Daftar Isi
Pernah nggak sih ngerasa hidup kayak nggak adil banget? Gimana rasanya jadi anak yang hidupnya di jalanan, ngelewatin hari-hari dengan beban yang nggak kelihatan di luar, tapi nyakitin banget di dalam? Ini cerita tentang Lilo, anak jalanan yang punya impian besar meskipun hidupnya penuh cobaan.
Dia nggak minta jadi kaya, cuma pengen merasakan sedikit kebahagiaan yang mungkin nggak semua orang bisa pahami. Dalam dunia yang keras dan penuh ketidakpastian, ada satu hal yang selalu dia pegang—harapan. Penasaran gimana Lilo ngadepin hidupnya? Yuk, ikutin ceritanya!
Cerpen Anak Jalanan
Mimpi di Tengah Hujan
Di bawah langit yang hampir gelap, Lilo duduk dengan tubuh kecilnya yang rapuh di tepi trotoar. Hujan turun deras, namun ia tak bergerak dari tempatnya. Kakinya yang telanjang terasa dingin, dan ujung-ujung jari tangan yang basah tampak memerah karena kedinginan. Wajahnya tertunduk, rambutnya yang kusut menutupi sebagian wajahnya yang pucat. Ia hanya memeluk lututnya, berusaha menjaga sedikit kehangatan yang masih tersisa.
Ada rasa sepi yang begitu dalam di hatinya, jauh melebihi kedinginan yang dirasakannya. Setiap hari terasa seperti hari yang sama, berulang, penuh dengan hiruk-pikuk kehidupan yang tak pernah ia mengerti. Di kota besar ini, di tengah jalan yang ramai, ia adalah bayangan—terlupakan dan tidak terlihat. Meskipun orang-orang lewat begitu dekat dengannya, tak ada yang peduli, tak ada yang bertanya. Mereka hanya terus berjalan, terjebak dalam dunia mereka sendiri.
Lilo menatap sekelilingnya. Di sebelah kanan, lampu-lampu jalan yang redup menyinari wajah-wajah yang terburu-buru, seperti hantu yang hanya muncul untuk beberapa detik. Di seberang jalan, sebuah gedung tinggi berdiri megah, jendelanya yang terang menunjukkan betapa jauh dunia itu berbeda dari dunia tempat Lilo berada. Kadang-kadang, ia merasa seperti seorang pengamat dalam kehidupan orang lain—seperti orang yang hanya bisa melihat, namun tidak pernah bisa merasakannya.
Tiba-tiba, langkah kaki terdengar mendekat. Lilo mendongak sedikit dan melihat seorang anak perempuan dengan tas sekolah berwarna cerah di punggungnya. Wajah anak itu ceria, rambutnya yang tergerai tertiup angin, dan matanya berbinar seolah dunia ini penuh dengan kemungkinan.
Lilo menatapnya tanpa berbicara, merasa cemburu tanpa kata-kata. Anak itu pasti pulang dari sekolah, menuju rumah yang hangat, mungkin ditemani oleh orang tua yang menyayangi. Lilo mengalihkan pandangannya ke tanah, berusaha menahan perasaan yang menyusup begitu dalam. “Aku juga ingin seperti dia…” bisiknya pelan, seolah-olah kata-kata itu bisa mengubah segalanya.
Namun, Lilo tahu. Itu semua hanya mimpi yang takkan pernah tercapai.
“Apa yang kamu lakukan di sini, kecil?” suara seorang lelaki terdengar, menggema di atas kebisingan hujan. Lilo menoleh dan melihat seorang pria yang berjalan menuju trotoar tempat ia duduk. Wajahnya kasar, namun ada perhatian di balik matanya yang kelabu.
Lilo menundukkan kepala, mencoba menghindari pandangan pria itu. “Aku… aku hanya duduk,” jawabnya pelan.
“Jangan hanya duduk di sini, kamu bisa sakit, tahu.” Pria itu berhenti di hadapannya, mengamati Lilo dengan tatapan khawatir. “Kamu nggak bisa hidup di jalanan terus, anak kecil seperti kamu…”
Lilo mengangkat kepala sedikit, memandang pria itu dengan mata yang kosong. “Apa yang bisa aku lakukan? Tidak ada yang peduli.” Suaranya begitu rendah, seperti hanya untuk dirinya sendiri.
Pria itu terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Jalanan memang keras. Tapi kamu nggak sendirian. Kamu cuma perlu berjuang.”
Lilo menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang ingin jatuh. “Berjuang untuk apa?” tanyanya dengan suara bergetar. “Untuk hidup yang seperti ini?” Ia melambai ke sekelilingnya, menunjukkan jalanan yang kotor dan penuh dengan orang yang tak peduli. “Aku ingin jadi seperti anak-anak itu. Aku ingin punya rumah, tas sekolah, dan tempat tidur yang empuk.”
Pria itu terdiam, sepertinya terkejut dengan kata-kata Lilo. “Aku tahu hidup kamu nggak mudah. Tapi kamu nggak bisa berhenti bermimpi, paham? Kamu nggak boleh menyerah.”
Lilo hanya mengangguk pelan. Ia tahu, meski pria itu berbicara tentang harapan, hidupnya di jalanan tak pernah memberi ruang untuk impian. Setiap malam, ia berbaring di atas kardus, membayangkan ada sesuatu yang lebih baik, namun itu hanya mimpi kosong yang tak pernah datang. “Aku ingin tidur di tempat yang hangat, dengan kasur yang empuk,” bisiknya lagi, lebih kepada dirinya sendiri.
Hujan semakin deras, tetapi Lilo tetap diam. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk mengubah hidupnya. Tidak ada yang bisa ia lakukan untuk melarikan diri dari kenyataan yang pahit ini. Ia hanya ingin merasakan sedikit kasih sayang, sedikit kehangatan yang bisa membuatnya merasa diterima di dunia ini.
Namun malam itu, Lilo merasa lebih sendiri dari biasanya. Orang-orang berlalu begitu saja, tidak peduli dengan anak kecil yang basah kuyup dan kedinginan di tengah hujan. Bahkan suara hujan yang jatuh pun seolah mengingatkannya pada betapa sepinya hidup ini. “Jika aku bisa memilih, aku ingin punya tempat yang bisa kusebut rumah,” pikirnya dalam hati. “Tempat yang penuh dengan cinta, bukan tempat yang hanya memberi aku rasa sakit.”
Malam pun semakin larut, dan langkah-langkah manusia semakin sedikit. Lilo menarik napas dalam-dalam, membiarkan udara malam yang dingin mengalir ke dalam paru-parunya. Matanya menatap langit yang mulai gelap, berharap ada sesuatu di sana—entah itu bintang, entah itu harapan—yang bisa memberinya petunjuk tentang masa depan yang lebih baik. Tapi langit tetap kelam, hanya ada gelap yang mengelilinginya.
“Satu hari nanti, aku pasti bisa keluar dari sini,” gumamnya pelan, meski ia tahu itu hanyalah mimpi yang sulit diwujudkan. Tapi baginya, impian itu adalah satu-satunya yang bisa ia genggam.
Langit yang Tak Pernah Sepenuhnya Gelap
Pagi tiba dengan cepat, meskipun Lilo tak pernah benar-benar tidur nyenyak. Tidur di jalanan berarti terbiasa dengan suara langkah kaki yang lewat, deru mobil yang tak pernah berhenti, dan cahaya lampu neon yang menyinari wajahnya meski tengah malam. Namun, pagi ini terasa berbeda. Meskipun langit masih kelabu, dan hujan semalam meninggalkan jejak di trotoar, Lilo merasa ada sesuatu yang berubah. Sesuatu yang hampir tak pernah ia rasakan—harapan.
Dia berjalan menyusuri jalanan, tak peduli dengan kotoran yang menempel di sepatunya, atau bau yang mulai tercium dari sampah yang berserakan. Matanya menatap lurus ke depan, melawan godaan untuk menunduk dan bersembunyi dalam kesedihan. Setiap langkah terasa lebih berat, seolah setiap kakinya menanggung beban yang lebih besar dari yang bisa ia angkat. Namun, ada sesuatu yang membuatnya bertahan. Sebuah dorongan kecil di dalam dirinya, suara halus yang terus mengingatkannya untuk terus maju.
Di ujung jalan, ada sebuah taman kecil. Taman yang tak pernah bisa ia nikmati sebelumnya, karena setiap kali ia melihatnya, ia hanya bisa membayangkan anak-anak yang bermain di sana—anak-anak yang bisa pulang ke rumah mereka setelah hari yang panjang, anak-anak yang tidak harus tidur dengan rasa lapar atau kedinginan.
Namun pagi itu, Lilo mendekat. Ia duduk di bangku taman, tak peduli dengan tetesan air hujan yang masih menggantung di daun-daun. Ia hanya ingin sedikit waktu untuk berpikir, untuk melupakan kenyataan sejenak. Tapi pikiran-pikiran itu datang begitu saja. Ia teringat saat-saat ketika ia masih kecil, ketika mimpi-mimpinya masih bisa terbang tinggi. Namun sekarang, semua itu terasa seperti burung yang terluka, jatuh tak bisa terbang lagi.
“Hei, kamu di sini sendirian?” suara lembut itu mengejutkan Lilo. Ia mendongak, dan melihat seorang anak perempuan sedang berdiri di hadapannya, memandangnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. Anak itu tampak lebih muda dari Lilo, mungkin sekitar tujuh atau delapan tahun. Wajahnya bersih, matanya cerah, dan pakaian yang dikenakannya tampak baru dan rapi.
Lilo menunduk, berusaha menyembunyikan rasa tidak nyaman. “Aku cuma… duduk,” jawabnya singkat.
Anak perempuan itu tersenyum, senyum yang tak terduga, senyum yang penuh kebaikan. “Boleh aku duduk di sini juga?” tanyanya.
Lilo mengangguk pelan, merasa canggung. Ia tak terbiasa dengan perhatian seperti ini. Tidak ada yang pernah peduli sebelumnya. Anak-anak yang lewat selalu mengabaikannya, berjalan cepat seolah ia tak ada di sana.
Namun anak perempuan itu duduk di sebelah Lilo, tanpa rasa takut atau khawatir. Mereka duduk dalam keheningan, hanya ada suara burung yang berkicau di atas pohon dan suara angin yang berhembus pelan. Lilo merasa sedikit aneh, ada rasa hangat yang mengalir di tubuhnya meskipun udara pagi begitu dingin.
“Kenapa kamu di sini sendirian?” tanya anak itu lagi, kali ini suaranya lebih lembut, penuh rasa ingin tahu.
Lilo mengangkat bahu, merasa tidak tahu harus menjawab apa. “Aku… nggak punya tempat lain,” katanya pelan.
“Kenapa nggak pulang saja?” tanya anak itu, matanya yang jernih menatap Lilo dengan penuh pertanyaan. “Pasti seru punya rumah.”
Lilo menatap anak itu, dan untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa bingung. “Aku nggak punya rumah,” jawabnya, suaranya hampir tak terdengar. “Aku nggak punya siapa-siapa.”
Anak itu terdiam, sejenak tampak berpikir keras. “Tapi kamu punya teman, kan?” tanyanya, masih dengan rasa ingin tahu yang tulus.
Lilo menunduk, perasaan yang sulit digambarkan memenuhi hatinya. “Teman?” katanya hampir tertawa miris. “Teman… nggak ada yang mau jadi teman orang kayak aku.”
Anak itu memandang Lilo dengan tatapan penuh empati, seolah mencoba merasakan apa yang Lilo rasakan. “Aku bisa jadi temanmu kalau kamu mau,” ujarnya, suaranya serius meski masih penuh keceriaan.
Lilo terdiam. Kata-kata itu seperti angin yang menembus tembok ketat yang selama ini ia bangun di dalam dirinya. “Teman?” bisiknya pelan, hampir tak percaya.
“Ya, teman. Aku nggak akan pergi kemana-mana,” jawab anak itu, senyum kecil menghiasi wajahnya. “Nama aku Adya. Kalau kamu nggak apa-apa, kita bisa main bareng. Aku suka main di sini.”
Lilo menatap Adya, merasa ada sesuatu yang berbeda. Selama ini, hidupnya dipenuhi dengan kesendirian. Tidak ada yang menawarkan persahabatan. Tidak ada yang pernah peduli. Tapi Adya… Adya terlihat berbeda. Anak itu terlihat tulus, tanpa melihat siapa Lilo atau dari mana dia berasal.
“Tapi… aku nggak bisa main. Aku…” Lilo menelan salivanya, mencoba mengungkapkan apa yang selama ini tersembunyi di dalam dirinya. “Aku nggak punya tempat untuk tinggal. Aku nggak bisa makan kalau nggak cari uang. Aku nggak bisa main seperti anak-anak lain.”
Adya terdiam, kemudian menyentuh tangan Lilo dengan lembut. “Aku nggak peduli kalau kamu nggak punya rumah. Kamu tetap bisa jadi teman aku,” kata Adya dengan penuh keyakinan.
Lilo memandang anak itu, merasakan sebuah kehangatan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya. “Teman…” Lilo mengulang kata itu dalam hati, merasa ada harapan baru yang tumbuh, meski masih sangat rapuh.
Seiring matahari mulai meninggi, menyinari taman dengan cahaya yang lebih hangat, Lilo merasa sesuatu yang aneh dalam dirinya—sesuatu yang jarang ia rasakan. Sebuah perasaan yang sangat asing, namun begitu menyenangkan. Mungkin, hanya mungkin, hari-hari yang gelap ini tidak akan selamanya begitu. Mungkin, ada cahaya yang menunggu di ujung jalan.
Ketika Langit Menangis
Hari-hari berlalu dengan cepat. Lilo tak pernah menyangka bahwa pertemuan singkat dengan Adya di taman itu bisa mengubah segalanya. Setiap pagi, mereka bertemu di tempat yang sama. Adya, dengan senyum ceria dan semangat yang tak pernah pudar, selalu datang membawa cerita tentang dunia yang begitu berbeda dari apa yang Lilo kenal. Sementara itu, Lilo mulai merasa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya—sesuatu yang lama ia tutupi dengan tembok kesedihan dan ketakutan.
Namun, hidup di jalanan tidak pernah memberi ruang untuk harapan yang lama bertahan. Setiap malam, Lilo harus menghadapi kenyataan pahit—malam yang sepi, dingin, dan penuh rasa takut. Dia tak tahu bagaimana cara bertahan lebih lama, karena dunia yang ia kenal adalah dunia yang penuh dengan ancaman dan ketidakpastian. Tapi Adya… Adya selalu ada. Dengan keberaniannya, anak itu memberinya sedikit cahaya, meski sangat rapuh.
Suatu sore, hujan turun begitu deras. Lilo berdiri di bawah atap sebuah toko kecil, mencoba menghindari basah. Ia menatap jalanan yang mulai tergenang air, memikirkan Adya yang mungkin sudah pulang ke rumahnya. Pikirannya melayang jauh, membayangkan bagaimana rasanya memiliki rumah yang hangat, tempat tidur yang nyaman, dan makanan yang tak pernah habis. Namun, kenangan itu segera terkikis oleh kenyataan—kenyataan bahwa ia tak punya apa-apa selain jalanan ini.
Lilo mendongak ketika mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Itu suara Adya, terdengar ceria meski hujan mengguyur deras. Anak itu berjalan ke arah Lilo, mengenakan jaket merah cerah, rambut basah terurai. Tanpa ragu, Adya berhenti di hadapan Lilo, menatapnya dengan mata yang penuh semangat.
“Kamu di sini?” tanya Adya dengan nada ceria, meski wajahnya sedikit basah oleh hujan. “Ayo, ikut aku! Ada tempat yang asyik, kita bisa berlindung dari hujan di sana.”
Lilo mengangguk, meski sedikit ragu. Hatinya merasa hangat oleh perhatian Adya, tapi ia tetap merasa tak nyaman. “Aku nggak mau ngerepotin,” katanya, memandang Adya dengan hati-hati.
Adya tertawa kecil, tidak terpengaruh dengan kata-kata Lilo. “Kamu nggak ngerepotin kok. Aku cuma pengen kamu nggak kedinginan. Ayo, jangan khawatir!” kata Adya dengan antusias.
Tanpa menunggu jawaban, Adya menarik tangan Lilo dan membawanya ke sebuah lorong sempit di antara dua bangunan. Di sana, ada tempat berteduh yang cukup luas, dengan beberapa kotak-kotak besar yang menutupi sebagian atapnya. Hujan masih turun deras, tapi tempat itu memberikan sedikit kelegaan dari basah kuyup.
Mereka duduk di sana, berlindung dari hujan yang tak kunjung reda. Suasana sunyi, hanya terdengar suara hujan yang membentur atap. Lilo menatap Adya, merasa ada ketenangan yang aneh saat berada di dekatnya.
“Aku nggak pernah punya teman seperti kamu, Adya,” kata Lilo pelan, matanya menatap kosong ke depan.
Adya menatap Lilo dengan penuh perhatian, senyum kecil muncul di wajahnya. “Aku juga nggak pernah punya teman yang bisa diajak ngobrol kayak kamu,” jawabnya jujur. “Kadang, aku mikir, dunia ini terlalu luas buat aku sendiri. Tapi, kalau ada kamu, rasanya nggak gitu lagi.”
Lilo merasa hangat mendengar kata-kata itu. Sebuah perasaan yang selama ini terpendam dalam hati, yang tak pernah ia ungkapkan kepada siapa pun, kini muncul ke permukaan. “Aku selalu merasa kesepian, Adya,” katanya, suaranya hampir tak terdengar. “Di jalanan, nggak ada yang peduli. Semua orang sibuk dengan urusan mereka sendiri, nggak ada yang bisa diajak ngobrol, nggak ada yang mau tahu.”
Adya mengangguk pelan, mendengarkan dengan penuh perhatian. “Aku tahu. Dunia ini kadang memang nggak adil. Tapi kamu nggak sendirian, Lilo. Aku ada di sini,” katanya dengan tulus. “Kita bisa bertahan bareng-bareng.”
Lilo merasa dadanya sesak. Kata-kata Adya seolah memberi kekuatan yang tak pernah ia tahu ada dalam dirinya. Sebuah harapan yang begitu kecil, namun begitu berarti.
Namun, di balik senyum Adya, Lilo merasakan sesuatu yang lebih dalam, sesuatu yang lebih menyakitkan. Perasaan cemburu yang tak terungkapkan, yang terus menghantuinya. Ia cemburu pada kehidupan Adya yang tampaknya begitu sempurna. Rumah yang nyaman, keluarga yang penuh perhatian, semuanya terlihat begitu mudah didapatkan. Sedangkan Lilo, dia harus berjuang setiap hari untuk sekadar bertahan hidup.
“Kenapa kamu bisa begitu… ceria, Adya?” tanya Lilo, mencoba menyembunyikan rasa sakit yang muncul di hatinya. “Kamu nggak pernah merasa kesepian? Nggak pernah merasa hidup ini berat?”
Adya menunduk, berpikir sejenak sebelum akhirnya menjawab. “Aku juga pernah merasa kayak gitu, Lilo. Tapi aku belajar satu hal—kadang, kita nggak bisa ngelawan kenyataan. Kita cuma bisa jalanin hidup, terima apa yang ada, dan cari kebahagiaan di tempat yang nggak kita sangka.”
Lilo terdiam, mencerna kata-kata Adya. Entah kenapa, ia merasa sedikit lega. Mungkin itu hanya sebersit harapan, tapi cukup untuk membuatnya merasa ada alasan untuk bertahan.
Hujan mulai reda, tapi angin masih berhembus dingin. Adya dan Lilo duduk bersama, menatap jalanan yang mulai kembali ramai. Hujan mungkin telah berhenti, tapi di hati Lilo, badai masih terus mengguncang. Perasaannya semakin kompleks—antara kebahagiaan yang samar, dan rasa cemburu yang terus menggerogoti. Namun, ada satu hal yang ia tahu pasti: tidak ada lagi malam yang benar-benar gelap selamanya.
Cahaya yang Tak Pernah Padam
Pagi itu, langit tampak berbeda. Hujan sudah berhenti, tetapi udara tetap terasa dingin, seperti menyimpan sisa-sisa kesedihan yang tak ingin pergi. Lilo berdiri di tepi jalan, matanya menatap kosong pada kerumunan orang yang sibuk berlalu-lalang. Di antara mereka, ia merasa seperti sebutir debu—tak terlihat, tak berarti. Sejak pertemuannya dengan Adya, perasaan itu semakin menguat. Ada semacam keterikatan yang tak bisa ia jelaskan, seperti ada beban yang tak hanya datang dari hidup di jalanan, tetapi juga dari harapan yang tiba-tiba tumbuh dalam dirinya.
Hari itu, Adya tidak datang seperti biasanya. Lilo menunggu di tempat yang sama, seperti biasa, meskipun rasa gelisah mulai merayapi hatinya. Adya selalu punya cara untuk membuatnya merasa lebih baik, membuatnya merasa seperti seseorang yang berharga. Tapi kali ini, ada sesuatu yang berbeda. Ia merasa kehilangan, dan dunia di sekelilingnya seperti tiba-tiba menjadi lebih besar dan lebih asing.
Akhirnya, setelah menunggu cukup lama, Lilo memutuskan untuk berjalan menuju rumah Adya. Ia tahu itu bisa jadi keputusan yang aneh, tapi ada dorongan yang tidak bisa ia tolak. Ia harus tahu, ada apa dengan Adya.
Setelah beberapa langkah, Lilo berhenti di depan rumah besar yang sudah dikenalnya. Rumah itu tampak begitu berbeda dengan rumah-rumah lainnya—bersih, terawat, dan penuh kehangatan. Ia memandang rumah itu sejenak, merasa cemburu yang semakin membelit hatinya. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang menguatkan langkahnya untuk mendekat.
Lilo berdiri di depan pintu, merasakan degupan jantungnya semakin cepat. Tidak ada suara di dalam. Ia menghela napas panjang, lalu mengetuk pintu.
Beberapa detik kemudian, pintu terbuka, dan seorang wanita muda muncul di hadapannya. Wajahnya tampak terkejut melihat Lilo di depan pintu.
“Kamu… kamu Lilo, kan?” tanya wanita itu dengan suara lembut, tetapi ada rasa cemas di matanya.
Lilo mengangguk ragu, bibirnya terasa kaku. “Aku… aku cari Adya. Ada dia di rumah?”
Wanita itu memandangnya dengan tatapan yang tak bisa ia baca. “Adya… dia nggak di rumah. Sebenarnya, kami ingin bicara sama kamu.”
Lilo merasakan sesuatu yang janggal, tetapi ia tetap berdiri tegak. “Ada apa?” tanyanya, meski hatinya mulai diliputi kekhawatiran.
Wanita itu menghela napas dan melangkah ke samping, memberi ruang untuk Lilo masuk. “Ayo masuk dulu,” katanya pelan, lalu menutup pintu dengan hati-hati. “Adya nggak ada di sini. Dia… dia di rumah sakit. Ada kecelakaan kemarin sore.”
Lilo terdiam, seolah kata-kata itu belum bisa masuk ke dalam pikirannya. “Rumah sakit? Kecelakaan?” suaranya tercekat. “Tapi dia tadi pagi baik-baik aja, kok.”
Wanita itu menggigit bibir, tampak ragu untuk melanjutkan. “Adya mencoba menolong seorang anak jalanan yang terjatuh di jalan. Ketika dia mau membantu, mobil tiba-tiba melaju dan menabrak dia. Dia… dia tidak begitu parah, tapi kami khawatir.”
Lilo merasa dunia seakan berputar. Rasa cemburu dan kesedihan yang selama ini menghantuinya tiba-tiba berubah menjadi sebuah luka yang lebih dalam. Ia tak tahu bagaimana rasanya kehilangan seseorang yang baru saja menjadi bagian penting dalam hidupnya. Sebuah rasa yang tak pernah ia pikirkan—bahwa ada orang yang peduli padanya lebih dari dirinya sendiri.
“Iya, saya bisa bantu bawa barang-barang dia ke rumah sakit,” kata Lilo, suara nya pelan, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Wanita itu hanya mengangguk, memberinya beberapa barang yang perlu dibawa. Lilo merasa seperti ada beban yang tiba-tiba menambah berat di pundaknya.
Perjalanan ke rumah sakit terasa sangat panjang. Setiap langkah Lilo semakin merasakan betapa rapuh hidup ini. Hujan yang turun kembali menambah kesedihan yang tak terkatakan. Ia berlari, memegang barang-barang yang diberikan wanita itu, dan berharap bisa sampai tepat waktu.
Sesampainya di rumah sakit, Lilo berlari menuju ruang perawatan. Matanya mencari-cari, hingga akhirnya menemukan Adya yang terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit. Wajahnya tampak pucat, tetapi ada senyum kecil di sudut bibirnya ketika melihat Lilo berdiri di pintu.
Lilo menatapnya, hati bergejolak. “Kamu… kenapa nggak bilang kalau kamu terluka?” katanya, hampir menangis.
Adya tersenyum dengan lemah. “Nggak ada yang perlu khawatir, Lilo. Aku cuma sedikit terluka. Tapi, kamu nggak perlu khawatir. Aku nggak apa-apa.”
Lilo menghela napas, merasa kelegaan yang tak terungkapkan. Tetapi saat matanya menatap Adya, ia merasakan sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa cemas. Sesuatu yang lebih kuat dari sekadar rasa cemburu atau kesepian.
“Adya, aku nggak tahu harus bilang apa. Tapi, aku nggak ingin kehilangan kamu,” kata Lilo, suara yang hampir hilang.
Adya hanya memandangnya, matanya berbinar. “Kamu nggak akan kehilangan aku, Lilo. Aku selalu ada, meskipun aku nggak bisa selalu ada di sana. Tapi, kita bisa selalu berjalan bersama.”
Lilo merasa ada cahaya yang muncul di dalam dirinya. Sebuah harapan baru yang menyinari hatinya, meskipun dunia di luar sana tetap gelap dan penuh dengan ketidakpastian.
Dan saat itu, ia tahu. Hidup ini memang penuh dengan kesulitan dan kejamnya dunia, tetapi ada hal-hal kecil—seperti pertemanan dan keberanian—yang memberi kekuatan untuk terus bertahan. Begitulah, Lilo merasa sedikit lebih ringan. Karena sekarang ia tahu, tidak ada malam yang abadi, dan tidak ada hujan yang tidak berhenti.
Jadi, walaupun hidup kadang ngerasa nggak adil dan penuh cobaan, cerita Lilo ini nunjukin kalau harapan itu selalu ada, meskipun kita nggak selalu bisa lihat jelas.
Kadang, yang kita butuhkan cuma sedikit keberanian untuk terus melangkah dan percaya kalau ada cahaya di ujung jalan. Karena siapa tahu, di tengah kegelapan, kita bisa menemukan sesuatu yang lebih berarti daripada apa yang kita bayangkan.