Cerpen High School Love: Kisah Romantis Nares dan Senja yang Menggemaskan dan Bikin Baper

Posted on

Siapa yang nggak suka cerita cinta remaja yang manis dan bikin baper? Cerpen ini bakal ngasih kamu semua rasa-rasa itu! Dari pertemuan nggak sengaja sampai akhirnya bisa berjalan bareng, cerita antara Nares dan Senja ini pasti bikin kamu tersenyum sendiri.

Gimana enggak, kisah mereka tuh penuh dengan momen lucu, menggemaskan, dan pastinya, super romantis! Jadi, siap-siap untuk jatuh cinta sama cerita ini, karena kamu bakal nggak bisa berhenti senyum sepanjang baca!

 

Cerpen High School Love

Primadona Pemalu dan Ketua OSIS

Senja Alisya Azzura, gadis yang selalu menjadi sorotan di sekolah ini, duduk di sudut perpustakaan, tenggelam dalam bukunya. Pojok perpustakaan itu, yang biasanya sunyi, kini terasa lebih sepi karena Senja memilihnya sebagai tempat pelarian dari keramaian sekolah setelah ujian. Suasana yang damai itu adalah satu-satunya yang bisa menenangkan pikirannya.

Namun, pagi itu, ketenangannya terganggu. Dari kejauhan, langkah kaki terdengar mendekat. Senja hanya bisa menunduk lebih dalam, berharap orang itu hanya lewat dan tidak mengganggu.

Tapi harapannya sirna.

“Senja.” Suara bariton yang dikenal baik itu membuat Senja mendongak pelan. Di depan mejanya berdiri Nares Raditya, ketua OSIS yang tak hanya terkenal di kalangan siswa, tapi juga guru-guru di sekolah ini. Tinggi, dengan senyum miring khasnya, Nares berdiri dengan gaya yang tak pernah bisa dipandang remeh.

“Nares,” Senja menyapa dingin.

“Hei, kamu lagi apa?” Nares duduk di kursi depan Senja tanpa permisi, seakan-akan dia sudah biasa berada di sana.

“Aku sedang belajar,” jawab Senja dengan nada yang lebih santai, meskipun dia sebenarnya hanya mencari alasan untuk menghindari percakapan ini.

“Belajar? Kayaknya kamu lagi ngelamun deh,” Nares balas sambil menyeringai. “Coba tunjukin kamu lagi baca apa.”

Senja memutar bola mata, merasa sedikit kesal dengan sikap Nares yang selalu menantang. “Ini… buku Matematika.”

“Buku Matematika?” Nares mengangkat alisnya. “Kenapa Matematika? Bukannya kamu benci sama itu?”

Senja terdiam sejenak. Tentu, dia benci Matematika. Tapi dia juga tidak suka terlihat lemah di hadapan Nares yang selalu terlihat sempurna dalam segala hal, terutama dalam pelajaran.

“Aku nggak benci, kok. Cuma… agak susah.” Senja menghela napas. “Banyak soal yang aku nggak ngerti.”

Nares tersenyum lebar, senyum yang selalu membuat Senja merasa aneh. “Tapi kamu kan jenius, Senja. Gimana bisa nggak ngerti Matematika?”

Senja menggigit bibirnya, menatap Nares. “Nggak semua orang jenius, Nares.”

“Ya, mungkin kamu nggak suka Matematika, tapi kamu bisa kok.” Nares mengeluarkan buku catatan dari tasnya dan meletakkannya di meja. “Aku bakal bantuin kamu.”

Senja terdiam, menatap buku catatan itu. “Bantuin? Aku nggak butuh bantuan.”

“Ya, kamu butuh. Kalau nggak, nanti ujian kamu bisa jadi bencana.” Nares tersenyum nakal, tahu betul bagaimana cara menggoda Senja.

Senja merasa terpojok. Satu sisi dirinya ingin menolak, ingin tetap berada dalam dunianya sendiri yang tenang tanpa gangguan. Tapi, di sisi lain, dia tahu bahwa Nares benar.

“Yaudah, satu soal aja. Kalau aku nggak ngerti, kamu berhenti.”

“Setuju,” Nares menjawab cepat. “Soalnya gampang kok. Coba deh, ini.” Nares membuka buku Matematika dan menunjuk soal pertama. “Ini, soal yang pertama.”

Senja menatap soal itu dengan cemas. Matematika selalu membuatnya merasa seperti terjebak dalam labirin, tanpa petunjuk untuk keluar. Namun, melihat Nares yang begitu percaya diri, dia pun merasa sedikit lebih tenang.

“Ini… yang aku nggak ngerti.” Senja berkata ragu-ragu, mencoba menyelesaikan soal itu.

Nares hanya tersenyum sambil duduk dengan santai. “Coba fokus. Ingat rumusnya, terus turutin langkah-langkahnya.”

Senja menggigit pensilnya. Matematika memang seperti puzzle besar, dan setiap kali dia berpikir sudah ada jalan keluar, ternyata ada lebih banyak teka-teki yang muncul. Namun, dengan bantuan Nares, sedikit demi sedikit, dia mulai merasakan ada sesuatu yang berbeda.

“Tahu nggak, Senja? Kamu itu punya potensi besar, cuma kadang nggak percaya sama diri sendiri.” Nares menatapnya dengan penuh perhatian, seakan tahu lebih banyak tentang dirinya daripada yang Senja sadari.

“Apa maksud kamu?” Senja membalas tatapan Nares.

“Maksud aku, kamu nggak pernah sadar seberapa pintar kamu, Senja. Kamu itu kayak… bintang yang selalu sembunyi di balik awan. Padahal kalau kamu mau, kamu bisa bersinar lebih terang.”

Senja terdiam mendengar kata-kata itu. “Kamu selalu ngomong kayak gitu ke orang lain?”

Nares tertawa pelan, menggelengkan kepalanya. “Nggak. Cuma kamu.”

Hening sejenak di antara mereka. Senja merasa perasaannya sedikit bergejolak, sesuatu yang tidak biasa. Dia merasa aneh, tidak tahu harus berkata apa lagi. Tapi di saat yang sama, ada rasa nyaman yang menyelubungi dirinya ketika berada di dekat Nares.

“Apa yang kamu harapkan dari aku?” Senja akhirnya bertanya.

“Harapan?” Nares mengulang pertanyaannya, lalu tersenyum lagi. “Aku nggak berharap apa-apa, Senja. Cuma… aku ingin lihat kamu berhasil. Itu aja.”

Senja menatap Nares dengan mata yang sedikit lebih lembut. Mungkin ini adalah pertama kalinya dia merasa seperti ini, merasa dihargai bukan karena prestasinya atau karena popularitasnya, tapi karena dia adalah Senja, dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

“Baiklah,” Senja akhirnya berkata pelan, “Aku akan coba, Nares.”

Nares tersenyum lebar. “Itu baru Senja yang aku kenal.”

Namun, meskipun Senja setuju untuk belajar bersama Nares, dia tahu bahwa ini baru permulaan. Ada lebih banyak yang harus dihadapi. Tapi satu hal yang pasti, sejak saat itu, setiap pertemuan dengan Nares akan membawa hal-hal baru yang membuatnya merasa lebih hidup.

Dan siapa yang tahu? Mungkin, ada sesuatu yang lebih dari sekadar belajar yang akan mereka temui di perjalanan ini.

 

Soal-Soal dan Senyum Nares

Hari berikutnya, Senja memutuskan untuk kembali ke perpustakaan setelah pelajaran terakhir berakhir. Dia tahu, jika ingin benar-benar menguasai Matematika, dia harus lebih sering meluangkan waktu untuk itu. Namun, kali ini dia datang dengan niat yang berbeda—Nares sudah berjanji untuk menemaninya belajar, dan Senja merasa sedikit cemas, sekaligus tertarik.

Perpustakaan terlihat lebih ramai dari biasanya, tapi Senja tahu Nares pasti sudah ada di sana. Matanya langsung mencari-cari sosok tinggi dengan senyum cerianya. Tak lama, dia melihat Nares duduk di salah satu meja pojok, dikelilingi oleh beberapa buku catatan dan soal-soal Matematika. Dia terlihat tenang, santai, seakan Matematika itu hanya permainan kecil.

Senja menarik napas, mengumpulkan keberanian untuk mendekat. Begitu dia duduk di depan Nares, Nares langsung meliriknya dengan senyum yang khas.

“Senja, kamu datang juga akhirnya,” katanya sambil menyusun kembali beberapa soal yang ada di atas meja. “Aku udah siap bantuin kamu lagi.”

Senja hanya mengangguk, berusaha menampilkan sikap santai meski di dalam hatinya sedikit cemas. “Iya, aku datang. Ayo mulai aja.”

Nares memulai dengan membuka soal pertama. Senja pun mulai berkonsentrasi, mencoba mengingat rumus yang sudah dijelaskan sebelumnya. Namun, setiap kali dia menulis angka di kertas, pikirannya justru melayang, kembali pada sosok Nares yang duduk di depannya.

“Senja, konsentrasi dulu.” Nares menyela, menyadari Senja tampak kehilangan fokus. “Jangan melamun.”

“Apa sih, Nares? Aku nggak melamun,” Senja membela diri, meskipun dia tahu bahwa dirinya memang sedikit terganggu dengan kehadiran Nares.

Nares tertawa kecil. “Kamu itu selalu penuh dengan kejutan, Senja. Oke, coba kita selesaikan soal ini dulu. Jangan takut, soal ini gampang kok.”

“Katanya gampang? Kok aku merasa pusing?” Senja mengeluh, matanya tetap menatap angka-angka yang seolah-olah menari di atas kertas.

“Makanya, jangan takut. Kamu sudah ngerti dasarnya, kan?” Nares berusaha menenangkan. “Coba deh, lihat langkah ini.”

Tanpa banyak bicara, Nares menjelaskan lagi langkah-langkah penyelesaian soal dengan sabar. Senja merasa ada yang berbeda hari ini. Biasanya, dia merasa tertekan kalau harus belajar dengan orang lain. Tapi dengan Nares, rasanya seperti ada ikatan tak terucapkan yang membuat segala sesuatunya lebih ringan.

“Aku nggak ngerti, Nares,” Senja akhirnya mengeluh. “Kenapa hasil akhirnya selalu beda sama yang kamu tulis?”

Nares menatap Senja, lalu mengambil buku catatan Senja dan mengoreksi langkah-langkah yang ditulisnya. “Kamu terlalu terburu-buru. Pelan-pelan aja. Kalau kamu tenang, semuanya bakal masuk.”

Senja sedikit merasa malu. “Oke, oke, aku coba lebih tenang.”

Naik turunnya emosi saat belajar Matematika itu terasa seiring dengan tatapan Senja yang perlahan-lahan berubah lebih percaya diri. Dia mencoba lagi, mengikuti apa yang diajarkan Nares. Ternyata, dengan pendekatan yang lebih santai dan fokus, soal-soal itu tidak terlalu rumit.

“Senja, lihat. Kamu bisa kok!” Nares memberikan pujian, matanya berbinar. “Kamu cuma butuh waktu buat paham, nggak ada yang langsung ngerti, kan?”

Senja terkejut melihat hasilnya. Jawaban yang dia tulis akhirnya benar, dan dia tersenyum malu. “Ternyata gampang ya, kalau kamu jelasin.”

“Iya, kan?” Nares mengangguk dengan bangga. “Kamu cuma butuh sedikit dorongan.”

Senja merasa sedikit canggung dengan pujian itu. “Nggak gitu juga, Nares.”

Tapi Nares cuma tertawa, seakan sudah terbiasa melihat Senja yang sulit menerima pujian. “Iya, iya. Pokoknya, kalau kamu butuh bantuan lagi, tinggal bilang aja. Aku pasti bantu.”

“Thanks, Nares,” Senja tersenyum tulus. “Aku nggak nyangka kamu bisa sabar ngajarin aku.”

“Senja, kamu itu lebih pintar dari yang kamu kira. Cuma aja, kamu sering nggak percaya sama diri sendiri,” Nares menjawab, matanya kembali menatap Senja dengan intensitas yang sulit dia artikan.

Mereka kembali fokus pada soal-soal berikutnya, namun Senja merasakan sesuatu yang lebih dalam. Setiap kata yang keluar dari mulut Nares seakan menyentuh sisi dirinya yang selama ini tertutup rapat.

Tak terasa, waktu berlalu begitu cepat. Buku catatan penuh dengan catatan dan langkah-langkah yang sudah diulang berkali-kali. Senja mulai merasa lebih percaya diri, dan, meskipun masih ada soal-soal yang sulit, dia merasa jauh lebih siap untuk menghadapi ujian yang akan datang.

Saat bel tanda waktu belajar selesai terdengar, Senja menutup buku Matematika dan memandang Nares. “Aku rasa, aku bisa menghadapi ujian ini. Terima kasih banget, Nares.”

Nares tersenyum puas. “Senja, aku bilang kan kamu bisa?”

Senja hanya tersenyum kecil. “Iya, kamu benar.”

Namun, meskipun Senja merasa lega karena soal-soal Matematika akhirnya berhasil dia taklukkan, ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Rasanya, setiap kali dia menghabiskan waktu bersama Nares, ada ikatan yang makin kuat. Ikatan yang tidak hanya tentang belajar, tapi juga tentang dua orang yang saling memahami tanpa perlu banyak kata.

“Ayo, kita pulang bareng,” kata Nares sambil berdiri. “Aku nggak mau kamu sendirian di jalan.”

Senja merasa sedikit terkejut. “Hah? Kenapa? Kamu pasti ada urusan lain, kan?”

Naresh tersenyum lebar, “Jangan khawatir. Aku nggak bakal ninggalin kamu.”

Senja merasa ada yang berbeda dalam dirinya. Rasanya ada semangat baru dalam hatinya—sesuatu yang tumbuh pelan-pelan, meski dia belum sepenuhnya menyadarinya. Tapi satu hal yang pasti, perasaan itu semakin kuat setiap kali mereka bersama.

 

Langkah Tanpa Kata

Senja dan Nares berjalan bersama menuju pintu keluar sekolah, langkah mereka menyatu seakan sudah terbiasa. Hari itu terasa lebih ringan, dan suasana yang biasa penuh dengan kecemasan tentang ujian kini berubah menjadi momen yang menyenangkan.

“Eh, Senja,” Nares tiba-tiba membuka pembicaraan lagi saat mereka berjalan berdampingan. “Aku ada rencana buat weekend ini, mau ikut?”

Senja melirik Nares dengan heran. “Rencana apa?”

Nares mempercepat langkahnya sedikit, berusaha menyembunyikan senyum. “Aku berencana pergi ke kafe baru yang baru buka di dekat sini. Denger-denger tempatnya asik, dan aku pengen ajak kamu.”

Senja menunduk, merasakan ketegangan yang datang begitu saja. Mungkin karena tawaran itu terasa lebih personal dari yang dia kira. “Kenapa aku? Kan masih banyak teman kamu yang bisa pergi bareng.”

Nares tertawa, nada suaranya cerah, tapi ada kesan serius dalam matanya. “Karena aku pengen kamu yang ikut, Senja. Lagian, siapa lagi kalau bukan kamu?”

Senja terdiam. Ada sesuatu yang berbeda dalam nada suara Nares kali ini. Biasanya, dia akan menganggap ini sebagai hal biasa, cuma ajakan biasa antara teman. Tapi entah kenapa, kali ini rasanya lebih… spesial.

“Tapi, kamu kan sibuk,” Senja mencoba mencari alasan, meskipun hatinya sudah mulai merasa tergerak.

“Aku nggak sibuk kalau buat kamu,” Nares menjawab cepat, bahkan lebih cepat dari yang Senja duga. “Aku nggak bakal punya alasan buat nolak ajakan kamu.”

Senja terdiam sejenak. Ada sesuatu yang hangat di dadanya. Kenapa kata-kata Nares kali ini terasa lebih dari sekadar ajakan biasa? “Oke deh, aku ikut. Tapi nggak banyak-banyak ya. Cuma ngobrol aja.”

Nares tersenyum lebar, matanya berbinar. “Deal!”

Mereka sampai di luar sekolah, dan Nares memutuskan untuk mengantar Senja pulang, meskipun itu sudah melewati rutenya sendiri. Tidak ada kata-kata yang terucap setelah itu, hanya langkah kaki mereka yang seirama. Senja merasa aneh, ada perasaan hangat yang datang begitu saja, membuat jantungnya berdebar-debar dengan irama yang tak bisa dia pahami.

Hari yang dinanti tiba. Weekend akhirnya datang, dan Senja bersiap-siap untuk pergi bersama Nares ke kafe yang katanya seru itu. Pagi itu, dia memilih pakaian sederhana, namun tetap nyaman. Sesuatu yang tidak terlalu mencolok, tapi cukup membuatnya merasa percaya diri.

Begitu Nares mengirim pesan, Senja segera keluar dari rumah, menuju titik pertemuan yang mereka tentukan. Begitu sampai, Nares sudah berdiri menunggunya, mengenakan jaket kulit dan celana jeans yang terlihat pas di tubuhnya. Senja sempat terdiam sejenak, tak bisa menahan senyum saat melihat Nares yang tampil lebih dari sekadar biasa.

“Eh, kamu udah datang,” Nares menyapa dengan senyum lebar. “Kamu siap?”

Senja hanya mengangguk, sedikit gugup, tapi tetap mencoba menjaga ketenangannya. “Iya, siap.”

Mereka berjalan menuju kafe yang cukup ramai, dengan interior yang modern dan suasana yang menyenangkan. Begitu mereka duduk di meja yang sudah dipesan Nares, Senja merasa seperti berada dalam dunia yang berbeda. Mungkin karena suasana kafe yang santai, atau mungkin juga karena ada Nares yang duduk di depannya, memperhatikannya dengan perhatian lebih.

“Senja, kamu beneran nggak tahu apa-apa soal tempat ini?” Nares bertanya, membuka pembicaraan dengan nada santai.

Senja menggeleng, “Enggak, baru pertama kali ke sini.”

Nares tersenyum. “Tempat ini emang asik. Mereka punya makanan enak, dan suasana yang pas buat ngobrol. Aku suka banget.”

“Ya, aku juga suka kok,” jawab Senja sambil mengelap bibirnya yang sedikit basah. “Suasananya beda banget, ya.”

Nares menatap Senja dengan lembut, seakan sedang mencari sesuatu yang tak terucapkan. “Senja, aku senang kamu bisa datang. Aku tahu ini mungkin terdengar aneh, tapi… aku ngerasa lebih nyaman kalau kamu ada di sini.”

Senja terdiam, merasa ada kehangatan yang aneh merayapi tubuhnya. “Kenapa?”

“Karena kamu orang yang beda. Dari pertama kali aku kenal kamu, kamu tuh kayak punya sisi yang nggak banyak orang tahu,” Nares berkata, suaranya sedikit serius. “Sisi itu yang bikin aku semakin penasaran.”

Senja merasa jantungnya berdegup kencang. Tidak ada yang pernah bicara tentang dirinya seperti itu sebelumnya. Nares terus menatapnya, seakan menunggu respon yang mungkin saja dia cari.

“Kamu nggak aneh, kok,” Senja akhirnya menjawab, mencoba mengalihkan ketegangan. “Aku cuma… biasa aja.”

“Menurut aku, kamu luar biasa.” Nares menyelesaikan kalimatnya dengan senyum yang lebih dalam. “Aku nggak tahu kenapa, tapi setiap kali sama kamu, semuanya jadi terasa berbeda. Aku nggak pengen cuma jadi teman biasa buat kamu.”

Senja terdiam. Jantungnya berdebar lebih kencang. Nares… menginginkan sesuatu yang lebih dari sekadar teman?

“Sama,” Senja akhirnya berkata, dengan suara pelan. “Aku juga merasa begitu.”

Mereka saling diam sejenak, dan dalam diam itu, Senja merasa dunia tiba-tiba menjadi lebih sunyi, lebih tenang. Rasanya seperti ada angin yang mengalir di antara mereka, menenangkan segalanya tanpa perlu kata-kata. Nares tersenyum lebih lebar, dan Senja pun merasakannya—ada sesuatu yang tak terucapkan antara mereka. Satu langkah yang mereka ambil hari ini, membuka pintu bagi sesuatu yang lebih besar.

“Senja,” Nares memecah keheningan, “Aku nggak nyangka bisa dekat sama kamu. Aku nggak akan pernah nyesel kalau bisa terus kayak gini.”

Senja merasa sebuah senyuman tak tertahankan muncul di wajahnya. “Aku juga nggak nyangka, Nares. Tapi… aku suka.”

Kedua hati mereka berdegup dengan irama yang sama, dan meskipun semuanya masih baru, Senja tahu satu hal—ini bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang lebih berarti.

 

Akhir yang Baru Dimulai

Hari itu, matahari mulai terbenam dengan indah, menyapu langit dengan warna merah jingga yang memukau. Kafe tempat Senja dan Nares duduk semakin sepi, hanya ada beberapa meja yang masih terisi dengan pasangan lain yang asyik menikmati waktu bersama. Suasana terasa semakin intim, namun kali ini, tidak ada lagi keraguan yang menghantui Senja. Rasanya, dunia ini hanya milik mereka berdua.

Mereka duduk berhadap-hadapan, cangkir kopi di depan mereka sudah hampir habis. Nares memandangi Senja dengan tatapan yang lebih dalam dari sebelumnya, seperti sedang memikirkan sesuatu yang penting. Senja, yang sejak tadi mencoba menikmati momen, merasa ada yang berbeda. Ada sesuatu yang tak terkatakan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar percakapan biasa.

“Aku senang banget hari ini,” Nares akhirnya membuka suara, nada suaranya tenang, penuh makna. “Senja, aku udah lama pengen ngomong ini, tapi rasanya susah. Aku nggak tahu kenapa, tapi aku… merasa kamu orang yang berbeda. Kamu bikin aku ngerasa jadi diri aku sendiri. Aku nggak pengen cuma jadi teman kamu lagi.”

Senja merasa dada nya sesak, jantungnya berdegup cepat. Kata-kata Nares menembus langsung ke hati, dan untuk pertama kalinya, dia merasakan sebuah perasaan yang belum pernah dia alami sebelumnya. Rasanya begitu dekat, begitu nyata.

“Nares…” Senja memanggil dengan suara yang lembut. “Aku juga nggak pernah nyangka kita bisa sampai di titik ini. Tapi… aku senang banget kalau bisa lebih dari sekadar teman sama kamu.”

Nares tersenyum, senyum yang lebih dari sekadar senyum biasa. Itu adalah senyum yang penuh arti, senyum yang mengungkapkan perasaan tanpa perlu banyak kata. “Jadi… kita mau coba bersama-sama?” tanya Nares, matanya menatap Senja dengan penuh harapan.

Senja menatap Nares sejenak, pikirannya berputar. Semua yang terjadi antara mereka selama ini terasa begitu sempurna, seperti sebuah kisah yang tidak pernah dia bayangkan sebelumnya. Ada banyak hal yang tidak terucapkan, tapi mereka berdua tahu bahwa mereka ada untuk satu sama lain.

“Yah… aku rasa ini bukan lagi soal coba-coba,” jawab Senja dengan senyum lebar, matanya berbinar. “Aku yakin, kita bisa lebih dari itu.”

Nares tertawa pelan, bahagia mendengar jawabannya. “Aku juga yakin, Senja. Kita bisa.”

Di luar, langit semakin gelap, tetapi di dalam hati mereka, ada cahaya yang lebih terang dari apapun. Mereka tidak perlu kata-kata lebih lanjut, karena keduanya sudah tahu bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar. Sebuah kisah yang akan mereka jalani bersama, tanpa takut dan tanpa ragu.

Mereka keluar dari kafe, berjalan berdampingan dengan langkah yang semakin mantap. Tangan mereka hampir bersentuhan, namun tidak ada satu pun yang memaksa. Mereka tahu, waktu akan mengatur segalanya.

“Jadi, gimana, Senja? Kamu siap untuk perjalanan ini?” tanya Nares dengan nada santai, namun matanya berbinar dengan penuh semangat.

Senja menoleh ke Nares, dan tersenyum. “Aku siap. Ini bukan hanya perjalanan biasa, kan?”

Nares mengangguk, senyum semakin lebar di wajahnya. “Tentu saja. Ini perjalanan kita.”

Saat itu juga, Senja merasa dunia tiba-tiba terasa lebih indah, penuh warna dan harapan. Tidak ada lagi keraguan, tidak ada lagi ketakutan. Mereka berdua berjalan bersama, melangkah ke masa depan yang penuh dengan kisah mereka yang akan terus berkembang.

Tidak ada akhir di sini, hanya sebuah awal yang baru. Sebuah perjalanan yang akan terus mereka jalani, selamanya.

 

Nah, gitu deh, cerita mereka yang penuh warna dan bikin hati meleleh. Siapa sangka, dari pertemuan sederhana bisa tumbuh kisah yang begitu indah dan mengharukan?

Semoga kamu bisa dapetin inspirasi atau bahkan merasakan sedikit dari rasa yang Nares dan Senja punya. Cinta remaja emang nggak pernah gagal bikin baper, kan? Sampai ketemu di cerita selanjutnya, dan semoga kisah ini selalu ninggalin senyum di wajah kamu!

Leave a Reply