Daftar Isi
Kamu pernah nggak sih merasa dibuang sama orang yang seharusnya paling sayang sama kamu? Entah itu karena mereka nggak peka atau karena mereka cuma peduli sama diri mereka sendiri. Cerita ini bakal bikin kamu mikir dua kali soal hubungan ibu dan anak, gimana kadang rasa sayang bisa berubah jadi benci, dan kadang itu semua berakhir dengan cara yang nggak pernah kamu bayangin.
Cerita ini bukan cuma soal dendam, tapi juga tentang luka yang tertinggal, yang nggak bisa sembuh cuma dengan kata-kata maaf. Selamat membaca, tapi siap-siap sih, ini nggak bakal nyaman banget buat hati.
Cerpen Dendam Anak kepada Ibu
Luka yang Tak Terlihat
Rumah itu selalu terasa berat. Setiap sudutnya penuh dengan kenangan yang seharusnya tidak pernah ada. Bau tua, debu yang menempel di pojok-pojok ruangan, dan perabotan yang terlihat lelah seolah-olah terjebak dalam waktu. Ario berdiri di depan pintu rumah itu, menatap papan nama yang sudah usang, hampir tak terbaca lagi. Ada saat-saat dalam hidup yang tak bisa dihindari, dan kembali ke rumah ini adalah salah satunya.
Dulu, rumah ini adalah tempat di mana ia tumbuh besar, meski lebih banyak luka daripada tawa yang ia kenang. Dinding-dindingnya menyimpan ratusan cerita tentang kekerasan, kata-kata tajam, dan air mata yang tak pernah diperhatikan. Ibunya, Nurlaila, selalu menjadi sosok yang penuh kebencian—bukan pada dunia, tapi pada dirinya, pada Ario.
Ario memutar kunci yang sudah berkarat itu dan memasuki rumah yang seakan tak berubah. Kamar-kamar yang dulu terasa begitu besar kini tampak lebih sempit dan suram. Ruang tamu, yang selalu sepi, tetap menyisakan jejak-jejak masa lalu yang tak pernah benar-benar hilang. Di sana, di kursi itu, ibunya dulu sering duduk, menyendiri, dan merasakan semua beban yang tidak pernah bisa ia lepaskan.
Langkah Ario terhenti saat matanya menangkap sosok yang sudah begitu dikenalnya. Di ujung ruangan, di kursi tua yang terletak di dekat jendela, duduk seorang wanita yang tampak rapuh. Nurlaila, ibunya. Wajahnya yang dulu selalu cerah kini tampak layu, tubuhnya yang dulu tegap kini terlihat begitu lemah. Di tangannya, ada secangkir teh yang sudah hampir dingin, dan tatapannya kosong, menerawang jauh ke luar jendela, seperti sedang berbicara dengan bayangannya sendiri.
Ario menghela napas. Hatinya kembali bergejolak, antara kebencian yang mendalam dan rasa kasihan yang tak pernah ia inginkan.
“Ibu…” Ario akhirnya memanggil, suaranya terdengar serak, seakan sudah lama tak mengucapkan kata itu.
Nurlaila menoleh pelan, matanya yang lelah berusaha mengenali sosok yang kini berdiri di depannya. Untuk beberapa detik, suasana terhenti. Hanya suara detak jam dinding yang mengisi kesunyian.
“Ario?” Suara Nurlaila terdengar begitu pelan, hampir seperti bisikan. “Kamu… sudah besar.”
Ario berdiri diam, tidak bergerak. Ia hanya menatap ibunya, yang tampaknya tidak lagi mengenalnya. Atau mungkin, ia tidak ingin mengenalnya. Selama bertahun-tahun, Nurlaila tak pernah benar-benar hadir dalam hidupnya. Ario tahu itu—bahkan sebelum dia bisa mengingat wajah ibunya dengan jelas, dia sudah tahu betul bahwa ada sesuatu yang rusak di dalam rumah ini.
“Aku sudah kembali, ibu,” jawab Ario dengan nada yang lebih datar daripada yang ia rasakan. “Aku hanya ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja.”
Senyum tipis muncul di wajah Nurlaila, meski tampak lebih seperti senyum paksa daripada sesuatu yang tulus. “Aku baik-baik saja, Ario. Jangan khawatirkan aku.”
Tapi Ario tahu. Ibunya tidak pernah benar-benar baik-baik saja. Keputusasaan yang terlihat di matanya adalah bukti nyata dari itu. Namun, Ario tidak ingin mengungkapkan semua yang dia rasakan. Dia tidak ingin menunjukkan kelemahan, karena dia tahu bahwa kelemahan itu adalah apa yang dulu selalu dimanfaatkan oleh ibunya.
“Kenapa dulu kamu…” Ario berhenti sejenak. Kata-katanya seperti terperangkap di tenggorokannya, tidak bisa keluar dengan mudah. “Kenapa kamu selalu membenciku, ibu? Kenapa kamu tidak pernah sayang padaku?”
Nurlaila menunduk, matanya tidak bisa bertemu dengan tatapan Ario. Dia tahu jawabannya, tapi tidak pernah bisa mengatakannya. Bahkan jika ia bisa mengatakannya, apakah itu akan mengubah segalanya?
“Kamu… tidak mengerti, Ario,” jawabnya pelan. “Aku terluka. Aku tidak pernah tahu bagaimana mencintaimu dengan cara yang benar. Aku… aku hanya… hilang.”
Ario mengatupkan rahangnya. Ada amarah yang mulai mendidih di dalam dirinya. Masa kecilnya yang penuh dengan kekerasan fisik dan emosional, kata-kata pedas yang keluar dari bibir ibunya, dan ketidakpedulian yang seolah mengakar di hati wanita itu—semua itu membentuk dirinya menjadi sosok yang berbeda. Ario tidak lagi menjadi anak yang bisa disayangi atau dimengerti.
“Aku selalu mencoba, ibu,” Ario berkata lagi, suaranya bergetar meski ia berusaha keras untuk tetap tenang. “Aku selalu ingin membuatmu bangga. Tapi kamu selalu menganggap aku tak ada.”
Nurlaila hanya diam, seakan tak tahu harus berkata apa. Dia memegang cangkir teh itu erat-erat, seakan itu adalah satu-satunya yang masih bisa ia pegang.
Ario menatapnya dengan tajam, tubuhnya terasa sangat tegang. Keinginan untuk marah, untuk melepaskan semua rasa sakit yang selama ini ia simpan, semakin kuat. Tapi ia tahu, kalau ia berbicara lebih lanjut, sesuatu yang lebih buruk bisa terjadi.
Lalu, dengan langkah pelan, Ario meninggalkan ruang tamu itu dan berjalan ke kamar yang dulu ia tinggali. Kamar itu sekarang terasa lebih asing, lebih sepi. Tempat tidur yang dulunya penuh dengan mimpi kini hanya meninggalkan kenangan-kenangan buruk. Ia duduk di tepi tempat tidur itu, menghela napas panjang.
Apa yang dia inginkan sekarang? Pembalasan? Maaf? Atau mungkin keduanya? Semua itu terasa kabur di pikirannya. Namun satu hal yang pasti: Ibunya, yang kini tampak seperti bayangannya sendiri, telah mengubahnya menjadi sosok yang penuh kebencian.
Dan entah bagaimana, Ario tahu bahwa satu-satunya cara untuk keluar dari kegelapan ini adalah dengan menghadapi masa lalu yang sudah terlalu lama ia pendam.
Di luar, hujan mulai turun, gemericik air membasahi tanah yang sudah lama kering. Ario menatap langit yang gelap, menyadari bahwa terkadang, luka yang tak terlihat adalah yang paling menyakitkan.
Bertumbuh dalam Kebencian
Pagi berikutnya, Ario terbangun dengan perasaan yang berat, seperti ada bebannya yang semakin menumpuk seiring waktu. Ia menatap langit yang masih gelap di luar jendela, seakan langit pun turut merasakan ketegangan yang ada di dalam dirinya. Ia bangkit dari tempat tidur, berjalan perlahan menuju cermin di sudut ruangan. Wajahnya yang sudah dewasa kini terlihat lebih keras. Matanya yang dulu cerah, kini tampak lebih dingin, penuh kebencian yang ia pelihara bertahun-tahun.
Ario meraih rokok yang tergeletak di meja samping tempat tidur, menyulutnya dengan cepat, lalu menghisapnya dalam-dalam. Nafasnya seolah memadat di dalam dadanya, dan segerombolan kenangan pahit kembali berputar, berputar tanpa bisa dihentikan. Ia teringat saat pertama kali belajar berjalan, betapa ibunya hanya memandangnya dengan dingin dari jauh. Tidak ada tepukan di pundaknya. Tidak ada senyuman. Hanya tatapan kosong yang membuat Ario merasa tak pernah ada, tak pernah cukup.
“Kenapa aku harus begini?” gumamnya pelan.
Ario melangkah keluar kamar dan menuju dapur, tempat di mana Nurlaila duduk setiap pagi dengan secangkir teh. Keteraturan itu seakan menjadi rutinitas yang tak pernah terganggu, meski tak ada lagi yang menganggapnya penting. Bahkan kini, Ario merasa, ada sesuatu yang tidak pernah bisa terhapus dari rumah ini: kebosanan. Semua orang yang pernah ada di sini—termasuk dirinya—telah menjadi bayangannya sendiri.
Nurlaila sudah duduk di meja makan, seperti biasa, matanya kosong, seakan tidak memedulikan kehadiran Ario. Ada keheningan yang semakin tebal di antara mereka berdua. Hanya suara detak jam dinding yang memenuhi ruang tersebut.
Ario duduk di kursi seberang ibunya, menatapnya dengan tatapan tajam. Di dalam dirinya, ada perasaan yang semakin membesar—perasaan yang sulit ia pahami, tetapi selalu ada: kebencian.
“Aku tidak bisa tinggal lebih lama di sini,” ujar Ario akhirnya, suaranya terdengar berat.
Nurlaila mengangkat pandangannya, mengamati Ario sejenak, lalu kembali menunduk. “Kamu sudah dewasa. Tidak ada yang menghalangimu untuk pergi.”
“Tidak ada yang menghalangiku, memang,” jawab Ario, suaranya mulai meninggi. “Tapi kenapa kamu tidak pernah peduli, ibu? Kenapa kamu tidak pernah peduli dengan apapun yang aku lakukan?”
Nurlaila menghela napas, terlihat letih, seperti dia sudah lelah untuk berargumen. “Aku… aku tidak tahu bagaimana cara untuk peduli, Ario. Aku bahkan tidak tahu apakah aku pernah peduli atau tidak.”
Jawaban itu, meskipun penuh dengan penyesalan, justru membuat Ario semakin marah. Ia sudah tidak lagi mengharapkan jawaban yang manis, atau permintaan maaf yang tulus. Semua itu sudah lama terlambat. Baginya, tidak ada lagi ruang untuk saling memahami. Yang ada hanya tumpukan kebencian yang semakin menggunung.
“Apa yang sebenarnya terjadi pada kamu, ibu?” tanyanya lagi, suaranya berubah menjadi penuh tekanan. “Apa yang membuatmu begitu kejam padaku? Apa yang membuatmu tega melakukan semua itu?”
Nurlaila diam, mulutnya terkatup rapat, seolah-olah kata-kata yang ingin ia ucapkan terperangkap di dalam dirinya. Sejenak, Ario menatapnya dengan amarah yang semakin membara.
“Kamu tidak bisa melupakan masa lalu, bukan? Semua yang sudah kamu lakukan padaku, semuanya sudah mengakar dalam diriku, ibu. Aku tidak pernah lupa bagaimana kamu memukulku, bagaimana kamu menghinaku, bagaimana kamu… mengabaikan setiap jeritan hatiku,” Ario melanjutkan, suaranya mulai terdengar serak. “Dan sekarang, aku hanya ingin melihatmu merasakan apa yang aku rasakan.”
Nurlaila mengangkat wajahnya, kali ini dengan tatapan yang sulit dibaca. Ada kesedihan, ada penyesalan, tetapi juga ada ketidakberdayaan. “Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Ario. Aku hanya tidak tahu caranya… caranya untuk mencintaimu.”
“Cinta?” Ario tertawa pahit. “Jangan bicara soal cinta, ibu. Cinta itu bukan sekedar kata-kata. Cinta itu bukan hanya memberi hadiah saat ulang tahun atau menyuruhku makan. Cinta itu hadir dalam setiap tindakan, dalam setiap perasaan yang kamu tunjukkan. Dan kamu tidak pernah menunjukkan itu padaku.”
Nurlaila menunduk lagi, tak bisa menatap Ario lebih lama. Ia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tidak ada penjelasan yang bisa menghapus luka yang telah ia buat.
Tiba-tiba, Ario bangkit dari kursinya, langkahnya cepat dan penuh tekad. “Aku harus pergi,” katanya, suaranya datar dan penuh ketegasan.
“Ke mana?” tanya Nurlaila, suara lirih.
Ario menatapnya dengan mata yang tidak lagi penuh kasih, melainkan kebencian yang dalam. “Aku tidak tahu. Mungkin jauh. Cukup jauh agar aku bisa lupakan semua ini. Tapi aku janji, ibu, aku akan kembali. Kembali untuk menyelesaikan semuanya. Kita akan lihat siapa yang lebih kuat.”
Dan dengan itu, Ario berjalan meninggalkan rumah itu, meninggalkan Nurlaila yang terdiam di tempatnya. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi ada satu hal yang jelas: kebencian ini tidak akan pernah hilang. Ario akan kembali, bukan untuk memaafkan, tetapi untuk menghapus semua jejak yang telah membentuk dirinya menjadi apa yang ia adalah sekarang.
Pintu rumah itu tertutup pelan, meninggalkan suara hening yang menandakan bahwa semuanya sudah berubah. Tidak ada lagi anak kecil yang mencari kasih sayang, tidak ada lagi seorang ibu yang berusaha membimbing. Kini, hanya ada dua jiwa yang terperangkap dalam masa lalu yang kelam.
Dan Ario tahu, ini baru awal dari semuanya.
Kembali dengan Api yang Membakar
Ario tidak tahu berapa lama ia berjalan. Yang ia tahu, semua yang ada di rumah itu, yang dulu menjadi tempatnya tumbuh, kini terasa asing dan membosankan. Langit sore mulai menggelap ketika ia sampai di sebuah kota kecil, jauh dari hiruk-pikuk kehidupan yang ia tinggalkan. Ia merasa seperti seorang asing, bukan hanya di kota ini, tapi juga di dunia yang luas ini. Di dalam dirinya, perasaan kosong itu mulai terisi dengan sesuatu yang lebih berbahaya—sesuatu yang lebih gelap.
Ia menemukan sebuah tempat kecil untuk tinggal, sebuah kamar yang hanya memiliki tempat tidur, meja kayu, dan sebuah jendela yang menghadap ke jalan sempit yang sibuk dengan orang-orang yang tampaknya memiliki kehidupan mereka sendiri. Tidak ada yang peduli padanya. Tidak ada yang tahu siapa dia. Di sana, di dalam kesendirian itu, Ario mulai merencanakan semuanya.
Setiap malam, di bawah cahaya rembulan yang redup, ia duduk di meja kayu itu, menulis di kertas yang kini penuh dengan kata-kata yang tajam. Ia membuat daftar. Daftar tentang apa yang akan ia lakukan ketika kembali ke rumah, apa yang harus ia lakukan untuk menuntut balas pada ibunya yang sudah menyia-nyiakannya.
1. Membalas rasa sakit dengan rasa sakit.
2. Menghancurkan setiap kenangan indah yang pernah ada.
3. Membuatnya merasakan apa yang aku rasakan selama ini.
Ario menatap tulisan itu dengan mata yang dingin. Tidak ada penyesalan, hanya keinginan untuk melihat ibunya merasa sama seperti yang ia rasakan. Setiap kali ia memikirkan masa kecilnya, setiap kali ia teringat bagaimana ibunya membiarkannya merana, bagaimana ia merasa seperti tidak ada, rasa sakit itu datang kembali, membakar hati dan pikiran Ario dengan api yang tak bisa dipadamkan.
Pada suatu malam, saat hujan mulai turun dengan deras, Ario duduk di kursi kecil yang ada di kamarnya. Ia menatap cermin di dinding, melihat wajah yang kini lebih keras dan tanpa ekspresi. Sudah begitu lama sejak ia terakhir kali pulang. Dan ia tahu, saatnya sudah dekat.
Kembali ke rumah bukan hanya tentang melawan ibunya. Ini adalah tentang membebaskan dirinya dari bayang-bayang masa lalu. Ini adalah tentang membayar harga untuk setiap tindakan yang ia anggap sebagai pengkhianatan. Tidak ada lagi belas kasihan. Tidak ada lagi kata maaf.
Pagi itu, setelah berhari-hari merencanakan semuanya dengan hati-hati, Ario membeli sebuah tiket kereta dan menuju rumahnya. Langkahnya terasa ringan, meski di dalam hatinya, ada kerisauan. Ia tahu, apa yang akan terjadi setelah ini, tak akan ada jalan kembali. Rumah itu tidak akan pernah sama lagi. Dan kali ini, Ario sudah siap untuk menghadapi apapun yang datang.
Ketika ia sampai di depan pintu rumah itu, perasaan yang campur aduk datang begitu saja. Ada ketegangan yang menyelimuti setiap langkahnya. Ini bukan hanya rumah. Ini adalah medan pertempuran. Tempat di mana semua luka lama akan diungkapkan kembali.
Pintu rumah itu terbuka perlahan, dan Ario melangkah masuk dengan keteguhan yang tidak bisa digoyahkan. Ia mencari Nurlaila di ruang tamu, tempat yang dulu sering ia habiskan waktu bersama. Namun, kini, tidak ada lagi keceriaan di sana. Hanya hening yang menyesakkan.
“Ibu,” Ario memanggilnya dengan suara yang serak.
Nurlaila mengangkat pandangannya dari buku yang ia baca, wajahnya terlihat lebih tua dan lelah. Ada raut kesedihan yang mendalam di matanya. Ketika ia melihat Ario berdiri di sana, tubuhnya sedikit terkejut, tetapi ia tidak beranjak.
“Ario,” suara Nurlaila lirih. “Kamu kembali…”
Ario hanya mengangguk, berdiri tegak di hadapannya, seolah menunggu reaksi yang datang. Ia merasa seperti sedang menunggu keputusan terakhir, seperti saat seorang hakim memberikan vonis kepada seseorang yang telah bersalah. Namun, kali ini, bukan lagi Ario yang akan dihukum, tetapi Nurlaila, ibunya yang dulu begitu mengabaikan, yang telah memberinya kehidupan penuh penderitaan.
“Kenapa kamu kembali?” tanya Nurlaila, suaranya hampir tak terdengar.
Ario menatapnya dengan tatapan yang dingin dan keras. “Kamu tidak akan mengerti, ibu. Kamu tidak akan pernah mengerti apa yang sudah aku lalui.”
“Aku… aku menyesal, Ario. Aku tahu aku tidak bisa memperbaiki semuanya, tapi… aku mencoba. Aku benar-benar mencoba,” suara Nurlaila bergetar, seolah memohon.
Ario tertawa sinis, suaranya penuh dengan rasa sakit yang disembunyikan dalam tawa itu. “Menyesal? Itu tidak cukup, ibu. Tidak cukup untuk menghapus semua yang telah kamu lakukan padaku. Aku sudah terlalu lama menanggung rasa sakit ini, dan kini aku akan membuatmu merasakannya. Aku akan membuatmu tahu apa itu penderitaan.”
Dengan kata-kata itu, Ario mulai mendekat, setiap langkahnya penuh dengan ancaman. Ia tahu bahwa ini adalah saatnya untuk membuat Nurlaila merasakan semua yang telah ia alami. Tidak ada lagi ruang untuk penyesalan. Tidak ada lagi harapan akan kasih sayang. Semua yang ada hanyalah kebencian yang membara.
Ketika Ario berdiri di hadapan Nurlaila, ia bisa merasakan ketegangan di udara, bisa mendengar detak jantungnya sendiri yang semakin cepat. Nurlaila menatapnya dengan mata yang penuh kesedihan, tetapi Ario tidak peduli. Ia sudah terlalu jauh untuk mundur.
“Ibu, waktumu sudah habis.”
Api yang Terbakar Habis
Keheningan yang menggelayuti ruang tamu itu terasa sangat mencekam, seperti tekanan yang semakin besar, tak dapat dilawan. Ario berdiri di sana, masih menatap ibunya yang tampak semakin rapuh. Setiap detik yang berlalu, suara detakan jantungnya semakin keras, menghantui langkahnya. Dendam yang telah lama terkubur kini meluap ke permukaan, menguasai setiap inci dirinya.
Nurlaila, yang kini berada di hadapannya, tidak bisa lagi menghindar. Tidak bisa lagi bersembunyi di balik penyesalan yang terlambat. Matanya basah oleh air mata, namun ia tahu, kata-katanya tidak akan lagi cukup untuk menyelamatkan dirinya. Semua yang pernah dilakukannya pada Ario—semua penderitaan yang ia biarkan terjadi—kini harus dibayar dengan cara yang paling mengerikan.
“Ario…,” Nurlaila mencoba berbicara, suaranya gemetar, penuh ketakutan yang tak bisa ia sembunyikan.
Namun, Ario mengangkat tangannya, menghentikan kata-kata yang akan keluar dari bibirnya. Ia tidak membutuhkan alasan lagi. Tidak butuh permintaan maaf yang terlambat. Semua itu sudah lama hilang, tak pernah ada lagi di dalam dirinya. Yang tersisa hanya kebencian yang membakar, yang hanya bisa dipuaskan dengan satu hal—pembalasan.
“Cukup. Tidak ada lagi kata-kata. Kamu sudah terlalu lama mengabaikan aku. Sudah terlalu lama membuatku menderita tanpa ampun. Dan sekarang, aku yang akan mengendalikan semuanya,” kata Ario dengan nada dingin, penuh kepastian.
Nurlaila menatapnya, ketakutan yang terlihat jelas di wajahnya. Ia mulai mundur perlahan, berharap ada jalan keluar. Namun, Ario lebih cepat. Dalam sekejap, ia sudah berada di dekatnya, wajahnya begitu dekat dengan wajah ibunya yang sudah banyak berubah.
“Ibu,” suara Ario menjadi lebih lembut, namun ada ancaman yang jelas terasa. “Aku ingin kamu merasakan apa yang aku rasakan. Aku ingin melihatmu terjatuh. Aku ingin melihat kamu hancur seperti aku dulu. Kamu tidak akan tahu betapa dalam luka yang kamu buat di hatiku.”
Dengan tangan yang gemetar, Nurlaila mencoba meraih Ario, mencoba mendekapnya seperti dulu, seperti seorang ibu yang ingin melindungi anaknya. Namun, Ario menarik tubuhnya dengan cepat, menghindar dari pelukan yang seharusnya menenangkan, yang seharusnya memberinya kenyamanan.
“Kamu sudah terlalu terlambat untuk itu, ibu. Kamu tidak bisa lagi menjadi pelindungku. Kamu tidak bisa lagi menjadi apapun bagiku,” ucap Ario, suara penuh dengan kebencian yang kini berubah menjadi keganasan.
Dengan gerakan yang cepat, ia meraih sebuah benda berat yang ada di meja dekat mereka—sebuah vas kaca besar. Ario memandangnya sejenak, seolah merenung, sebelum ia memukulnya ke lantai, menciptakan suara keras yang membuat Nurlaila terkejut. Kepulan debu dari pecahan kaca itu menyebar di udara, menambah suasana yang semakin mencekam.
“Ibu, saatnya kamu merasakan apa yang aku rasakan. Aku akan menjadikanmu boneka yang bisa aku mainkan, seperti yang dulu kamu lakukan padaku,” Ario berkata, suaranya kini semakin berat, seolah mengandung kegelapan yang lebih dalam dari sebelumnya.
Nurlaila mencoba berteriak, tetapi suaranya terhenti di tenggorokan. Ario bergerak cepat, menekannya dengan kekuatan yang tidak pernah ia tunjukkan sebelumnya. Ada kemarahan yang terpendam begitu lama, yang kini meledak tanpa bisa dihentikan. Ia sudah berubah menjadi sesuatu yang jauh lebih mengerikan daripada yang pernah bisa ia bayangkan.
“Ibu, kamu sudah hancur. Kamu tidak punya tempat lagi di dunia ini,” kata Ario, sambil menatapnya dengan tatapan yang jauh lebih gelap.
Saat Nurlaila mulai terjatuh ke lantai, lemah dan tak berdaya, Ario merasa ada sebuah sensasi yang aneh memenuhi dirinya. Sebuah rasa yang campur aduk antara kemenangan dan kehampaan. Ini bukan hanya tentang balas dendam, ini tentang membebaskan dirinya dari semua kenangan buruk yang telah mengikatnya selama bertahun-tahun.
Ia mundur, memandang ibunya yang kini terkulai lemah. Rasa sakit yang ia rasakan selama ini, yang dulunya menggerogoti dirinya, kini terasa sepi. Semua perasaan itu telah dibayar dengan satu tindakan—dengan satu keputusan yang tidak bisa diubah. Ario tahu, ia tidak bisa kembali. Ia sudah melampaui batas yang tidak bisa dijangkau oleh orang lain.
Di luar, hujan mulai turun lagi, dengan suara gemericik yang mengisi kekosongan yang ada. Ario berdiri di sana, memandang jendela yang terbuka lebar, menatap ke luar dengan kosong. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, namun satu hal yang pasti—ia telah membuat pilihan yang tak bisa diubah.
Semuanya berakhir. Dan dalam keheningan yang mengikuti, ia merasa bahwa kebebasan yang ia cari selama ini justru datang dengan harga yang lebih mahal daripada yang bisa ia bayar.
Dendam yang terbalas tidak memberi kedamaian. Sebaliknya, itu hanya mengubahnya menjadi bayangan dari dirinya yang dulu. Seorang pria yang kini kehilangan semua yang pernah ia miliki.
Mungkin setelah baca cerita ini, kamu bakal mikir, Apa iya rasa dendam bisa bener-bener selesai? Tapi yang jelas, kadang kita nggak tahu seberapa dalam luka yang kita bawa sampai akhirnya meledak. Hubungan yang rusak nggak bisa sembuh cuma dengan waktu, dan kadang, pembalasan itu bukan jawaban.
Tapi ya, hidup nggak selalu sesimpel itu. Kadang, ada harga yang harus dibayar untuk setiap keputusan yang diambil. Jadi, semoga cerita ini bisa ngasih kamu sedikit pemahaman tentang sisi gelap dari sebuah hubungan yang hancur.