Kampus Elit Berhantu: Terperangkap Dalam Dunia Hantu yang Menakutkan

Posted on

Siapa sangka, kampus yang terlihat sempurna itu menyimpan rahasia gelap yang tak terduga. Ketika semuanya tampak biasa, justru di situlah kengerian mulai terungkap. Kampus yang seharusnya menjadi tempat belajar malah menjadi perangkap yang menjerat.

Apa yang dimulai dengan harapan berakhir dengan ketakutan yang mengintai di setiap sudutnya. Hati-hati dengan pilihan yang tampak indah, karena bisa saja itu hanya ilusi. Terkadang, apa yang terlihat aman justru menyimpan kegelapan yang tak bisa dilihat dengan mata telanjang.

 

Kampus Elit Berhantu

Gerbang Aeternum

Sasha berdiri terpaku di depan gerbang kampus Aeternum yang megah. Pilar-pilar marmer putih menjulang tinggi, menahan langit biru yang cerah di atasnya. Meskipun baru pertama kali melihat kampus ini, ada sesuatu yang membuatnya merasa terpesona. Angin sore yang sejuk menyapu wajahnya, membawa aroma bunga-bunga yang tumbuh di sekitar taman yang luas. Di balik gerbang itu, sebuah dunia baru menunggu.

“Aku gak percaya akhirnya aku ada di sini,” gumamnya, melangkah pelan melewati gerbang besar yang terbuka otomatis.

Sasha sudah tahu betapa terkenal dan elitnya kampus ini. Kampus Aeternum adalah salah satu universitas terbaik di negara ini. Sebagai salah satu mahasiswa yang diterima dengan prestasi luar biasa, dia merasa sangat bangga. Keluarganya juga ikut bahagia, terutama ibunya yang selalu ingin melihat Sasha menuntut ilmu di tempat yang prestisius.

“Ini tempat yang tepat buat aku,” bisiknya sambil tersenyum. Tapi senyum itu lebih karena kebanggaan daripada kenyamanan.

Saat melangkah lebih jauh ke dalam kampus, Sasha merasakan atmosfer yang berbeda. Semuanya terlihat terlalu sempurna, lebih dari yang ia bayangkan. Taman yang tertata rapi dengan jalan setapak berlapis batu bata merah. Pohon-pohon tinggi yang seakan menjulang ke langit. Dan gedung-gedung berarsitektur klasik yang sangat mengesankan. Segalanya tampak elegan, bahkan berkelas tinggi.

Di aula utama, ia melihat kelompok mahasiswa baru berkumpul. Mereka berbicara dengan ceria, berkenalan dengan teman-teman mereka. Raut wajah mereka sangat bahagia, seolah-olah tak ada beban. Sasha bergabung dengan kelompok yang lebih kecil di salah satu sudut, di mana seorang pria paruh baya mengenakan jas formal sudah menunggu.

“Selamat datang di Aeternum,” ucap pria itu dengan senyum lebar, memperkenalkan dirinya sebagai Dekan Everleigh. “Kamu semua beruntung diterima di sini, tempat di mana masa depanmu akan dimulai.”

Sasha tak bisa menahan rasa kagumnya. Pria itu berbicara dengan percaya diri, seolah-olah dia bukan hanya seorang dekan, tapi juga seseorang yang tahu segalanya tentang kesuksesan. Semua mata tertuju padanya, dan Sasha merasa dirinya tak terkecuali.

“Ayo, mari kita kenalkan diri,” lanjut Dekan Everleigh. “Kita mulai dengan nama dan jurusan yang kalian pilih.”

Sasha bergiliran memperkenalkan dirinya. “Sasha, jurusan psikologi,” katanya, suara sedikit bergetar meskipun dia berusaha untuk terlihat tenang.

“Psikologi? Bagus sekali,” jawab seorang gadis yang duduk di sebelahnya. “Aku Eleanor, jurusan sastra Inggris. Senang bertemu denganmu, Sasha.”

Eleanor tersenyum lebar, memperkenalkan dirinya dengan gaya yang penuh percaya diri. Dia tampak berbeda dari mahasiswa lainnya, seolah-olah sudah lama berada di sini. Rambut panjangnya tergerai dengan rapi, gaun vintage yang ia kenakan membuatnya terlihat seperti datang dari zaman berbeda. Sasha merasa sedikit terpesona dengan penampilannya yang anggun.

“Ayo, aku antar kamu ke ruang kelas,” ujar Eleanor dengan nada ramah. “Kampus ini memang besar, aku yakin kamu belum hafal jalannya.”

Sasha hanya mengangguk. “Terima kasih, Eleanor.”

Mereka berjalan bersama menyusuri koridor panjang yang dipenuhi lukisan-lukisan besar. Setiap sudut kampus tampak begitu bersih dan terawat. Di sepanjang jalan, ada banyak siswa yang berlalu-lalang, tersenyum satu sama lain. Tidak ada yang tampak seperti orang asing di sini. Semua orang mengenal satu sama lain, seolah-olah mereka sudah saling berteman sejak lama.

Namun, meskipun semuanya terlihat sempurna, ada rasa aneh yang mulai muncul di dalam diri Sasha. Rasanya seperti ada yang hilang. Bahkan saat dia melangkah ke dalam ruang kelas pertama, di mana para dosen sudah siap mengajar, Sasha merasa ada sesuatu yang ganjil. Semua orang tampak terlalu sempurna, bahkan saat mereka mengobrol dan berkenalan. Tawa mereka begitu jelas, namun tidak ada suara yang benar-benar menyentuh hati.

Sasha mencoba menepis perasaan itu. “Mungkin aku cuma lelah,” katanya pada diri sendiri. “Aku akan terbiasa.”

Kelas dimulai dengan lancar. Dosen yang memperkenalkan diri dengan penuh semangat menjelaskan materi-materi dasar psikologi. Namun, saat melihat ke sekeliling, Sasha merasakan ada sesuatu yang membuatnya tidak nyaman. Setiap mahasiswa yang ada di sana tampaknya begitu fokus, seperti mereka sudah menguasai semua yang diajarkan. Bahkan cara mereka tertawa pun terasa terstereotip, hampir seperti melodi yang diputar ulang. Sasha merasakan adanya keanehan, namun ia tidak tahu apa itu.

Hari itu, semua berjalan normal—terlalu normal, mungkin. Namun di setiap sudut kampus, di balik senyum ramah dan tatapan penuh harapan, Sasha mulai merasakan sesuatu yang aneh. Di lorong-lorong kampus yang megah, langkah kaki lainnya sepertinya lebih terdengar daripada biasanya. Dan wajah-wajah yang saling tersenyum mulai terasa semakin familiar, seperti mengenal Sasha lebih dalam, meskipun dia baru saja datang.

Saat hari beranjak malam, Sasha kembali ke kamarnya di asrama yang tampak seperti hotel mewah. Tempat tidurnya sudah rapi, dengan gorden putih yang menghalangi cahaya luar. Tapi sesaat sebelum tidur, Sasha merasa ada yang tidak beres.

Ada suara langkah kaki, meskipun seharusnya tidak ada orang lain di luar sana. Ia membuka pintu kamar dengan hati-hati dan melihat ke lorong yang sepi. Tidak ada siapa-siapa.

“Pasti cuma imajinasiku,” pikirnya, menutup pintu kembali. Tetapi perasaan aneh itu tetap menghantuinya, seperti ada yang mengamatinya dari kegelapan yang tak terlihat.

Dan malam itu, untuk pertama kalinya, Sasha merasakan bahwa sesuatu yang indah ini… mungkin tidak seindah yang dia kira.

 

Langkah di Lorong Sunyi

Keheningan kampus Aeternum semakin terasa saat hari-hari berlalu. Sasha mulai merasa seperti tinggal di dunia paralel—tempat yang tampak indah, tapi dengan suasana yang kental akan ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Taman yang begitu hijau, gedung-gedung besar yang menjulang, dan matahari yang selalu terbit cerah seolah menutupi sesuatu yang gelap di bawah permukaan.

Di hari kedua, Sasha merasa kelelahan yang tak biasa. Kuliah berjalan seperti biasa—semuanya tampak lancar. Teman-teman sekelasnya ramah dan penuh perhatian, tetapi entah mengapa, perasaan kosong itu tak kunjung hilang. Setiap kali dia berbicara dengan seseorang, ada kesan seolah mereka semua sudah mengenalnya jauh lebih lama daripada yang sebenarnya. Tatapan mereka terlalu tajam, senyum mereka terlalu sempurna. Bahkan Eleanor, yang semula sangat ramah, kini merasa lebih dingin dan terjaga.

Hari itu, setelah kuliah selesai, Sasha memutuskan untuk berjalan-jalan sendiri. Dia perlu merenung, mengurai perasaan yang tak bisa dia pahami. Di lorong kampus yang sepi, langkahnya bergema jelas. Langit sore yang gelap menambah kesan misterius, bayangan gedung-gedung tinggi membentuk siluet aneh di tanah. Saat melangkah lebih jauh, Sasha menemukan sebuah pintu kayu besar yang sebelumnya tak pernah ia lihat. Pintu itu tersembunyi di balik tirai tanaman merambat yang lebat, seolah berusaha menutupi keberadaannya.

“Ini… kenapa aku tidak pernah melihatnya sebelumnya?” gumamnya, perlahan menghampiri pintu itu.

Dia memeriksa gagang pintu, yang ternyata terbuat dari besi tua yang berkarat. Pintu itu sedikit terbuka, menciptakan celah sempit yang cukup untuk menyelinap masuk. Sasha merasa seperti dipanggil menuju tempat itu, sebuah dorongan yang tak bisa dijelaskan. Meskipun ada perasaan ragu, rasa penasaran lebih besar menguasainya. Ia membuka pintu itu lebih lebar dan melangkah masuk.

Di dalam, ruangannya gelap, hanya diterangi cahaya samar dari beberapa lampu yang menggantung tak teratur di langit-langit. Udara di sini terasa lebih dingin, dengan bau kayu tua yang menyengat. Sasha merasakan kegelisahan yang menggelayuti dirinya, namun dia terus melangkah. Lorong sempit yang ia masuki terasa semakin panjang, seolah tak ada ujungnya. Lantai kayu yang berderit di bawah kakinya menambah kesan suram. Seiring langkahnya, ia merasa seperti ada sesuatu yang mengikuti. Sebuah bisikan halus terdengar, namun tak ada siapa pun di belakangnya.

Tiba-tiba, sebuah suara lembut terdengar dari arah depan.

“Jangan lanjutkan, Sasha.”

Sasha terkejut dan berhenti sejenak. Itu suara seorang wanita, tetapi suaranya begitu dingin, jauh dari kesan ramah yang selama ini dia kenal di kampus ini. Dia memalingkan wajahnya, namun tidak ada siapa pun.

“Sasha, kamu tidak seharusnya ada di sini.”

Perasaan cemas semakin merayap ke dalam dirinya, tetapi rasa penasaran mengalahkan semuanya. Langkahnya terus berlanjut, meskipun keringat dingin mulai bercucuran di pelipisnya. Di depan sana, sebuah pintu besar terbuka sedikit, seperti memberikan tanda. Dia melangkah lebih dekat dan mendorong pintu itu, membukanya perlahan.

Di dalam ruangan itu, Sasha melihat sebuah cermin besar yang terpasang di dinding. Cermin itu memantulkan gambar dirinya, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Di balik dirinya yang tampak sempurna, terlihat bayangan samar-samar yang bergerak dengan sendirinya—seolah ada lebih dari satu Sasha di sana.

“Ini gila,” bisik Sasha, mendekat ke cermin itu. “Kenapa aku merasa seperti bukan diriku sendiri?”

Senyap. Hening.

Namun tiba-tiba, cermin itu bergetar, dan Sasha merasa sebuah dorongan keras menolaknya mundur. Sesaat sebelum dia bisa bergerak lebih jauh, cermin itu retak di tengahnya, memunculkan kilatan cahaya putih yang menyilaukan.

“Apa ini?” teriak Sasha, mundur dengan cepat.

Di dalam cermin, bayangan sosok yang tampak seperti dirinya muncul, tetapi dengan ekspresi yang penuh kekosongan. Sosok itu hanya tersenyum tanpa suara, tatapannya kosong dan hampa. Seiring cermin itu kembali utuh, sosok itu menghilang dalam sekejap.

Jantung Sasha berdetak kencang. Ia merasa tubuhnya lemas, seperti kehilangan arah. Untuk pertama kalinya, dia merasa sangat takut. Seperti ada sesuatu yang mengawasinya, sesuatu yang jauh lebih besar dari sekedar kampus elit ini.

Sasha berlari keluar dari ruangan itu, kembali ke lorong yang kini terasa semakin panjang dan sunyi. Setiap langkah yang ia ambil terdengar semakin keras, menghantam dinding kayu yang sudah usang. Namun, saat dia berbalik untuk melihat ke belakang, lorong yang tadinya gelap kini terasa lebih terang, dan bayangan para mahasiswa yang tadi berjalan menyusuri koridor kini tampak seperti terbalik—berjalan mundur, dengan wajah yang kosong dan memandang ke arahnya dengan tatapan yang mengerikan.

Sasha terhenti di tengah lorong. Pikirannya berputar, mencoba untuk memahami apa yang baru saja terjadi. Semua ini terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah berakhir. Kenapa kampus ini terasa semakin tidak nyata? Kenapa para mahasiswa ini selalu ada di sana, seolah tidak pernah berubah?

“Ini… tidak benar,” katanya, berusaha menenangkan diri. Namun, bayangan itu terus mengikuti.

Dia merasakan udara yang semakin berat, seolah ada tangan tak terlihat yang mengikatnya. Tak ada jalan untuk mundur. Satu-satunya pilihan adalah melanjutkan, mengungkap apa yang tersembunyi di balik semua kebohongan indah ini.

Sasha menatap ke depan, bersiap melangkah. Ia tahu, kali ini, kampus Aeternum tidak akan memberinya pilihan lagi.

“Semua ini… palsu,” katanya pelan, suara bergetar.

Namun sebelum dia bisa melangkah lebih jauh, langkah kaki yang begitu berat dan penuh tekanan terdengar di belakangnya. Seperti ada sesuatu—atau seseorang—yang mengikutinya.

 

Di Bawah Bayang-Bayang

Langkah Sasha terasa semakin berat, seakan setiap langkah yang diambilnya menambah beban pada tubuhnya. Lorong yang panjang kini seolah tidak ada habisnya, walaupun ia tahu ia telah berjalan jauh. Udara semakin dingin, dan bayang-bayang yang menari di dinding menambah perasaan sesak di dadanya. Suara langkah yang mengikuti dari belakang semakin jelas terdengar, dan ketakutan mulai mencengkeram tubuhnya.

Sasha menoleh, namun tidak ada siapa pun di belakangnya. Hanya bayangannya sendiri yang memantulkan diri di dinding lorong yang gelap. Tapi ada sesuatu yang aneh pada bayangannya. Seperti ada gerakan yang tidak selaras dengan gerak tubuhnya sendiri. Mata Sasha melebar saat ia menyadari hal itu.

“Tunggu, ini… tidak mungkin,” bisiknya, takut untuk memercayai apa yang ia lihat.

Bayangannya di dinding kini memutar kepalanya, seolah mengikutinya dengan tatapan kosong yang mengerikan. Hati Sasha berdegup kencang. Dengan tangan yang sedikit gemetar, ia menutup matanya sejenak, mencoba menenangkan diri. Saat ia membuka mata lagi, bayangannya sudah menghilang.

“Ini gila,” katanya dengan suara serak, berusaha meyakinkan dirinya bahwa semua ini hanya imajinasinya.

Namun, saat ia melanjutkan langkahnya, sekelebat sosok melintas di ujung lorong. Sosok itu bergerak begitu cepat, seperti bayangan hitam yang meluncur dengan kecepatan tak terduga. Tanpa berpikir panjang, Sasha berlari mengejar sosok itu, meskipun ada perasaan bahwa ia hanya semakin terperangkap dalam jaringan kegelapan yang semakin rapat.

Langkah kaki Sasha semakin cepat, tetapi sosok itu tidak berhenti. Seolah menguji seberapa jauh ia bisa berlari, seberapa besar ketakutannya bisa terbangun. Lorong semakin sempit, dindingnya yang dulu tampak megah dan terawat kini penuh dengan retakan dan lumut, seakan sudah bertahun-tahun terabaikan. Sasha merasa dirinya semakin jauh dari kenyataan, semakin terjerumus dalam dunia yang tak bisa dipahami.

Saat ia hampir sampai di ujung lorong, sosok itu berhenti dan menghadapnya. Cahaya yang samar mengungkapkan wujudnya—seorang wanita muda dengan rambut panjang terurai, mengenakan gaun putih yang tampak lusuh, seperti berasal dari zaman yang jauh. Wajahnya pucat, dengan mata kosong yang memandang tajam ke arahnya.

“Kenapa kamu mengejarku?” suara wanita itu terdengar seperti bisikan angin, namun tetap jelas.

Sasha terdiam, matanya terfokus pada wajah wanita itu. Ada sesuatu yang begitu familiar, tetapi juga sangat asing. Wanita itu tersenyum, tetapi senyumnya itu kosong, tanpa kehangatan. Seperti senyum yang terbentuk karena kebiasaan, bukan karena perasaan.

“Apa… apa yang terjadi di sini?” Sasha berusaha bertanya, meskipun suaranya hampir tak terdengar, tertelan keheningan yang tebal.

Wanita itu diam sejenak, menatap Sasha dengan ekspresi yang sulit diartikan. Lalu, ia berbicara lagi, kali ini suaranya lebih jelas, penuh dengan rasa getir yang mendalam.

“Ini bukan kampus seperti yang kamu bayangkan,” wanita itu berkata pelan, menghembuskan kata-kata yang terasa seperti beban yang harus ditanggung.

Sasha mengerutkan kening. “Tapi… ini kampus Aeternum. Ini tempat yang seharusnya… tempat terbaik.”

Wanita itu tertawa, tapi suara tawanya hanya menambah kesan horor yang semakin tebal di udara. “Tempat terbaik untuk siapa?” katanya, suaranya melayang. “Semua yang ada di sini… sudah tidak hidup. Kami hanya… menghantui tempat ini. Kami tidak bisa pergi. Dan kamu—”

Sasha terdiam, matanya membesar. “Aku?” tanyanya ragu, setengah tak percaya.

Wanita itu mengangguk perlahan. “Kamu datang ke sini dengan harapan. Tapi harapan itu akan memenjarakanmu di sini, seperti kami. Kami tidak bisa pergi. Kamu tidak akan bisa keluar.”

Kata-kata itu mengguncang hati Sasha. Perasaan seolah-olah dunia di sekitarnya sedang runtuh mulai menguasainya. Selama ini, ia mengira kampus ini adalah tempat yang penuh prestise dan peluang, tempat yang akan membawa masa depan cerah. Namun, kini semuanya terasa palsu. Semua itu hanya ilusi.

“Apa yang terjadi dengan kalian?” Sasha bertanya, suaranya kini hampir terdengar seperti erangan.

Wanita itu menundukkan kepalanya, seolah ada kenangan yang menyesakkan hati. “Kami dulu adalah mahasiswa seperti kamu. Kami datang dengan mimpi, dan kemudian kami terjebak di sini. Terjebak dalam bayang-bayang. Terjebak dalam kebohongan kampus ini.”

Sasha merasa semakin terpojok, dikelilingi oleh kegelapan yang menyesakkan. Matanya melirik ke sekitar, seakan ada lebih banyak sosok yang mulai muncul dari bayang-bayang dinding.

“Apa yang harus aku lakukan?” Sasha berbisik, suaranya serak, hampir putus asa.

Wanita itu mengangkat kepala, menatapnya dengan sorot mata yang dalam dan penuh penyesalan. “Cari jalan keluarmu sendiri. Jangan seperti kami. Jangan biarkan dirimu menjadi bagian dari ilusi ini. Tapi ingat, Sasha… waktu tidak akan pernah berpihak padamu.”

Tiba-tiba, sosok itu mulai memudar, semakin transparan. Bayangannya mengabur, dan Sasha terhuyung mundur, merasa tubuhnya begitu lelah dan bingung. Ketika wanita itu hilang sepenuhnya, Sasha terjatuh ke lantai, terengah-engah.

Saat ia menatap ke sekeliling, lorong yang tadinya penuh dengan bayangan kini kosong. Semua suara menghilang. Hanya ada keheningan yang mencekam. Sasha merasakan keringat dingin membasahi tubuhnya, namun ia tahu ia harus terus maju. Tidak ada pilihan lain.

“Harapan… Itu yang membuat mereka terjebak di sini,” kata Sasha dengan suara pelan, mencoba menyadarkan dirinya.

Namun, suara langkah kaki yang berat itu kembali terdengar, kali ini semakin dekat. Sasha mendongak dan melihat sesosok pria tinggi berjalan mendekat, wajahnya tersembunyi di balik bayangan gelap.

Tidak ada jalan mundur.

 

Akhir yang Tak Terduga

Langit di luar kampus semakin gelap, seakan kegelapan dunia ini telah menyatu dengan malam yang tak terhentikan. Sasha berdiri di tengah lorong, tubuhnya terbungkus dalam ketakutan dan kelelahan. Langkah-langkah berat pria itu semakin mendekat, menambah tekanan di dada Sasha. Ia berbalik, hendak melarikan diri, tetapi seiring langkahnya yang terburu-buru, semakin banyak sosok-sosok yang muncul dari bayang-bayang, mengelilinginya, menutup setiap jalan keluar.

Pria yang menghampirinya, yang wajahnya masih tersembunyi dalam kegelapan, berhenti hanya beberapa langkah darinya. Sasha merasakan dingin yang menyusup ke dalam tulang. Udara terasa semakin berat, seperti ada sesuatu yang menahan napasnya.

“Kenapa kamu terus berlari, Sasha?” suara pria itu datang dengan nada dalam yang penuh dengan misteri. “Kamu tidak bisa lari dari kenyataan ini.”

Sasha menggigit bibirnya, berusaha menahan tangis yang ingin pecah. “Apa yang kalian inginkan dari aku?” Suaranya serak, hampir tidak terdengar.

Pria itu mengangkat kepalanya sedikit, wajahnya yang tajam dan kosong akhirnya terlihat. Matanya hitam pekat, seperti dua lubang gelap yang tak berujung. Senyumannya, dingin dan penuh dengan kebencian yang tersembunyi.

“Kami tidak ingin apa-apa dari kamu, Sasha,” jawabnya pelan, seolah setiap kata itu dipilih dengan hati-hati. “Kami hanya ingin kamu tahu bahwa kamu sudah terjebak. Kamu bukan lagi bagian dari dunia yang kamu kenal. Kamu sudah menjadi bagian dari kami.”

Sasha tidak bisa menahan getaran yang menjalar di tubuhnya. “Tidak! Aku… aku tidak mau menjadi seperti kalian. Aku tidak mau terjebak di sini!”

Tapi, seiring dengan kata-katanya yang menggema di lorong itu, Sasha merasakan sesuatu yang aneh. Seluruh tubuhnya mulai terasa ringan, seolah ia tidak lagi terikat pada dunia ini. Kaki-kakinya tidak lagi menyentuh lantai. Semua yang ada di sekitarnya mulai memudar. Sosok pria itu, bayangannya yang penuh dengan kegelapan, bahkan suara langkah kaki yang dulu mendekat—semua itu hilang dalam sekejap.

Sasha menatap sekeliling, bingung dan panik. Lorong kampus ini, yang sebelumnya penuh dengan bayang-bayang, kini kosong. Hanya ada kesunyian yang berat dan tak tertahankan. Dia merasa seperti terbangun dari mimpi buruk yang tak pernah berakhir.

Dan lalu, sesuatu yang sangat aneh terjadi. Di depan matanya, ruang itu mulai berubah. Lorong yang semula gelap dan mengerikan, sekarang terlihat begitu bersih dan terawat. Cahaya yang lembut menyinari setiap sudut. Seperti sebuah ilusi yang terbentuk dengan sempurna, seolah-olah segala ketakutan dan kegelapan itu tidak pernah ada.

Sasha berjalan dengan langkah perlahan, masih terheran-heran dengan apa yang terjadi. Ia berbalik, melihat tempat yang dulu penuh dengan sosok-sosok menakutkan, sekarang berubah menjadi ruang yang terasa familiar. Segalanya terasa… normal.

Namun, ia tahu bahwa sesuatu yang sangat kelam sedang menunggu. Suara berbisik kembali terdengar di telinganya, kali ini lebih jelas, lebih nyata. “Kamu tidak bisa melarikan diri dari kegelapan, Sasha. Kamu sudah menjadi bagian dari kami.”

Sasha menoleh, dan saat itu lah, ia melihat wajah-wajah yang pernah mengelilinginya. Mereka berdiri di ujung lorong yang tampak begitu jauh, namun wajah mereka memancarkan keputusasaan yang tidak bisa disembunyikan lagi. Mereka bukan hanya hantu yang terjebak—mereka adalah korban yang terperangkap dalam sebuah perputaran waktu yang tak berujung.

Namun Sasha tidak bisa melarikan diri lagi. Langkahnya terhenti, tubuhnya terasa berat, dan kata-kata itu kini menguasai pikirannya. “Kamu sudah menjadi bagian dari kami.” Entah bagaimana, entah kapan, kata-kata itu mulai meresap dalam dirinya.

Dia mencoba untuk melawan, berteriak untuk bebas, namun keheningan yang mengelilinginya semakin menjerat. Semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah bisa diakhiri.

Sasha akhirnya mengerti. Kampus ini bukan hanya tempat belajar. Kampus ini adalah penjara bagi mereka yang masuk dengan harapan dan meninggalkan mimpi mereka di pintu gerbangnya. Dan sekarang, dia pun terperangkap.

Di bawah bayang-bayang yang semakin gelap, Sasha merasakan tubuhnya menghilang, seiring dengan suara langkah-langkah yang semakin jauh dan kemudian lenyap, mengikuti mereka yang sudah terjebak sebelumnya.

 

Jadi, apakah Sasha berhasil keluar dari kampus itu? Atau justru, ia menjadi bagian dari mereka yang terjebak selamanya? Kadang, tempat yang terlihat sempurna menyembunyikan rahasia yang paling mengerikan.

Dunia yang dianggap aman bisa tiba-tiba berubah jadi tempat yang jauh lebih horor dari yang dibayangkan. Kampus itu, yang awalnya penuh harapan, akhirnya hanya meninggalkan ketakutan yang tak terucapkan. Hati-hati dengan pilihan yang tampak indah, karena bisa saja itu adalah perangkap yang menunggu. Dan siapa tahu, mungkin ada yang lain yang akan mengalaminya, suatu saat nanti.

Leave a Reply