Daftar Isi
Kehidupan nggak selalu berjalan sesuai rencana, kan? Dulu, semua terasa begitu sempurna—tapi sekarang? Semua udah berubah, bahkan mungkin kamu sendiri merasa nggak tahu lagi siapa dirimu.
Tapi, hey, kadang kita memang perlu waktu untuk bener-bener ngelepasin masa lalu dan belajar terima kenyataan. Yuk, ikutin perjalanan seorang perempuan yang berusaha bangkit lagi setelah kehilangan, dan coba cari tahu gimana cara menemukan kembali semangat hidup, meski rasanya semuanya udah nggak sama lagi.
Hidup Tak Seindah Dulu
Bayangan yang Pudar
Pagi itu, langit terlihat mendung, seakan menggambarkan perasaan yang menguasai hati Arza. Ia terbangun dari tidur yang lelap, namun matanya terasa berat, seakan dunia ini terlalu gelap untuk dibuka. Suara jam dinding yang berdetak pelan mengisi ruang kamarnya, tapi di luar sana, suara burung yang dulu biasa terdengar ceria tak lagi menyapa. Semua terasa sunyi. Hanya ada perasaan hampa yang mengisi setiap sudutnya.
Arza menatap langit-langit kamar yang samar-samar. Dulu, Ibu selalu membangunkannya dengan senyuman cerah dan sapaan lembut, menyambut hari baru dengan semangat. Ibu, yang selalu mengingatkan agar jangan melewatkan satu detik pun dengan sia-sia, karena waktu begitu berharga. Tapi itu semua kini hanya sebuah kenangan. Ibu telah pergi, meninggalkan lubang besar di dalam hatinya yang tak akan bisa diisi oleh apapun.
Dengan malas, Arza menggerakkan tubuhnya ke tepi tempat tidur, menghela napas panjang. Kakinya terasa berat saat menapak ke lantai yang dingin. Ia melangkah pelan ke arah jendela, menarik tirai yang sudah mulai berdebu. Matahari masih tersembunyi di balik awan, dan jalanan di luar tampak sepi, tak ada tanda-tanda kehidupan. Tidak ada tawa, tidak ada langkah-langkah kaki yang terburu-buru mengejar waktu.
Dia melangkah ke kamar mandi, wajahnya yang pucat terlihat semakin jelas di cermin. Tubuhnya tak lagi penuh energi, seperti seseorang yang tak pernah beristirahat dengan cukup, padahal kenyataannya, Arza selalu tidur cukup. Semuanya terasa menyesakkan.
Kembali ke kamar, Arza melangkah menuju meja belajarnya yang penuh dengan buku-buku yang tak pernah dibaca lagi. Di atas meja itu ada sebuah foto kecil, foto dirinya bersama Ibu dan adiknya, Kinan. Mereka tersenyum lebar, tampak bahagia, dan hidup terasa penuh harapan pada waktu itu. Tapi sekarang, semuanya terasa begitu jauh.
Ibu sudah tidak ada lagi. Kinan juga, setelah kecelakaan itu. Arza merasakan seperti ada yang hancur dalam dirinya setiap kali memikirkan hal itu. Bahkan, suara tawa adiknya yang ceria, yang sering kali mengisi rumah mereka, kini hilang entah kemana. Kinan tak bisa lagi bermain layang-layang bersamanya, tak bisa lagi berbagi cerita ringan setelah sekolah. Semua itu terhenti dalam sekejap.
“Arza, makan pagi dulu,” terdengar suara ayah dari luar kamar.
Arza menoleh ke pintu. Ayahnya, yang biasanya sudah bersemangat saat pagi datang, sekarang hanya terdengar lelah. Dunia mereka seakan terbalik. Dulu, ayahnya selalu berusaha membuat semua hal jadi lebih baik, memotivasi Arza dengan kata-kata penuh semangat. Tapi sekarang, mereka hanya saling berbagi keheningan. Tanpa kata-kata yang menguatkan, tanpa tawa yang dulu ada.
Dengan langkah pelan, Arza berjalan keluar dari kamar, memasuki ruang makan yang sepi. Hanya ada ayah di meja makan, matanya kosong, memandangi foto keluarga mereka yang terletak di ujung meja. Ia duduk tanpa berkata apa-apa, dan ayahnya pun tidak menatapnya. Hanya ada kesunyian yang menguasai ruangan itu.
“Ayah…” Arza memulai, suaranya pelan dan serak. “Kenapa semuanya terasa begitu berbeda?”
Ayahnya mengangkat wajahnya perlahan, matanya sedikit sembab, mungkin juga terjaga oleh kenyataan yang begitu pahit. Tapi tak ada jawaban. Hanya ada isyarat lemah dari bibirnya yang tampak sulit untuk digerakkan. Seolah kata-kata itu sudah tidak memiliki makna lagi.
“Tidak tahu,” jawab ayah akhirnya, suaranya rendah, seakan-akan ia sendiri tidak tahu lagi bagaimana harus menjelaskan perasaan yang sesungguhnya.
Arza merasa sesak. Ia ingin berteriak, ingin mengungkapkan semua perasaan yang terpendam, tapi suaranya terasa hilang. Sebelum Ibu pergi, ia selalu mendengarkan keluh kesah Arza. Mereka selalu berbicara panjang lebar, bahkan hanya tentang hal-hal kecil yang tidak penting. Sekarang, itu semua tinggal kenangan yang tak bisa diraih lagi.
Di luar jendela, langit tampak semakin gelap. Hujan mulai turun dengan deras, seakan menambah kesan suram dalam hari itu. Arza menatap hujan yang jatuh di luar, menatap setiap tetes yang terhempas ke kaca jendela, dan merasa begitu kosong. Hidupnya terasa hampa. Tidak ada lagi tawa, tidak ada lagi semangat. Semuanya seakan hilang begitu saja.
Setelah selesai makan, Arza pergi ke luar rumah. Ia ingin berjalan-jalan, mencari sesuatu yang bisa mengalihkan pikirannya. Langkahnya terasa berat, meskipun ia berjalan di jalan yang biasa. Langkah-langkah kaki itu terasa sunyi, seperti dunia ini sedang mengabaikan keberadaannya.
Saat sampai di taman kecil yang ada di dekat rumahnya, Arza duduk di bangku yang sering ia datangi bersama Kinan dulu. Mereka sering berbicara tentang banyak hal di sini, menghabiskan waktu di sore hari, menatap langit, berbicara tentang mimpi-mimpi yang belum terwujud. Namun sekarang, taman itu terasa begitu sepi. Hanya ada suara angin yang berhembus pelan, menggoyangkan daun-daun pohon yang mulai berguguran.
Arza menundukkan kepala, menahan air mata yang hampir jatuh. Ia memandang ke arah seorang anak kecil yang sedang bermain layang-layang sendirian. Tangan Arza gemetar saat melihat layang-layang itu terbang tinggi, mengarah ke langit yang kelabu. Sesaat, ia teringat akan Kinan yang dulu sangat suka bermain layang-layang. Itu adalah kenangan yang tak bisa diulang lagi.
“Hidup tak pernah sesederhana itu,” bisik Arza, suaranya tertelan angin. “Tak seindah dulu.”
Tapi, di tengah perasaan itu, sebuah pertanyaan muncul. Apakah hidup ini memang benar-benar berakhir di sini? Apakah memang tak ada jalan keluar dari semua rasa sakit ini? Ataukah mungkin, masih ada harapan, meski sangat kecil, yang bisa membawa Arza keluar dari kegelapan ini?
Langkah dalam Kesepian
Arza tak tahu harus kemana setelah duduk di taman itu. Setiap langkah yang ia ambil terasa berat, seperti ada beban yang menghimpit dadanya. Jalan-jalan yang dulu begitu akrab, kini terasa asing. Semua tempat yang dulu penuh dengan kenangan indah, entah itu saat bersama Ibu atau Kinan, kini seakan berubah menjadi ruang kosong yang tak bisa ia masuki lagi. Langit yang mendung tak membantu, hanya memperburuk suasana hati yang sudah suram.
Hari itu, ia kembali ke rumah. Ayah masih ada di sana, duduk di ruang tamu dengan buku di tangan, tetapi sepertinya pikirannya jauh. Arza bisa melihat itu, ada kekosongan yang sama di mata ayahnya. Mereka hidup di dalam rumah yang penuh kenangan, tetapi tak ada lagi suara yang mengisi keheningan itu. Tidak ada lagi tawa Kinan yang riang, tidak ada lagi kehangatan dari Ibu yang dulu selalu menyapanya dengan lembut.
Tiba-tiba, telepon di meja berdetak. Arza menoleh ke arah suara itu, matanya menatap ponsel yang tergeletak di atas meja. Sebuah pesan masuk. Dengan enggan, ia mengambilnya. Itu dari sahabat lama, Dina.
“Arza, kapan kita bisa ketemu? Aku khawatir sama kamu.”
Arza menghela napas. Dina, sahabat yang selama ini selalu ada di sampingnya. Namun, meskipun Dina mencoba untuk menjadi teman yang baik, Arza tak bisa merasakan kenyamanan yang sama. Selama ini, ia merasa sendiri, seperti ada tembok yang menghalangi dirinya untuk benar-benar membuka diri kepada siapapun.
Ia menulis balasan singkat.
“Aku baik-baik saja. Mungkin lain kali.”
Setelah mengirim pesan itu, Arza meletakkan ponselnya kembali, merasa kosong. Terkadang, dia merasa seperti hidup di dunia yang berbeda dari orang lain. Dunia yang terisolasi. Dunia yang tak bisa dimengerti siapapun, termasuk ayahnya.
Lalu ia berpaling ke jendela. Di luar, hujan masih turun dengan deras. Dulu, saat ia masih kecil, hujan selalu menjadi waktu yang menyenangkan, waktu untuk bermain air atau sekedar duduk di dekat jendela dengan Ibu, mendengarkan cerita-cerita lama. Tetapi kini, hujan hanya menjadi pengingat akan semua yang telah hilang. Ia merasa, setiap tetes yang jatuh adalah bagian dari dirinya yang tak bisa kembali.
Hari-hari berlalu dengan cara yang sama. Setiap pagi, Arza bangun, makan, berdiam diri, dan tidur lagi. Ia seperti terperangkap dalam rutinitas yang tak berujung. Namun, ia tahu ia harus keluar dari lingkaran itu. Ia tidak bisa terus-menerus hidup dalam bayang-bayang masa lalu.
Suatu sore, saat Arza berjalan di jalanan yang sepi, matanya menangkap sebuah kedai kopi kecil di sudut jalan. Tanpa berpikir panjang, ia memutuskan untuk masuk. Mungkin, ini adalah kesempatan untuk menyegarkan pikirannya, meskipun ia tahu tak akan ada yang bisa menggantikan apa yang telah hilang.
Begitu masuk ke dalam, suasana di kedai itu terasa hangat dan nyaman. Suara mesin espresso berderak pelan, dan aroma kopi yang khas memenuhi udara. Arza duduk di salah satu meja dekat jendela, membiarkan matanya menyapu pemandangan di luar. Ia memesan secangkir kopi hitam, pilihan yang selalu menjadi favoritnya, meskipun rasa kopi itu tidak lagi sekuat dulu ketika Ibu yang menyarankannya.
Kopi datang, dan ia menyesapnya perlahan. Rasanya pahit, tetapi entah mengapa itu menenangkan. Mungkin karena rasanya membawa Arza kembali ke waktu-waktu yang lebih sederhana. Tanpa beban. Tanpa kehilangan.
Saat ia sedang menikmati secangkir kopinya, pintu kedai terbuka dan seorang pria masuk. Arza menoleh sekilas, dan meskipun tak mengenalnya, ada sesuatu yang menarik perhatiannya. Pria itu duduk di meja di dekatnya, memesan secangkir cappuccino. Ia mengenakan jaket berwarna gelap, rambutnya sedikit acak-acakan, seolah baru saja selesai berlari. Namun, ada yang berbeda tentangnya. Meskipun tampak tenang, ekspresinya menunjukkan ketegangan yang sulit dijelaskan.
Arza mencoba mengalihkan pandangannya, kembali ke kopinya. Namun, tak bisa dipungkiri, pria itu menarik perhatiannya. Ia ingin bertanya, ingin tahu siapa dia, mengapa ekspresinya terlihat begitu kosong, tetapi ia tahu, itu hanya akan memperburuk perasaan yang sudah tak karuan.
Beberapa menit berlalu, dan pria itu akhirnya berdiri, meninggalkan meja dan berjalan keluar dengan langkah cepat. Arza menatap punggungnya, merasa ada sesuatu yang menggelitik dalam dirinya. Apa itu? Penasaran? Keinginan untuk mengetahui lebih banyak tentang orang yang juga tampaknya sedang berjuang dengan kehidupannya sendiri?
Dia tak tahu jawabannya.
Setelah beberapa saat, Arza bergegas bangkit dari kursinya, beranjak keluar dari kedai kopi. Hujan masih turun deras, tapi kali ini ia tak merasa terlalu keberatan. Langkahnya terasa lebih ringan, seakan ada sesuatu yang baru yang mulai tumbuh, meski hanya sedikit. Sesuatu yang memberinya sedikit harapan.
Di luar, ia berhenti sejenak dan menatap langit kelabu yang menutupi seluruh kota. Pikirannya berkecamuk. Hidup memang tak seindah dulu. Tapi, apakah itu berarti ia harus terus terjebak dalam kenangan dan kesepian ini?
Mungkin, ada langkah-langkah kecil yang bisa diambil, meski tak ada jaminan bahwa itu akan membuat semuanya menjadi lebih baik. Tapi setidaknya, ia harus mencoba.
Ketika Waktu Menarik Mundur
Hari-hari terus berlalu, dan meskipun hujan tak lagi turun dengan deras, perasaan Arza tetap berat, seolah terikat oleh kenangan yang tak bisa ia lepaskan. Ada harapan kecil yang tumbuh setelah pertemuannya dengan pria di kedai kopi, meskipun ia tak tahu apa yang sebenarnya ia harapkan dari pertemuan itu. Mungkin hanya secercah percakapan, atau hanya sekadar seseorang yang bisa mengerti perasaan yang terus ia pendam.
Namun, kenyataan tak berubah. Setiap pagi, Arza bangun dengan rutinitas yang sama. Mencoba untuk tersenyum di depan Ayah, meskipun hatinya terasa hampa. Mereka berdua, meskipun tinggal bersama, seperti dua orang yang terperangkap dalam dunia masing-masing. Mereka berbicara, tetapi tidak pernah benar-benar saling mendengarkan. Ada sesuatu yang telah hilang dari hubungan mereka, dan Arza merasa itu adalah sesuatu yang tak akan pernah bisa mereka temukan kembali.
Pagi itu, Arza memutuskan untuk berjalan-jalan di sekitar kota, mencoba merasakan udara segar. Pikirannya kosong, hanya berjalan mengikuti langkah-langkahnya yang otomatis. Saat melalui jalan setapak yang biasa ia lewati, ia merasa sesuatu yang aneh. Ada yang berbeda, meskipun secara fisik, segalanya tampak sama. Namun, saat ia menoleh ke kanan, matanya menangkap sosok yang sudah lama ia lupakan.
Itu Kinan.
Kinan, sahabat masa kecilnya, yang dulu selalu ada untuknya. Mereka tumbuh bersama, berbagi tawa dan canda, dan saling menguatkan dalam setiap masalah. Tapi sekarang, Kinan sudah jauh berbeda. Wajahnya terlihat lebih dewasa, lebih serius, seolah membawa beban yang lebih berat daripada yang Arza bisa bayangkan. Mata mereka bertemu, dan dalam sekejap, Arza merasakan kekosongan yang sama seperti saat bertemu dengan Ayahnya.
“Kinan,” Arza berbisik, suaranya hampir hilang oleh desakan angin pagi.
Kinan tersenyum tipis, namun senyum itu tidak seperti yang dulu. Ada keletihan di baliknya, dan Arza bisa merasakannya. Kinan menyapanya dengan hangat, meskipun ada jarak yang tak bisa dihilangkan begitu saja.
“Arza, sudah lama tidak bertemu. Apa kabar?” Kinan bertanya, namun suaranya terdengar hampa.
Arza menatap sahabatnya itu, mencoba untuk tersenyum. “Aku baik-baik saja. Kamu bagaimana?”
Kinan menghela napas panjang, kemudian mengangguk pelan. “Aku… sedang berusaha bertahan. Tidak mudah, Arza.”
Arza merasakan sesuatu yang tajam menusuk hatinya. Kinan, yang dulu selalu menjadi sumber kekuatan baginya, kini juga tampak rapuh. Mereka berdua, seperti dua jiwa yang saling mencari tetapi tak tahu lagi bagaimana cara menemukan satu sama lain.
“Dulu, kita sering berjanji untuk selalu bersama, kan?” Arza melanjutkan, suaranya hampir seperti bisikan. “Tapi sekarang, kita seperti… terpisah.”
Kinan mengangguk perlahan, matanya seolah memikirkan kata-kata yang tepat. “Kita tidak terpisah, Arza. Hanya saja, kadang hidup memang membawa kita ke jalan yang berbeda. Mungkin ini saatnya untuk kita masing-masing mencari jalan kita sendiri.”
Tepat saat itu, Arza merasakan betapa kerasnya kenyataan itu menghantamnya. Mereka berdua tidak lagi seperti dulu. Mereka berdua tidak lagi bisa menemukan kenyamanan dalam kebersamaan mereka. Kinan yang dulu selalu mengerti dirinya, kini menjadi sosok yang terasa asing. Dan Arza, dengan segala perasaan kesepiannya, merasa tak lagi punya tempat untuk bernaung.
“Aku tidak tahu harus berbuat apa, Kinan,” ujar Arza, suaranya serak. “Aku merasa seperti hidup dalam bayang-bayang. Tidak ada lagi yang sama seperti dulu.”
Kinan menatapnya lama, seolah mencoba membaca apa yang ada di dalam hati Arza. Lalu, ia mengangguk pelan, matanya mulai berkaca-kaca. “Aku mengerti, Arza. Aku mengerti lebih dari yang kamu tahu. Tapi, kita tidak bisa terus-menerus hidup dengan masa lalu, meskipun itu menyakitkan. Kita harus belajar untuk melepaskan.”
Melepaskan. Kata itu terus bergaung dalam pikiran Arza. Ia tahu itu benar, bahwa ia tidak bisa terus-terusan terperangkap dalam kenangan yang sudah berlalu. Tetapi, bagaimana caranya? Bagaimana bisa melepaskan sesuatu yang begitu besar dan penting dalam hidupnya?
Kinan mengambil langkah maju, mendekat padanya. “Jangan terlalu keras pada dirimu sendiri, Arza. Kamu akan menemukan jalanmu. Aku percaya itu.”
Arza menatap sahabatnya itu, merasa ada secercah harapan yang mulai tumbuh meskipun sangat kecil. “Aku akan mencoba, Kinan. Aku hanya butuh waktu.”
Kinan tersenyum tipis, lalu meraih tangan Arza sejenak. “Aku akan selalu ada, meskipun kita tak selalu bersama.”
Setelah beberapa detik yang terasa seperti keheningan abadi, Kinan melangkah pergi. Arza hanya bisa berdiri di tempatnya, memandang sosok sahabatnya yang semakin jauh, hingga akhirnya menghilang di tikungan jalan.
Tersisa hanya kesendirian yang lebih dalam. Namun, kali ini, Arza merasa sedikit lebih ringan. Mungkin, kata-kata Kinan tadi adalah langkah pertama menuju pemulihan. Mungkin, melepaskan itu memang tak semudah yang dibayangkan, tetapi ia tak bisa terus terjebak dalam kesedihan yang tak ada habisnya.
Langkah Arza kini terasa lebih pasti, meskipun langkah itu masih penuh keraguan. Mungkin, waktu akan memberikan jawabannya.
Menyambut Pagi yang Baru
Pagi itu, Arza merasa sedikit berbeda. Mungkin karena semalam ia menatap bintang di langit yang tampak lebih terang, meskipun masih ada sedikit awan mendung yang menghalangi sinarnya. Namun, untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, Arza merasa sedikit lebih tenang. Seperti ada sesuatu yang telah mulai meresap ke dalam dirinya—sesuatu yang tak lagi membuatnya terjebak dalam kenangan atau rasa kehilangan.
Ia menghirup udara pagi yang segar, duduk di balkon kamarnya dengan secangkir teh hangat di tangan. Pemandangan kota yang sibuk tak lagi terasa begitu menyesakkan. Setiap hirupan napasnya membawa sedikit kedamaian. Rasanya seperti mengulurkan tangan untuk meraih kembali kehidupan yang dulu terasa jauh dan hilang. Tetapi kali ini, ia tak merasa cemas. Ia merasa siap untuk melangkah, meskipun tak tahu pasti ke mana langkah itu akan membawanya.
Arza tersenyum kecil. Ketika ia menutup matanya sejenak, bayangan Kinan yang tersenyum hangat tadi malam masih menghiasi pikirannya. Mereka memang terpisah oleh waktu, oleh jalan hidup yang membawa mereka ke arah yang berbeda, tetapi Arza tahu bahwa mereka akan selalu memiliki kenangan itu. Kenangan yang akan tetap hidup, meskipun tidak lagi mendominasi kehidupan mereka. Tidak ada lagi rasa sesak di dada, hanya rasa damai yang perlahan mulai tumbuh.
Hari itu, ia memutuskan untuk berjalan kembali ke kedai kopi tempat ia pertama kali bertemu dengan pria yang mengubah sedikit pandangannya tentang hidup. Tidak ada tujuan pasti, hanya ingin merasakan dunia di luar dirinya yang selama ini terasa tertutup. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih ringan, lebih berarti. Mungkin, setelah semuanya yang telah terjadi, Arza mulai belajar untuk mengapresiasi setiap detik yang ada.
Saat ia sampai di kedai kopi, ia mendapati tempat itu lebih ramai dari biasanya. Aroma kopi yang kuat menyambutnya, membawa kembali kenangan-kenangan manis. Tangan Arza menekan pintu kaca dengan hati-hati, seolah ingin memastikan bahwa ia benar-benar siap untuk membuka lembaran baru. Saat ia melangkah masuk, pandangannya langsung tertuju pada sosok yang sedang duduk di pojok ruangan, dengan secangkir kopi di depannya.
Pria itu.
Matanya bertemu dengan matanya, dan tanpa berkata apa-apa, mereka saling mengenali. Tak ada kata yang perlu diucapkan, karena senyum kecil yang tersungging di bibir pria itu sudah cukup menjelaskan segalanya. Arza berjalan mendekat, dan ia duduk di hadapannya dengan tenang.
“Selamat pagi,” pria itu menyapa, suaranya lembut, penuh kehangatan.
Arza hanya tersenyum, merasakan sedikit ketenangan yang kembali hadir di dalam hatinya. “Pagi,” jawabnya singkat, namun dengan rasa yang lebih hangat dari sebelumnya.
Mereka duduk bersama dalam keheningan yang nyaman, menghirup kopi mereka, dan menikmati momen yang ada. Arza tak lagi merasa harus terburu-buru atau mencari jawaban atas hidupnya yang rumit. Untuk pertama kalinya, ia merasa bahwa hidup ini tak harus dipaksakan, dan bahwa semua akan tiba pada waktunya.
“Apa yang kamu cari, Arza?” tanya pria itu tiba-tiba, suaranya menembus keheningan.
Arza menatapnya, merenung sejenak. “Aku hanya… ingin hidup dengan lebih sadar. Tidak lagi terjebak dalam masa lalu, tidak lagi mengharap sesuatu yang sudah pergi.”
Pria itu mengangguk pelan, seolah memahami apa yang Arza rasakan. “Terkadang, kita harus melepaskan segala sesuatu agar bisa menemukan jalan kita sendiri. Tetapi, bukan berarti kita harus melupakan segalanya.”
Arza tersenyum. Kali ini, senyum itu penuh dengan ketenangan. “Aku tahu. Aku sedang berusaha melakukannya. Mungkin, suatu hari nanti aku akan bisa menemukan diriku yang sebenarnya.”
Pria itu tersenyum kembali, lebih lebar kali ini. “Aku percaya itu.”
Mereka melanjutkan percakapan mereka, berbicara tentang hal-hal kecil yang tidak begitu penting, namun entah kenapa, percakapan itu terasa sangat berarti. Arza merasa bahwa dirinya mulai kembali, dan meskipun perjalanan itu tak mudah, ia tahu ia sedang bergerak maju.
Sore itu, ketika matahari mulai terbenam, Arza merasa tak ada yang lebih penting daripada menikmati setiap momen yang ia miliki sekarang. Kehidupan yang terasa berat dan gelap kini mulai menemukan celah-celah cahaya. Ia tahu bahwa ada banyak hal yang masih harus ia lalui, dan banyak kenangan yang harus ia hadapi. Tetapi, ia juga tahu bahwa hidup tak selamanya berputar di sekitar kesedihan dan kehilangan. Ada banyak kemungkinan baru yang menantinya.
Dengan senyuman di bibir, Arza melangkah keluar dari kedai kopi, meninggalkan semua yang sempat menghantui hidupnya. Hari itu bukan akhir, melainkan awal dari sesuatu yang baru—sebuah perjalanan yang akan terus berkembang, seiring waktu yang berjalan.
Mungkin hidup nggak akan pernah kembali seperti dulu, tapi siapa bilang itu berarti semuanya berakhir? Kadang, kita perlu melewati kegelapan untuk bisa lihat cahaya yang baru. Yang pasti, perjalanan ini nggak sia-sia.
Setiap langkah yang diambil, meski pelan, tetap membawa kita lebih dekat ke diri kita yang baru. Jadi, meskipun hidup tak seindah dulu, masih ada banyak kemungkinan yang menanti, dan kadang, itu cukup untuk membuat kita terus berjalan.