Honeymoon dengan Musuh Romantis: Cinta, Pertengkaran, dan Kejutan di Bali

Posted on

Yuk, bayangin nih, kamu lagi honeymoon, tapi bukan sama orang yang kamu impikan, malah sama musuh yang selama ini kamu benci setengah mati. Iya, bener banget, musuh kamu sendiri!

Kamu pikir bakal ada ketegangan, pertengkaran, atau bahkan ribut terus? Eh, ternyata… hal-hal yang nggak kamu duga malah mulai muncul, dari yang benci jadi bingung, jadi saling ngerti, bahkan mungkin jatuh cinta. Penasaran gimana ceritanya? Langsung aja simak cerita ini, yang bakal bikin kamu senyum-senyum sendiri!

 

Honeymoon dengan Musuh Romantis

Kebohongan yang Mengikat

Alvira menatap pesawat yang terbang menjauh dari bandara, tubuhnya terasa berat, seolah ada batu besar yang diletakkan di pundaknya. Ia baru saja melangkah ke dalam dunia yang tak pernah ia inginkan—dunia pernikahan dengan pria yang selalu ia anggap sebagai musuh terbesarnya, Arkan. Bagaimana bisa? Tentu saja, ini semua berawal dari kebohongan kecil yang ia buat agar bisa menghindari perjodohan yang diatur oleh orang tuanya. Tidak ada yang tahu betapa tidak nyaman hidup dengan orang tua yang begitu penuh harapan, apalagi dengan status sebagai anak perempuan satu-satunya. Namun, tak pernah terbayangkan bahwa kebohongan itu malah membawanya ke altar bersama Arkan.

“Apa ini semua serius?” pikir Alvira, sambil menatap tangan kirinya yang kini terpasang cincin emas yang terasa sangat berat. Berat bukan karena harganya, tapi karena segala konsekuensi yang mengikutinya.

Di sisi lain, Arkan duduk santai dengan jaket kulit kesayangannya, mengenakan kacamata hitam meskipun pagi itu agak mendung. Pria itu masih tetap seperti biasa—dingin dan tak banyak bicara, seolah ia tidak merasa tertekan sedikit pun. Sementara itu, Alvira sendiri sudah hampir gila dengan segala drama yang baru saja terjadi.

Pesawat sudah mulai berjalan, dan tak lama kemudian mereka berada di udara, melaju menuju Bali, tempat yang seharusnya menjadi tempat bahagia bagi pasangan pengantin baru. Tapi baginya, itu hanya mimpi buruk yang ia harus jalani.

“Gimana rasanya jadi istri, Mrs. Arkan?” suara Arkan memecah keheningan, masih dengan nada santai dan tidak terganggu.

“Apa yang kamu maksud dengan itu? Ini bukan pilihan aku!” jawab Alvira cepat, dengan nada yang lebih keras dari yang ia inginkan.

Arkan hanya mengangkat bahu, seolah segala sesuatunya biasa saja baginya. “Aku juga nggak terlalu senang dengan pernikahan ini. Tapi ya sudah, kita harus terima. Bukankah itu kesepakatan kita?”

“Aku benci kebohongan ini!” Alvira berseru. “Kamu tahu kan, kalau aku sama sekali nggak pernah berniat menikah denganmu, kan?”

Arkan hanya terkekeh kecil, sambil melirik ke jendela. “Tentu. Dan aku juga sama. Tapi kalau sudah terlanjur begini, kenapa nggak dinikmati saja? Kita sama-sama merasakannya.”

Alvira mendengus, berusaha menahan diri untuk tidak melemparkan barang apapun yang ada di dekatnya ke wajah pria itu. “Kamu itu… benar-benar nggak peka. Ini bukan sesuatu yang bisa dinikmati!”

Arkan menatapnya sekilas, matanya masih terfokus pada pemandangan di luar jendela. “Apa mau kamu, Alvira? Kalau nggak mau menikah, kenapa nggak bilang saja dari dulu? Kenapa harus membohongi orang tua kita?”

Tanyaannya itu cukup menyentuh titik sensitif Alvira. “Aku nggak mau menikah dengan siapa pun, Arkan! Aku nggak butuh pasangan yang nggak aku kenal. Ini semua hanya karena kesalahan kecilku yang akhirnya jadi bencana besar. Kamu tahu kan, kalau nggak ada pilihan lain!”

“Apa maksudmu, kita cuma jadi pasangan untuk menghindari malu?”

Alvira memutar bola matanya, merasa frustasi. “Tentu saja! Aku nggak mau hidup dalam perjodohan seperti ini. Tapi kamu juga nggak lebih baik, kan? Kamu juga terjebak di sini, sama seperti aku.”

Di tengah percakapan yang semakin panas itu, suasana pesawat tiba-tiba terasa semakin menyesakkan. Alvira merasa sangat kesal, sementara Arkan tetap terlihat tenang seperti biasa.

“Kalau kamu bisa lihat, sebenarnya kita cuma dua orang yang sama-sama terjebak dalam permainan orang tua kita. Jadi, kenapa nggak kita jalani saja dengan santai? Lagipula, kita hanya honeymoon selama beberapa hari, kan?” Arkan kembali berkata dengan nada datar, tak terganggu sama sekali.

“‘Santai’?” suara Alvira tiba-tiba naik. “Kamu pikir ini liburan, Arkan? Ini bukan cuma tentang honeymoon. Ini lebih besar dari itu! Kita berdua terjebak dalam pernikahan yang seharusnya nggak pernah terjadi!”

Dia menatap Arkan dengan tatapan yang penuh amarah. Bagaimana bisa dia, yang selalu menjadi musuhnya, sekarang berada di sampingnya, harus berbagi hidup yang sebenarnya tidak dia inginkan?

Namun, Arkan hanya menatapnya tanpa ekspresi, lalu menanggapi dengan senyum kecil yang tiba-tiba muncul di wajahnya. “Well, mungkin kita tidak punya pilihan selain saling bertahan hidup, kan? Kau masih bisa pergi kapan saja. Tapi aku di sini karena ya… takdir menyatukan kita dalam pernikahan ini.”

Alvira merasa terperangkap dalam suasana yang memusingkan. “Aku nggak akan pernah bisa menerima ini,” gumamnya pelan, berusaha menahan emosi yang mulai meluap.

Saat itu, pesawat melintasi awan gelap yang membuat jendela tampak buram, seakan-akan menggambarkan suasana hati mereka berdua. Mungkin, di luar sana ada langit yang lebih cerah. Tapi untuk saat ini, hanya ada kabut yang menutupi pandangan mereka, membawa semua perasaan ini semakin jauh dari harapan.

 

Pantai, Pertengkaran, dan Tumpukan Daun

Alvira menatap pantai yang terbentang luas di hadapannya, seolah-olah ia ingin berlari jauh dari semua masalah yang ia hadapi. Angin laut yang lembut menyapa wajahnya, tapi sama sekali tidak mampu menenangkan pikirannya. Ini adalah hari kedua mereka di Bali, dan meskipun cuaca cerah, suasana hati Alvira tetap muram.

“Kenapa kita harus ke pantai sih?” keluhnya, duduk di tepi pantai dengan wajah cemberut. “Pernikahan bodoh ini, honeymoon bodoh ini… dan kamu!”

Arkan yang sejak tadi berjalan di tepi air, akhirnya berbalik dengan langkah santai. “Jangan salahkan pantainya, jangan salahkan Bali. Ini pilihan kamu juga, kan? Jangan nyalahin aku terus.”

Alvira mendorong pasir dengan kaki, berusaha menenangkan diri, tapi semakin ia berpikir, semakin ia merasa ingin berteriak. “Gila, aku nggak pernah se-nyesel ini dalam hidup! Kita kayak pasangan yang paling gak cocok, tahu nggak sih? Seharusnya aku bisa punya bulan madu dengan orang yang… yang aku suka!”

Arkan mendekat, duduk di sebelahnya dengan wajah yang terlalu tenang untuk ukuran situasi mereka. “Aku nggak suka juga, tapi ini kenyataannya, Alvira. Ngomongin terus juga nggak ada gunanya. Kita di sini, di Bali, ya kita nikmatin aja. Selesai.”

“Mudah buat kamu ngomong!” Alvira teriak pelan, tapi cukup keras untuk membuat Arkan menoleh ke arahnya. “Kamu nggak paham perasaanku sama sekali! Ini bukan honeymoon, ini malah kayak… kerangkeng.”

Arkan mengangkat bahu, seolah-olah tak peduli. “Aku nggak ngerti kamu sama sekali, dan sebaliknya. Tapi kalau kita terus begini, kita nggak akan selesai. Lagipula, berapa lama kita mau bawa beban ini?”

Alvira mendengus, lebih frustrasi dari sebelumnya. “Kita bisa kabur dari sini, Arkan. Aku nggak mau jadi bagian dari kebohongan ini.”

Lalu ia berdiri, menatap ombak yang bergerak dengan irama yang tenang, kontras dengan kekacauan dalam dirinya. Ia merasa terjebak dalam pusaran perasaan yang tidak bisa dihindari. Ia ingin marah, ingin berteriak, tapi ada sesuatu yang mengganjal di dalam dirinya. Sesuatu yang belum pernah ia rasakan sebelumnya—ada secercah rasa bingung yang mulai tumbuh.

Arkan berdiri juga, kali ini lebih dekat dengan Alvira. “Kamu benci aku, kan?” tanyanya dengan suara yang rendah, seolah sedang memeriksa keadaannya.

Alvira menatap Arkan dengan mata menyala. “Ya, aku benci kamu! Apa kamu nggak paham juga?”

“Gila, kamu bisa berteriak keras banget,” jawab Arkan tanpa ekspresi. Namun, kali ini ada sedikit senyum yang menari di sudut bibirnya. “Tapi tetap aja, kamu juga aneh. Kamu kayak… marah, tapi nggak tahu kenapa. Ada apa, Alvira?”

Alvira diam sejenak. Ia tidak tahu apa yang harus dikatakan. Ada sesuatu yang aneh. Sesuatu yang tak terdefinisikan. Mungkin dia benci Arkan, tapi kenapa, ya? Kenapa malah setiap kali mereka bertengkar, ada sensasi berbeda yang membuat hatinya berdebar?

“Kenapa sih kamu selalu tenang, seperti nggak peduli?” Alvira menantang, mencoba menyembunyikan kebingungannya di balik kemarahan yang semakin menguat.

“Karena aku nggak mau ribet. Kalau masalahnya bisa selesai cuma dengan obrolan biasa, kenapa harus dibikin rumit?” jawab Arkan, sambil menatapnya tajam. “Aku nggak peduli dengan perasaanmu yang sekarang. Aku juga nggak peduli dengan perasaanku. Tapi kalau kamu terus nyalahin aku, kita nggak akan selesai.”

Alvira merasa seperti ada tembok besar yang menghalangi antara mereka. Semakin ia berusaha melontarkan kata-kata tajam, semakin ia merasa kata-kata itu tak cukup untuk menggambarkan apa yang ada di dalam hatinya. Bagaimana mungkin perasaan seperti ini bisa ada? Perasaan yang tercampur aduk antara kebencian, kebingungan, dan—entah kenapa—sedikit rasa penasaran.

Tiba-tiba, sebuah bola pasir terlempar, tepat mengenai wajah Arkan.

“Apa lagi?!” Arkan terkejut, melihat bola pasir yang melayang tiba-tiba dari arah Alvira.

“Ini untuk kamu!” Alvira berteriak sambil tertawa sinis, meskipun hatinya terasa perih. Arkan menatapnya dengan bingung, namun tak lama kemudian dia ikut tertawa, mungkin karena reaksi Alvira yang konyol itu.

Tapi sesuatu yang tak terduga terjadi.

Saat tawa mereka mereda, keduanya saling diam sejenak. Lalu, seperti kebetulan, Arkan berdiri lebih dekat dan mengangkat wajah Alvira dengan lembut.

“Alvira, kamu tahu nggak, aku cuma nggak mau semuanya makin runyam,” katanya dengan suara rendah, mengabaikan jarak yang terlampau dekat.

Alvira terdiam, hatinya berdetak lebih cepat, meskipun ia tak ingin mengakuinya. “Jangan, Arkan. Jangan sentuh aku.”

Tapi, anehnya, Arkan malah tersenyum lebih lebar, membuat Alvira merasa bingung dan semakin tak tahu harus bagaimana.

“Mungkin kalau kita bener-bener mau pergi, kita bisa mulai dengan langkah pertama,” jawabnya santai, meskipun mata mereka berdua bertemu dalam keheningan yang tegang. “Tapi, kalau aku boleh jujur… aku nggak mau bikin masalah lagi.”

Alvira, yang semula merasa kesal, kini diselimuti perasaan aneh yang sulit diungkapkan. Mereka masih berdua di pantai, dua orang yang tidak tahu bagaimana harus memperbaiki segala sesuatu yang sudah terlanjur kacau.

Namun, untuk saat ini, ada satu hal yang pasti—perasaan ini lebih kompleks dari yang bisa mereka bayangkan. Dan Bali, entah kenapa, bukan lagi sekadar tempat honeymoon, melainkan arena di mana mereka berdua berjuang untuk menemukan arti sejati dari hubungan yang telah terbentuk antara mereka.

 

Bukan Cinta, Tapi Sesuatu yang Tumbuh

Pagi ini Bali terasa lebih panas dari biasanya, meskipun udara laut masih membawa aroma asin yang menenangkan. Alvira mengusap wajahnya, mencoba mengusir kantuk yang belum hilang sepenuhnya. Namun, suasana hatinya tak semudah itu untuk dilupakan. Semalam, setelah percakapan di pantai yang tak terselesaikan, ia kembali terjebak dalam perasaan yang tak jelas. Arkan masih memegang kendali atas dirinya, meski ia berusaha keras untuk menentangnya.

Hari ini, mereka memutuskan untuk mengunjungi pasar seni di Ubud, tempat yang ramai dengan warna dan keramaian yang menarik. Alvira, dengan sedikit enggan, ikut saja. Apa lagi yang bisa dilakukan di tempat yang jauh ini selain berjalan kaki bersama Arkan?

Sesampainya di pasar, ia langsung merasa gelisah. Keramaian yang memadati pasar tidak membantu menenangkan pikirannya. Alvira mengedarkan pandangannya ke sekitar, berharap bisa menemukan sesuatu yang menarik untuk mengalihkan pikirannya dari Arkan.

Tapi entah kenapa, setiap kali matanya berkeliling, ia selalu menemukan sosok Arkan yang ada di sana, seperti magnet yang menariknya. Dia sedang melihat-lihat beberapa ukiran kayu, tampak begitu tenang seperti biasa.

“Ngapain kamu diem aja?” tanya Alvira, mendekat dan berdiri di sampingnya.

Arkan menoleh dengan ekspresi datar, sedikit bingung. “Apa maksud kamu? Aku cuma lihat-lihat barang,” jawabnya pelan.

Alvira mendengus, merasa suasana ini sangat canggung. Ia berusaha mengalihkan perhatian dengan melirik sebuah kalung etnik yang dipajang di sebuah gerai, tapi entah kenapa, pikirannya kembali kepada percakapan mereka semalam.

Arkan, yang sepertinya memperhatikan gerak-geriknya, akhirnya ikut berbicara. “Kamu kelihatan bingung banget, Vir. Ada yang bisa aku bantu?”

Senyum Arkan kali ini sedikit berbeda, lebih lembut dari biasanya, dan seketika itu juga membuat Alvira merasa sedikit canggung. “Gak ada, kok,” jawabnya cepat, berusaha menghindari tatapan itu. “Aku cuma capek aja, jalan-jalan di pasar begini.”

“Capek?” Arkan tertawa kecil. “Kamu kelihatan lebih seperti orang yang nggak tahu harus ngapain, Vir. Kenapa sih?”

“Ya, karena aku nggak tahu apa yang aku inginkan di sini.” Alvira mengerutkan dahi. “Aku bahkan nggak tahu kenapa aku masih di sini sama kamu.”

Arkan terdiam beberapa detik, lalu perlahan menanggapi, “Jadi kamu nyesel?”

Alvira menatapnya tajam, agak kesal. “Nyesel? Kamu pikir ini cuma soal penyesalan? Ini tentang…”

Tapi sebelum ia melanjutkan, Arkan sudah mengambil kalung etnik yang tadi dilihat Alvira dan memaksa memasangkannya di leher Alvira. “Kalung ini cocok buat kamu, Vir. Coba aja lihat.”

Alvira terdiam sesaat, tak percaya dengan tindakan Arkan yang begitu ceroboh dan tiba-tiba. “Kamu… gila, ya? Nggak usah paksa aku!”

Tapi Arkan hanya tersenyum puas, seolah tak peduli dengan kekesalannya. “Kamu terlihat lebih cantik dengan kalung itu,” katanya singkat.

Alvira menatapnya, mulutnya terbuka sedikit. “Kenapa sih kamu selalu bikin aku bingung, Arkan?”

Arkan hanya mengangkat bahu. “Karena itu yang aku lakukan. Aku bikin semuanya seru. Kalau kamu kebingungan, itu tanda kita belum selesai main.”

Kata-kata itu menusuk hati Alvira lebih dalam dari yang ia kira. Mereka memang selalu bertengkar, selalu tidak sependapat, tapi setiap pertengkaran itu seperti membuat sesuatu tumbuh di dalam dirinya—sesuatu yang tidak bisa ia jelaskan. Ia tidak bisa menghindari kenyataan bahwa, semakin lama ia bersama Arkan, semakin kuat pula perasaan ini. Perasaan yang lebih dari sekadar kebencian. Perasaan yang membingungkannya.

“Aku nggak tahu, Arkan,” ujar Alvira, melepas kalung itu dan meletakkannya kembali di tempat yang semula. “Aku cuma nggak ngerti sama hubungan kita. Semua ini cuma bikin aku pusing.”

Arkan menarik napas panjang, kemudian mengalihkan pandangannya ke barang-barang yang dipajang di sekitar mereka. “Aku juga nggak ngerti, Vir. Tapi aku tahu satu hal—kalau kita terus lari dari ini, kita nggak akan selesai. Kita harus hadapi semuanya.”

Alvira memutar matanya, merasa sebal, tapi tak bisa menghindar dari kata-kata Arkan yang kali ini terasa cukup dalam. “Maksud kamu apa sih?”

“Bukan maksud apa-apa. Cuma ngomong aja.” Arkan tersenyum santai, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang lebih serius.

Alvira tak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa mengangguk lemah, masih merasa tersesat dalam pikirannya sendiri. Bagaimana bisa perasaan seperti ini ada? Perasaan yang membuatnya kesal, bingung, dan—terus terang—sedikit takut.

Setelah berkeliling pasar, mereka memutuskan untuk duduk di sebuah kafe kecil di pinggir jalan. Meja kayu yang sederhana, kursi rotan yang nyaman, dan secangkir kopi panas di depan mereka. Namun, meskipun suasananya tenang, keduanya masih terjebak dalam ketegangan yang tak bisa disembunyikan.

“Tadi kamu ngomong soal ‘muka’ yang belum selesai, ya,” Alvira berkata pelan, memulai percakapan yang terasa seperti usaha terakhir untuk menyelesaikan sesuatu.

Arkan menatapnya dengan mata tajam, lalu menyeringai. “Kita berdua tahu kalau ini belum selesai, Vir. Kita cuma belum tahu gimana cara ngadepinnya.”

Alvira merasa wajahnya memanas. “Bisa nggak, Arkan, kita berhenti ngomongin ini sebentar aja?”

Arkan tertawa terbahak-bahak, membuat Alvira semakin bingung dan kesal. “Kamu mau kabur? Kabur dari masalah kita lagi?”

“Bukan kabur.” Alvira menunduk, lebih mengamati cangkir kopi yang masih panas. “Aku cuma… butuh waktu. Butuh waktu buat mikir tentang ini semua. Tentang kamu, tentang perasaan ini.”

Arkan diam. Sebuah senyuman kecil muncul di wajahnya, yang kali ini lebih manis daripada sebelumnya. “Aku nggak janji bakal nungguin, Vir. Tapi kalau kamu butuh waktu, ya aku akan kasih. Waktu itu hak kita masing-masing, kan?”

Alvira merasa hatinya semakin terombang-ambing. Ia ingin berteriak, tapi juga ingin menangis. Semua terasa kacau dan rumit, dan sepertinya, mereka berdua hanya bisa berjalan dalam kebingungannya masing-masing.

Namun, satu hal yang jelas—meskipun mereka terus bertengkar dan saling benci, ada sesuatu yang mulai tumbuh antara mereka. Sesuatu yang aneh, sesuatu yang tidak bisa dipahami oleh kata-kata, tetapi cukup kuat untuk membawa mereka lebih dekat, meski mereka masih bertanya-tanya tentang apa yang sebenarnya mereka rasakan.

 

Di Antara Cinta dan Pertarungan

Matahari Bali hampir tenggelam di balik horizon, meninggalkan langit yang memerah dengan warna oranye yang menyenangkan. Namun, bagi Alvira, segala sesuatu yang indah di sekitarnya seolah tak bisa menembus kabut bingung yang membelenggu pikirannya. Ia duduk di pinggir pantai, jauh dari keramaian, ditemani oleh hembusan angin yang semakin menyejukkan. Arkan ada di sana, tak jauh darinya, namun entah kenapa, meski jarak fisik mereka begitu dekat, hatinya terasa begitu jauh.

Sejak percakapan terakhir mereka, hari-hari di Bali semakin terasa seperti petualangan yang aneh dan membingungkan. Tak ada lagi pertengkaran sengit, namun juga tak ada momen yang bisa membuatnya merasa tenang. Hanya keheningan yang menyelimuti mereka, seolah semua yang terpendam di hati masing-masing menunggu untuk diungkapkan.

Arkan datang dan duduk di sampingnya tanpa berkata-kata. Keheningan mereka berdua terasa berbeda malam ini. Tidak ada kata-kata kasar, tidak ada cemoohan. Hanya ada ketenangan yang terlampau asing di antara mereka.

Akhirnya, Alvira membuka suara, meski suaranya terdengar ragu. “Kenapa kamu terus di sini, Arkan? Kenapa kamu nggak pergi?”

Arkan menatapnya sekilas, lalu melemparkan pandangannya ke laut. “Pergi kemana? Ke tempat yang nggak ada kamu? Nggak mungkin.”

Alvira memutar bola matanya, merasakan amarah yang tiba-tiba membakar dadanya. “Kamu… Kamu bisa pergi dan cari hidupmu sendiri, kan? Aku nggak butuh kamu di sini. Kamu cuma bikin semua jadi rumit!”

Tapi Arkan hanya tersenyum, senyum yang kali ini penuh dengan kedamaian dan tidak ada sedikit pun ketegangan di wajahnya. “Tapi kamu butuh aku, Vir. Nggak peduli seberapa banyak kamu bilang nggak, aku tetap di sini. Dan kamu nggak bisa lari dari itu.”

Alvira terdiam, kata-kata Arkan menusuk lebih dalam daripada yang ia bayangkan. Benar, meski ia berusaha keras untuk menanggalkan perasaan itu, ada sesuatu dalam dirinya yang menariknya untuk tetap dekat dengan Arkan. Perasaan yang tak ia minta, yang tidak bisa ia kendalikan.

“Apa kita… harus terus seperti ini?” Alvira bertanya dengan suara pelan, hampir tak terdengar oleh angin laut.

“Kalau kamu tanya aku, kita nggak punya pilihan lain, Vir. Ini bukan tentang ‘terus seperti ini’ atau nggak. Ini tentang kita berdua yang saling terikat, meski kita berusaha keras untuk melepaskan diri.” Arkan mengulurkan tangan, menyentuh bahu Alvira dengan lembut, seolah memberi pengertian tanpa kata-kata.

Alvira menatapnya, napasnya tercekat. Di matanya, ada ketegasan yang sama sekali berbeda dari sikapnya yang biasa. Arkan bukan lagi musuh romantis yang selalu membuatnya kesal. Ia adalah seseorang yang kini berada di sampingnya, melawan arus yang sama, meski kadang tak saling mengerti.

“Aku nggak bisa… nggak bisa hanya mengabaikan perasaan ini,” ujar Alvira, akhirnya mengakui hal yang selama ini ia pendam. “Tapi aku juga nggak tahu harus ngapain dengan perasaan ini.”

Arkan menarik napas dalam-dalam, lalu meletakkan telapak tangan di wajah Alvira, merasakan kehangatan yang seolah menghubungkan mereka. “Aku tahu, Vir. Aku juga nggak tahu harus ngapain. Tapi yang pasti, kita nggak perlu punya jawaban sekarang. Kita bisa mulai dengan berhenti bertengkar.”

Alvira menatapnya, dan untuk pertama kalinya, ia merasakan kelegaan. Ternyata, tidak semua harus dipahami atau dijelaskan. Terkadang, yang penting adalah menerima kenyataan bahwa ada perasaan yang tak bisa dihindari.

Tanpa kata-kata lagi, Arkan menarik Alvira dalam pelukannya, bukan dengan paksaan, tetapi dengan kesadaran bahwa mereka berdua hanya bisa berjalan bersama di jalan ini. Mungkin bukan cinta yang dimulai dengan romantisme indah, tapi sesuatu yang lebih kuat dan lebih realistis. Sebuah hubungan yang tumbuh dari perbedaan, pertengkaran, dan kebingungannya sendiri.

Di bawah langit Bali yang semakin gelap, mereka berdua akhirnya berdamai, bukan dengan kata-kata, tetapi dengan keberadaan satu sama lain. Mereka tak lagi saling memaksa, tak lagi saling menghindar, hanya saling menerima dalam keheningan.

“Kalau kita terus begini, pasti ada jalan keluarnya,” ujar Arkan dengan lembut, suara hangatnya menembus kesunyian malam.

Alvira menunduk, memikirkan kata-kata itu. Mungkin memang benar. Tidak ada jawaban pasti, tidak ada akhir yang jelas, hanya perjalanan yang terus berlanjut.

Akhirnya, Alvira tersenyum tipis. “Ya, kita lihat aja nanti.”

Dan di malam itu, di pantai Bali yang tenang, mereka duduk bersama dalam diam, menanti apa yang akan terjadi di hari-hari mendatang.

 

Dan begitu, semuanya jadi kayak cerita yang nggak pernah kamu bayangin sebelumnya. Dari permusuhan yang panas, pertengkaran yang nggak ada habisnya, malah jadi momen-momen yang bikin kamu mikir, Eh, kok bisa sih?

Kadang, cinta itu datangnya nggak harus manis dan sempurna, bisa jadi melalui perjalanan yang penuh drama dan kekonyolan. Tapi, di akhir hari, siapa yang tahu? Mungkin musuh romantis kamu itu ternyata jadi pasangan sejati yang nggak kamu sangka-sangka. Jadi, jangan terlalu buru-buru nge-judge, siapa tahu, cinta itu ada di tempat yang paling nggak kamu duga!

Leave a Reply