Iblis Keluar dari Mushaf: Cerita Horor Mencekam dan Menggugah

Posted on

Jadi, ada cerita seram nih yang bakal bikin bulu kuduk kamu berdiri. Bayangin, ada seorang cewek yang tiba-tiba terjebak dalam dunia gelap setelah membuka sebuah mushaf.

Bukannya menemukan petunjuk spiritual, dia malah nemuin sesuatu yang jauh lebih mengerikan—iblis yang keluar dari dalam buku itu. Gak hanya horor, tapi ada twist yang bikin kita mikir, apa yang sebenarnya ada di dalam diri kita yang selama ini kita tutup-tutupin? Yuk, simak cerita seram yang satu ini, siap-siap merinding!

 

Iblis Keluar dari Mushaf

Mushaf Tua yang Terlupakan

Hujan malam itu begitu deras, memukul jendela rumah kayu yang sudah termakan usia. Suara gemuruh petir dan kilatan cahaya sesekali menyelimuti ruangan kecil yang dipenuhi barang-barang tua dan berdebu. Haya duduk di sudut ruangan, di meja kerjanya yang sudah hampir tertutup tumpukan buku dan kertas. Sebuah lampu minyak tua memberikan cahaya temaram yang mengayun pelan, tak jarang membuat bayangan di dinding bergerak-gerak seolah hidup.

Di tangannya, ia memegang sebuah mushaf tua, terlihat usang dengan sampul kulit yang sudah mulai mengelupas. Tidak ada tulisan atau tanda di luar, hanya warna coklat gelap yang memudar. Haya tak ingat sejak kapan ia mulai tertarik dengan buku ini, tetapi rasanya ia merasa dipanggil oleh benda ini, seakan sebuah kekuatan tak tampak menariknya untuk membawanya pulang dari pasar loak beberapa hari yang lalu. Mungkin, pikirnya, itu cuma kebetulan.

Namun, entah mengapa, malam ini, ada sesuatu yang berbeda. Haya merasakan hawa yang tak biasa saat tangannya menyentuh sampul mushaf tersebut. Suatu sensasi dingin yang menyentuh kulitnya. Sesuatu yang membuatnya merasa seperti ada sesuatu yang terperangkap di dalamnya, menunggu untuk keluar.

Tangan Haya gemetar saat perlahan membuka halaman pertama mushaf itu. Huruf-huruf Arab yang tercetak di atas kertas kuno itu terlihat samar, namun masih terbaca dengan jelas. Ada semacam bau apek yang keluar, seperti bau kayu tua yang tersimpan lama. Haya melanjutkan membuka halaman-halaman berikutnya. Semakin ia membuka, semakin terasa ada yang mengganjal di dadanya. Hawa dingin itu semakin kuat, seakan menyelimuti tubuhnya, membuatnya merasa terperangkap.

“Kenapa aku merasa seperti ini?” gumamnya pada dirinya sendiri, suara pelan yang hampir tenggelam oleh deru hujan di luar.

Ia melanjutkan membalik halaman demi halaman, matanya tak lepas dari tulisan yang terlihat semakin tak beraturan, hingga akhirnya ia mencapai halaman yang berbeda. Bukan karena tulisannya, tetapi karena ada yang lain—sesuatu yang membuat darah Haya membeku seketika.

Halaman itu kosong. Tidak ada tulisan, tidak ada gambar. Hanya kertas putih bersih yang tampak tidak terjamah. Haya berusaha menenangkan dirinya. “Mungkin kertasnya rusak,” ia mencoba membenarkan pikiran logisnya, meski hatinya berdebar lebih cepat dari biasanya. Tapi, saat ia melanjutkan membuka halaman berikutnya, ia melihat sesuatu yang lebih aneh.

Di halaman yang kosong itu, retakan kecil muncul, perlahan-lahan membesar seperti luka yang menganga. Dari dalam retakan tersebut, sesuatu mulai keluar. Asap hitam pekat seperti kabut yang memancar, merayap ke udara, mengisi ruangan dengan aroma yang tak bisa dijelaskan. Haya terpaku, tubuhnya kaku. Ia merasa ada sesuatu yang sangat salah.

Suara gemuruh tiba-tiba terdengar, membuat Haya tersentak. Namun bukan hanya suara petir yang menggelegar. Sebuah suara lain—lebih dalam, lebih berat—menggema di sekelilingnya, seakan datang dari kedalaman yang tak terbayangkan.

“Haya…” suara itu melontarkan namanya, begitu berat dan mengerikan, seolah mengguncang seluruh tulang-belulangnya. “Haya, kau telah membebaskanku.”

Haya menahan napasnya. Suara itu, meski jelas, terasa seperti berbisik di dalam kepalanya, menjalar di setiap sudut pikirannya. Ia melangkah mundur, tubuhnya gemetar.

“A-Apa… apa ini?” suaranya terputus, hampir tak terdengar. Tubuhnya terhimpit oleh ketakutan yang semakin menyesakkan.

Dari dalam retakan di mushaf, bayangan gelap muncul. Sesosok yang perlahan semakin jelas. Sebuah bentuk manusia dengan tubuh hitam pekat, wajahnya samar, hanya dua mata merah menyala yang menembus kegelapan, menatap Haya dengan pandangan yang begitu tajam.

“Aku… Iblis,” suara itu terdengar, seperti desisan dari dasar neraka. “Aku terperangkap di dalam mushaf ini selama berabad-abad. Kini, aku bebas berkat kau, manusia bodoh.”

Haya mundur selangkah, tubuhnya terasa sangat ringan, seolah tidak mampu berdiri tegak. Ketakutan menyelimuti dirinya, namun entah kenapa, ia merasa seperti ada sesuatu yang membimbingnya. Mungkin ini adalah mimpi, pikirnya. Namun, semua yang terjadi terlalu nyata untuk hanya sebuah mimpi.

“Kamu harus kembali,” Haya berusaha untuk bersuara, meski suaranya terdengar sangat lemah. “Kembali ke dalam mushaf itu!” katanya dengan penuh rasa takut dan keputusasaan.

Iblis itu tertawa. Tawa menggelegar yang membuat Haya merasa dunia seakan terbalik. “Kau ingin aku kembali ke dalam? Manusia lemah, kau tidak bisa menghalangiku. Aku sudah bebas.”

Haya menatap mushaf itu lagi, kini semakin terang sinar yang keluar dari retakannya. Mungkin itu satu-satunya cara untuk menahan makhluk ini. Ia mencoba membuka halaman mushaf itu, mengharapkan sesuatu yang bisa menyelamatkannya, tetapi yang muncul hanya lebih banyak bayangan hitam yang merayap keluar.

“Apa yang harus aku lakukan?” Haya hampir berteriak, kehilangan arah. Ia memandangi sosok iblis itu, tubuhnya semakin besar dan semakin gelap, seperti menghisap seluruh cahaya di sekelilingnya.

“Hanya ada satu cara, Haya,” suara iblis itu semakin mendekat. “Aku akan menguasai dunia ini, dan kamu… kamu akan menjadi bagian dari kerajaan kegelapan.”

Detak jantung Haya terasa semakin cepat. Ia meraih mushaf itu dengan tangan yang gemetar, berharap menemukan sesuatu yang bisa menghentikan makhluk ini. Namun, bayangan hitam itu semakin mendekat, semakin menekan ruang di sekitarnya, semakin menguasai setiap inci tubuhnya.

Tiba-tiba, Haya mendengar suara yang nyaris tak terdengar, seakan datang dari dalam hatinya sendiri. “Jangan berhenti membaca…” suara itu begitu halus namun penuh kekuatan. Itu suara yang ia kenal, suara neneknya yang sering mengajarkan doa-doa dan ayat-ayat dari mushaf.

Haya menggenggam mushaf itu dengan lebih erat, mencoba mengingat setiap doa dan ayat yang pernah diajarkan neneknya. Dengan suara gemetar, ia mulai membaca ayat Kursi, suara itu berusaha melawan kepercayaannya, tetapi ia melawan ketakutan itu dengan segenap kekuatannya.

Sosok iblis itu mengaum keras, dan segala sesuatu di sekelilingnya bergetar. Apakah itu cukup untuk mengusirnya? Haya tidak tahu, tapi satu hal yang pasti, ia tidak akan menyerah begitu saja.

 

Bisikan dari Kegelapan

Haya merasakan udara di sekelilingnya berubah. Hawa yang semula dingin dan menekan, kini terasa panas, seperti udara yang terperangkap dalam ruang sempit. Tanpa sadar, ia semakin mendekatkan wajahnya pada mushaf yang tergenggam erat di tangannya, membaca ayat Kursi dengan suara yang bergetar namun semakin pasti. Setiap kata terasa lebih hidup, seakan memberi kekuatan baru, meski tubuhnya masih lemas, terkoyak oleh ketakutan yang begitu mendalam.

“Jangan berhenti, Haya,” suara neneknya kembali berbisik dalam pikirannya. “Jangan pernah berhenti.”

Namun, meski Haya mencoba bertahan, dunia di sekelilingnya mulai berputar. Bayangan hitam itu semakin menguasai ruang di sekitarnya, mengelilinginya, menekan. Iblis itu berteriak, suara yang mengerikan mengguncang seluruh tubuh Haya.

“Tak ada gunanya, manusia bodoh!” Iblis itu melangkah lebih dekat, matanya menyala merah, semakin menakutkan. “Setiap ayat yang kau baca hanya akan memperburuk keadaan.”

Haya merasakan keringat dingin mengalir di pelipisnya. Mata iblis itu semakin besar, semakin menakutkan, seakan bisa menembusnya. Setiap langkah makhluk itu terasa seperti guntur yang menggema, membelah udara. Namun, meskipun jantungnya berdebar begitu cepat, Haya tidak berani berhenti. Tidak kali ini.

Dengan cepat, ia mengingat doa-doa yang pernah diajarkan neneknya. Ia membaca sepotong ayat yang pernah mendengar di saat-saat sulit. Namun, semakin ia berusaha, semakin kuat suara iblis itu melawan.

“Apa yang bisa kau lakukan, Haya?” bisik iblis itu dengan suara yang mengalir dalam pikirannya, menembus konsentrasinya. “Kau tak bisa menghentikanku. Aku telah menunggu berabad-abad untuk keluar dari penjara ini. Tidak ada doa yang bisa menghentikanku. Tidak ada yang bisa menghentikanku.”

Haya menggigit bibirnya. Semua rasa takut dan keraguan datang bersamaan, mengancam untuk memutuskan kepercayaannya pada kekuatan yang lebih besar. Namun, suara neneknya kembali menguatkan hatinya, suara yang membimbingnya tanpa terlihat.

Tiba-tiba, ada yang aneh. Sesuatu yang tidak terlihat dengan mata, tetapi terasa jelas. Sesuatu yang hadir di dalam hatinya—suatu perasaan aneh yang datang begitu mendalam. Haya menatap mushaf itu dengan penuh perhatian. Di dalam mata mushaf, ada sebuah kilatan cahaya yang aneh, sebuah cahaya yang bersinar lembut, menyusup ke dalam hatinya.

“Apa ini?” Haya bergumam, merasakan perasaan yang sama sekali berbeda. Tiba-tiba, seakan ada suatu kekuatan yang mengalir melalui tangannya, memberi keyakinan baru.

Iblis itu menghentikan langkahnya, seakan merasa ada sesuatu yang berubah. “Apa yang kau lakukan, manusia?” teriaknya. Suaranya pecah, dan kekuatan gelap yang biasanya menguasai ruangan mulai berkurang. Iblis itu tersentak, terpojok oleh kekuatan yang tidak ia duga.

“Tidak ada yang bisa mengalahkanku,” seru iblis itu, namun kali ini suaranya terdengar lebih lemah, penuh kekalahan.

Haya mendengar suara itu, namun perasaan dalam dirinya tidak terpengaruh. Kini, ia lebih yakin dari sebelumnya—ini bukan hanya tentang ayat-ayat yang ia baca, ini adalah tentang keberanian untuk menghadapi kegelapan yang ada dalam dirinya sendiri. Seperti yang pernah dipesankan neneknya, kekuatan sejati datang dari dalam diri, bukan hanya kata-kata yang diucapkan.

Dengan suara yang lebih lantang, Haya melanjutkan membaca ayat-ayat yang lebih panjang, tidak terpengaruh oleh ancaman dan bisikan iblis yang semakin berusaha menguasainya. Iblis itu kini terdengar semakin bingung, tubuhnya bergetar, seakan ada sesuatu yang menghalanginya.

“Apa yang kau lakukan, manusia?” teriak iblis itu, suaranya semakin memudar.

Mata iblis itu mulai redup, cahayanya semakin pudar. Haya merasa tubuhnya semakin terangkat, seakan kekuatan tak terlihat sedang mengangkat dirinya ke tingkat yang lebih tinggi. Begitu kuat, begitu pasti.

Namun, dalam kepalanya, bisikan itu kembali datang. “Jangan berlama-lama…,” suara yang familiar dan mengerikan itu muncul kembali, lebih dalam dari sebelumnya. “Kamu tak akan selamat, Haya. Aku akan menemukan jalan untuk kembali.”

Tapi kali ini, Haya tidak gentar. Ia melanjutkan membaca tanpa ragu, tanpa henti. Setiap kata yang terucap seolah menambah kekuatan dalam dirinya. Cahaya dari mushaf semakin terang, menyelimuti tubuh iblis itu, semakin membuatnya terperangkap dalam cengkeraman cahaya yang lebih kuat dari apapun yang bisa diciptakannya.

Iblis itu berteriak keras, tubuhnya mulai terkikis oleh cahaya yang semakin menguat. “Kau… tidak tahu apa yang kau hadapi! Ini belum selesai!”

Namun, Haya terus membaca, tanpa peduli. Sebuah perasaan damai mulai muncul dalam dirinya, sebuah kelegaan yang tidak bisa dijelaskan. Ia tahu, meski iblis itu berteriak dan berusaha melawan, tidak ada lagi yang bisa mengalahkan cahaya yang kini terlepas dari dalam dirinya.

Tiba-tiba, seperti petir yang menghantam tanah, sebuah suara yang lebih besar, lebih kuat, terdengar menggelegar. Sebuah suara yang mengguncang segala yang ada di dalam rumah itu. Haya merasa tubuhnya terhimpit, hampir terjatuh, namun ia tetap berdiri teguh.

Dan dalam satu kilatan terang yang begitu mempesona, sosok iblis itu menghilang, hilang dari pandangannya.

Haya terengah-engah, tubuhnya gemetar, namun ia tahu, meskipun iblis itu kini telah lenyap, sesuatu yang jauh lebih besar sedang menunggunya. Ia baru saja mengalahkan kegelapan yang terperangkap dalam mushaf ini, tetapi ini bukan akhir. Hanya awal dari sesuatu yang lebih besar, yang lebih gelap.

 

Bayang-Bayang yang Kembali

Haya terdiam, tubuhnya masih gemetar meski dunia di sekelilingnya tampak lebih tenang. Namun, dalam keheningan itu, ia merasakan ada sesuatu yang tidak beres. Ada perasaan lain, sesuatu yang mengusik, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Cahayanya yang tadi begitu terang kini perlahan meredup, seperti sesuatu yang bersembunyi dalam bayang-bayang.

Saat ia menatap mushaf yang kini tergeletak di lantai, sebuah kilatan rasa takut kembali menghampiri. Dengan hati-hati, ia meraih buku itu, seakan khawatir sesuatu akan melompat keluar lagi. Tapi tak ada apa-apa—hanya halaman-halaman kosong yang terlihat begitu menakutkan, seperti mencerminkan kehampaan yang tidak terhingga.

Namun, perasaan itu datang lagi. Sesuatu yang lebih berat, lebih pekat dari sebelumnya. Haya menggelengkan kepalanya, mencoba mengusir rasa itu, namun seiring dengan detak jantungnya yang semakin cepat, ia tahu bahwa kegelapan itu belum benar-benar pergi. Apa yang baru saja terjadi? Iblis itu… ia pergi, tetapi ada sesuatu yang lebih gelap yang menunggu.

Suara itu kembali—lembut, namun kali ini terasa lebih dekat, lebih jelas.

“Jangan kira kau bisa lolos begitu saja,” bisikan itu datang begitu halus, menyelinap di antara helaan napasnya. “Aku tidak akan pergi begitu mudah.”

Haya menelan ludah, mencoba tetap tenang. Ia tahu, meskipun iblis itu telah menghilang, kekuatan yang lebih besar, lebih jahat, masih ada. Sebuah kekuatan yang lebih gelap, yang tidak terlihat namun terasa begitu nyata. Apakah ini bagian dari permainan iblis itu? Atau mungkin… ada sesuatu yang lebih tua yang terperangkap dalam mushaf itu?

Dia menatap halaman demi halaman mushaf yang terbuka di hadapannya, mencoba mencari jawaban. Namun halaman-halaman itu kosong. Sepi. Tidak ada tulisan, tidak ada gambar. Hanya halaman-halaman putih yang menunggu untuk diisi. Di sinilah semua dimulai.

Tiba-tiba, halaman terakhir dari mushaf itu perlahan terbalik dengan sendirinya, seolah ada tangan tak terlihat yang menggerakkannya. Haya tersentak, matanya membelalak. Perlahan, ia meraih halaman itu, merasakannya. Dalam keheningan yang mencekam, tulisan-tulisan yang sebelumnya kosong itu muncul begitu cepat, seperti darah yang mengalir dari sebuah luka lama. Tulisan-tulisan itu terbentuk dengan sempurna, seakan ada tangan lain yang menulisnya.

“Aku sudah kembali,” tulisan itu terbentuk, menggelegar dalam pikirannya, menembus kesunyian. “Dan kali ini, kau tak akan bisa menghentikan aku.”

Dengan tangan yang gemetar, Haya membalik halaman demi halaman, semakin terbawa oleh tulisan itu. Setiap kata yang tertera seolah menancap dalam jiwanya, memaksa pikirannya untuk memahami. Ia tidak bisa menghindar. Ia tidak bisa lari.

“Aku adalah bayang-bayang yang menunggu saat ini datang,” tulisan itu melanjutkan. “Kamu tak tahu siapa aku, Haya. Aku lebih dari sekadar iblis. Aku adalah yang terlahir dari kegelapan.”

Haya menutup mulutnya, berusaha menahan napas. Ada perasaan yang menggerogoti hatinya, memaksa tubuhnya untuk tetap berdiri meskipun seluruh tubuhnya ingin lari. Namun, ia tahu bahwa ia tidak akan bisa melarikan diri.

“Aku… siapa?” bisiknya, suara itu nyaris hilang di udara.

Tulisan itu terus muncul, semakin gelap, semakin mengerikan. “Aku adalah awal dari segala yang tersembunyi. Aku adalah yang terlupakan oleh dunia. Dan kamu, Haya, adalah jalan menuju kebangkitanku.”

Dia merasakan sesuatu yang dingin merayap di lehernya, seakan tangan tak kasat mata sedang menyentuhnya. Haya mendorong tubuhnya menjauh dari mushaf itu, tetapi sesuatu menariknya kembali, seakan dunia di sekelilingnya memaksanya untuk terus berhubungan dengan buku itu.

“Apa yang kau inginkan dariku?” Haya berteriak, berusaha mengusir rasa takut itu.

“Yang aku inginkan hanyalah kebebasan,” jawab tulisan itu dengan suara yang menggema. “Dan kamu adalah kunci untuk melepaskanku dari penjara ini.”

Haya jatuh terduduk, tubuhnya lemas. Pikirannya berputar, tidak tahu harus bagaimana. Apa yang harus ia lakukan untuk menghentikan ini? Iblis itu… atau makhluk yang mengaku lebih dari iblis… tidak bisa hanya dihentikan dengan ayat-ayat. Mungkin, tidak ada cara untuk menenangkan kekuatan ini.

Namun, saat dia menatap lagi halaman-halaman mushaf itu, ia menyadari sesuatu yang lebih mengerikan. Tulisannya… berubah. Bukan hanya kata-kata, tetapi bentuk hurufnya pun berubah. Huruf-huruf itu menari, bergerak seolah hidup, menyusup ke dalam dirinya. Dalam sekejap, ia merasakan rasa sakit yang luar biasa—seperti ribuan jarum menembus kulitnya, menusuk hingga ke dalam tulang.

“Apa… yang kau lakukan?” teriak Haya, merasa tubuhnya hampir tidak bisa menahan sakit itu.

“Ini bukan akhir, Haya,” suara itu terdengar sekali lagi, kali ini penuh dengan kepuasan yang mengerikan. “Aku hanya butuh sedikit waktu untuk kembali sepenuhnya. Dan saat itu tiba, kau tidak akan mampu melawan.”

Haya merasakan tubuhnya terhimpit oleh bayang-bayang gelap yang terus bergerak, seakan meresap ke dalam dirinya. Dia mencoba melawan, namun tubuhnya terasa semakin lemah. Setiap helaan napasnya terasa lebih berat, lebih dalam, seolah kegelapan itu sedang menggerogoti dirinya dari dalam.

“Aku tak bisa berhenti sekarang,” Haya berbisik, berusaha melawan. “Aku harus melawan.”

Namun, dalam hatinya, ia tahu. Ini bukan hanya tentang satu iblis. Ini adalah sesuatu yang lebih besar, lebih tua, yang telah lama terperangkap dan kini mulai menemukan jalannya kembali.

Mushaf itu terus terbuka, semakin mengeluarkan kekuatan yang tidak bisa lagi dibendung. Dan Haya, kini terjebak dalam perang batin yang tak berkesudahan…

 

Titik Terang yang Hilang

Tubuh Haya terkulai lemah, tak mampu lagi bergerak. Kegelapan itu kini menguasai ruangannya, menyelimuti setiap sudut, menjalari dinding dan langit-langit seperti penyakit yang tak bisa disembuhkan. Dengan setiap detakan jantungnya, ia merasakan kehadiran itu semakin kuat—semakin nyata. Bayang-bayang itu semakin mendalam, memaksanya untuk terjatuh ke dalam dunia yang tidak pernah ia pahami sebelumnya.

“Aku… tidak bisa… bertahan…” suara Haya hanya terdengar seperti bisikan yang hilang di udara, tenggelam dalam gelap yang mengerikan. Tidak ada lagi jalan untuk lari, tidak ada tempat untuk bersembunyi.

Namun, saat itulah, di tengah kegelapan yang hampir menyelubungi seluruh dirinya, ada suara yang menggema, jauh dan lembut, namun penuh dengan kekuatan.

“Haya…” suara itu datang begitu mendalam, seperti suara yang berasal dari dalam bumi, seperti sesuatu yang telah berabad-abad menunggu untuk berbicara. “Kamu bisa mengakhiri ini.”

Haya menggigil, otaknya masih berputar dalam kebingungannya. Siapa itu? Suara ini… tidak mungkin…

“Siapa?” bisiknya, tubuhnya gemetar hebat. “Siapa kamu?”

Suara itu kembali, kali ini lebih jelas, lebih tegas.

“Aku adalah cahaya yang pernah kamu lupakan,” jawab suara itu. “Aku yang terkubur di dalam dirimu. Kamu selalu mencari cara untuk menghindar, untuk lari… tetapi kekuatan yang sebenarnya ada di dalam dirimu, Haya.”

Cahaya? Apakah itu…? Haya mengangkat kepalanya, matanya yang lelah menatap sekeliling, meski bayang-bayang masih melingkupi ruangannya. Namun sesuatu berbeda. Ada kilatan samar yang mulai menerangi ruang gelap itu—sebuah pancaran cahaya yang tidak berasal dari luar, tetapi dari dalam dirinya.

Sesuatu yang tersembunyi, sesuatu yang selama ini ia tolak, kini mulai bangkit. Rasa takut itu mulai memudar, digantikan oleh kekuatan yang tak pernah ia kenal sebelumnya.

“Ini… apa?” Haya terduduk, matanya yang penuh kebingungannya kini mencoba mencerna apa yang terjadi.

“Itu adalah kekuatanmu yang sebenarnya,” suara itu menjelaskan dengan lembut. “Kamu tidak hanya terjebak dalam permainan ini. Kamu adalah kunci untuk mengakhiri semua ini.”

Saat suara itu berbicara, bayang-bayang yang menyelimuti tubuh Haya mulai terangkat, seperti kabut yang menguap ketika matahari pagi datang. Perlahan, tubuh Haya mulai bangkit, meskipun ia merasakan beban yang luar biasa. Bayang-bayang iblis itu berusaha menggapainya kembali, mencoba menyeretnya ke dalam kegelapan. Tetapi kali ini, Haya tidak mundur. Cahaya itu, kekuatan dalam dirinya, mulai bersinar semakin terang.

“Jangan biarkan dia menang!” suara itu berteriak, dan Haya merasa seluruh kekuatannya terkumpul dalam satu titik—di hatinya.

Tangan Haya gemetar saat ia meraih mushaf yang tergeletak di lantai. Dengan langkah yang penuh tekad, ia membalik halaman demi halaman, mencari apa yang bisa menyelamatkannya. Halaman-halaman itu kini tidak kosong lagi. Tulisan-tulisan itu berkelap-kelip, bersinar terang seiring dengan cahaya yang semakin besar di dalam dirinya.

Iblis itu, yang sebelumnya mengancamnya, kini berteriak dengan suara yang memekakkan telinga, berusaha merobohkan cahaya itu. Tetapi Haya tahu, ia tidak bisa mundur lagi. Dia harus melawan.

Dengan sebuah teriakan yang menggelegar, Haya membuka halaman terakhir dari mushaf itu, dan cahaya yang begitu terang mengalir keluar dari dalam buku. Cahaya itu memancar, melawan kegelapan dengan kekuatan yang luar biasa. Iblis itu berusaha melawan, tetapi tak kuasa menghadapi kekuatan yang jauh lebih besar.

“Akulah yang lebih kuat,” Haya berteriak, suara penuh keyakinan dan keberanian yang baru ia temukan.

Dengan sekali gerakan, ia memaksa iblis itu untuk kembali ke dalam halaman-halaman mushaf, menyatukan semua bayang-bayang yang sudah keluar. Perlahan, tulisan di dalam mushaf itu menghilang, berganti dengan simbol-simbol kuno yang tampaknya menahan sesuatu yang lebih jahat lagi.

Dan saat akhirnya semua kembali tenang, Haya terjatuh ke lantai, tubuhnya lelah, hampir tidak bisa bergerak. Tetapi ada rasa lega yang membanjiri dirinya, seperti sebuah beban yang akhirnya terlepas dari bahunya.

Di tengah kesunyian itu, suara yang lembut itu kembali terdengar, tetapi kali ini lebih hangat, lebih dekat.

“Selamat, Haya,” suara itu berkata. “Kamu telah melakukan yang benar.”

Dengan mata yang tertutup, Haya merasakan tubuhnya terangkat, seperti diayun oleh kekuatan tak terlihat. Dan meskipun ia tahu, dalam hatinya, bahwa perjalanan ini belum berakhir, ia juga tahu bahwa ia telah menghadapi kegelapan yang lebih besar dari dirinya sendiri.

Di luar, dunia kembali tenang. Semua yang terjadi di dalam mushaf itu kini terhenti, tapi bayang-bayang yang pernah ada di dalamnya tetap mengintai, menunggu waktu yang tepat untuk kembali.

Tapi untuk saat ini, Haya tahu bahwa dia telah memenangkan pertempuran.

Dan di dalam hati kecilnya, ia berjanji, bahwa ia akan siap menghadapi apapun yang datang berikutnya.

 

Jadi, udah selesai deh cerita yang penuh kengerian ini. Gimana, ngerasa merinding gak? Kadang kita nggak sadar, kekuatan yang kita cari bisa datang dari hal-hal yang paling gak kita duga, bahkan dari tempat yang paling gelap sekalipun.

Semoga cerita ini bisa bikin kamu mikir lagi tentang hal-hal yang selama ini kamu anggap sepele, dan ingat, jangan pernah main-main dengan yang ga kamu pahami. Sampai ketemu di cerita seram lainnya, kalau kamu berani, ya!

Leave a Reply