Daftar Isi
Jadi gini, pernah nggak sih kamu ngerasa terjebak dalam hidup yang nggak jelas? Kayak terus-menerus muter di tempat, entah kenapa pilihan-pilihan buruk selalu datang, dan susah banget buat keluar dari sana?
Nah, cerita ini bakal ngasih kamu gambaran tentang Renzo, seorang cowok yang dulu nyangkut di dunia narkoba, tapi sekarang lagi coba bangun lagi, pelan-pelan. Buat kamu yang lagi nyari inspirasi buat hidup lebih baik, atau mungkin cuma penasaran gimana sih rasanya bangkit dari hal yang kayak gitu, cerita ini cocok banget. Yuk, simak perjalanan tobatnya Renzo, siapa tahu kamu nemuin semangat buat jalanin hidup lebih sehat juga!
Hidup Sehat Tanpa Narkoba
Raja Pesta di Tengah Kekosongan
Renzo menatap cermin kecil di tangannya. Bayangannya kabur karena terlalu banyak asap rokok yang berputar di sekelilingnya. Dentuman musik bass dari speaker klub mengguncang dada, seolah-olah bersaing dengan detak jantungnya. Di meja dekatnya, gelas koktail yang hampir kosong dikelilingi oleh beberapa teman yang tampaknya sudah tidak bisa merasakan apapun selain euforia semu.
“Yo, Ren! Gimana, bro? Udah dapet yang kamu cari?” tanya Marco dengan wajah yang sudah kemerahan, matanya terbalut kabut alkohol.
Renzo cuma mengangguk sambil mengisap rokok. Wajahnya tidak menunjukkan ekspresi. Jarinya terulur untuk mengambil setengah batang ganja yang tergeletak di meja, dan ia menghisapnya perlahan. Ada sesuatu yang terasa kosong dalam dirinya—sesuatu yang lebih besar dari ketidakpeduliannya terhadap dunia di sekitarnya. Tapi itu tidak masalah. Semua yang ia inginkan ada di sini.
Kepalanya berputar, sedikit terangkat dari lantai. “Aku nggak tahu… Rasanya beda kali ini,” gumamnya, lebih pada diri sendiri.
“Jangan khawatir, Renzo. Ini baru pemanasan!” Marco tertawa keras, hampir tak bisa menahan gelakannya. “Nanti coba yang lebih keras, rasanya bakal lebih ‘hidup’.”
Renzo tersenyum tipis, lalu kembali meneguk minumannya. Semua di sekitarnya seperti berputar begitu cepat. Dunia ini seperti ada di luar dirinya, sebuah keramaian yang ia bisa nikmati sebentar lalu terlupakan begitu saja. Itu cukup. Untuk malam ini, cukup.
Sebagai raja pesta, Renzo terbiasa melihat semuanya seperti sebuah permainan. Pesta, alkohol, wanita, dan narkoba—semuanya hanya cara untuk mengisi kekosongan yang selalu datang. Tapi lebih sering dari yang ia sadari, kekosongan itu malah semakin dalam. Di balik semua tawa, di balik semua minuman, ada dirinya yang hanya menunggu waktu untuk jatuh lebih jauh.
“Lihat deh, Ren. Cewek itu keren banget,” kata Dira, teman lainnya, sambil menunjuk ke arah seorang gadis dengan gaun hitam yang sedang menari di sudut ruangan.
Renzo memandang sekilas, tapi matanya hanya mengikuti jejak langkah gadis itu, kosong. Ia sudah begitu sering melibatkan dirinya dalam hubungan yang sebentar-sebentar hilang. Tak ada yang benar-benar penting. Tak ada yang pernah benar-benar menyentuhnya.
Lalu matanya bertemu dengan sepasang mata yang berbeda.
Seorang gadis berdiri tak jauh dari meja mereka, menyandarkan diri pada dinding. Wajahnya cantik—bukan cantik yang berteriak dengan makeup tebal atau pakaian yang mencolok, tapi sesuatu yang lebih tenang dan penuh misteri. Renzo merasa ada yang aneh dengan cara gadis itu memandanginya, seperti dia tahu sesuatu yang Renzo sendiri belum siap untuk menghadapinya.
“Eh, kamu kenapa?” tanya Marco yang mengikuti arah pandang Renzo.
Renzo mengangkat bahu, mencoba mengalihkan pandangannya. “Nggak, cuma… pikiranku lagi kemana-mana.”
Gadis itu akhirnya menghilang, tapi entah kenapa perasaan Renzo tetap terikat pada gambaran wajahnya. Ada sesuatu yang berbeda kali ini—perasaan yang tidak bisa dijelaskan hanya dengan kata-kata, sesuatu yang menyentuh bagian terdalam hatinya yang sudah lama terkunci.
Namun, seperti biasa, Renzo menenggelamkan perasaan itu. Dia mengambil rokok dan menyulutnya kembali, melepaskan asapnya ke udara, mencoba mengusir segala sesuatu yang datang bersama perasaan itu. Di klub ini, segala kekosongan itu bisa disembunyikan sementara.
“Ayo, Ren. Kita ke ruang belakang. Ada barang baru,” ujar Dira sambil tersenyum licik, menarik perhatian Renzo kembali.
Renzo mengangguk tanpa berkata apa-apa, bangkit dari kursinya, lalu mengikuti teman-temannya menuju pintu belakang yang tersembunyi. Mereka seperti penari yang tak pernah berhenti, berputar dalam ritme yang sama, menunggu saat yang tepat untuk jatuh.
Tapi dalam perjalanan ke sana, ada sesuatu yang terasa aneh. Keheningan itu. Ada sesuatu yang lebih berat dari sekadar kebosanan—sebuah perasaan yang selalu hadir setelah mabuk, setelah menghisap, setelah melupakan segalanya.
Begitu mereka tiba di ruang belakang, lampu redup, dan aroma ganja langsung menusuk hidung. Renzo menatap meja di depan mereka. Semua ada di sana—narkoba yang ia kenal sangat baik. Beberapa pil, setengah bong, dan beberapa paket kecil yang tersebar.
“Ayo, Renzo, jangan ragu!” Marco berkata dengan penuh semangat. “Lupakan semua beban, bro. Nikmati hidup!”
Renzo menghela napas panjang. Tangannya sedikit gemetar, tapi ia tidak peduli. Semua ini sudah terlalu sering terjadi. Cukup untuk membuatnya merasa kosong kembali. Ia memandang teman-temannya yang sedang sibuk mencampur bahan-bahan untuk mereka konsumsi, kemudian matanya melirik kembali ke luar ruangan, ke tempat gadis itu berdiri tadi.
Apa yang sebenarnya ia cari?
Renzo terhenti sejenak. Pertanyaan itu menggelitik pikirannya, tapi dia tak tahu jawabnya. Maka, ia meraih sebuah pil dan menelannya tanpa berpikir lebih lanjut.
Namun malam itu, entah mengapa, semuanya terasa berbeda. Ada perasaan tak nyaman yang mulai merayap di dalam dirinya, seolah-olah ada sesuatu yang ingin ia hindari. Renzo mengabaikannya—seperti biasa. Tapi sesuatu dalam dirinya tahu, malam ini bukanlah seperti malam-malam yang lain.
Malam Kelam dan Penyesalan
Keheningan itu datang lebih cepat dari yang Renzo kira. Setelah menelan pil, ia merasa dunia sekitar menjadi lebih lambat, suara musik yang keras mulai terdengar jauh, seolah dipenuhi kabut. Kepalanya pusing, matanya mulai berkunang, tapi itu bukan hal baru. Ia sudah terbiasa dengan semua ini. Begitu pula dengan perasaan sesak di dadanya, perasaan yang ia coba untuk abaikan setiap kali perasaan itu datang.
Namun malam ini, perasaan itu tidak menghilang. Malah semakin parah. Renzo merasakan jantungnya berdegup terlalu keras, seolah hendak keluar dari dadanya. Pandangannya kabur, napasnya sesak, dan dunia terasa berputar begitu cepat. Semua suara menjadi lebih keras, lebih menggema. Semua gerakan di sekelilingnya, yang semula tampak biasa, kini terlihat seperti bayangan yang mengerikan.
“Renzo?” Marco memanggilnya, suaranya terdengar jauh, seakan-akan datang dari dasar laut. “Bro, lo oke?”
Renzo mencoba mengangkat kepalanya, menatap Marco, tapi dunia terasa semakin berat. Matanya melirik ke sekeliling. Beberapa teman lainnya tampak terhanyut dalam kebahagiaan mereka sendiri, tak menyadari bahwa dia mulai tenggelam.
Seketika itu juga, Renzo merasa dunia sekitarnya berguncang hebat. Ia terjatuh, tubuhnya merosot ke lantai. Semua suara hilang dalam sekejap. Keadaan menjadi gelap, dan tubuhnya terasa kaku. Seperti tenggelam dalam kehampaan yang lebih dalam dari sebelumnya.
Saat Renzo membuka matanya, ia disambut oleh ruang yang asing. Bau antiseptik dan suasana hening mengingatkannya pada rumah sakit, tapi kali ini ada yang berbeda. Ia merasa terperangkap di dalam tubuhnya sendiri.
Ia mencoba bergerak, tapi rasa sakit menjalar di tubuhnya. Sebuah selang infus terpasang di tangan kanannya, dan tubuhnya terasa lemas. Kepalanya berdenyut-denyut, seolah ada kekuatan yang mencoba merobeknya dari dalam.
“Renzo?” Suara itu, lembut dan cemas, membuat matanya beralih.
Seorang wanita muda dengan rambut coklat pendek berdiri di pintu ruangan, matanya penuh dengan rasa khawatir. Renzo mengenalinya. Itu adalah Rika, saudara sepupunya, yang selama ini selalu berusaha menjauhinya dari dunia gelapnya.
“Kamu… kamu di rumah sakit,” Rika melanjutkan, mendekat dengan langkah hati-hati. “Marco bilang kamu jatuh pingsan tadi malam… Kalian… kalian nyabu lagi, kan?”
Renzo hanya bisa menatapnya kosong. Ia merasa kesulitan untuk berbicara. Kepala dan tubuhnya begitu sakit, seolah-olah dunia benar-benar menghukum setiap helaan napas yang ia ambil. Tangan kanannya bergerak sedikit, mencoba menggenggam tangan Rika, tapi tubuhnya terlalu lemas.
“Kenapa kamu nggak pernah dengerin aku, Renzo?” suara Rika pecah, penuh emosi. “Kamu nggak lihat apa yang udah terjadi? Kamu udah merusak semuanya—keluarga, teman-teman, hidup kamu sendiri.”
Renzo menunduk, menyesali setiap pilihan yang membawanya ke titik ini. Bagaimana bisa ia terjebak begitu jauh dalam dunia yang menganggap semuanya bisa diselesaikan dengan pelarian sesaat? Bahkan di saat seperti ini, ketika tubuhnya menderita, ia masih merasa kosong, seperti tidak ada yang berubah.
“Aku nggak tahu… Rika,” Renzo akhirnya bersuara, suaranya serak dan lemah. “Aku cuma… nggak bisa berhenti.”
“Kenapa nggak bisa berhenti? Kamu punya pilihan, Renzo!” Rika terdengar seperti sedang berusaha menahan air mata. “Kamu nggak cuma nyakitin diri sendiri, tapi juga orang-orang yang peduli sama kamu!”
Renzo menutup matanya, merasa terjebak dalam penyesalan yang mendalam. Ia sudah terlalu jauh. Terlalu banyak waktu yang hilang dalam kebohongan dan pelarian, terlalu banyak kebiasaan buruk yang sudah mengendap dalam hidupnya. Tetapi malam itu, malam yang penuh dengan kegelapan, mulai mengungkapkan sisi lain dari dirinya—sebuah bagian yang ingin ia lupakan.
“Rika, aku nggak tahu gimana caranya…” Renzo berkata dengan napas yang berat. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Rika duduk di sampingnya, menggenggam tangan Renzo dengan erat. “Dari sini, Renzo. Dari sini kamu mulai. Ini waktunya untuk berubah.”
Renzo terdiam, menatap tangan Rika yang menggenggamnya. Untuk pertama kalinya, dia merasa ada sedikit harapan. Entah bagaimana caranya, entah apa yang harus dilakukan, mungkin ini saatnya untuk menghadapi kenyataan. Saatnya untuk melepaskan diri dari belenggu yang telah lama membelenggunya.
Namun, meskipun ada secercah harapan, Renzo tahu jalannya tidak akan mudah. Ia merasa seperti seseorang yang baru saja terbangun dari mimpi buruk yang panjang, dan kini ia harus berhadapan dengan kenyataan pahit yang telah ia hindari begitu lama. Tapi di saat itu, ada satu hal yang ia sadari—perubahan itu dimulai dengan langkah pertama.
“Renzo, kamu bisa… kamu pasti bisa,” Rika berbisik, memberikan secercah harapan yang hilang.
Renzo mengangguk pelan, meski hatinya masih penuh keraguan. Ia tahu perjalanan ini baru saja dimulai, dan belum ada yang pasti. Tapi untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa ada jalan yang layak untuk ditempuh.
Jalan yang Terbuka
Renzo terbangun pagi itu dengan rasa yang berbeda. Selama bertahun-tahun, matanya hanya terbuka untuk kebohongan dan pelarian, namun hari ini, semuanya terasa lebih nyata. Sesuatu dalam dirinya berubah. Ia masih merasa lelah, sakit, dan terperangkap dalam kegelapan, tapi di balik semua itu ada secercah cahaya yang membimbingnya.
Pagi itu, Rika sudah ada di sampingnya, duduk dengan sabar di kursi ruangannya, menatapnya dengan ekspresi yang penuh pengertian. Renzo masih merasa canggung, tidak terbiasa dengan perhatian yang diberikannya. Sebelum ini, ia terbiasa menjalani hari-hari dengan sembunyi-sembunyi, menjauh dari orang-orang yang peduli padanya, dan menghindari kenyataan. Tapi sekarang, kenyataan itu di hadapannya.
“Apa yang harus aku lakukan, Rika?” tanya Renzo pelan, suara seraknya kembali terdengar. “Aku nggak tahu harus mulai dari mana.”
Rika menatapnya dengan lembut. “Langkah pertama itu mudah, Renzo. Kamu harus mau menerima kenyataan. Kamu udah jatuh, dan sekarang kamu harus bangun. Itu langkah pertama.”
Renzo mengangguk pelan, meskipun hatinya masih penuh keraguan. Semua yang selama ini ia lakukan, semua pilihan buruk yang ia ambil, terasa seperti beban yang tak pernah selesai. Namun, melihat Rika di sana, dengan kesabaran dan harapan yang tak tergoyahkan, ia merasa sedikit lebih kuat.
Hari itu, Rika mengajaknya untuk ikut program rehabilitasi. Meskipun Renzo merasa enggan dan tak yakin, ada dorongan dalam dirinya yang membuatnya tidak bisa menolak. Apa lagi yang ia miliki selain kesempatan ini? Bukankah ini satu-satunya jalan untuk keluar dari dunia gelap yang selama ini membelenggunya?
Setelah berjam-jam berkutat dengan pikirannya, akhirnya Renzo mengikuti ajakan Rika. Mereka berangkat ke pusat rehabilitasi. Selama perjalanan, Renzo hanya menunduk, memperhatikan jejak-jejak asfalt yang tergelincir cepat di bawah roda mobil. Semua yang terjadi kemarin terasa begitu jauh, namun di dalam hatinya, ia masih merasakan keterikatan dengan dunia yang telah ia tinggalkan.
Pusat rehabilitasi itu berbeda dengan bayangannya. Tidak ada dinding tinggi atau penjagaan yang ketat. Semua terasa tenang, hampir seperti rumah yang penuh dengan kenyamanan. Setiap sudut ruangannya dihiasi dengan tanaman hijau dan lampu-lampu lembut yang memberikan nuansa damai. Renzo merasa asing, namun ada sesuatu yang membuatnya tetap bertahan, meskipun ia masih merasa cemas dan bimbang.
Di ruang tunggu, mereka bertemu dengan beberapa orang lain—orang-orang yang juga berjuang untuk keluar dari kegelapan mereka. Beberapa tampak lebih tua, beberapa lebih muda, tapi semuanya memiliki kesamaan. Semua mereka terluka, entah fisik maupun mental, namun mereka mencari jalan untuk sembuh.
Seorang pria paruh baya yang duduk di sebelah Renzo tersenyum dan menyapanya. “Hari pertama ya?”
Renzo mengangguk, merasa sedikit canggung. “Iya.”
“Jangan khawatir,” pria itu melanjutkan. “Semua orang yang ada di sini punya cerita mereka sendiri. Yang penting adalah, kita mau berubah.”
Renzo menatap pria itu, merasakan ketulusan dalam setiap kata yang diucapkannya. Mungkin ini adalah langkah yang benar, meskipun berat. Ia merasa tak bisa lagi melanjutkan hidupnya dengan cara yang lama. Semua yang pernah ia lakukan—semua kebohongan dan pelarian—hanya membawanya lebih jauh ke dalam kegelapan. Sekarang, saatnya untuk keluar.
Rika duduk di sampingnya, menyentuh tangannya dengan lembut. “Kamu nggak sendiri, Renzo. Aku akan selalu ada untuk kamu.”
Renzo mengangguk, merasa sedikit lebih tenang. Meskipun perjalanan ini baru dimulai, ia tahu bahwa ia tidak lagi berjalan sendirian. Ada orang-orang yang peduli, ada kesempatan untuk memperbaiki semuanya. Langkah pertama memang selalu yang paling sulit, tetapi dengan setiap langkah kecil, ia bisa melihat dunia dengan cara yang berbeda.
Setelah beberapa hari mengikuti sesi rehabilitasi, Renzo mulai merasakan perubahan. Tidak semua berubah begitu cepat, dan banyak kenangan lama yang kembali menghantuinya, tetapi ada satu hal yang berbeda: ia mulai melihat dirinya dari perspektif yang baru. Ia mulai berbicara lebih banyak dengan orang-orang di pusat rehabilitasi, membagikan kisahnya, dan mendengarkan kisah orang lain.
Ada seorang wanita muda yang duduk di ruang terapi, yang mulai berbicara dengan Renzo. Namanya Clara, dan meskipun ia lebih pendiam daripada yang lainnya, ada kesan keteguhan dalam dirinya yang membuat Renzo merasa nyaman.
“Jadi, Renzo,” Clara bertanya suatu hari, “apa yang paling kamu sesali?”
Renzo terdiam, memikirkan pertanyaan itu dengan serius. Selama ini, ia selalu mencoba menghindari perasaan itu, tapi kali ini, ia harus menghadapinya. “Aku sesali banyak hal. Tapi yang paling besar adalah waktu yang terbuang begitu saja. Aku nggak pernah benar-benar hidup.”
Clara menatapnya dengan penuh pengertian. “Kamu tahu, Renzo, kadang kita perlu waktu untuk menyadari bahwa hidup itu bukan tentang berlari dari masalah. Tapi tentang bagaimana kita menghadapi dan memperbaikinya.”
Renzo terdiam, merenung. Kata-kata Clara seperti menyentuh bagian terdalam dari hatinya. Ia telah berlari begitu lama, tetapi kini ia mulai memahami bahwa hidup yang sesungguhnya bukanlah melarikan diri. Itu adalah tentang menghadapi kenyataan, memperbaiki diri, dan belajar dari setiap langkah yang diambil.
Hari-hari berlalu dengan lambat, namun ada sesuatu yang terasa berbeda. Renzo tidak lagi terjebak dalam bayangan masa lalunya. Setiap pagi, ia mulai membuka matanya dengan penuh harapan, dan setiap malam, ia tidur dengan perasaan yang lebih damai. Ia tahu bahwa perjalanan ini tidak akan mudah, tetapi setidaknya ia sudah mengambil langkah pertama untuk berubah. Dan itu adalah kemenangan pertama yang paling berarti dalam hidupnya.
Suatu hari, setelah sesi terapi, Rika datang menemuinya. Ia tersenyum melihat perubahan pada Renzo. Meskipun masih ada banyak rintangan yang harus dihadapi, ia bisa melihat bahwa sepupunya itu mulai menemukan jalannya.
“Kamu udah jauh, Renzo,” kata Rika, dengan suara yang penuh kebanggaan. “Aku tahu kamu bisa.”
Renzo tersenyum lelah, namun matanya bersinar lebih terang dari sebelumnya. “Aku mulai percaya, Rika. Mungkin ini baru permulaan, tapi aku nggak akan berhenti.”
Dan dengan langkah kecil yang penuh keyakinan, Renzo melangkah maju, meninggalkan kegelapan di belakangnya, dan menuju masa depan yang lebih cerah.
Cahaya di Ujung Jalan
Waktu berlalu, dan Renzo merasa perubahan yang terjadi dalam dirinya semakin jelas. Meskipun masih ada hari-hari yang penuh perjuangan, di mana godaan lama kembali menghampirinya, ia kini punya cara baru untuk menghadapinya. Setiap kali ia merasa lelah atau putus asa, ia mengingat semua yang telah ia lalui. Ia ingat wajah Rika yang selalu memberikan harapan, ingat orang-orang yang mendukungnya, dan yang terpenting, ia ingat dirinya sendiri—siapa ia sekarang dan siapa yang ia inginkan untuk menjadi.
Hari itu, Renzo sedang duduk di taman rehabilitasi, menatap langit yang mulai berubah warna menjadi oranye keemasan. Sesekali angin berhembus lembut, mengingatkannya akan hari-hari yang lebih cerah. Ia menarik napas dalam-dalam, merasa kedamaian yang datang perlahan memenuhi dirinya.
Rika duduk di sampingnya, memandang ke depan dengan tatapan yang sama tenangnya. Mereka tidak banyak bicara, namun keheningan itu terasa nyaman.
“Renzo, kamu udah jauh banget. Aku nggak bisa bilang cukup berapa bangganya aku sama kamu,” kata Rika akhirnya, suara lembut namun penuh ketulusan.
Renzo menoleh padanya, tersenyum. “Aku nggak akan sampai sini kalau kamu nggak ada, Rika. Aku udah terlalu lama merusak hidupku, dan kamu yang bantu aku bangun lagi.”
Rika menepuk pelan punggung tangannya. “Kamu yang punya keberanian, Renzo. Aku cuma ngasih dorongan. Yang penting kamu mau berubah.”
Renzo diam sejenak, lalu matanya menerawang ke langit. “Dulu aku nggak tahu apa arti perubahan itu. Aku pikir hidup cuma soal menghindari masalah. Tapi sekarang, aku ngerti. Perubahan itu datang dari dalam diri kita, bukan dari orang lain. Aku yang harus memilih untuk bertahan.”
Rika mengangguk, senyumnya merekah. “Benar. Dan kamu udah menunjukkan itu. Kamu bukan cuma bertahan, Renzo. Kamu tumbuh. Kamu menemukan siapa dirimu yang sebenarnya.”
Renzo merasakan kehangatan yang memenuhi dadanya. Ia tahu, perjalanan ini belum selesai. Masih banyak rintangan yang harus dilalui, dan tidak semuanya akan mudah. Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, ia merasa siap untuk menghadapi apapun. Ia tidak lagi takut akan masa lalu, karena ia tahu bahwa setiap hari yang dilalui adalah kesempatan untuk menjadi lebih baik.
Di hari-hari berikutnya, Renzo mulai menjalani rutinitas yang lebih stabil. Ia mengikuti terapi lebih intensif, berkomunikasi lebih banyak dengan orang-orang di sekitar, dan perlahan mulai melibatkan dirinya dalam kegiatan yang positif. Meskipun tak jarang perasaan cemas datang menyelinap, ia tidak lagi merasa tak berdaya. Kini, ia tahu bagaimana cara menghadapinya.
Renzo juga mulai berbicara dengan orang-orang yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya, mereka yang dulu terjebak dalam dunia yang sama. Tidak mudah memang, tetapi setiap percakapan memberikan semacam kekuatan baru baginya. Ia tidak lagi merasa tersisih. Ia tahu bahwa untuk membantu orang lain, ia harus membantu dirinya terlebih dahulu.
Satu malam, saat selesai menjalani sesi kelompok di pusat rehabilitasi, Renzo berdiri di depan kaca, memandang pantulan dirinya. Untuk pertama kalinya dalam waktu lama, ia merasa bangga. Bukan karena ia sudah keluar dari kegelapan, tapi karena ia sadar bahwa ia telah berani menghadapi kenyataan.
Ia tidak lagi melihat bayangan seseorang yang hilang, tapi seorang pria yang siap untuk menjalani hidupnya dengan cara yang lebih baik.
Rika datang menghampirinya, membawa secangkir kopi hangat. “Kamu kelihatan beda, Renzo,” katanya dengan senyum yang lebar. “Aku bisa lihat ketenangan dalam dirimu.”
Renzo tersenyum, mengambil cangkir itu dengan perlahan. “Aku merasa… lebih hidup sekarang.”
Rika menepuk pelan bahunya, memberi isyarat bahwa itu adalah pencapaian yang besar. “Dan kamu tahu, Renzo, kamu nggak pernah sendirian dalam perjalanan ini. Selalu ada orang yang mendukungmu.”
Renzo mengangguk, lalu menatap langit malam yang cerah. Bintang-bintang terlihat begitu terang malam itu, seolah mengingatkannya bahwa segala sesuatunya mungkin, bahkan setelah semua yang telah ia lalui.
“Aku tahu. Dan aku nggak akan menyia-nyiakan kesempatan ini,” kata Renzo pelan. “Aku siap untuk menghadapi dunia, Rika. Ini baru permulaan.”
Dengan tekad yang baru, Renzo melangkah ke depan. Ia tahu bahwa jalan ini tak akan pernah mudah, tapi yang pasti, ia tidak akan pernah berhenti berusaha. Kini, dia berjalan dengan kepala tegak, melepaskan segala bayang-bayang masa lalu yang mengekangnya, dan menuju hidup yang lebih cerah, lebih sehat, dan penuh dengan harapan.
Dan di ujung jalan itu, ia tahu ada cahaya yang menantinya.
Jadi, apapun yang kamu hadapi sekarang, ingat aja satu hal: nggak ada yang pernah terlambat buat berubah. Mungkin jalan yang kamu tempuh nggak selalu mulus, dan pasti ada aja rintangan di depan, tapi yang penting, kamu nggak berhenti berusaha.
Renzo udah ngebuktiin kalau perubahan itu dimulai dari diri sendiri, dan selama kamu masih punya keinginan untuk berubah, semuanya mungkin. Jadi, ayo bangkit, jalanin hidup lebih sehat, dan jangan pernah ragu untuk terus maju. Karena perjalanan ini baru aja dimulai.