Hidupku Tak Seindah Dulu Lagi: Perjalanan Penuh Penyesalan dan Harapan Baru

Posted on

Pernah nggak sih kamu merasa hidup kamu tiba-tiba berubah banget, kayak semuanya runtuh dan nggak ada lagi yang sama? Dulu mungkin semuanya serba mudah, enak, dan penuh harapan. Tapi sekarang?

Semuanya kayak hilang begitu aja, dan kamu cuma bisa nyesel, mikir kenapa nggak ada yang bisa kembali lagi. Ini cerita tentang seseorang yang nyoba bangkit setelah segalanya berantakan. Kadang, harus kehilangan dulu baru kita sadar kalau hidup nggak selalu berjalan sesuai rencana. Tapi, siapa tahu kan, ada harapan baru setelah semua itu? Yuk, baca dan rasain sendiri gimana perjalanannya!

 

Hidupku Tak Seindah Dulu Lagi

Jejak Bintang yang Redup

Matahari sore menembus celah-celah tirai tipis yang sudah agak lusuh, memberikan sentuhan keemasan pada ruang tamu yang kosong. Arkhan duduk di ujung sofa, memandang amplop di atas meja dengan ekspresi kosong. Suara riuh kendaraan di luar terdengar samar, seolah tak pernah peduli dengan kehancuran yang tengah dia alami. Tangan Arkhan terulur perlahan, meraih amplop itu, seolah masih ada harapan di dalamnya meski tahu itu hanya sebuah pengingat pahit dari utang yang tak akan pernah selesai.

Tapi di dalam amplop itu, ada lebih dari sekadar angka-angka yang menggigit. Ada kenangan-kenangan yang melayang, kembali mengisi setiap sudut pikirannya. Arkhan tak bisa melupakan hari-hari di masa lalu ketika dunia di sekelilingnya hanya penuh dengan tepuk tangan dan sorak sorai. Semua mata tertuju padanya. Semua orang ingin berada di dekatnya, mendekatinya seperti lebah yang tergoda madu.

Hidupnya seakan tak terhalang apa pun, dan segala sesuatu terasa begitu mudah. Perusahaan keluarga yang besar, segala fasilitas mewah yang bisa dibeli, dan teman-teman yang selalu ada—setidaknya, itulah yang dia kira. Arkhan masih ingat bagaimana ayahnya memandangnya dengan penuh kebanggaan, menyuruhnya untuk menjadi pemimpin yang bijak. Namun, saat dia mengambil alih perusahaan itu, kebanggaan itu mulai menghilang, tersapu oleh gelombang kesalahan yang tak pernah dia perhitungkan.

“Jangan terburu-buru, Arkhan,” nasihat ayahnya dulu. “Kamu harus hati-hati, bukan hanya dengan perusahaan, tapi juga dengan orang-orang di sekitarmu.”

Namun, Arkhan yang waktu itu masih muda dan penuh percaya diri hanya tertawa mendengar peringatan itu. “Aku tahu apa yang kulakukan, Pa,” jawabnya tanpa beban, seakan segala yang dia lakukan selalu benar.

Sekarang, saat duduk terpuruk di ruang tamu yang sunyi ini, Arkhan sadar betapa bodohnya dia dulu. Semua keputusan ceroboh itu berujung pada kehancuran yang menyakitkan. Utang bertumpuk. Sahabat yang dulu mendekatinya dengan harapan mendapatkan keuntungan, satu per satu menghilang begitu saja. Tidak ada yang tersisa kecuali keluarga yang terluka dan sebuah perusahaan yang bangkrut.

Dia menarik napas panjang, menatap langit di luar jendela yang mulai gelap. Ada angin malam yang berhembus pelan, membawa aroma hujan yang akan turun sebentar lagi. Namun, di dalam dirinya, tak ada harapan akan datangnya hujan yang mampu membersihkan segala penyesalan. Arkhan merasa seakan terperangkap dalam labirin gelap yang tak berujung.

Tiba-tiba, pintu depan terbuka dengan suara berderit. Seorang wanita muda masuk, tampak cemas, dengan pakaian kerja yang sudah kusut. Ada kilatan kelelahan di matanya, namun tetap ada sedikit kekhawatiran yang terpancar.

“Lagi-lagi kamu di sini, Arkhan?” suaranya terdengar lelah. Wanita itu adalah Nadira, teman lama yang dulu seringkali menjadi pendamping Arkhan di hari-hari cerahnya. Dia adalah satu-satunya orang yang tetap bertahan, meskipun dia tahu kehidupan Arkhan sudah jauh berubah.

Arkhan tak berbalik, hanya mengangkat bahu tanpa berkomentar. “Apa yang kamu inginkan, Nadira?”

Nadira mendekat, duduk di sampingnya, dan menyentuh amplop itu dengan pelan. “Kamu tahu, aku sudah memberitahumu untuk tidak menambah beban dengan utang-utang itu,” ujarnya dengan nada penuh penyesalan. “Kamu bisa memulai dari awal lagi, Arkhan. Aku yakin masih ada jalan.”

“Jalan?” Arkhan tertawa pahit, suaranya pecah, seperti mencabik-cabik sisa-sisa kebanggaan yang masih ada. “Jalan ke mana, Nadira? Semua yang dulu ada… semua yang dulu aku miliki… sekarang hilang begitu saja. Aku tak tahu lagi harus mulai dari mana.”

“Jangan bilang begitu,” jawab Nadira dengan tegas. “Kamu masih punya kesempatan. Kamu masih muda, masih ada waktu untuk memperbaiki semuanya.”

Arkhan menatapnya lama, tak bisa mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata. Ia tahu Nadira hanya berusaha menenangkan, seperti yang selalu dilakukannya. Tapi Arkhan merasakan betapa beratnya kenyataan ini. Dulu, dia bisa melakukan segalanya. Dulu, tidak ada yang tak mungkin. Tapi sekarang, dia hanya merasa lelah dan putus asa.

“Aku tak tahu harus apa, Nadira.” Suaranya bergetar. “Aku sudah kehilangan semuanya. Keluargaku, teman-temanku… dan yang paling menyakitkan, aku sudah kehilangan diriku sendiri.”

Nadira menatapnya dalam diam, seolah mencoba mencari kata-kata yang tepat. Namun, tak ada kata-kata yang cukup untuk menghapus rasa sakit yang menyelubungi Arkhan. Hanya ada keheningan yang terasa begitu berat, seperti menanggung beban dunia.

Hujan mulai turun di luar, menetes dengan pelan di jendela. Suara tetesan air itu terasa seperti sebuah irama kesedihan yang mengisi ruang kosong antara mereka. Arkhan menundukkan kepala, terlarut dalam penyesalan yang begitu dalam. Betapa dia merindukan masa-masa itu—masa-masa ketika semuanya tampak sempurna. Namun kenyataan, seperti hujan yang tak bisa dihentikan, terus menerus mengalir, tak peduli betapa kerasnya dia berusaha melawan.

Nadira menghela napas panjang, kemudian berdiri. “Aku tahu ini sulit, Arkhan. Tapi kamu harus bangkit. Kehidupan ini nggak akan menunggu kamu terus-terusan terpuruk. Kalau kamu nggak berusaha, nggak ada yang bisa kamu harapkan.”

“Terus terang, aku nggak yakin bisa,” kata Arkhan, suara pecah. “Aku udah capek, Nadira.”

Nadira menatapnya sejenak, lalu melangkah keluar dari pintu, meninggalkan Arkhan dengan segala kegalauan yang semakin menyesakkan. Suara langkahnya yang hilang ditelan hujan di luar, meninggalkan Arkhan dalam kesendirian yang semakin menghimpit.

Di dalam hening itu, Arkhan hanya bisa menatap amplop itu, yang tampak semakin kecil di matanya. Sesuatu di dalam dirinya terasa mati. Namun, di balik semua kehancuran itu, ada secercah perasaan yang muncul. Mungkin harapan itu masih ada, meskipun sangat kecil.

Hujan terus turun, dan Arkhan tahu, apapun yang terjadi, dunia tidak akan berhenti berputar.

 

Puing-Puing yang Tersisa

Keesokan harinya, Arkhan bangun dengan rasa lelah yang mendalam. Matanya berat, seolah-olah malam tidak pernah berakhir, dan setiap tetes air hujan yang mengalir di jendela malam sebelumnya seakan terus bergema di kepalanya. Di luar, kota masih berdenyut dengan kehidupan yang tampak normal—seperti tak ada yang berbeda. Seperti tak ada yang hilang, seperti tak ada yang hancur.

Namun baginya, dunia sudah tak sama lagi.

Dia berdiri di depan cermin besar di kamar tidurnya, menatap wajah yang tampaknya asing. Rambutnya kusut, pakaian tidur yang longgar mencerminkan betapa acaknya hidupnya. Dia bisa melihat garis-garis lelah di wajahnya, yang tak pernah ada sebelumnya. Hidungnya tercium aroma alkohol yang masih menempel, bekas dari malam panjang yang dia habiskan tanpa tujuan, hanya untuk mencoba mengusir sunyi yang melingkupi dirinya.

Arkhan mengalihkan pandangannya dari cermin, menarik napas panjang, dan berjalan menuju meja yang penuh dengan tumpukan dokumen—dokumen-dokumen yang seharusnya dia hadapi sejak lama, yang kini hanya menjadi simbol dari segala kegagalan yang dia tanggung.

Satu per satu surat, cek kosong, dan laporan utang menatapnya tanpa belas kasihan. Semua itu adalah hasil dari kebodohannya, keputusan-keputusan ceroboh yang dibuat tanpa pertimbangan. Dulu, dia pernah berpikir bahwa uang adalah segalanya, bahwa kekayaan adalah tanda keberhasilan, bahwa seiring dengan semakin besarnya angka di rekeningnya, dunia akan semakin terbuka dan semua orang akan menghormatinya. Tapi sekarang, dia sadar betapa sempitnya pandangannya. Uang tak akan bisa menggantikan apa yang hilang—kepercayaan diri, keluarga, bahkan rasa damai dalam hati.

Langkahnya menuju balkon yang menghadap ke jalan utama. Dia membuka pintu kaca, merasakan udara segar yang masuk, meski udara itu terasa terlalu dingin untuk menenangkan. Di kejauhan, mobil-mobil berlalu-lalang, orang-orang sibuk dengan kehidupan mereka sendiri. Semua berjalan, sementara dia tetap di sini, terjebak dalam ruangan kosong, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang.

Kedua tangan Arkhan bersandar pada pagar balkon, tatapannya kosong, kosong pada dunia yang berjalan terus tanpa peduli. Dia bisa mendengar detak jam yang berdentang pelan di dalam rumah, seolah menghitung waktu yang semakin habis.

Ponsel di meja berdering, mengalihkan pikirannya. Arkhan meraihnya dengan malas, menatap layar yang menunjukkan nama yang sudah tak asing lagi—Nadira.

Dia menekan tombol terima, menempelkan ponsel ke telinga.

“Halo?” suaranya serak, seolah-olah tak siap untuk berbicara.

“Nadira.” Nada suara Nadira di ujung sana terdengar cemas, namun penuh harapan. “Aku tahu kamu lagi sulit. Tapi kamu nggak bisa terus-terusan seperti ini, Arkhan. Kamu harus mulai mencari solusi.”

Arkhan tersenyum pahit mendengar kata-kata itu. “Solusi? Untuk apa, Nadira? Aku udah hampir kehabisan semua cara. Aku nggak tahu harus ke mana lagi. Bahkan untuk berdiri pun rasanya berat.”

“Jangan bilang begitu,” jawab Nadira, sedikit lebih keras. “Aku nggak akan biarin kamu jatuh begitu aja. Kamu masih punya banyak orang yang peduli padamu, termasuk aku.”

Peduli? Arkhan hampir tertawa jika pikirannya tidak begitu kacau. “Peduli? Mereka semua pergi begitu saja, Nadira. Teman-teman, kolega, bahkan keluargaku… semua meninggalkanku. Semua yang ada sekarang adalah tumpukan utang dan penghinaan.”

“Tapi kamu nggak sendiri, Arkhan.” Nadira suara lembut, namun penuh tekad. “Aku masih ada di sini. Aku akan bantu kamu, apapun itu. Kita bisa cari jalan keluar, bareng-bareng.”

Hening beberapa detik sebelum Arkhan berbicara lagi, kali ini lebih lemah. “Aku nggak tahu kalau masih ada jalan, Nadira. Aku merasa sudah terjebak.”

Nadira, yang selalu berusaha menjadi cahaya di tengah kegelapan, tak menyerah begitu saja. “Aku tahu itu berat, tapi coba deh pikirin lagi. Kamu nggak bisa terus terjebak dalam masa lalu. Kamu harus bangkit, Arkhan. Bukan hanya demi perusahaan atau utang yang harus dilunasin. Tapi demi dirimu sendiri.”

Arkhan terdiam lama, menatap keluar jendela, memikirkan kata-kata Nadira yang terasa menekan. Bangkit? Bagaimana bisa bangkit jika jalan yang harus ditempuh terasa sepi dan tak ada yang menunggu di ujung sana? Selama ini, dia hanya berlari mengikuti harapan-harapan kosong yang akhirnya kandas. Bahkan dirinya sendiri pun merasa hancur.

“Aku nggak tahu bagaimana caranya, Nadira,” jawabnya akhirnya, suara serak. “Aku udah terlalu lelah.”

“Arkhan,” Nadira menyahut lembut, namun penuh keyakinan. “Setiap orang punya titik terendah. Tapi itu bukan akhir dari semuanya. Jangan kamu biarkan semua kesalahan itu mengendalikan hidupmu. Kamu bisa mulai lagi. Kita bisa mulai dari awal.”

Ada keheningan sejenak di antara mereka, seolah kata-kata itu menggantung di udara. Arkhan bisa merasakan beban yang lebih ringan, meskipun hanya sedikit. Sebuah harapan yang sangat rapuh. Namun, mungkin itu cukup untuk membuatnya bertahan—untuk hari ini, paling tidak.

“Baiklah,” Arkhan akhirnya berkata, suaranya lebih tenang. “Aku nggak janji apa-apa, tapi… aku coba, Nadira.”

Nadira tersenyum di ujung telepon. “Itu sudah cukup, Arkhan. Itu sudah cukup.”

Arkhan menutup telepon dan kembali terdiam, menatap jalanan yang sibuk di bawah sana. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang sangat lama, ada sedikit ketenangan dalam dirinya. Mungkin dia memang masih kehilangan banyak hal. Namun, ada satu hal yang dia tahu pasti: dia masih hidup, dan untuk pertama kalinya, ada sedikit harapan di dalamnya.

Hujan mulai reda, dan langit cerah menyapa. Namun, Arkhan tahu bahwa perjalanan ini masih panjang. Langkah pertama baru saja dimulai.

 

Kembali Menyusun Potongan-Potongan yang Terlewat

Matahari mulai menghangatkan permukaan tanah, menyinari seluruh kota dengan cahaya cerah yang membangkitkan semangat. Namun, bagi Arkhan, hari itu tidak secerah yang terlihat di luar sana. Setelah percakapan dengan Nadira, rasanya ada secercah harapan yang muncul, meskipun sangat rapuh. Namun, ia tahu bahwa harapan itu harus dijaga dengan hati-hati, karena dunia di sekitarnya seakan terus menekan, menuntutnya untuk bergerak maju.

Arkhan melangkah keluar dari apartemennya, terengah sedikit. Hatinya masih berdebar, mengingat banyaknya beban yang belum selesai. Hari itu, ia berniat untuk melakukan sesuatu yang belum pernah ia coba sejak kehilangan segalanya: menghadapi kenyataan.

Langkah pertama adalah pertemuan dengan pengacara yang selama ini hanya menjadi suara di balik telepon. Dia tahu bahwa berbicara langsung lebih sulit, namun ia harus melakukannya. Menghadapinya. Sekali lagi.

Di ruang tunggu kantor pengacara yang steril, Arkhan duduk dengan canggung, menunggu giliran yang entah kapan datang. Pikirannya melayang ke masa lalu—hari-hari saat ia merasa tak terkalahkan, berlari dengan penuh ambisi untuk mendapatkan apa yang diinginkan. Tetapi, dengan setiap detik yang berlalu, semakin jelas bagi Arkhan bahwa ambisi itu tidak bisa menjamin kebahagiaan. Ambisi itu malah membuatnya jatuh lebih dalam, terjebak dalam ilusi yang ia buat sendiri.

“Arkhan Azhari?” suara seorang resepsionis membangunkan lamunannya.

Arkhan mengangguk, berdiri, dan mengikuti resepsionis menuju ruang pengacara yang terletak di ujung koridor. Ruangan itu terasa kaku, dinding-dinding yang tertutup rapat, meja-meja penuh dengan tumpukan kertas—semua simbol dari dunia yang dia coba hindari. Arkhan menarik napas, merasa sedikit tenggelam dengan atmosfer yang sangat formal itu.

Di meja besar yang didominasi warna coklat gelap, seorang pengacara paruh baya dengan jas rapi duduk menanti. “Selamat datang, Tuan Azhari. Silakan duduk.” Suaranya terdengar profesional, seolah tidak ada ruang untuk perasaan di sini.

Arkhan duduk tanpa berkata apa-apa, matanya menyelidik setiap sudut ruangan itu.

“Jadi,” pengacara itu memulai, membuka map yang ada di depannya. “Kita akan mulai dengan merinci utang-utang Anda yang perlu dilunasi dan bagaimana prosesnya.”

Arkhan mengangguk pelan. Dia sudah menyiapkan dirinya untuk ini, meskipun jantungnya berdetak lebih cepat daripada biasanya.

“Namun, ada satu hal yang perlu kita bahas terlebih dahulu,” lanjut pengacara itu sambil membuka sebuah dokumen besar. “Dari laporan yang saya terima, selain masalah utang bisnis, ada juga masalah pribadi Anda yang cukup serius. Saya rasa kita perlu menanganinya secara terpisah.”

Arkhan merasakan dadanya mulai sesak. Masalah pribadi? Apakah ini tentang kehidupannya yang hancur? Tentang perasaan kecewa yang telah lama menggerogoti jiwanya? Dia merasa dunia ini semakin sempit, semakin sulit untuk bernapas.

“Apa maksud Anda?” tanya Arkhan, berusaha menahan ketegangan yang mulai membuncah.

Pengacara itu menghela napas. “Ini tentang keluarga Anda. Terutama ayah Anda. Saya tahu ini bisa sangat berat untuk dibicarakan, tapi kami perlu tahu langkah terbaik untuk menyelesaikan semuanya, termasuk hubungan Anda dengan orang-orang terdekat.”

Arkhan terdiam. Kata-kata itu seperti racun yang langsung menyentuh titik terlemah dalam dirinya. Ayahnya. Keluarga yang dulu selalu menjadi pusat dari segala ambisi dan kesuksesannya. Namun sekarang, ia merasa begitu jauh dari mereka, seperti bayangan yang terpisah dalam kegelapan. Sejak peristiwa itu—kejadian yang mengubah segala-galanya—ia merasa tak layak untuk mendekati mereka.

Semuanya terasa begitu asing. Bagaimana bisa dia menyelesaikan utangnya, jika ia tak tahu lagi bagaimana caranya memperbaiki dirinya sendiri? Bagaimana bisa ia berdamai dengan dunia jika ia belum bisa berdamai dengan keluarganya?

“Baiklah, saya akan mempertimbangkan itu,” kata Arkhan dengan suara serak. “Tapi saya hanya ingin tahu, apa yang bisa saya lakukan untuk mengatasi semuanya ini?”

Pengacara itu mengangguk, menandakan bahwa Arkhan sudah siap untuk mendengarkan lebih banyak. “Kami akan melakukan segala yang kami bisa untuk membantu. Namun, Anda juga harus siap menghadapi kenyataan ini. Banyak yang harus Anda benahi, mulai dari utang hingga hubungan pribadi.”

Setelah pertemuan itu selesai, Arkhan keluar dari ruang pengacara dengan perasaan yang tak jauh berbeda dari sebelum masuk. Dunia di luar sana terasa begitu besar, dan dia hanya sebongkah manusia kecil yang terperangkap di dalamnya.

Dia berjalan pulang dengan langkah yang berat, setiap jejak yang ditinggalkannya di trotoar tampak seperti jejak dari seseorang yang sedang mencari sesuatu yang hilang, namun tidak tahu di mana mencarinya. Arkhan berhenti sejenak di depan sebuah kafe kecil yang dulu sering ia kunjungi bersama teman-temannya, yang sekarang entah ke mana. Ia berdiri di sana, menatap deretan meja kosong, merasakan kebisuan yang memeluknya.

Di dalam sana, suasana penuh dengan orang-orang yang berbicara, tertawa, menikmati hidup. Namun, semua itu terasa begitu jauh darinya. Dia merasa sendiri, meski dikelilingi oleh dunia yang terus bergerak.

Ketika akhirnya Arkhan melanjutkan langkahnya, dia menyadari satu hal. Hari-hari yang lalu takkan pernah kembali, dan itu adalah kenyataan yang harus diterima. Tetapi, di tengah semua kehancuran ini, ada satu hal yang masih bisa dia lakukan—berjalan maju. Meskipun dia tak tahu pasti ke mana arah langkahnya, mungkin itu adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.

Dia menghela napas dalam, merasakan hembusan angin yang menyapu wajahnya, seakan memberinya sedikit ketenangan, meski hanya sementara.

“Langkah demi langkah,” gumamnya pada dirinya sendiri, “aku akan berjalan.”

Dan meskipun jalan itu terjal dan penuh rintangan, untuk pertama kalinya, Arkhan merasa bahwa mungkin, hanya mungkin, ada sesuatu yang bisa diperbaiki—dengan usaha dan waktu.

 

Menghadapi Bayang-Bayang dan Mencari Cahaya

Malam itu, seperti malam-malam sebelumnya, Arkhan duduk di tepi jendela apartemennya yang gelap. Kota di bawah sana masih gemerlap, dengan cahaya yang memantul di permukaan jalan basah. Namun, ia merasa seperti berada di dalam ruang hampa, terjebak di antara bayang-bayang masa lalu dan harapan yang rapuh. Kembali ke tempat ini, kembali menghadapinya—semua yang sudah berlalu, semua yang telah hancur, terasa seperti sebuah lingkaran yang tak bisa terputuskan.

Tak ada lagi yang tersisa dari kekayaan yang pernah ia banggakan, tak ada lagi sorakan kemenangan yang dulu selalu mengiringinya. Semua itu kini hanya menjadi kenangan yang semakin memudar. Mungkin benar apa yang orang bilang: hidup itu penuh dengan liku, dan hanya mereka yang tahu cara bangkit yang bisa bertahan.

Namun, Arkhan tahu satu hal. Ia tak bisa terus-terusan terpuruk. Semua yang hilang tak bisa dikembalikan, dan itu adalah kenyataan yang harus diterima. Tapi ia juga tahu bahwa hidupnya tidak akan bisa berhenti hanya karena segalanya terasa kosong. Ada bagian dari dirinya yang masih ingin memperbaiki, memperbaiki diri dan apa pun yang bisa diperbaiki di sekitarnya.

Langkah pertama adalah menerima kenyataan. Bahwa ia telah kehilangan banyak hal, termasuk dirinya sendiri dalam prosesnya. Tapi sekarang, dalam kesendirian yang mencekam itu, Arkhan mulai menyadari bahwa meskipun kehilangan bisa terasa sangat menyakitkan, itu bukanlah akhir dari segalanya. Ia masih bisa berdiri, masih bisa bernafas, dan itu adalah hal yang berharga.

Beberapa hari setelah pertemuan dengan pengacara, Arkhan memutuskan untuk kembali mendatangi Nadira. Ada sesuatu yang mengusik hatinya, dan ia tahu bahwa ia harus kembali untuk mencari penutupan. Walaupun ia tak tahu apakah itu akan memberi jawaban yang diinginkannya, ia merasa bahwa pertemuan itu adalah langkah yang harus diambil.

Pada malam yang sama, mereka bertemu di sebuah taman yang sepi, tempat yang dulu sering mereka kunjungi setelah kuliah bersama-sama. Tempat yang penuh kenangan indah, namun juga penuh dengan perasaan yang tak terungkapkan.

Nadira sudah menunggu di bangku taman, dengan pandangan yang jauh, seolah menunggu sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata. Ketika Arkhan duduk di sampingnya, tak ada kata yang keluar. Mereka hanya duduk bersama dalam hening.

“Nadira,” Arkhan akhirnya memecah keheningan itu, suaranya serak, hampir seperti sebuah bisikan. “Aku… aku rasa aku sudah mengerti sekarang. Bahwa mungkin kita berdua tidak akan pernah bisa kembali seperti dulu. Tapi aku… aku ingin memperbaiki semuanya. Jika itu masih memungkinkan.”

Nadira menoleh padanya, tatapannya lembut, namun tak sepenuhnya bebas dari keraguan. “Arkhan,” katanya pelan, “kehilangan itu berat, aku tahu. Tapi apakah kamu sudah siap menerima kenyataan bahwa segalanya tak akan pernah sama lagi?”

Arkhan mengangguk, meskipun dalam hatinya ada rasa takut yang tak bisa ia sembunyikan. “Aku sudah siap. Mungkin tidak sepenuhnya, tapi aku ingin mencoba. Aku ingin berbuat lebih baik. Bukan hanya untuk aku, tapi juga untuk orang-orang yang ada di sekitarku. Termasuk kamu.”

Nadira terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. “Aku percaya kamu bisa, Arkhan. Tapi jangan berharap segalanya akan kembali seperti dulu. Kamu harus belajar untuk menerima dan melangkah maju.”

Arkhan menatapnya dalam-dalam. Ada sesuatu dalam diri Nadira yang membuatnya merasa sedikit tenang, meskipun perasaan itu bercampur dengan rasa takut akan masa depan yang tak pasti. “Aku tak tahu apa yang akan terjadi, Nadira. Tapi aku ingin mulai dari sini. Dengan apa yang masih ada.”

Nadira tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan pengertian. “Itu sudah cukup, Arkhan. Tidak ada yang sempurna, tapi kadang-kadang, yang kita butuhkan adalah keberanian untuk mulai dari awal, meskipun itu terasa berat.”

Mereka duduk berdua dalam diam, mendengarkan suara malam yang tenang. Bintang-bintang di langit terlihat begitu jelas malam itu, seolah mengingatkan Arkhan bahwa di dunia ini masih ada keindahan yang bisa ditemukan, meskipun segalanya telah berubah.

Hari-hari mendatang tidak akan mudah. Arkhan tahu itu. Ada banyak yang harus diperbaiki, baik dalam dirinya maupun dalam hubungannya dengan orang-orang di sekitarnya. Tapi di satu sisi, ia merasa sedikit lebih ringan, seperti beban di pundaknya sedikit berkurang.

Mungkin hidupnya tak seindah dulu lagi, tapi mungkin itu adalah awal dari sesuatu yang baru—sesuatu yang mungkin tak sempurna, namun cukup berarti untuk dijalani.

Dengan langkah yang lebih mantap, Arkhan meninggalkan taman itu, menuju ke arah yang tak ia tahu pasti. Tapi kali ini, ia tahu bahwa meskipun langkah itu berat, ia tak lagi sendirian. Dan itulah yang membuatnya merasa sedikit lebih tenang.

“Langkah demi langkah,” bisiknya dalam hati. “Aku akan berjalan.”

 

Kadang, hidup nggak bisa diprediksi. Kita mungkin kehilangan segalanya, tapi siapa bilang itu berarti akhir dari segalanya? Mungkin, hanya dengan melewati kegelapan kita bisa menemukan secercah cahaya yang baru.

Semua yang hilang nggak bakal bisa kembali, tapi itu nggak berarti kita nggak bisa memulai sesuatu yang baru. Mungkin perjalanan ini baru saja dimulai, dan siapa tahu, mungkin ada harapan baru yang menunggu di depan sana. Yang pasti, kita harus tetap berjalan, meskipun langkah terasa berat.

Leave a Reply