Daftar Isi
Kadang hidup emang gak pernah sesuai ekspektasi, ya. Apalagi pas kamu harus ngelewatin hari-hari tanpa orang yang paling penting dalam hidup kamu, kayak ibu. Rasanya tuh hampa, kosong, dan kayak dunia nggak punya warna lagi.
Tapi, tau gak sih, di tengah segala kesedihan itu, kamu bakal nemuin kekuatan yang nggak pernah kamu duga sebelumnya. Ini bukan cerita tentang nyembuhin luka dalam semalam, tapi tentang gimana kamu belajar bangkit lagi setelah semuanya berantakan. Kalau kamu lagi ngerasa kehilangan atau sendirian, mungkin cerita ini bisa kasih kamu sedikit harapan.
Hidup Tanpa Ibu
Bayang yang Hilang
Eshan duduk di sudut kamar dengan mata yang kosong, menatap dinding yang sudah memudar warnanya. Di atas meja, ada sebuah foto tua yang berdebu. Itu adalah satu-satunya hal yang tersisa dari ibu, Nayla. Sekarang, kamar ini terasa begitu luas, lebih besar dari sebelumnya. Dulu, di sini ada tawa, ada percakapan hangat, ada suara langkah kaki yang ringan, dan aroma masakan yang selalu membuatnya merasa aman. Tapi sekarang, hanya ada keheningan yang menekan.
“Kenapa kamu pergi, Ma?” bisiknya dengan suara yang hampir tak terdengar, seperti sebuah doa yang tak pernah terjawab.
Di luar jendela, hujan mulai turun. Suara rintiknya mengingatkannya pada masa-masa ketika ia masih kecil. Ibunya selalu mengajaknya duduk di dekat jendela saat hujan datang, bercerita tentang segala hal—tentang masa depan, tentang kehidupan, tentang mimpi. Eshan mengingat betapa hangatnya pelukan ibu, betapa lembutnya tangan ibu yang mengusap kepalanya saat ia merasa takut. Tapi semua itu sekarang hanya bayangan samar yang terus menghilang dalam ingatannya.
“Aku rindu, Ma,” ucapnya lagi, suaranya pecah. Kali ini, air mata mulai mengalir, menetes di pipinya, membasahi foto yang masih digenggamnya. Ia tidak pernah benar-benar mengerti mengapa kehidupan bisa begitu kejam. Kenapa ia harus kehilangan sosok yang selalu ada untuknya?
Tangan Eshan gemetar saat menatap foto itu. Ibunya tampak begitu muda dan cantik, dengan senyum yang memancarkan kedamaian. Ia ingat ketika itu, saat ia masih berusia 10 tahun, ia bertanya kepada ibunya tentang hidup dan cinta. Nayla dengan lembut menjelaskan bahwa cinta adalah sesuatu yang tak bisa dilihat dengan mata, tapi bisa dirasakan di dalam hati. “Kamu harus selalu merasa dicintai, Eshan. Bahkan ketika aku sudah tidak ada.”
“Tapi aku butuh Mama.”
Eshan berdiri dan berjalan ke jendela, menatap hujan yang terus turun, seolah membasuh segala penyesalan yang menggerogoti dadanya. Ia tak bisa melupakan hari terakhir itu. Semua terjadi begitu cepat. Ia ingat betul bagaimana ia terbangun pagi itu dengan bau kopi yang harum dari dapur. Ibunya sedang menyiapkan sarapan, tersenyum padanya dengan ceria. Tak ada yang tahu bahwa itu adalah senyum terakhir yang akan ia lihat.
Eshan ingat betul bagaimana suara sirene menggema di pagi yang seharusnya cerah. Ia mendengar ibunya terjatuh di dapur, lalu ia berlari, hampir tak bisa bernapas. Namun semuanya terlambat. Dokter berkata serangan jantungnya sudah terlalu parah untuk diselamatkan. Ia tak bisa berbuat apa-apa selain melihat ibunya tergeletak tak bernyawa.
“Seharusnya aku tahu, Ma…” gumamnya, menatap bayangan ibu di foto yang mulai buram oleh air matanya. “Seharusnya aku lebih perhatian. Seharusnya aku lebih peduli…”
Kata-kata itu terus berputar-putar di kepalanya, menghancurkan segala harapan dan kebahagiaan yang dulu ada. Eshan tidak tahu bagaimana melanjutkan hidup tanpa ibunya. Ia merasa seperti berjalan di dunia yang kosong, tanpa arah, tanpa tujuan. Setiap pagi terasa seperti beban, setiap malam seperti hukuman. Dunia luar tak berubah, tetapi hatinya tetap gelap.
Ketika langit mulai gelap, Eshan duduk kembali di ranjangnya. Tangannya menyentuh meja yang penuh dengan barang-barang yang kini terasa tak berarti. Ada banyak hal yang dulu ia anggap penting—mainan dari masa kecil, buku-buku yang tak pernah dibaca lagi, hadiah ulang tahun yang tak pernah ia buka. Semuanya terasa hampa, seperti kenangan yang memudar bersama waktu.
“Aku rindu Mama… kenapa Mama nggak bisa tetap di sini?” ucapnya lagi, suaranya hampir tenggelam dalam isak tangis yang tidak bisa dibendung.
Di tengah keheningan malam itu, Eshan teringat pada sesuatu. Sesuatu yang ibunya selalu katakan padanya saat ia merasa tak bersemangat. “Jangan takut, Eshan. Dunia ini penuh dengan kemungkinan. Jangan biarkan kesedihanmu menghalangi jalanmu.”
Eshan menarik napas panjang, menenangkan dirinya. “Aku nggak tahu apa yang harus aku lakukan, Ma. Aku cuma nggak bisa hidup tanpa Mama.”
Di luar jendela, hujan semakin deras, tetapi hatinya terasa semakin beku. Bayang ibu yang selalu ada di dekatnya kini hanya tinggal kenangan. Dan untuk pertama kalinya dalam hidupnya, Eshan merasa tak ada lagi yang bisa mengisi kekosongan itu.
Langit Kelabu di Dalam Dada
Pagi hari datang tanpa perubahan berarti. Hujan berhenti, namun langit tetap kelabu, seolah menandakan bahwa dunia masih terperangkap dalam kepedihan Eshan. Begitu membuka mata, ia hanya merasakan berat yang menjalar di seluruh tubuhnya. Seolah seluruh dunia ingin menekannya ke dalam tanah, dan ia tak punya cukup kekuatan untuk melawan. Ia berbaring di tempat tidur untuk beberapa saat, memandangi langit melalui jendela yang setengah terbuka. Suara angin yang berhembus lemah terdengar seperti bisikan yang jauh, begitu sunyi.
Eshan berusaha untuk bangun, namun tangannya terasa begitu kaku, seolah semua energi dalam tubuhnya sudah terkuras habis. Ada sesuatu yang mengikatnya di tempat tidur, sesuatu yang lebih kuat daripada fisiknya sendiri—rasa kehilangan yang terus menggerogotinya. Ia tak tahu lagi kapan ia bisa merasakan kehidupan seperti dulu. Saat-saat penuh tawa, canda, dan harapan. Sekarang semuanya hanya tinggal bayang, serupa lukisan kusam di dalam kepala.
“Apa yang harus aku lakukan, Ma?” tanyanya dalam hati, suara itu terhenti di ujung tenggorokan, tenggelam dalam kesunyian.
Ia berjalan menuju dapur, dengan langkah berat. Meja makan yang dulu selalu dipenuhi piring-piring yang berisi hidangan yang dimasak oleh ibunya, sekarang kosong. Suasana sepi. Dapur itu, yang dulu penuh dengan aroma masakan, kini terasa hanya sebagai ruang kosong. Eshan mengusap meja dengan tangan kanannya, seolah mencari sesuatu yang hilang—sebuah jejak, sebuah tanda bahwa ibunya pernah ada.
“Aku harus tetap bertahan,” gumamnya pelan. “Aku harus tetap bertahan, kan?”
Namun, ketika matanya menangkap satu barang di sudut meja—sebuah gelas kristal milik ibunya—sebuah lonjakan emosi tiba-tiba saja menghantamnya. Eshan memandangnya sejenak, merasa tenggelam dalam kesendirian yang menyesakkan. Gelas itu masih memancarkan kilau yang sama, seperti dulu. Seolah ibu sedang duduk di sini, menatapnya dengan senyum yang hangat. Tapi kenyataan itu seperti pisau yang menorehkan hatinya dengan tajam. “Mama…”
Air mata kembali mengalir. Eshan tidak bisa menahan perasaan itu. Tidak bisa menahan kerinduan yang semakin mendalam. Ia tahu ia harus kuat, harus melanjutkan hidup, tetapi setiap hari terasa seperti pergulatan tanpa akhir. Dunia bergerak maju, sementara ia tetap terjebak dalam masa lalu yang tak bisa ia ubah.
Ketika duduk di meja makan itu, pikirannya melayang jauh. Ia teringat hari-hari terakhir bersama ibunya, saat mereka berdua menikmati waktu senggang. Mereka pergi ke pasar, membeli bahan-bahan untuk masakan khas keluarga mereka, lalu pulang dan memasak bersama. “Mama selalu bilang, hidup itu seperti resep. Ada bahan-bahan yang saling melengkapi.” Eshan ingat bagaimana ibunya selalu tersenyum dan berkata bahwa segala hal di dunia ini ada untuk memberi rasa, meski terkadang rasa itu pahit.
Tapi hari itu, ia hanya merasakan pahit yang tak ada habisnya. “Kenapa semuanya harus hilang begitu saja?” Eshan bertanya pada dirinya sendiri, namun jawabannya selalu kosong.
Hari-hari berlalu dengan lamban. Eshan mulai berusaha keluar dari rumah, meskipun setiap langkah terasa berat. Teman-teman sekolahnya tidak tahu apa yang terjadi padanya. Mereka hanya melihat seorang Eshan yang lebih pendiam, lebih tertutup. Mereka mencoba berbicara padanya, menawarkan dukungan, tetapi Eshan hanya mengangguk atau memberi senyum tipis. Mereka tidak tahu betapa sunyinya hatinya.
“Hey, Eshan!” Suara panggilan dari belakang mengejutkannya. Eshan menoleh dan melihat seorang teman sekelasnya, Reyna, berdiri di sana dengan raut wajah penuh perhatian.
“Kamu nggak apa-apa? Aku lihat kamu sering nggak masuk kelas belakangan ini,” Reyna melanjutkan, mencoba membuka percakapan.
Eshan menatapnya sejenak. Reyna adalah teman sekelasnya yang baik hati, tetapi Eshan merasa begitu jauh darinya. “Aku… aku cuma butuh waktu,” jawabnya pelan.
Reyna tidak langsung menjawab, tetapi ia mengangguk perlahan. “Kalau kamu butuh apa-apa, aku ada kok. Jangan ragu untuk bilang, oke?”
Eshan hanya mengangguk, merasa sedikit terharu mendengar kata-kata itu. Namun, perasaan itu hanya sementara. Saat Reyna berlalu, ia kembali merasa hampa. Dukungan teman-teman sekitarnya tak mampu mengisi ruang kosong yang ia rasakan. Ia tahu mereka peduli, tapi tidak ada yang bisa menggantikan ibunya. Tidak ada yang bisa membuatnya merasa utuh lagi.
Sore itu, setelah pulang dari sekolah, Eshan kembali duduk di sudut kamarnya. Gelap mulai turun, dan angin malam kembali menyapu rumah. Di luar, suara daun yang bergesekan dengan angin membuat Eshan teringat pada waktu-waktu tenang yang ia habiskan bersama ibunya. Mereka sering duduk bersama di teras, berbincang ringan tentang apapun, dan Eshan merasa dunia ini lebih indah saat ibunya ada.
“Aku benar-benar nggak bisa hidup tanpa Mama…” bisiknya dengan suara penuh sesak.
Tetapi, seiring dengan keheningan malam itu, Eshan merasa ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya—sebuah kekuatan kecil, seperti benih yang baru ditanam. Ia tahu, ibunya tidak akan ingin ia terus terpuruk dalam kesedihan. “Aku akan terus berjalan, Ma. Aku janji,” ucapnya dalam hati.
Namun, perjalanan itu terasa begitu berat, dan langit kelabu di dalam dadanya masih terasa begitu nyata.
Jejak yang Tertinggal
Minggu-minggu berlalu dengan lamban, seakan waktu bergerak sangat pelan, menyiksa Eshan setiap detiknya. Meskipun ia sudah mencoba kembali ke rutinitas, mencoba berbicara lebih banyak dengan teman-temannya, mencoba untuk tersenyum lebih sering, namun hatinya tetap kosong. Setiap langkah yang ia ambil terasa seperti berjalan di tengah kabut tebal—ia tidak tahu arah, tidak tahu tujuan. Hanya ada bayang-bayang ibu yang terus mengikutinya.
Pagi itu, langit cerah, tapi Eshan merasa seperti ada sebuah awan gelap yang terus mengikuti dirinya ke mana pun ia pergi. Di sekolah, di kelas, di kantin, ia merasa seperti semua orang bisa melihat kesedihannya, melihat bagaimana hidupnya telah berubah. Tak ada yang benar-benar tahu, tak ada yang benar-benar memahami.
“Eshan, kamu pasti udah mendingan, kan?” Reyna tiba-tiba muncul di depannya, senyum kecil terukir di wajahnya, tapi Eshan bisa melihat ada keprihatinan di matanya.
“Iya, aku baik-baik saja,” jawab Eshan dengan suara yang terdengar lebih datar daripada yang ia inginkan. Ia mencoba menunjukkan senyum, tetapi rasanya itu palsu.
Reyna mengangguk, meskipun ia tahu ada sesuatu yang disembunyikan. “Kalau kamu butuh teman, aku ada kok.”
Eshan hanya mengangguk, lalu memalingkan wajahnya ke luar jendela. Ia tidak tahu harus bagaimana. Meskipun ada teman-teman yang peduli padanya, ada saat-saat ketika rasa kesepian itu datang begitu mendalam, menenggelamkan dirinya dalam kesendirian yang tak terucapkan. “Aku cuma butuh waktu,” bisiknya dalam hati, berharap waktu akan menyembuhkan luka itu. Tapi ia tahu, beberapa luka tak akan pernah sembuh sepenuhnya.
Sesampainya di rumah, Eshan kembali terjatuh dalam keheningan. Ia duduk di ruang tamu yang luas, menatap kosong ke arah foto-foto keluarga yang tergantung di dinding. Di sana, ibunya masih tersenyum, dengan mata yang penuh harapan dan kasih sayang. Mata Eshan mulai terasa berat, dan ia kembali teringat pada hari-hari ketika mereka sering bersama.
Ia bangkit, berjalan ke ruang ibu. Tak ada yang berubah di sana. Buku-buku di rak masih tersusun rapi, catatan kecil ibu yang penuh dengan tulisan tangan masih ada di meja. Tapi kini, semua itu terasa seperti barang-barang milik orang asing. “Kenapa aku harus hidup tanpa kamu, Ma?” bisiknya sambil memandang sebuah buku catatan ibu yang sudah lama tidak ia sentuh.
Tangan Eshan gemetar saat membuka halaman-halaman buku itu. Di salah satu halaman, ia menemukan tulisan ibunya yang selalu ia ingat—”Kehidupan ini tidak selalu adil, Eshan. Terkadang, kita harus belajar merelakan dan melepaskan, meski itu terasa sangat berat.”
Tulisan itu membuat dadanya terasa sesak. “Aku nggak bisa merelakan, Mama,” ucapnya dengan suara pecah. “Aku nggak tahu bagaimana caranya.”
Eshan meletakkan buku itu kembali ke meja dan berjalan ke luar rumah. Malam sudah turun, dan udara malam terasa lebih dingin dari biasanya. Di luar, jalanan sunyi, hanya ada suara angin yang berhembus dan sesekali deru mobil yang melintas. Eshan berjalan tanpa tujuan, hanya mengikuti langkah kakinya yang membawa dirinya ke tempat yang ia tidak tahu.
Ia berhenti di sebuah taman kecil yang terletak tidak jauh dari rumahnya. Tempat ini dulu sering mereka kunjungi bersama ibu. Di sini, mereka duduk di bangku taman, berbincang tentang banyak hal, tentang masa depan, tentang harapan. Di tempat inilah, ibu selalu mengingatkan Eshan untuk tetap berusaha, untuk tidak menyerah pada kesulitan yang datang.
“Ma, aku janji… aku akan berusaha,” bisiknya sambil duduk di bangku yang sama. Rasanya, segala beban yang ia rasa begitu berat, sedikit terangkat saat ia duduk di sini, di tempat yang penuh kenangan.
Namun, seiring berjalannya waktu, Eshan mulai merasakan kehadiran sesuatu yang berbeda. Sebuah bisikan lembut, seolah suara ibu mengalun pelan di telinganya, “Jangan menyerah, Eshan. Kamu lebih kuat dari yang kamu kira.”
Tiba-tiba, sebuah perasaan aneh datang menghampirinya. Ia tidak tahu bagaimana menjelaskannya, tapi rasanya seperti ada sesuatu yang menuntunnya. Sesuatu yang memberinya sedikit harapan di tengah kegelapan yang ia rasakan. Eshan merasakan sebuah dorongan untuk bangkit, untuk kembali mencari tujuannya, meski itu terasa sangat sulit.
“Aku harus melanjutkan hidup, Ma,” ucapnya perlahan, suaranya lebih pasti daripada sebelumnya. “Aku akan coba. Aku nggak bisa terus begini.”
Ia berdiri dari bangku taman itu dan memandang langit malam yang penuh dengan bintang. Mungkin, Eshan belum sepenuhnya siap untuk melupakan, tapi untuk pertama kalinya setelah sekian lama, ia merasa sedikit lebih ringan. Seolah-olah ibu, meskipun tidak lagi ada di dunia ini, tetap akan ada di setiap langkahnya, di setiap keputusan yang ia ambil.
Dengan langkah yang lebih pasti, Eshan berjalan pulang. Ia tahu bahwa perjalanan ini masih panjang, dan masih banyak yang harus ia hadapi. Namun, untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, ia merasa sedikit lebih siap. Karena, meskipun ibu tak lagi ada di sampingnya, Eshan mulai percaya bahwa ia tidak sendirian.
Cahaya dalam Kegelapan
Eshan bangun pagi itu dengan perasaan yang berbeda. Dunia di sekelilingnya tampak lebih jelas, lebih nyata, meski langit masih terlihat kelabu. Ia tidak tahu apa yang telah berubah, tetapi ada rasa tenang yang datang menggantikan ketidakpastian yang selama ini membebani dirinya. Ia tidak lagi merasa terperangkap dalam kesedihan yang menghantui setiap langkahnya, meskipun bayangan ibu tetap ada, menuntun langkahnya dengan cara yang tak kasat mata.
Kehidupan seolah memberikan sedikit kesempatan untuknya bernafas. Tugas-tugas sekolah yang semula terasa begitu berat kini bisa diselesaikan dengan lebih mudah. Ia mulai berbicara lebih banyak dengan teman-temannya, bahkan tersenyum lebih sering. Namun, yang paling signifikan adalah perubahan dalam dirinya—ia mulai membuka diri. Bukan hanya untuk dunia luar, tetapi juga untuk dirinya sendiri.
Pagi itu, Reyna menemui Eshan di kantin. Mereka duduk bersama di meja seperti biasa, namun kali ini suasana terasa lebih ringan.
“Eshan, aku senang lihat kamu lebih ceria,” kata Reyna sambil menyendokkan makanan ke mulutnya.
“Iya, aku juga merasa lebih baik,” jawab Eshan, suara barunya terasa lebih yakin.
Reyna memandangnya dengan tatapan penuh arti, seakan bisa membaca perasaan yang tak terucapkan. “Aku tahu kamu masih merindukannya. Tapi, kamu tahu kan, hidup harus terus berjalan?”
Eshan menatap meja, sedikit terdiam. Rasa rindu itu masih ada, tetap ada di dalam hatinya. Tapi sekarang, ia tidak lagi merasa seperti terperangkap dalam kesedihan itu. “Aku tahu. Aku hanya butuh waktu untuk menerima,” jawabnya pelan.
Tidak lama setelah itu, Eshan merasakan panggilan dari dalam hatinya untuk menuju ke taman kecil yang sudah lama tidak ia kunjungi. Taman yang penuh dengan kenangan. Sejak pertama kali ia ke sana setelah ibu pergi, Eshan merasa ada suatu ikatan yang tak terputuskan di tempat itu—seolah tempat itu menjadi tempatnya berbicara dengan ibu dalam diam.
Ia berjalan melintasi jalan setapak menuju taman, kali ini dengan langkah yang lebih mantap. Rasanya, dunia di sekelilingnya tidak lagi begitu berat. Ia tahu, meskipun ibunya sudah tiada, setiap kenangan yang tertinggal, setiap ajaran yang ia terima, akan tetap ada di dalam dirinya. Dan itu memberi kekuatan.
Di taman, Eshan duduk di bangku yang dulu sering mereka duduki bersama. Angin pagi yang sejuk menyapu wajahnya, dan seketika ia merasa dekat dengan ibu. Ia bisa membayangkan ibu duduk di sampingnya, tersenyum dengan lembut, memberikan kata-kata yang menenangkan.
“Ma, aku nggak tahu harus bagaimana tanpa Mama dulu. Tapi sekarang aku mulai paham,” ucap Eshan dengan suara yang penuh keyakinan. “Aku nggak bisa hidup terus menerus terpuruk. Aku harus berdiri sendiri.”
Tangan Eshan terulur ke arah tempat yang dulu pernah dijadikan tempat berbagi cerita dengan ibu. Di tempat ini, ia merasa kehadiran ibu ada di setiap sudut. Bukan dalam bentuk fisik, tetapi dalam bentuk kenangan dan kasih sayang yang abadi.
Dan dengan itu, sebuah ketenangan datang menghampiri. Eshan merasa seperti ada cahaya kecil yang mulai menyinari hatinya yang dulu begitu gelap. Ia tahu, hidup tanpa ibu memang tidak mudah, tetapi ia juga tahu bahwa hidup ini harus terus berjalan. Ibu mungkin telah pergi, tapi cintanya akan selalu ada, dan itu yang membuat Eshan bisa terus melangkah.
Hari-hari selanjutnya berjalan dengan lebih ringan. Eshan mulai kembali merencanakan masa depannya, meskipun ia tahu jalan yang akan ia tempuh tidak selalu mudah. Namun, dengan kekuatan yang diperolehnya dari kenangan bersama ibu, ia merasa siap menghadapi segala tantangan yang ada.
Saat senja tiba, Eshan berdiri di tepi jendela, menatap langit yang mulai gelap. Sebuah bintang terlihat begitu terang di langit, dan Eshan tersenyum, seolah bintang itu adalah ibu yang sedang menuntunnya, meskipun dari kejauhan.
“Aku akan baik-baik saja, Ma. Terima kasih sudah mengajarkan aku bagaimana mencintai hidup.”
Dengan senyuman kecil di bibirnya, Eshan menyadari bahwa meskipun kehilangan itu selalu menyakitkan, ada kekuatan yang lahir dari rasa kehilangan. Dan itu adalah cahaya yang akan selalu menerangi kegelapan.
Jadi, meskipun hidup kadang ngebawa kita ke tempat yang gelap, dan kehilangan itu sakit banget, kita harus inget kalau masih ada harapan. Semua kenangan dan cinta yang kita dapet dari orang yang udah pergi, itu tetap hidup dalam diri kita.
Mungkin nggak langsung bikin semuanya baik-baik aja, tapi lama-lama, kita bakal nemuin cara buat terus jalan dan bangkit. Jadi, kalau kamu lagi ngerasa terpuruk, ingat aja, kekuatan itu ada di dalam diri kamu, dan kamu gak pernah bener-bener sendirian.