Daftar Isi
Hallo!! Pasti banyak di antara kita yang pernah ngerasain momen-momen di sekolah yang bakal kita ingat seumur hidup. Mulai dari tawa bareng teman, sampai perpisahan yang bikin hati berat.
Nah, cerpen ini bakal bawa kamu ke dalam hari-hari terakhir di sekolah yang penuh kenangan, persahabatan, dan rasa bingung tentang apa yang bakal terjadi setelahnya. Yuk, baca dan inget-inget lagi masa-masa itu, siapa tau kamu juga nemuin sedikit diri kamu di dalam cerita ini.
Hari-hari Terakhir di Sekolah
Langit Pagi yang Sama
Pagi itu, aku berjalan menuju sekolah dengan langkah yang terasa lebih berat dari biasanya. Ada yang beda, meski langit masih biru seperti biasa dan angin pagi tetap sepoi-sepoi. SMA Cahaya Nusantara, sekolah yang selama tiga tahun ini menjadi tempat kuhabiskan hampir setiap hariku, hari ini terasa begitu asing. Langkah kakiku terasa lambat, tak seperti biasanya. Mungkin ini yang disebut perasaan menjelang perpisahan—sedikit takut, sedikit haru, dan penuh pertanyaan tentang apa yang akan datang setelah ini.
“Bro, kamu nggak ada mood banget, ya?” suara Dika memecah keheningan. Dika, si badut kelas yang selalu bisa bikin suasana jadi nggak tegang, kini malah kelihatan sedikit serius. Tapi entah kenapa, aku bisa merasakan kalau dia juga nggak sepenuhnya enjoy hari ini.
“Aku nggak tahu,” jawabku sambil melirik ke arah sekolah. “Kayaknya sekolah ini bakal jadi tempat yang cuma jadi kenangan.”
Dika mendengus. “Kenangan yang penuh drama, bro. Ngomong-ngomong, aku bawa kamera nih buat foto-foto bareng kamu semua nanti, ya.”
Aku cuma ngangguk sambil nyari tempat duduk yang nyaman. Sesampainya di kelas, aku lihat Tasya sudah duduk di bangku belakang, sibuk memainkan ponselnya. Tasya, temanku yang selalu ceria dan penuh energi, tapi hari ini—aku bisa melihat jelas—ada sesuatu yang berat di wajahnya.
Aku duduk di sampingnya. “Eh, kamu kenapa? Kayaknya bete banget.”
Dia menatapku sebentar, lalu menghela napas panjang. “Nggak tahu, Han. Aku cuma ngerasa kayak semuanya berubah, terus kita nggak bakal ketemu lagi kayak gini. Semuanya bakal beda.”
Tasya selalu jujur soal perasaannya. Dia nggak pernah takut ngomongin apa yang ada di pikirannya. Aku tahu dia ngerasa sama kayak aku—perpisahan ini bukan sesuatu yang gampang diterima, apalagi setelah tiga tahun kita lewatin bareng.
“Ya aku juga ngerasain hal yang sama,” jawabku pelan. “Tapi kita nggak bisa terus-terusan di sini, kan? Masing-masing pasti bakal punya jalan sendiri.”
Tasya cuma diam, menunduk, tapi aku bisa lihat matanya yang mulai berkaca-kaca. Aku nggak bisa bilang apa-apa lagi. Perasaan itu kadang emang nggak butuh kata-kata.
Saat pelajaran dimulai, suasana kelas terasa lebih hening dari biasanya. Guru yang masuk pun hanya memberi sedikit arahan. Mereka semua tahu, kami semua tahu, kalau hari ini bukan hanya sekadar hari biasa. Ini adalah salah satu hari yang akan kami ingat sepanjang hidup.
Beberapa teman mulai menulis di buku kenangan. Ada yang menulis pesan, ada yang berfoto. Bahkan si Indah yang biasanya cuek dengan hal-hal sentimental, kali ini sibuk nulis di buku kenangan dengan serius. Rena, sahabatnya, duduk di sebelahnya, sambil sesekali tertawa melihat tulisan Indah yang menurutnya lebih cocok jadi lelucon daripada pesan perpisahan.
Akbar, ketua kelas yang biasanya agak kaku dan serius, hari ini justru lebih banyak diam. Tapi ketika dia mulai bicara, semuanya langsung diam.
“Bro, aku nggak mau ngomong banyak. Cuma mau bilang makasih buat semuanya. Aku tahu aku kadang ngeselin dan bikin kalian kesel, tapi percaya deh, aku bakal kangen banget sama kalian semua. Kita udah jadi keluarga di sini.”
Suasana di kelas seketika berubah. Walaupun kata-katanya singkat, tapi ada getaran yang cukup dalam. Akbar, yang biasanya jadi orang yang sering ngatur dan tegas, kali ini terlihat begitu… manusiawi.
Giliran aku tiba untuk ngomong. Aku ngelirik ke teman-teman yang lagi ngumpul, yang bahkan dari wajah mereka, aku bisa lihat kalau mereka juga nggak siap dengan perpisahan ini. Aku tarik napas panjang.
“Aku nggak tahu harus ngomong apa,” kataku, suara aku sedikit serak. “Tapi, pokoknya, makasih banget buat semuanya. Kalian semua bikin tiga tahun di sini jadi pengalaman yang nggak bakal aku lupa. Kita udah berjuang bareng, ketawa bareng, bahkan nangis bareng. Itu yang bikin semua ini berarti.”
Tasya yang duduk di bangkunya langsung nunduk, nyoba nahan air mata yang udah hampir jatuh. Aku lihat matanya yang mulai berkaca-kaca, tapi dia coba tersenyum.
“Pokoknya, aku nggak bakal lupa sama kalian. Semoga kita bisa tetap jaga hubungan ini, walaupun nanti kita bakal pisah jauh.”
Aku menatap satu per satu wajah teman-temanku. Semua teman sekelas, dari yang paling ramah sampai yang paling pendiam, seakan terikat dalam momen itu. Semua tertunduk, tapi kami semua tahu, meski banyak yang nggak bisa diungkapin dengan kata-kata, perasaan itu saling terhubung.
Aku duduk kembali di bangku, nyandarin kepala ke meja, mencoba ngerasain momen terakhir ini. Aku tahu, sebentar lagi semuanya bakal berubah. Masa depan, yang seakan jauh banget, tiba-tiba terasa begitu dekat.
Tasya yang duduk di sebelahku cuma diam, tapi tangan aku dan tangan dia udah saling bertaut, seolah ngasih pengertian yang lebih besar dari kata-kata.
“Aku tahu kok, Han,” katanya pelan. “Semua yang kita lakuin sekarang bakal jadi kenangan, yang nggak bakal kita lupain.”
“Iya, kita bakal ingat ini selamanya,” jawabku, sambil tetap memandang ke depan, ke ruang kelas yang seakan mulai terasa semakin asing.
Kenangan yang Terukir
Suasana di kelas makin terasa lebih hening. Bel tanda istirahat berbunyi, tapi aku masih di tempat duduk, menatap keluar jendela. Di luar, langit mulai cerah, tapi rasanya ada banyak hal yang menggantung di udara—hal-hal yang tak bisa langsung diselesaikan dengan kata-kata. Aku ingin banget bisa melawan rasa berat di dada ini, tapi kenyataan datang begitu cepat, mengingatkan bahwa tidak ada yang bisa bertahan selamanya.
Tasya yang duduk di sebelahku tiba-tiba menyentuh lengan aku, mengguncang sedikit tubuhku yang seolah beku di tempat.
“Ayo, Han, kamu nggak mau makan siang?” tanyanya sambil tersenyum, meski senyum itu rasanya nggak sepenuhnya tulus.
Aku menggeleng pelan. “Aku nggak lapar.”
Tasya nggak langsung ngomong apa-apa, cuma menarik napas dalam. “Kamu pasti bakal kangen tempat ini, kan?”
Aku cuma mengangguk pelan, karena entah kenapa, kata-kata itu langsung menembus relung hati. Pikiranku melayang ke semua kenangan yang sudah terukir di setiap sudut sekolah ini. Dari pertama kali aku datang ke sini—masih bingung dan canggung—sampai akhirnya bisa merasa nyaman di antara teman-teman yang mulai seperti keluarga.
Tasya bangkit dari tempat duduknya, menatapku sejenak. “Aku bakal ke kantin dulu, kamu mau ikut atau nggak?”
Aku hanya memandangnya. Lalu, tanpa berpikir panjang, aku ikut berdiri. “Ayo, aku ikut.”
Kami berjalan keluar kelas menuju kantin yang ramai dengan siswa lain yang mulai menikmati waktu istirahat mereka. Di sana, suara tawa, obrolan, dan aktivitas lain terdengar begitu hidup. Tapi entah kenapa, semuanya terasa jauh. Bahkan suara teman-teman yang biasa ribut, sekarang terasa hampa di telingaku.
Kami duduk di meja yang biasa kami tempati, bersama Indah dan Rena yang sudah terlebih dahulu datang. Mereka sedang sibuk memilih makanan di menu papan tulis besar yang dipajang di sisi kantin.
“Kenapa kalian berdua kok diem aja?” tanya Indah, sambil menatap kami dengan tatapan heran. “Ada masalah?”
Tasya tersenyum tipis, meskipun aku bisa lihat raut wajahnya yang nggak sepenuhnya senang. “Nggak ada kok, cuma… ya gitu deh.”
Aku nggak bisa menahan tawa pelan. “Mau ngomong apa juga, ya susah.”
Rena, yang nggak pernah absen untuk menyemangati suasana, langsung merespon dengan serius—tentu saja hanya untuk bercanda. “C’mon, guys, jangan gitu. Kalian tahu sendiri kan, kalau aku ini anak yang suka banget bikin suasana cair.”
Indah melirik ke aku, lalu berkata, “Tapi kamu beneran nggak ngungkapin apa-apa, Han?”
Aku diam sebentar. Aku tahu apa yang Indah maksud. Mereka tahu aku nggak pernah suka mengungkapkan apa yang ada di hati. Tapi hari ini… semuanya terasa berbeda.
“Ya,” jawabku akhirnya, “aku cuma nggak tahu gimana harus ngomongin perasaan ini. Entah kenapa semuanya mendekat, dan aku cuma pengen bertahan.”
Tasya menatapku sejenak. “Kita semua ngerasain kok, Han. Cuma aja, perpisahan itu nggak bisa dihindarin. Tapi kamu harus sadar, bahwa pertemanan kita nggak bakal hilang begitu aja.”
Aku menghela napas, mencerna setiap kata yang keluar dari mulut teman-temanku. Rasanya, kata-kata itu membuatku sedikit lebih lega. Tapi entah kenapa, masih ada rasa takut yang menggelayuti. Takut kalau nanti semuanya berubah, kalau nanti kami berpisah, dan tak bisa lagi bersama-sama seperti ini.
Kantor sekolah memasang pengumuman besar di depan kantin, memberi tahu kami tentang ujian akhir yang bakal datang minggu depan. Semua teman-teman mulai sibuk membicarakan ujian dan mempersiapkan diri. Tapi aku tetap merasa seakan-akan ada ruang kosong yang sulit diisi. Dunia luar yang menunggu kami, itu terasa sangat besar dan tak terbayangkan.
“Ayo, Han, kamu mesti lebih optimis,” kata Indah, yang tiba-tiba menepuk pundakku. “kamu kan selalu tahu cara bikin orang lain merasa lebih baik.”
Aku menatap mereka satu per satu. Ada sedikit kebingungan, sedikit ketakutan, tapi lebih banyak harapan. Kami semua merasa cemas tentang apa yang akan terjadi, tentang masa depan yang tidak jelas. Namun, di tengah semua itu, aku tahu satu hal—kami sudah melewati begitu banyak hal bersama. Dan meskipun waktu terus berjalan, kenangan itu akan tetap ada, terukir dalam ingatan kami.
“Ya, gue tahu. Mungkin aku cuma nggak siap buat yang namanya perpisahan.”
Tasya mengulurkan tangan. “Tapi kamu tahu, Han, aku nggak bakal pernah pergi dari hidup kamu.”
Aku menatap tangannya sejenak, lalu meraih dan menggenggamnya dengan erat. “Aku juga.”
Kami semua tertawa, meskipun dalam tawa itu ada keheningan yang terasa begitu dalam. Dunia kami mungkin akan berubah, tapi untuk hari ini, kami masih bersama, duduk di sini, menikmati waktu yang masih ada. Dan aku tahu, ini bukan akhir dari segalanya. Kami akan saling mengingat, saling menguatkan, bahkan ketika kami harus melangkah ke jalan yang berbeda.
Menuju Titik yang Tak Terlihat
Kegiatan di sekolah makin padat, seiring ujian akhir yang semakin dekat. Kami semua sibuk dengan persiapan, namun ada perasaan yang tak bisa diabaikan—sebuah perasaan yang semakin terasa intens seiring berjalannya waktu. Hari-hari terasa lebih pendek, dan rasanya seperti sedang berlari mengejar sesuatu yang belum jelas. Bahkan Tasya, yang biasanya selalu penuh semangat, mulai terlihat lebih sering termenung, memikirkan hal yang sama.
Aku memilih untuk tidak terlalu banyak berpikir, walaupun hatiku bertanya-tanya. Begitu banyak kenangan yang kini terasa berbeda. Kami selalu bersama—di perpustakaan, di kelas, bahkan di lapangan olahraga. Semua itu terasa indah, tapi juga penuh dengan tanda tanya tentang apa yang akan datang.
Hari itu, setelah kelas terakhir, aku memutuskan untuk berjalan menuju taman sekolah. Itu adalah tempat favoritku sejak pertama kali aku masuk ke sini. Taman itu seolah menyimpan banyak rahasia, banyak kejadian yang tak terungkap, dan banyak tawa yang pernah terdengar di sana.
Aku duduk di bawah pohon besar, sambil menatap ke arah bangunan sekolah yang terlihat semakin kecil dari tempatku duduk. Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar dari belakangku, dan saat aku menoleh, aku melihat Tasya berjalan menuju ke arahku.
“Kamu di sini?” tanyanya dengan senyum lelah.
“Ya, aku butuh waktu buat berpikir.” Aku mengangguk pelan. “Dan kamu?”
Tasya duduk di sampingku, melepaskan napas panjang. “Aku juga butuh waktu. Semua ini berasa nggak nyata. Rasanya, waktu berjalan terlalu cepat, Han.”
Aku tersenyum kecil, walau ada sedikit kekhawatiran di hati. “Iya, aku ngerasain itu juga. Cuma… aku masih belum siap. Aku nggak siap buat ngucapin selamat tinggal.”
Tasya menoleh padaku, matanya berkilat sedikit. “Kamu yakin nggak siap? Atau… kamu takut?”
Aku terdiam sejenak. “Mungkin keduanya.” Aku tertawa pelan, meskipun rasanya canggung. “Tapi yang lebih aku takutin, aku nggak tahu kalau kamu bakal jauh dari sini. Semua jadi terasa asing.”
Tasya menatap langit. “Tapi, kamu tahu kan? Kita nggak bisa terus-terusan di sini. Hidup itu kayak… kayak buku yang harus dibaca, dan kita nggak bisa berhenti di satu halaman. Pasti ada bab-bab baru yang harus dijalani.”
Aku hanya mengangguk, tapi hatiku terasa berat. Aku tahu apa yang dia maksud, tapi tetap saja—perpisahan itu seperti hal yang tak bisa dihindari, dan saat itu datang, rasanya seperti langit runtuh.
Tasya mengubah topik pembicaraan. “Ngomong-ngomong, kamu sudah belajar buat ujian yang besok?”
Aku menggaruk tengkuk, sedikit canggung. “Enggak banyak, sih. Cuma… belajar sedikit aja. Aku malah lebih banyak mikirin hal lain, kayak gimana nanti setelah kita lulus.”
Tasya tertawa pelan. “Aku tahu kok, Han. Kamu emang selalu kelihatan fokus sama hal-hal yang jauh lebih penting daripada ujian. Tapi, kamu harus tahu, kamu nggak sendirian. Semua orang juga ngerasain hal yang sama.”
Aku menatapnya. “Iya, tapi nggak semua orang bisa mengungkapin perasaan mereka kayak kamu.”
Tasya hanya tersenyum. “Mungkin itu salah satu alasan kenapa kamu banyak punya temen yang peduli sama kamu. Kamu itu selalu jadi orang yang bisa nyenengin orang lain, bahkan tanpa kamu sadar.”
Aku terdiam mendengarnya. Kadang, aku merasa tidak pantas mendengarnya. Tapi mendengar kata-kata itu, ada secercah harapan yang mulai menyala. Mungkin, meskipun perpisahan itu menakutkan, kenangan yang kami bangun di sini akan menjadi sesuatu yang abadi. Sesuatu yang tak bisa hilang begitu saja.
“Tasya,” aku akhirnya memutuskan untuk berbicara lebih dalam, “kita nggak bakal kehilangan satu sama lain, kan?”
Tasya menatapku dengan tatapan yang cukup dalam, seakan mencari jawaban dalam mataku. “Tidak. Walaupun kita mungkin nggak di tempat yang sama lagi, kita selalu bisa saling cari. Persahabatan ini, Han, nggak akan hilang.”
Aku menarik napas panjang, sedikit lebih lega. Tapi masih ada kekosongan, seperti ada bagian dari diriku yang masih belum sepenuhnya siap menerima kenyataan. Semua ini, semua perasaan yang menggantung, membuatku bingung. Tapi, aku tahu—ada yang bisa dijaga, ada yang bisa disimpan, dan itu adalah kenangan kami.
Kami berdua duduk di sana, dalam keheningan, menikmati waktu yang semakin berkurang. Dalam diam, aku tahu bahwa segala sesuatu yang kami lalui bersama tidak akan pernah sia-sia. Bahkan jika nanti kami berpisah, kenangan itu akan selalu ada, abadi di hati kami.
Akhir yang Baru Dimulai
Ujian akhirnya selesai. Suasana di sekolah sekarang terasa sepi, seperti ada kehampaan yang menggelayuti. Semua orang sudah sibuk dengan persiapan kelulusan, dengan perjalanan masing-masing yang akan segera dimulai. Hari-hari yang sebelumnya kami habiskan bersama—tawa di kelas, obrolan di kantin, cerita-cerita di perpustakaan—sekarang hanya menjadi kenangan.
Aku berjalan menuju tempat yang sudah menjadi favoritku sejak dulu, taman besar di sudut sekolah. Ini adalah tempat yang selalu memberi rasa tenang. Tempat di mana banyak kenangan pernah tercipta, baik yang manis maupun yang pahit. Di sana, aku merasa bisa sedikit lebih bebas dari beban pikiran yang terus menggelayuti.
Ketika sampai, aku melihat Tasya sudah duduk di bangku taman itu, menatap langit yang mulai memerah oleh senja. Wajahnya yang biasa ceria sekarang terlihat lebih serius, lebih dalam, seolah sedang memikirkan sesuatu yang penting.
Aku mendekat dan duduk di sampingnya, tak ada kata yang keluar dari mulut kami. Kami hanya duduk dalam keheningan yang nyaman, menikmati sisa waktu yang ada. Rasanya, waktu sudah tidak berpihak lagi pada kami. Kami sudah berada di penghujung perjalanan ini.
Tasya akhirnya memecah keheningan. “Han, kamu nggak takut?”
Aku menoleh ke arahnya, sedikit terkejut dengan pertanyaan itu. “Takut? Takut apa?”
Tasya menatapku, matanya penuh dengan makna. “Takut kalau semuanya berubah. Takut kalau kita nggak bisa lagi saling berbicara seperti sekarang. Takut kalau semua kenangan ini cuma akan jadi masa lalu.”
Aku menarik napas dalam, mencoba menenangkan hati yang sedikit terguncang. “Aku nggak tahu, Tas. Tapi kadang gue mikir, mungkin kita nggak bisa menghindari perubahan. Mungkin kita emang harus berubah, tapi kenangan ini… kenangan kita… itu nggak akan pernah hilang. Bahkan kalau kita udah nggak di sini lagi, itu tetap bakal ada.”
Tasya tersenyum tipis. “Ya, kamu benar. Kita nggak bisa menghindari perubahan. Tapi kita bisa memutuskan bagaimana kita menghadapinya.”
Kami terdiam sejenak, memandang langit yang semakin gelap. Suasana semakin tenang, seperti dunia juga ikut berhenti sejenak, memberi ruang bagi kami untuk meresapi segalanya. Ada perasaan lega, ada pula perasaan berat, tapi semuanya adalah bagian dari perjalanan yang harus kami jalani.
“Han,” Tasya berkata lagi, kali ini dengan suara yang lebih lembut. “Terima kasih ya, buat semua waktu yang udah kita lewatin bareng-bareng. Aku tahu kita nggak akan selalu bersama lagi setelah ini, tapi aku yakin, kita bakal tetap jadi bagian dari hidup masing-masing.”
Aku menatapnya dengan penuh rasa terima kasih. “Aku juga, Tas. Aku nggak akan pernah lupa semua yang udah kita lewatin. Kamu, Indah, Rena… kalian lebih dari teman buat aku. Kalian udah jadi bagian dari diri aku yang nggak bisa hilang.”
Tasya mengangguk, dan senyum yang tulus terukir di wajahnya. “Kita masih punya banyak waktu kok, Han. Mungkin nggak di sini, tapi kita bakal nemuin cara untuk tetap saling terhubung. Ini bukan akhir, cuma awal dari cerita baru.”
Aku tersenyum, merasa lebih tenang mendengar kata-kata itu. Memang, perpisahan itu pasti datang, tapi bukan berarti hubungan kami harus berakhir. Kami masih punya kenangan, dan kenangan itu akan selalu ada. Bahkan kalau masa depan membawa kami ke tempat yang jauh, ikatan itu akan selalu terjaga.
Kami berdiri dari bangku taman, melangkah keluar dengan langkah yang sedikit lebih pasti. Di luar sana, dunia menunggu kami. Banyak hal yang belum kami temui, banyak jalan yang harus kami pilih, tapi satu hal yang pasti—kenangan ini akan tetap melekat.
“Jangan pernah lupa, ya,” Tasya berkata sambil memandangku. “Kita udah jadi bagian dari hidup satu sama lain.”
Aku mengangguk. “Aku nggak bakal lupa, Tas. Itu janji aku.”
Kami berjalan beriringan, menuju masa depan yang belum jelas, namun penuh dengan harapan. Di balik semua kebingungan dan ketidakpastian, ada rasa saling memahami yang tak akan pernah pudar. Karena pertemanan kami bukan hanya soal waktu yang kami habiskan bersama, tetapi juga tentang bagaimana kami terus tumbuh, meski kadang harus berpisah.
Dan dengan itu, perjalanan kami berlanjut. Bukan berakhir, tetapi dimulai dari sebuah titik yang tak terlihat, sebuah titik yang memberi harapan baru di setiap langkah kami.
Jadi, itu dia cerita tentang hari-hari terakhir di sekolah yang penuh kenangan. Perpisahan emang selalu berat, tapi justru dari situ kita belajar banyak hal, terutama tentang pentingnya orang-orang yang ada di sekitar kita.
Meskipun jalan kita nanti mungkin bakal beda, tapi kenangan ini bakal selalu ada, kan? Jadi, semoga cerita ini nggak cuma bikin kamu senyum-senyum sendiri, tapi juga bikin kamu mikir, betapa berharganya setiap momen yang kita punya. Sampai ketemu di cerita berikutnya!