Daftar Isi
Di tengah malam yang gelap, ada cerita yang mengerikan tentang seorang nelayan yang terjebak dalam permainan kegelapan yang tak terduga. Laut, yang biasanya tenang, kini dipenuhi oleh ancaman tak terlihat, sementara iblis jahat yang sangat licik mulai mengatur takdirnya.
Kalau kamu kira ini cuma cerita biasa tentang laut, pikir lagi. Cerita ini akan bawa kamu menyelam jauh ke dalam kengerian yang gak akan pernah kamu lupakan. Jadi, siap-siap aja untuk ikut menyusuri jalanan gelap penuh bahaya yang bakal bikin kamu merinding.
Cerpen Horor
Bisikan Laut
Malam itu, laut terlihat lebih gelap dari biasanya. Samudra Tarsen yang luas dan tak terduga seakan menelan seluruh cahaya bulan. Kabut tebal menggantung di atas air, dan angin dingin menyisir kulit, membawa bau asin yang tajam. Di sepanjang pesisir, suara deburan ombak merayap pelan, bagaikan bisikan yang menyelimuti desa Tevren dalam kegelapan. Tidak ada yang berani melaut malam itu—kecuali seorang nelayan yang terluka dalam diam, Fared.
Perahu kayunya bergoyang pelan di tepian laut, dipandu oleh tangan-tangan kekar yang sudah terlalu sering mengayuh perahu dengan penuh keteguhan. Jaring ikan yang ia bawa tergeletak begitu saja, basah oleh percikan air. Keringat di dahi Fared bercampur dengan garam laut yang terbawa angin, tetapi matanya tertuju lurus ke depan, menuju ke gelap yang tak terjamah.
“Aku harus melaut,” gumamnya, suara serak karena keletihan. “Aku harus… untuk mereka.”
Hidupnya sudah sangat sulit sejak musim paceklik itu datang. Istrinya, Ishna, dan dua anaknya yang masih kecil semakin lemah. Desa sudah tidak lagi memberi harapan. Semua nelayan menundukkan kepala, takut dengan mitos yang mengatakan bahwa Asvarath, iblis laut, akan membalas mereka yang berani melaut saat bulan mati.
Tetapi Fared tidak punya pilihan lain. Laut ini adalah satu-satunya cara untuk ia bertahan hidup. Ia mengayuh perahunya lebih jauh, melintasi batas yang biasanya dijauhi. Sesekali, ia mendengar suara-suara yang tidak bisa dijelaskan, angin yang berbisik atau suara seperti tawa dari kedalaman laut. Tapi Fared menekan rasa takutnya, berusaha meyakinkan dirinya bahwa itu hanyalah imajinasi.
Namun, seiring semakin dalam ia menyusuri laut, suara itu semakin jelas. Suara berat yang menggetarkan dada, seperti sesuatu yang keluar dari dasar lautan.
“Faaareeed…”
Fared berhenti mengayuh. Jantungnya berdegup kencang, tubuhnya seolah membeku di tempat. Ia menatap laut yang tiba-tiba terasa lebih gelap, lebih menakutkan. Keringatnya menetes, namun ia mencoba untuk tetap tenang. Mungkin ini hanya angin, pikirnya. Mungkin hanya hembusan angin yang terdengar aneh.
“Faaareeed…” suara itu terdengar lagi, lebih dekat kali ini, seperti memanggil namanya.
Fared menoleh ke sekitar, tapi tidak ada apa-apa di sana, hanya laut yang luas dan gelap. Ia kembali menggenggam dayung dan berusaha mengayuh perahunya lagi, tetapi kali ini tubuhnya terasa kaku, dan hatinya mulai dipenuhi rasa takut yang tidak bisa dijelaskan.
Lalu, sesuatu yang besar muncul dari dalam air. Fared menatap dengan terbelalak, mulutnya terbuka lebar, namun tidak ada suara yang keluar. Sebuah sosok hitam pekat, lebih besar dari perahu itu sendiri, muncul ke permukaan, menenggelamkan seluruh ruang di sekitarnya. Tubuhnya bersisik, durinya tajam dan berkilau dalam cahaya rembulan yang redup. Wajahnya lebar, dipenuhi dengan mata merah menyala yang berkilat.
“Siapa… siapa kau?” Fared berusaha berkata, tetapi suaranya serak, hampir tidak terdengar.
Sosok itu tersenyum—atau lebih tepatnya, itu adalah sebuah senyum mengerikan. Bibirnya lebar, penuh dengan gigi-gigi tajam yang memancar ke luar. “Aku adalah Asvarath, penguasa lautan ini,” suara itu bergema, berat dan menakutkan. “Aku menunggu orang sepertimu, nelayan yang berani menantang aku.”
Fared menelan ludah, tubuhnya gemetar. “Aku… aku hanya ingin hidup,” katanya dengan terbata, matanya menatap penuh ketakutan pada sosok mengerikan itu. “Aku hanya ingin memberi keluargaku makan.”
Asvarath tertawa, suara itu menggelegar seperti gemuruh ombak yang pecah. “Oh, aku tahu. Aku tahu segalanya tentangmu, Fared. Keluargamu, hidupmu yang sulit, semuanya. Kau sudah cukup lama menderita.”
Fared merasakan perutnya berbalik, rasa ngeri yang tajam menembus dirinya. “Lalu, apa yang kau inginkan dariku?”
Asvarath mendekat, perlahan tapi pasti, membuat air laut di sekitar Fared beriak hebat. “Aku akan memberikanmu apa yang kau inginkan—ikan yang melimpah, yang bisa memberi kehidupan kepada keluargamu. Tapi sebagai gantinya, kau harus memberiku sesuatu.”
Fared merasa perutnya mual, tubuhnya merinding. “Apa itu?” tanyanya dengan suara bergetar, meskipun hatinya sudah tahu jawaban yang akan datang.
Asvarath tersenyum lebih lebar lagi. “Jiwamu, nelayan. Aku akan memberi apa yang kau inginkan, tapi kau harus menyerahkan jiwamu kepadaku.”
Fared menatap laut yang berkilau di sekelilingnya, suaranya tertahan di tenggorokan. Matanya mulai berkaca-kaca. “Aku tidak punya pilihan,” bisiknya pada dirinya sendiri, suara itu hanya terdengar oleh dirinya. “Aku harus menyelamatkan mereka…”
Setelah beberapa saat, ia mengangguk, setuju dengan harga yang diminta. “Aku… aku setuju. Aku akan memberimu jiwaku, tapi beri aku waktu. Aku akan menghidupi keluargaku dulu.”
Asvarath tertawa puas, suaranya meluncur ke udara dengan tawa yang menakutkan, menggema di seluruh perairan. “Kesepakatan kita sudah tertutup, Fared. Ingatlah, tak ada yang bisa mengingkari janji dengan aku.”
Perahu Fared bergerak pelan kembali ke arah daratan, dan sosok Asvarath menghilang ke dalam gelap. Laut kembali tenang, tetapi Fared tahu, malam ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang tidak bisa ia hindari. Sesuatu yang akan membuat hidupnya tak pernah sama lagi.
Di kejauhan, sinar bulan yang memudar seolah mengiringi langkahnya pulang, tapi angin laut yang dingin tetap menyentuh kulitnya, membawa bisikan dari kedalaman: “Kau sudah terjebak, nelayan…”
Fared menundukkan kepalanya, memeluk jaring ikan yang semakin berat di perahunya, berharap agar semuanya bisa berakhir dengan damai. Tetapi ia tahu, tidak ada lagi jalan mundur.
Perjanjian dengan Iblis
Fared tidak tahu bagaimana ia bisa sampai ke rumahnya. Perahunya bergerak tanpa suara, airnya tenang dan gelap, seakan menelan langkahnya. Hanya bisikan angin yang menemani, tetapi di dalam hatinya, ada sesuatu yang jauh lebih menggelisahkan—suara itu, tawa itu, dan janji yang telah ia buat.
Sesampainya di rumah, Ishna, istrinya, menatapnya dengan mata yang kelelahan. Dua anaknya, Miri dan Yel, bermain di dekat api unggun, wajah mereka cerah dalam cahaya kehangatan. Fared merasa hatinya terbelah. Ia tahu betul bahwa keputusan yang telah ia ambil akan merusak mereka semua.
“Istriku…” Fared berusaha berbicara, suaranya tersendat, tetapi Ishna menatapnya dengan penuh kasih, tidak menyadari pergolakan yang terjadi dalam diri suaminya.
“Kau pulang lebih cepat malam ini,” kata Ishna dengan senyum yang lelah. “Bagaimana laut? Banyak ikan?”
Fared tidak tahu harus menjawab apa. Sungguh, ia tidak ingin menakut-nakuti istrinya, tapi ia juga tidak bisa berbohong. “Ikan… banyak sekali,” jawabnya, berusaha menenangkan dirinya sendiri. “Aku akan bisa memberi kalian makanan yang cukup, Ishna.”
Ishna menatapnya dengan penuh kebahagiaan. “Aku tahu kau selalu bisa, Fared. Kau tak pernah mengecewakan kami.”
Fared hanya mengangguk, tetapi hatinya hancur. Istrinya tidak tahu bahwa ia telah menandatangani perjanjian dengan iblis laut. Tidak ada yang tahu. Tidak ada yang bisa tahu. Dia harus melindungi mereka dengan caranya sendiri, meskipun itu berarti mengorbankan jiwanya.
Malam itu, Fared tidak bisa tidur. Sesekali, ia mendengar bisikan lembut di angin, suara yang membawa gelombang rasa takut yang semakin dalam. Ketika ia terlelap, mimpinya dipenuhi dengan gambar laut yang berapi, dengan sosok Asvarath yang menatapnya dengan senyum mengerikan.
Pagi hari berikutnya, Fared memulai hari seperti biasa. Ia pergi ke pantai, membawa perahu kayunya yang tampak lebih berat dari sebelumnya. Laut hari itu tampak lebih gelap, lebih dingin, seperti menyambutnya dengan kehadiran yang menakutkan. Tetapi ia sudah berjanji.
Tidak lama setelah ia mulai mengayuh perahunya, angin yang datang tiba-tiba berubah menjadi lebih kencang. Gelombang yang sebelumnya tenang mulai menggulung, menambah ketegangan di hati Fared. Namun ia tetap melanjutkan perjalanannya, semakin jauh dari pantai, menuju tempat yang lebih dalam—tempat yang dijanjikan oleh Asvarath.
Lalu, muncul suara itu lagi, jauh lebih dekat dari sebelumnya, menggetarkan udara di sekelilingnya.
“Faaareeed…” suara itu lebih dalam, lebih mengerikan, dan kali ini, bukan hanya suara, tetapi juga bayangan besar yang mulai muncul dari dalam air. Laut menggulung semakin tinggi, dan dari kedalamannya, sosok Asvarath muncul. Wajahnya lebih besar, lebih menakutkan, dan matanya menyala merah.
Fared berhenti mengayuh, tubuhnya terasa kaku. Asvarath menatapnya, matanya berkilau tajam, dan senyum di bibirnya semakin lebar.
“Sudah tiba waktunya, nelayan,” suara Asvarath bergema seperti petir yang menggelegar. “Kau sudah menepati janjimu. Ikan yang berlimpah akan datang, tetapi ada harga yang harus dibayar.”
Fared menundukkan kepala, matanya terbuka lebar, dan jantungnya berdegup lebih kencang. Ia tahu bahwa setelah ini, semuanya akan berubah. Namun, ia tidak bisa mundur. Ia harus bertahan demi keluarganya.
“Apa yang harus aku lakukan?” Fared akhirnya bertanya, suaranya penuh ketakutan.
Asvarath tersenyum lebar, lebih lebar dari sebelumnya. “Aku ingin kau memberikan sesuatu lebih dari sekadar jiwamu, nelayan. Aku ingin kau memberikan apa yang paling berharga bagimu. Istrimu, Ishna… dan anak-anakmu.”
Fared merasa dunia seakan berhenti berputar. Bibirnya tercekat, dan ia hampir tidak bisa mengeluarkan kata-kata. “Tidak… aku tidak bisa.”
“Kalau begitu, ingatlah ini, Fared,” Asvarath berkata dengan suara yang semakin menakutkan. “Aku bisa memberimu ikan yang berlimpah, harta yang tak terhitung jumlahnya, tetapi ada harga yang harus dibayar. Kau tidak bisa menghindarinya. Aku sudah memberi jalan, dan kau harus memilih.”
Fared menatap laut yang bergerak dengan ganas di sekitar mereka. Ombak yang semakin tinggi itu memantulkan wajah Asvarath yang mengerikan, dan Fared merasakan desakan kuat di dalam dadanya. Itu seperti belenggu yang tidak bisa ia lepas. Ia tahu tidak ada jalan keluar—jalan ini sudah terpilih.
Dengan hati yang dipenuhi kegelisahan dan ketakutan, Fared mengangguk perlahan. “Aku akan melakukannya,” katanya, suaranya hampir tidak terdengar. “Aku akan melakukannya… Demi mereka.”
Asvarath tertawa, tawa yang membelah udara, menggetarkan seluruh dunia di sekitar Fared. “Bagus, Fared. Kau akan segera mendapatkan semuanya yang kau inginkan. Kau akan menjadi kaya, tetapi kau harus membawa mereka kepadaku. Mereka akan menjadi bagian dari perjanjianku.”
Dengan kata-kata itu, sosok Asvarath mulai menghilang ke dalam gelap laut, meninggalkan Fared yang terdiam di perahu kecilnya. Laut kembali tenang, namun tidak bagi Fared. Ia tahu bahwa perjalanannya baru saja dimulai, dan tidak ada lagi jalan untuk kembali. Tidak ada lagi kesempatan untuk mengubah keputusan.
Fared hanya bisa menatap laut yang tampak begitu tenang, menyembunyikan amukan kekuatan yang lebih besar dari apa yang ia bisa pahami. Dan ia tahu—semuanya akan segera berubah. Namun, itu adalah harga yang harus ia bayar.
Laut yang Menggulung
Hari-hari setelah pertemuan dengan Asvarath berlalu begitu cepat, seakan semuanya menjadi kabur dan tak nyata. Fared merasa seperti berjalan dalam mimpi buruk yang tak bisa ia hentikan. Meskipun laut memberi hasil yang melimpah—ikan-ikan besar yang tidak pernah ia lihat sebelumnya, harta yang datang dengan mudah—perasaan cemas tak kunjung hilang. Setiap kali ia berbalik melihat rumahnya, hatinya semakin rapuh.
Istrinya, Ishna, tidak tahu apa yang terjadi. Ia masih tersenyum, mengurus anak-anak mereka, berencana untuk membuka sebuah kedai ikan di desa. Miri dan Yel juga bahagia. Namun, setiap malam, Fared terbangun dengan keringat dingin, mendengar suara tawa Asvarath bergema dalam pikirannya. Ada perasaan yang tidak bisa ia hilangkan—sesuatu yang mengancam akan datang, sesuatu yang jauh lebih gelap dari yang pernah ia bayangkan.
Satu malam, setelah matahari terbenam dan dunia diselimuti kabut, Fared duduk di pinggir pantai, menatap laut yang tak terhingga. Angin malam berhembus kencang, membawa aroma asin dan suara ombak yang bergemuruh. Ia tahu, saat ini atau nanti, laut akan memanggilnya kembali.
Ketika ia termenung, tiba-tiba suara itu muncul lagi. Lebih dalam, lebih mengerikan, seperti datang dari dasar laut yang tak pernah tersentuh manusia. Suara tawa yang menggelegar, seakan siap menelan segala yang ada.
“Fared…” suara itu menggema, membuat tubuhnya menggigil.
Ia menoleh ke arah laut, dan di sana, di tengah gulungan ombak, muncul bayangan besar. Asvarath muncul lagi, lebih besar, lebih mengerikan, dengan senyum yang begitu lebar, seperti memuaskan dahaga kekuasaan yang tak pernah padam.
“Apakah kau sudah siap?” Asvarath bertanya dengan suara yang dalam, seperti suara ributnya laut yang bergejolak. “Tadi aku memberimu banyak. Tetapi sekarang, waktunya untuk mengambil bagian darimu. Waktunya membayar harga.”
Fared merasa napasnya tercekat. Ia ingin lari, tapi tubuhnya kaku, seolah ia sudah dikendalikan oleh kekuatan yang lebih besar dari yang bisa ia lawan. Laut di sekelilingnya bergulung semakin tinggi, seolah menunggu perintah Asvarath untuk melumat segala yang ada.
“Tidak!” Fared akhirnya berteriak, suaranya penuh ketakutan dan penyesalan. “Aku tak bisa! Mereka—istriku, anak-anakku… mereka tidak tahu apa-apa tentang ini!”
Asvarath hanya tertawa, tawa yang memekakkan telinga. “Mereka akan tahu, Fared. Mereka akan tahu segalanya. Semua yang kau cintai, semua yang kau jaga, akan menjadi bagian dari perjanjianku.”
Gelombang laut mendekat semakin cepat, seakan mengikuti kata-kata Asvarath yang penuh ancaman. “Kau tak bisa lari dari ini. Tak ada lagi yang bisa kau lakukan selain memenuhi janjimu. Kau akan membawa mereka kepadaku. Tidak ada jalan lain.”
Fared merasa gelombang itu seperti tangan tak kasat mata yang menggenggamnya, mengikat tubuhnya pada takdir yang tak bisa ia hindari. Ia tidak tahu bagaimana harus melawan kekuatan ini. Ia bisa merasakan ketegangan di seluruh tubuhnya, seperti jiwanya sedang ditarik keluar dari dirinya.
“Apa yang kau inginkan dariku? Apa yang kau inginkan dariku sekarang?” Fared berteriak, suaranya penuh kesakitan.
Asvarath menjawab dengan tenang, suaranya begitu dalam dan menggoda. “Aku ingin mereka, Fared. Istrimu, anak-anakmu. Mereka akan datang kepadaku. Kalian akan kembali ke dalam laut, bersama aku. Itu janji yang kau buat.”
Fared menatap laut yang semakin gelap dan menakutkan. Di kejauhan, ia bisa melihat kilatan api yang menyala, seperti bintang-bintang yang jatuh dari langit. Itu bukanlah api biasa—api itu berkilau merah, seperti darah yang mengalir dari hati yang mati.
Ia merasa hatinya hancur. Ia tahu tidak ada pilihan lain. Tidak ada jalan untuk menghindar. Laut dan Asvarath sudah menguasai hidupnya. Apa pun yang ia lakukan, harga harus dibayar.
Pikiran Fared mulai berputar. Ia melihat wajah Ishna yang tersenyum di dalam bayangannya. Suaranya terdengar lembut di telinga Fared, penuh cinta dan kehangatan. Tetapi ia tahu—semakin lama ia menunda, semakin besar ancamannya.
Fared menutup mata dan berdoa dalam hati. Ia ingin percaya bahwa ada jalan keluar, bahwa ia bisa menyelamatkan keluarganya. Tetapi suara Asvarath semakin dekat, semakin memaksa. Tawa iblis itu membawanya kembali ke kenyataan.
“Jangan coba untuk melawan,” Asvarath berkata dengan nada dingin. “Saatnya telah tiba. Waktu berakhir, Fared.”
Fared menggigit bibirnya, berusaha untuk menahan air mata. Ia merasa terjebak, di antara dua dunia yang tidak dapat ia pilih. Dan di dalam gelap malam itu, dengan angin yang berbisik di telinganya, ia tahu perjalanannya belum berakhir. Ini adalah awal dari segalanya.
Bayang-Bayang Laut
Laut malam itu tampak begitu tenang, tetapi hati Fared tidak bisa menipu dirinya sendiri. Setiap tarikan napasnya terasa begitu berat, penuh dengan kesalahan yang tak bisa ia perbaiki. Asvarath, dengan segala kekuatan dan janji gelapnya, berdiri seperti bayangan yang tak terelakkan. Dunia yang pernah dikenal Fared—rumahnya, istrinya, anak-anaknya—seakan hanyut dibawa gelombang yang semakin besar.
Dengan mata yang penuh kecemasan, ia berbalik menuju rumah. Ishna, masih tampak tersenyum di dalam rumah mereka, seperti tak tahu apa yang sedang terjadi di luar sana. Tawa anak-anak mereka, yang biasa memenuhi rumah, kini hanya menyisakan kegelisahan di hati Fared. Namun, ia tahu bahwa waktu untuk bersembunyi sudah habis.
Asvarath telah datang untuk menagih janji.
Ia kembali menatap laut. Bayangan gelap itu masih ada, menyelimuti perairan. Setiap hembusan angin membawa bisikan yang semakin menekan, memaksanya untuk melangkah maju.
Dengan langkah yang goyah, Fared berjalan menuju kapal kayunya, yang terparkir di pelabuhan kecil yang jarang dikunjungi orang. Seperti bayangan yang sudah menunggu, Asvarath berdiri di tepi laut, dikelilingi oleh kegelapan yang semakin mendalam.
“Kenapa kau masih berusaha lari, Fared?” Suara Asvarath kembali terdengar dalam hening malam. “Kau tahu, tak ada tempat yang aman. Tak ada tempat untuk bersembunyi. Hanya laut yang bisa membawamu kembali.”
Fared menatap iblis itu dengan mata yang penuh amarah dan penyesalan. “Aku tidak ingin ini. Aku tidak ingin membuat pilihan ini.”
“Tapi kau sudah memilih, Fared. Dan aku tak akan mengizinkanmu kembali. Tidak ada yang bisa menghentikan jalannya takdir.”
Laut mendengus, ombaknya semakin besar, berjatuhan dengan keras, mengamuk. Fared bisa merasakan getaran dalam dirinya, seperti segala yang ada di dunia ini sedang menariknya ke dalamnya. Laut, Asvarath, semuanya—semua ini adalah hasil dari pilihannya. Pilihan yang keliru.
Tiba-tiba, dalam keheningan, suara lembut memanggilnya. Ishna.
“Fared…”
Fared terperanjat, berbalik dan melihat istrinya berdiri di ujung dermaga. Wajahnya penuh kecemasan, namun ada secercah harapan di sana. Mungkin Ishna tidak tahu sepenuhnya apa yang terjadi, tetapi ia merasakannya. Fared tahu itu.
“Ishna, pergi!” teriak Fared, suaranya penuh dengan kepanikan. “Jauh dari sini, jangan mendekat!”
Tetapi Ishna tetap maju, langkahnya mantap meskipun terhalang oleh ketakutan yang terpendam. “Tidak, Fared. Aku tidak akan pergi. Apa yang terjadi? Kenapa kau tampak begitu takut?”
Asvarath tertawa, suara itu membelah malam yang sunyi, menembus ketenangan yang telah lama terjaga. “Ah, lihatlah. Keluarga yang tetap ingin tetap bersama, meskipun maut sudah mengintai.”
“Ishna, kau tak tahu apa yang kau hadapi!” Fared berlari mendekat, ingin menarik tangan istrinya dan membawanya jauh dari tempat itu, dari ancaman yang mengintai mereka.
Tapi sudah terlambat. Asvarath, dengan kekuatan yang sangat besar, menutup jarak mereka dalam sekejap. Laut menggulung, menyelimuti segala yang ada. Fared melihat Ishna terjatuh ke dalam laut yang gelap, tubuhnya terseret oleh ombak yang tak kasat mata.
“Tidak!” Fared berteriak, mencoba meraih tangan Ishna, tapi semuanya sia-sia. Laut merenggutnya.
Ishna tenggelam. Matanya yang penuh cinta lenyap, tertelan dalam kegelapan. Semua yang ada hanyalah tawa Asvarath yang terus bergaung di telinganya.
“Kau tak bisa lari, Fared. Tidak ada yang bisa kau selamatkan,” kata Asvarath, menatapnya dengan tatapan yang penuh kesenangan.
Fared terjatuh, terduduk di tepian dermaga. Laut yang mengerikan kini telah menguasai segalanya. Dunia yang ia cintai, kini hilang dalam satu tarikan nafas maut. Tangan Asvarath yang terulur mendekatinya, memaksanya untuk menerima nasibnya yang telah ditentukan.
“Ini bukan akhir, Fared. Ini hanyalah permulaan.”
Fared merasa tubuhnya ditarik ke dalam laut, tetapi ada satu hal yang ia rasakan sebelum tenggelam sepenuhnya—penyesalan yang tak terhingga. Namun, sebelum ia benar-benar hilang dalam kegelapan laut, suara terakhir Ishna bergema dalam pikirannya.
“Fared… aku mencintaimu…”
Dan dengan itu, Fared menghilang dalam kekuasaan Asvarath, menjadi bagian dari takdir gelap yang tak bisa ia hindari.
Begitulah, cerita ini berakhir dengan gelombang yang tak pernah reda, seperti takdir yang tak bisa dihindari. Fared, nelayan yang terperangkap dalam janji gelap, kini hanyalah bagian dari laut yang tak pernah tidur. Mungkin, tak ada yang benar-benar bisa melarikan diri dari apa yang telah ditentukan, meski laut dan kegelapan selalu menunggu.
Apa yang kita tinggalkan, dan apa yang kita temui, hanyalah bagian dari takdir yang kadang terlalu sulit untuk dimengerti. Tapi, yang pasti, kisah ini akan terus menghantui, seperti bisikan angin di tengah malam yang tak pernah berhenti.