisahkan kita,” katanya, seperti itu hal yang paling biasa di dunia.

Aku duduk di sampingnya, menikmati kenyamanan dari keberadaannya yang tak pernah menghakimi. Raka, meski dari dunia yang sangat berbeda denganku, selalu bisa membuatku merasa aman. Aku tahu dia tak akan meninggalkan aku begitu saja, tak peduli seberapa berat hidup yang kami jalani masing-masing. Perbedaan bukan masalah bagi kami—kami tahu bahwa ada hal-hal yang lebih besar daripada sekadar latar belakang atau status sosial.

Hujan semakin deras, namun kami tetap duduk di sana, tak peduli basah. Bahkan, ada kenyamanan tersendiri dalam ketidakpedulian itu. Aku menyandarkan kepala di bahunya, dan Raka hanya membiarkannya, tidak merasa terganggu meski kami berdua sudah mulai basah kuyup.

“Alya,” katanya pelan, suaranya agak teredam oleh suara hujan. “Kamu pernah nggak merasa kalau dunia ini terlalu besar untuk kita sendiri?”

Aku memandang ke depan, menatap air yang mengalir di selokan dan jalanan yang tergenang. Pertanyaan itu, entah kenapa, membuatku sedikit terhenyak. Terkadang aku memang berpikir seperti itu. Dunia ini kadang terasa begitu luas dan rumit, dan aku hanya sebutir pasir kecil di pantainya.

“Pernah,” jawabku pelan. “Aku rasa dunia ini memang terlalu besar, Raka. Tapi, kalau aku punya kamu, rasanya dunia ini jadi lebih mudah dimengerti.”

Raka terdiam, seolah mencerna kata-kataku. Aku bisa merasakan dia sedang menimbang-nimbang sesuatu dalam pikirannya. Sejak kami bertemu, banyak hal yang sudah kami lalui bersama. Tidak semuanya mudah, tentu saja. Tapi aku selalu merasa bahwa setiap hal yang terjadi di antara kami memiliki makna yang dalam. Sebagai sahabat, kami mungkin tidak selalu sepaham, tetapi kami selalu menemukan cara untuk berbagi dan saling mengerti.

“Aku nggak tahu, Alya,” katanya, suaranya kini lebih serius, meski senyum masih tersisa di wajahnya. “Kadang aku merasa, kamu itu orang yang… spesial. Kamu punya cara untuk membuat dunia ini terasa lebih terang. Nggak peduli seberapa gelapnya.”

Aku terkekeh. “Jangan gombal, Raka,” balasku sambil menepuk bahunya pelan. “Aku nggak seistimewa itu kok.”

Raka hanya menggelengkan kepala. “Aku serius. Kamu tahu, dunia ini terasa lebih ringan setiap kali aku bersama kamu. Dan kadang, aku cuma pengen kamu tahu itu.”

Kata-kata itu membuatku terdiam sejenak. Dalam hati, aku tahu bahwa persahabatan kami lebih dari sekadar kebersamaan biasa. Kami sudah melalui banyak hal bersama, baik suka maupun duka, dan setiap momen itu terasa seperti bagian dari puzzle besar yang tak bisa dipisahkan. Tak ada yang lebih indah dari saling berbagi, terutama dengan seseorang yang sudah begitu mengerti tanpa perlu banyak bicara.

Kedua tangan kami terulur, dan aku menggenggam tangannya. Tidak ada yang perlu diucapkan. Kami hanya duduk di sana, merasakan kebersamaan yang mengalir begitu alami, meskipun hujan semakin deras. Tak ada yang lebih penting dari ini, lebih dari kata-kata, lebih dari dunia luar yang terus bergerak.

“Alya,” katanya lagi, kali ini dengan nada yang lebih ringan, mencoba mengalihkan suasana. “Kamu tahu nggak, hujan ini seperti kita, ya? Meskipun nggak selalu dipahami orang, tapi dia tetap ada, dan tanpa dia, segala sesuatunya terasa kurang lengkap.”

Aku menoleh padanya, bingung. “Maksud kamu?”

Dia tertawa kecil. “Maksudnya, kalau kita nggak ada, dunia ini rasanya kurang sempurna. Sama seperti hujan, meskipun kadang dianggap gangguan, tapi kita tahu, dia tetap penting.”

Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya. “Mungkin kamu benar, Raka. Mungkin kita memang seperti hujan. Kadang datang tanpa diduga, tapi selalu membuat segalanya terasa berbeda.”

Kami tertawa bersama, duduk di bawah pohon besar, saling berbagi tanpa harus mengucapkan banyak kata. Dalam kebisuan yang datang setelah tawa itu, aku tahu—persahabatan kami adalah hal yang tak terpisahkan, sebuah kenyataan yang akan selalu ada, seperti hujan yang tak pernah berhenti jatuh, memberikan kehangatan dan kenyamanan, meski dunia terus berputar tanpa henti.

Dan meski kami tahu, tak ada yang bisa memprediksi masa depan, satu hal yang pasti: aku dan Raka akan selalu ada satu sama lain, bersama dalam segala kondisi.

 

Potongan Puzzle yang Saling Melengkapi

Pagi setelah hujan itu, aku berjalan sendirian menuju kampus, meskipun pikiranku masih terhanyut dalam percakapan semalam. Raka—entah kenapa, ia selalu mampu membuat segala sesuatunya terasa lebih ringan. Semua yang kami alami, segala kebersamaan yang terbentuk, sudah begitu mendalam. Setiap detil tentang kami, tentang persahabatan ini, terasa seperti potongan puzzle yang akhirnya saling melengkapi, meski masing-masing dari kami datang dari dunia yang berbeda.

Aku tahu, hari ini Raka akan melakukan perjalanan jauh ke desanya. Sudah beberapa minggu ini dia bercerita tentang kebun yang harus dirawat dan keluarga yang merindukannya. Aku tahu betul, Raka merasa ada ikatan yang kuat dengan tanah kelahirannya. Itulah sebabnya, meskipun kesibukannya di kota makin banyak, ia selalu kembali ke sana setiap kali ada waktu.

Tapi ada sesuatu yang mengganjal di hatiku. Kami selalu bersama—sejak kami pertama kali bertemu bertahun-tahun yang lalu, sampai sekarang—rasanya ada benang merah yang mengikat kami, dan meskipun kami bisa saling berbagi banyak hal, aku merasa ketakutan akan kehilangan bagian dari diriku yang selalu ada di dekatnya.

Tepat saat aku memasuki area kampus, aku melihat Raka berdiri di dekat pintu masuk, seperti menunggu seseorang. Aku mempercepat langkah, menghampirinya. Senyumannya lebar saat ia melihatku, tetapi ada kesan sedikit murung yang tak bisa aku salahkan. Aku tahu, perjalanan ke desanya kali ini seakan menjadi keputusan besar baginya, meskipun dia tidak pernah mengungkapkannya dengan jelas.

“Alya, kamu kelihatan capek banget,” katanya, menatapku dengan tatapan lembut.

“Capek? Ah, nggak kok,” balasku sambil tersenyum. “Aku cuma sedikit mikirin hujan kemarin.”

Raka tertawa pelan, lalu menggelengkan kepalanya. “Biarpun hujan, kamu tetap aja kelihatan hebat, ya.”

Aku merasa pipiku merona, tapi aku memilih untuk tidak terlalu memperdulikan kata-katanya. “Jadi, kamu berangkat ke desa lagi, ya?”

“Iya,” jawabnya dengan tenang. “Ada beberapa hal yang perlu aku urus di sana. Kamu nggak khawatir kan?”

Aku menatapnya dalam-dalam. “Aku nggak khawatir kok, cuma… aku agak nggak biasa kalau kamu nggak ada di sini. Rasanya ada yang kurang, tahu nggak?”

Raka tersenyum, senyum yang kali ini terasa lebih dalam dan penuh makna. “Aku tahu, Alya. Kamu juga tahu, kan, kalau aku nggak bakal lama di sana. Paling cuma seminggu, dua minggu. Aku janji bakal balik lagi.”

Aku mengangguk meski di dalam hati, aku merasa ada sesuatu yang berbeda kali ini. Rasa ketakutan yang mengganjal itu tak bisa aku pungkiri. Meskipun kami sering berpisah untuk beberapa waktu, tak pernah ada perasaan seperti ini sebelumnya. Seakan ada sesuatu yang akan berubah, meskipun aku tak tahu apa itu.

Kami berjalan bersama menuju pintu keluar kampus, menikmati pagi yang cerah meski ada sedikit kekosongan yang terasa. Setiap detil tentang hari ini, tentang kebersamaan yang tak bisa digantikan dengan apapun, mulai terasa begitu berarti. Di tengah keramaian kampus yang sibuk, kami berdua berjalan dengan langkah yang hampir serempak, seolah dunia ini hanya milik kami berdua.

“Raka,” kataku pelan, “kamu tahu nggak, meskipun kita datang dari dunia yang berbeda, aku merasa seperti kita bisa saling melengkapi. Kamu seperti potongan puzzle yang hilang dari hidupku.”

Raka berhenti sejenak, menatapku dengan penuh arti, lalu tersenyum kecil. “Aku juga ngerasa begitu, Alya. Mungkin kita memang dibuat untuk saling melengkapi. Tanpa kamu, aku nggak tahu bagaimana rasanya dunia ini.”

Aku tertawa pelan, mencoba menutupi rasa haru yang tiba-tiba menyelimuti. “Jangan gombal deh, Raka.”

Dia hanya menatapku dengan serius, tanpa ada gurauan sedikit pun. “Aku nggak gombal, Alya. Aku serius.”

Tapi aku tahu, meskipun dia mengatakan itu dengan penuh keyakinan, aku bisa merasakan adanya keraguan yang tidak terucapkan. Keraguan tentang kami, tentang bagaimana kedekatan kami akan bertahan seiring berjalannya waktu dan jarak yang memisahkan. Kami sudah saling berbagi begitu banyak hal—rasa suka, tawa, bahkan air mata—tapi apakah semua itu cukup untuk menjaga ikatan ini tetap kuat?

Perasaan itu datang begitu tiba-tiba. Aku merasa seolah-olah ada sesuatu yang ingin aku ungkapkan, sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata, namun tak tahu bagaimana cara memulainya. Namun sebelum aku sempat mengucapkan apapun, Raka sudah menarik napas dalam-dalam dan berkata dengan ringan.

“Yuk, kita makan siang dulu. Lupakan semua yang berat-berat, kamu pasti lapar kan?”

Aku hanya mengangguk pelan, berusaha menekan perasaan yang menggelayut di dalam hati. Raka kembali membuat suasana menjadi ringan, seperti biasanya. Dia memang pandai mengalihkan perhatian ketika suasana terasa canggung atau berat.

Namun, meskipun kami berdua akhirnya berjalan bersama menuju tempat makan yang sederhana, aku tahu ada banyak hal yang belum terungkapkan di antara kami. Sesuatu yang lebih dalam, yang mungkin akan berubah seiring berjalannya waktu dan perubahan-perubahan kecil yang terjadi di sekeliling kami.

Dan aku bertanya-tanya, apakah kami benar-benar siap menghadapi perubahan itu—perubahan yang tak bisa dihindari, meskipun kami sudah berusaha menjaga segalanya tetap seperti ini, seperti puzzle yang selalu bisa saling melengkapi.

 

Saat Langit Menguji Ketahanan Kita

Hari-hari berlalu cepat. Kepergian Raka ke desanya memang bukan hal yang aneh bagiku. Kami sudah terbiasa menjalani hidup dengan jarak, meskipun rasanya tetap ada kekosongan yang sulit diungkapkan. Aku terus melanjutkan rutinitas kuliah dan kegiatan lainnya, tapi tetap saja pikiranku tak bisa lepas dari dia. Ada hal-hal yang tak bisa kukendalikan, seperti perasaan yang datang tiba-tiba, atau ketakutan akan kehilangan.

Pagi itu, aku duduk di ruang kampus, menatap layar ponselku yang sepi. Raka belum menghubungiku sejak keberangkatannya dua hari lalu. Aku tahu dia sibuk dengan urusannya di desa, tapi tetap saja rasa khawatir itu datang begitu saja. Ada semacam kegelisahan yang tak bisa dijelaskan. Mungkin aku sudah terlalu terbiasa dengan keberadaannya di sisiku, hingga ketika dia pergi, aku merasa seolah ada bagian dari diriku yang hilang.

Tiba-tiba, ponselku bergetar. Sebuah pesan singkat dari Raka masuk. Aku langsung membuka layar dan membacanya dengan cepat.

“Alya, aku baru sampai di desa. Udah seminggu di sini dan semuanya baik-baik aja. Tapi ada yang aku pikirkan… tentang kita.”

Hati aku berdegup kencang. Ada perasaan campur aduk yang muncul begitu saja. Pesan ini berbeda, lebih personal, lebih serius. Aku ragu-ragu untuk membalas, lalu akhirnya menekan tombol balas.

“Apa yang kamu pikirkan?”

Kurasa, ini saatnya untuk berbicara tentang apa yang mengganjal di hati kami berdua. Aku tak bisa lagi menunggu tanpa kejelasan.

Beberapa detik kemudian, ponselku bergetar lagi. Raka membalas.

“Aku cuma mikirin kita, Alya. Aku tahu aku nggak bisa terus-menerus berada di sini, di kota ini, dengan kamu. Mungkin suatu saat aku bakal jadi seseorang yang harus pergi jauh. Tapi aku nggak mau kamu ngerasa kehilangan. Aku nggak mau jadi penyebab kamu merasa terhalang atau terjebak di sesuatu yang nggak kamu inginkan.”

Aku merasa perasaan itu kembali datang—campuran antara ketakutan, kecemasan, dan juga kebingungan. Pesan dari Raka itu seperti membawa ke permukaan semua yang terpendam. Kami sudah berbicara tentang banyak hal, tapi tentang hal ini—tentang masa depan kami—belum pernah ada kata sepakat.

“Raka, aku nggak tahu apa yang terjadi setelah kamu pergi nanti. Aku juga nggak tahu kalau kita bisa tetap seperti ini. Tapi yang pasti, aku nggak mau kita saling jauh. Kamu tahu, kan, kalau persahabatan ini udah lebih dari sekadar teman?”

Aku menunggu beberapa saat, berharap mendapat balasan, tetapi tidak ada. Aku mulai merasa cemas, tapi sebelum aku sempat merasakan lebih jauh, ponselku kembali bergetar. Raka membalas dengan pesan panjang yang lebih dalam.

“Alya, kamu itu sahabat terbaik yang pernah aku punya. Selama ini aku nggak pernah merasa terikat dengan seseorang sekuat ini. Kalau kamu bilang ini lebih dari sekadar teman, aku nggak tahu lagi harus bilang apa. Kadang, kita berdua terlalu nyaman di tempat ini, tapi aku takut kalau suatu saat nanti, kita akan menyadari bahwa kita nggak bisa terus berada di dunia yang sama. Waktu, jarak, semuanya bakal menguji kita.”

Membaca pesan itu, aku merasakan ada sesuatu yang menggetarkan di dada. Sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Mungkin, persahabatan ini lebih dari itu. Tapi apakah aku siap? Apakah dia siap?

Aku meletakkan ponsel di meja dan menatap keluar jendela. Langit cerah, tetapi hatiku penuh dengan pertanyaan. Tak terasa, sudah beberapa menit berlalu. Aku tahu aku harus menghubunginya lagi. Tetapi kali ini, aku ingin memastikan satu hal—bahwa apapun yang terjadi, kami berdua bisa menghadapi itu bersama. Kami tak pernah membicarakan perasaan ini secara langsung, tapi mungkin inilah waktunya untuk mengungkapkannya.

Aku mengetik balasan dengan hati yang lebih tenang.

“Raka, apa pun yang terjadi, kita harus bisa hadapi itu. Aku nggak mau melupakan apa yang kita punya. Selama ini, aku merasa kita seperti dua puzzle yang saling melengkapi. Jadi, apapun yang datang, aku nggak mau kita terpisah. Jika kamu bilang kita harus terpisah, itu harus alasan yang kuat. Karena aku nggak tahu siapa lagi yang bisa jadi sahabat sepertimu.”

Aku menekan tombol kirim dan menunggu. Ada perasaan cemas yang menyesak di dada, tapi juga ada harapan kecil yang menyertai setiap kata yang aku kirimkan.

Tidak lama setelah itu, ponselku bergetar lagi. Kali ini Raka langsung menghubungiku lewat telepon. Aku mengangkatnya dengan cepat.

“Alya, maaf kalau aku bikin kamu bingung. Aku nggak bermaksud ngasih tekanan. Aku cuma… takut kita nggak siap. Tapi aku sadar, kita udah cukup banyak berbagi selama ini. Dan aku nggak bisa menyangkal, kamu itu penting banget buat aku.”

Aku terdiam sejenak. Kata-katanya membuat hatiku bergetar. Ada kehangatan dalam suaranya yang tiba-tiba terasa begitu dekat. Rasanya, meskipun ada jarak, kami tetap saling terhubung. Dan mungkin, inilah yang paling penting dari semuanya.

“Raka,” aku berkata dengan pelan, “Aku nggak tahu apa yang akan terjadi. Tapi, aku nggak mau kita berhenti berbagi. Apapun itu, kita hadapi bersama, kan?”

Beberapa detik berlalu tanpa suara, sebelum akhirnya Raka menjawab dengan lembut, “Iya, Alya. Kita hadapi bersama.”

Kami saling terdiam, tetapi ada perasaan yang lebih lega kini, seolah semua beban yang tak terucapkan akhirnya bisa dipahami oleh kami berdua. Langit mungkin akan menguji kita, tetapi selagi kami saling memahami dan berbagi, tak ada yang bisa memisahkan.

 

Harmoni yang Tak Terpisahkan

Sudah beberapa bulan sejak percakapan malam itu. Raka kembali ke kota, dan meskipun kami tak selalu bertemu setiap hari, hubungan kami terasa lebih erat dari sebelumnya. Ada kedamaian yang tumbuh dalam diri kami, seolah kami telah menemukan sebuah keseimbangan baru. Kami masih bertukar cerita, tertawa, dan berbagi momen kecil yang berarti banyak. Tapi, yang paling penting adalah kami tahu, di balik semua itu, ada ikatan yang lebih kuat dari sekadar persahabatan.

Hari itu, aku berjalan menuju taman kota tempat kami biasa bertemu. Langit cerah, namun udara pagi terasa agak dingin. Aku menatap sekeliling, menunggu sosok yang sudah menjadi bagian dari hari-hariku. Beberapa menit kemudian, aku melihat Raka berjalan mendekat, senyum lebar menghiasi wajahnya.

“Hey, Alya,” sapanya sambil duduk di bangku taman yang kami pilih. “Gimana hari ini?”

Aku tersenyum dan duduk di sampingnya. “Sama aja, kayak biasa. Cuma nungguin kamu datang biar hari ini nggak terlalu membosankan.”

Raka tertawa kecil. “Kamu ini selalu aja bisa bikin aku senyum, ya.”

Aku menatapnya dengan tatapan yang lebih dalam dari biasanya. Kami berdua tahu bahwa ada sesuatu yang tak terucapkan antara kami, sesuatu yang lebih dari sekadar persahabatan. Namun, kami juga tahu bahwa apa yang kami miliki adalah sesuatu yang harus dijaga dan dihargai, apapun bentuknya.

Kami berbicara tentang banyak hal, tentang rencana masa depan, tentang kehidupan kami masing-masing, dan tentu saja, tentang bagaimana kami berdua berjuang untuk menjaga hubungan ini tetap tumbuh meski terkadang ada jarak. Kami saling mendukung, mengingatkan, dan lebih dari itu, kami belajar untuk berbagi lebih banyak lagi.

Hari itu, aku menyadari satu hal penting—bahwa kebersamaan kami bukanlah tentang seberapa sering kami bertemu atau seberapa dekat jarak kami, tetapi tentang bagaimana kami saling memberi tempat untuk tumbuh. Raka bukan hanya sahabat terbaik yang pernah aku punya, dia juga seseorang yang mengajarkanku untuk memahami arti kesabaran dan pengertian. Begitu pula aku untuknya.

“Alya,” Raka berkata serius, memandangku dengan mata yang penuh arti, “Aku tahu kita punya banyak perbedaan, dan mungkin kita akan menghadapi lebih banyak tantangan ke depannya. Tapi satu hal yang aku tahu pasti, kita nggak akan pernah bisa terpisahkan. Persahabatan kita lebih dari cukup untuk membuatku yakin.”

Aku memandangnya, dan hatiku dipenuhi rasa haru. Aku meraih tangan Raka, menggenggamnya erat. “Kamu benar, Raka. Kita sudah melalui banyak hal, dan aku tahu kita bisa terus bertahan. Karena kamu itu bukan sekadar sahabat—kamu sudah jadi bagian dari hidupku, lebih dari apa pun.”

Kami berdua duduk dalam keheningan yang nyaman. Tidak ada kata-kata lagi yang perlu diucapkan, karena kami sudah saling mengerti. Kami tahu bahwa perbedaan tidak akan pernah memisahkan kami, justru perbedaan itu yang membuat kami lebih kuat. Kami adalah dua jiwa yang tak terpisahkan, meskipun dunia kadang menguji kami dengan jarak dan waktu.

Beberapa bulan berlalu begitu saja, tetapi perasaan itu tetap ada, terus berkembang dengan cara yang tak terduga. Raka dan aku tetap bersama, meskipun tidak selalu dengan cara yang sama seperti sebelumnya. Ada momen-momen ketika kami tak berbicara lama, ada juga momen ketika kami tertawa bersama tanpa henti. Apa pun yang terjadi, kami tahu bahwa kami sudah melewati banyak hal bersama.

Dan mungkin, inilah yang disebut dengan kebahagiaan—bukan tentang selalu bersama, tetapi tentang memahami dan saling memberi ruang untuk menjadi versi terbaik dari diri kami sendiri. Kami tidak pernah terpisahkan, karena kami selalu menemukan cara untuk kembali kepada satu sama lain, tak peduli apapun yang terjadi.

Pada akhirnya, itulah indahnya berbagi—bukan hanya tentang hal-hal besar yang bisa dilihat oleh orang lain, tetapi juga tentang hal-hal kecil yang terjadi di antara kami. Tentang saling memberi, saling mengerti, dan saling mendukung dalam setiap langkah kehidupan. Raka dan aku, kami berdua tahu bahwa tidak ada yang bisa menghalangi kita. Kami tetap berjalan, bersama, seiring waktu yang terus berjalan.

Dan itu sudah lebih dari cukup.

 

Jadi, kadang persahabatan itu nggak cuma soal waktu yang kita habiskan bareng, tapi juga soal bagaimana kita saling memberi ruang, memahami, dan selalu ada buat satu sama lain.

Kadang, yang dibutuhkan cuma seseorang yang bisa bikin kita merasa nggak sendirian, dan itu cukup buat bikin segalanya jadi lebih berarti. Karena sahabat sejati itu nggak akan pernah terpisahkan, bahkan saat jarak dan waktu menguji. Terus jaga persahabatanmu, karena itu adalah harta yang nggak ternilai.

Leave a Reply