Kehangatan Keluarga di Rumah Rusa: Cerita Sehari-hari yang Penuh Cinta dan Kekacauan

Posted on

Jadi gini, pernah nggak sih, kamu merasa hari-harimu tuh kayaknya gitu-gitu aja? Tapi ternyata, di balik rutinitas yang kelihatannya biasa aja, ada momen-momen kecil yang bikin kamu ketawa tanpa alasan.

Nah, cerpen ini ngasih lihat gimana sih keseharian di rumah yang penuh kekacauan tapi justru bikin kamu merasa di rumah, bener-bener di rumah. Yuk, intip keseruan dan kekonyolan sehari-hari di Rumah Rusa!

 

Kehangatan Keluarga di Rumah Rusa

Blender Hijau dan Filosofi Pagi

Pagi di Rumah Rusa selalu dimulai dengan suara blender yang berputar kencang. Ibu duduk di meja makan, tangannya sibuk menyiapkan bahan-bahan untuk jus hijau. Seledri, apel hijau, beberapa potong jahe, dan sisa-sisa daun mint yang sudah agak layu. Sebuah ritual yang sudah berlangsung selama bertahun-tahun. “Ini bikin kulit kamu tetap cerah, Ara,” katanya setiap kali aku memperhatikan prosesnya.

Aku duduk di kursi meja makan yang terbuat dari kayu pinus yang sudah mulai pudar warnanya, menyeruput teh tarik yang baru saja kubuat. Minuman itu sedikit terlalu manis, tapi aku tidak peduli. Sesekali aku memandangi blender yang berputar, mengaduk semua bahan jadi satu cairan hijau kental. Baunya? Entah kenapa, setiap kali Ibu membuat jus ini, rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk di hidungku. Seperti aroma tanah basah yang dipaksakan masuk ke dalam gelas. Aku tak tahu apakah itu bau segar atau justru menyesakkan.

Aksa, kakakku yang suka mengeluh tentang segala hal, sudah duduk di ruang tamu dengan buku filsafat di tangan. Buku setebal kamus, berjudul The Birth of Tragedy—sebuah karya Nietzsche yang jelas tak pernah aku baca dan rasanya tidak akan pernah aku baca. Aksa selalu membawa buku-buku berat itu ke mana-mana, seolah-olah ukuran buku yang dia baca akan mempengaruhi bagaimana orang melihat dirinya.

“Pagi, Aksa,” kataku sambil mengeluarkan satu sendok teh dari wadah kecil. “Apa kamu nggak bosan baca buku segitu tebalnya?”

Aksa memandangku tanpa mengalihkan pandangan dari bukunya. “Bosan itu berarti kita nggak mencari makna. Nietzsche bilang, hidup tanpa makna itu seperti hidup tanpa tujuan. Kamu ngerti nggak maksudnya?” ujarnya sambil mengernyitkan dahi, menunggu jawabanku yang jelas akan membuatnya menggelengkan kepala.

Aku tertawa kecil. “Aksa, yang aku tahu, hidup itu nggak selalu soal makna yang berat-berat. Kadang cuma soal menikmati teh tarik sambil duduk di rumah, kan?” Aku meletakkan cangkirku dengan pelan, tak ingin mengganggu ketenangannya.

Aksa mendengus pelan, lalu menyentuh bibirnya dengan jari, seolah-olah sedang merenung. “Itu artinya kamu belum paham apa yang sebenarnya dibutuhkan dalam hidup,” katanya sambil membuka halaman buku. Tapi, ada tawa kecil di ujung kalimatnya, seolah dia tahu bahwa dia tidak akan bisa meyakinkanku tentang pentingnya buku tebal itu.

Aku tak membalas. Malah, pikiranku melayang pada suara langkah kecil yang mendekat. Dira, si kecil yang penuh keonaran, muncul dari balik pintu dapur dengan tangan yang penuh coretan tinta biru. Kertas gambar? Tidak. Dira lebih memilih tembok dapur sebagai kanvasnya.

“Aduh, Dira!” seruku, setengah terkejut. “Kenapa temboknya kamu gambar lagi?”

Dira tersenyum lebar. “Ini galeri seni, Kak Ara!” jawabnya dengan penuh percaya diri, sambil menunjukkan tangan yang penuh cat biru.

“Aduh, gimana nih?” Ibu berteriak dari dapur sambil mengusap wajah dengan kedua tangannya. “Dira, kan ibu bilang jangan coret-coret tembok!” Tapi, Dira malah tertawa dan berlari masuk ke dalam rumah. Mungkin dia merasa puas melihat kita semua terkejut.

“Ibu, itu kan seni,” ujar Aksa dengan nada serius, meskipun jelas-jelas dia mencoba menahan tawa. “Pikirlah, dalam beberapa dekade ke depan, orang akan menghargai karya Dira sebagai masterpiece.”

Aku melirik Aksa dengan kesal. “Bisa nggak sih kamu berhenti bicara kayak filsuf gitu? Itu tembok, Aksa!” Aku tahu Aksa hanya ingin melontarkan sesuatu yang membuatnya terlihat lebih intelektual. Tapi saat-saat seperti ini, aku lebih memilih untuk tertawa dan mengabaikannya.

Tak lama kemudian, Ibu berjalan keluar dari dapur dengan wajah sedikit kesal. “Tembok-tembok ini sudah bisa dijadikan galeri. Dira, nanti Ibu pasang foto-foto seni di sini biar nggak rusak,” katanya sambil menarik napas panjang.

Dan tepat ketika aku akan mengomentari tindakan Ibu yang sangat sabar, Aksa dengan santainya melanjutkan, “Kadang, orang-orang baru menyadari keindahan seni setelah bertahun-tahun. Jangan heran kalau tembok ini jadi mahal banget harganya.”

Mungkin benar, entah apa yang membuat Rumah Rusa begitu hidup. Tembok yang jadi kanvas, buku filsafat yang membosankan, atau jus hijau yang selalu ada setiap pagi. Semua itu—bagi kami—adalah bagian dari kebersamaan yang tak pernah terasa membosankan.

Malam mulai tiba, dan meskipun tak ada kejutan besar, kami semua tahu bahwa hari-hari di Rumah Rusa selalu dipenuhi dengan keanehan-keanehan kecil. Seperti pagi ini, saat Aksa sibuk dengan bukunya, Ibu dengan jus hijau dan Dira dengan karyanya di tembok. Aku? Aku hanya ingin menikmati teh tarikku dan mengingat bahwa hidup itu kadang sederhana, meski penuh dengan filosofi, seni, dan kehebohan kecil yang membuat rumah ini terasa begitu istimewa.

 

Dinding Dapur dan Kanvas Kecil

Pagi itu, seperti biasa, Rumah Rusa kembali hidup dengan ritme yang sama—meski ada sedikit kekacauan setelah Dira menambah koleksi “galeri seni” di tembok dapur. Aku baru saja menyelesaikan sarapan dengan Aksa yang kini sudah mengganti bukunya dengan koleksi puisi dari Rumi, dan Ibu yang sibuk mengejar waktu untuk menyiapkan barang-barang belanjaan. Dira? Dira sibuk di luar dengan mainan plastik yang entah kenapa selalu berhasil membuat suara yang lebih keras dari mesin traktor.

Aku masuk ke dapur, berharap bisa merasakan sedikit ketenangan sebelum dunia kembali berputar. Tembok yang sebelumnya terpaksa Ibu terima sebagai media seni Dira, kini dihiasi dengan coretan warna-warni yang mulai mengabur. Ada gambar bunga, rumah kecil, bahkan potret wajah Dira yang sedikit lebih besar dari kepala aslinya. Tentu saja, tak ada satu garis yang lurus di sana. “Gaya abstrak,” pikirku, meski tetap merasa kesal.

“Ibu, kenapa nggak dibersihin aja?” tanyaku sambil menatap tembok yang kini terlihat lebih mirip karya seni modern yang dipamerkan di galeri seni anak-anak.

Ibu meletakkan piring besar berisi nasi goreng yang sudah setengah jadi dan berjalan mendekat. “Nanti dulu, Ara. Biarkan Dira jadi seniman dulu. Kalau dia udah besar, bisa jadi terkenal. Jangan dikit-dikit marah, nanti dia takut dan malah nggak mau berkarya lagi.”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, lalu menarik napas panjang. Sejak dulu, Ibu selalu punya alasan untuk setiap tingkah laku Dira yang kadang bisa bikin kesel. Terkadang aku merasa Ibu lebih sering memilih jadi penyemangat Dira daripada mengingatkan dia tentang batas-batas yang ada di rumah.

“Kadang aku heran deh, Dira. Kenapa sih nggak pernah bosan gambar di buku gambar?” aku bergumam sambil menatap Dira yang kini sedang menggigit pensil warna dengan wajah serius. Tangan Dira bergerak cepat, mewarnai di sudut-sudut halaman dengan warna yang seperti bertarung satu sama lain.

Dira, yang sudah mulai terbiasa dengan celotehan kecilku, hanya menoleh dengan mata bersinar. “Kalau di buku gambar, semua nggak bisa dilihat orang. Nanti kalau aku jadi terkenal, semua orang bakal lihat karya aku di tembok,” jawabnya dengan percaya diri, dan mungkin benar juga. Di matanya, tembok dapur ini adalah tempat terbaik untuk memperlihatkan karyanya.

Aku merasa seperti dihadapkan pada dua pilihan—membiarkan tembok dapur ini jadi tempat para seniman cilik berkreasi atau melanjutkan rutinitas menatap rumah yang semakin penuh dengan “karya seni”. Tentu saja, aku lebih memilih jalan tengah. “Ya udah, jangan bikin gambar besar-besar aja. Biar temboknya nggak penuh,” kataku, mencoba menyarankan dengan santai.

Aksa yang muncul dari ruang tamu, dengan rambut sedikit kusut setelah berjam-jam berkutat dengan buku filsafat, ikut bergabung. “Dira, kalau kamu terus-terusan begitu, nanti kita semua harus jadi pengagum seni kamu, ya?” katanya sambil memandang tembok yang sudah hampir tertutup cat. “Aksinya keren, tapi jangan sampai kita nanti terjebak dalam dunia yang penuh dengan coretan. Kasihan temboknya.”

Dira memandang Aksa dengan penuh perhatian, seolah-olah dia baru saja mendapat tantangan besar. “Aksa, ini namanya ekspresi, bukan coretan!” jawab Dira dengan tegas. “Gini deh, kalau aku jadi terkenal, kamu bakal ikut bangga, kan?”

“Aku pasti ikut bangga,” jawab Aksa sambil menatap Dira dengan ragu. “Tapi kalau tembok ini jadi karya seni yang terkenal, kamu harus ingat, aku yang pertama kali ngasih komentar tentang lukisan ini.”

Aku terbahak mendengar percakapan itu. Dira, yang memang selalu penuh dengan keyakinan, tak pernah mundur meski dihadapkan pada pandangan skeptis dari Aksa atau aku. Di satu sisi, aku tahu Dira memang anak yang penuh semangat dan selalu melihat segala hal dengan cara yang unik. Tapi di sisi lain, aku mulai berpikir, apakah dia akan terus seperti ini—meninggalkan jejaknya di setiap sudut rumah yang kelak akan kita lihat dan tertawa bersama.

“Ibu,” panggilku, menarik perhatian Ibu yang masih sibuk dengan tugasnya di dapur. “Bagaimana kalau nanti kita minta Dira untuk menggambar di kanvas? Biar nggak di tembok lagi.”

Ibu mengangkat alisnya, lalu berhenti sejenak. “Hmm… itu ide yang baik, Ara. Tapi kita lihat saja. Mungkin Dira lebih senang mengekspresikan dirinya di tempat yang lebih besar.”

Aku tahu Ibu akan tetap mendukung Dira, apapun yang terjadi. Bahkan ketika Dira mulai mengisi hampir setiap inci dari rumah ini dengan warna-warni yang melebihi batas kreativitas.

Hari berlalu dengan kebisingan yang hampir biasa. Dira masih dengan ide seni di temboknya, Aksa masih terbenam dalam dunia buku beratnya, dan Ibu serta Ayah sibuk mengurus hal-hal kecil di rumah. Namun, ada sesuatu dalam kesederhanaan Rumah Rusa yang tak bisa dijelaskan—sesuatu yang membuat aku merasa bahwa hidup kami ini penuh dengan warna, meski terkadang terasa membosankan. Rumah ini, meskipun penuh dengan coretan tembok dan pertengkaran kecil, adalah tempat di mana semua hal bisa terjadi.

Mungkin, hari-hari yang penuh dengan rutinitas dan kekacauan kecil ini adalah bagian dari rumah yang kami bangun. Dan meskipun tembok-tembok itu kini dipenuhi dengan karya seni Dira, aku yakin, satu hari nanti, kami akan melihatnya sebagai bagian dari cerita yang tak akan pernah kami lupakan.

Tapi cerita ini belum selesai. Masih ada lebih banyak lagi yang akan terjadi di Rumah Rusa.

 

Tertawa di Taman Belakang

Hari-hari di Rumah Rusa, meskipun sederhana, selalu menawarkan kejutan kecil. Setelah segala aktivitas pagi yang penuh dengan kekacauan ringan, aku merasa ada sesuatu yang berbeda pada sore itu. Matahari mulai meredup, tapi tidak ada yang lebih menarik bagi kami selain duduk di halaman belakang, menikmati udara sejuk yang datang setelah hujan ringan. Suara burung yang berkelok-kelok di sekitar taman membuat suasana terasa tenang, meskipun masih ada satu kegaduhan kecil yang akan datang—Dira dengan eksperimen terbarunya.

“Ayo, Aksa, Ara, bantuin Dira. Aku mau bikin patung dari tanah liat!” Dira tiba-tiba muncul dari balik pintu belakang dengan wajah penuh semangat. Tangan kecilnya menggenggam sebuah ember plastik penuh dengan tanah liat yang, entah kenapa, lebih mirip lumpur ketimbang bahan seni.

“Aduh, Dira. Jangan mulai lagi deh,” gumam Aksa yang sudah mulai lelah dengan proyek-proyek Dira yang selalu tak terduga. “Lumpur di halaman belakang aja udah cukup, kenapa harus dibawa ke sini?”

Namun, Dira tidak peduli dengan keluhan Aksa. Dengan langkah kecil dan cepat, dia mengatur tempat kerja di sudut taman belakang yang sudah dipenuhi dengan berbagai tanaman hijau. Di sekelilingnya, ada tempat duduk kayu yang menjadi tempat kami sering duduk, menikmati teh panas atau hanya sekadar ngobrol tentang hal-hal sepele. Taman belakang ini, meskipun sederhana, adalah ruang di mana semua anggota keluarga merasa bisa menjadi diri sendiri.

“Gini loh, Aksa, ini kan seni,” Dira berkata, mencoba meyakinkan Aksa yang lebih memilih duduk di kursi taman dan melanjutkan membaca bukunya. “Aku mau bikin patung mini dari tanah liat. Kalau ini jadi, bisa jadi koleksi seni pertama kita, loh!”

Aku hanya tertawa mendengarnya. Dira, dengan segala cara dan ide anehnya, selalu berhasil membuat suasana di rumah ini tidak pernah membosankan. “Ayo, Aksa, bantuin aja. Kita lihat sejauh mana Dira bisa bikin patung dari tanah liat ini,” kataku, sambil duduk di sampingnya.

Aksa menghela napas panjang, tapi akhirnya dia menyerah. “Oke deh, tapi kamu yang mulai duluan, Dira.”

Dengan penuh percaya diri, Dira mulai membentuk tanah liat yang lebih mirip dengan gumpalan besar menjadi bentuk yang lebih kecil. “Aku mau bikin patung kuda,” katanya dengan suara penuh keyakinan. “Lihat nanti, kalian bakal kagum deh.”

Sementara itu, Ibu dan Ayah datang ke halaman belakang dengan secangkir kopi masing-masing. Ayah, yang biasanya jarang menunjukkan ekspresi, hanya tersenyum kecil melihat kami. “Apa yang kalian buat kali ini?” tanya Ayah dengan nada santai, sambil duduk di kursi taman.

Dira, tanpa mengangkat wajahnya, menjawab dengan penuh semangat. “Ini patung kuda, Ayah! Kalau jadi, nanti bisa dipajang di ruang tamu!”

Ayah tertawa kecil. “Pantas saja kalian selalu sibuk. Kalau begitu, aku ingin lihat hasilnya nanti.”

Ibu yang berdiri di belakang Ayah, tersenyum dan menatap Dira dengan penuh kasih. “Kreativitas anak-anak memang nggak ada habisnya. Yang penting, jangan sampai rumah ini jadi museum mini ya.”

Aku bisa merasakan bahwa rumah ini memang seperti museum kecil yang penuh dengan karya seni aneh dan unik. Tapi, di sisi lain, itu adalah tempat di mana kami bisa menjadi diri kami sendiri tanpa takut dihakimi. Semua ide, sekecil apapun, dianggap penting dan diberi ruang untuk berkembang. Ibu dan Ayah, meski kadang mengeluh tentang kekacauan yang terjadi, tetap memberikan dukungan tak terbatas untuk setiap hal kecil yang kami lakukan. Mereka tahu bahwa setiap momen, meski sepele, adalah bagian dari perjalanan kami sebagai keluarga.

Sore itu, kami menghabiskan waktu dengan tertawa, bercanda, dan membantu Dira membentuk patung kuda dari tanah liat yang semakin lama semakin tidak jelas bentuknya. Aksa akhirnya ikut terlibat, meski dengan enggan, dan membantu Dira menambahkan detail pada patung yang kini lebih terlihat seperti tumpukan tanah daripada karya seni.

“Tapi ini keren, kan?” Dira bertanya dengan serius, berharap ada pengakuan dari kami.

Kami semua menatap patung itu, mencoba mencari bentuk yang bisa dianggap ‘kuda’. Aksa yang lebih realistis berkomentar, “Hmm, ini lebih mirip monster sih, Dira. Tapi ya, setidaknya kamu sudah coba.”

Aku tidak bisa menahan tawa. “Setidaknya, Dira berani mengejar impian seni-nya.”

“Gak apa-apa. Ini kan seni,” jawab Dira sambil tersenyum lebar. “Yang penting ada niatnya!”

Ibu dan Ayah hanya tersenyum melihat kami. Mereka tahu, meskipun proyek seni Dira selalu berakhir dengan cara yang lucu dan aneh, itu adalah cara kami untuk saling mendekatkan diri, membuat kenangan baru, dan merayakan kebersamaan.

Malam itu, kami duduk bersama di ruang tamu, menonton acara keluarga seperti biasa, sambil sesekali melirik ke taman belakang tempat Dira dengan bangga menunjukkan “patung kuda”-nya. Mungkin dunia luar tidak akan menganggapnya seni, tapi bagi kami, itu adalah karya seni yang penuh cinta dan tawa.

Aku merasa, meskipun rumah kami tidak sempurna—dengan segala kekacauan dan kebisingan yang datang—tempat ini adalah tempat yang paling nyaman. Rumah ini adalah tempat di mana setiap anggota keluarga bisa menjadi dirinya sendiri, tanpa ada rasa takut atau keraguan. Kami punya rutinitas kami sendiri, cara kami untuk berbagi momen kecil yang membuat hari-hari terasa berarti.

Dan aku tahu, ini belum berakhir. Masih banyak cerita yang akan tercipta di Rumah Rusa, dengan segala warna dan kejutan yang datang bersamanya.

 

Di Bawah Langit yang Sama

Pagi di Rumah Rusa kali ini terasa berbeda. Seperti biasa, matahari memancar lembut ke dalam rumah, tetapi ada sesuatu yang lebih tenang di udara. Aku terbangun lebih awal dari biasanya, sebelum suara riuh Dira memecah kesunyian. Langit di luar jendela tampak cerah, penuh dengan harapan yang menggelora, meskipun kami tahu bahwa hari ini hanya akan menjadi bagian dari rutinitas yang tak ada habisnya.

Dira sudah tidak sabar untuk memulai hari barunya. Begitu mendengar suara langkah kaki, dia langsung melompat dari tempat tidurnya dan berlari menuju ruang keluarga. “Ayo, ayo! Kita mulai lagi! Aku sudah punya ide baru!”

“Aduh, Dira, jangan mulai lagi deh,” sahut Aksa sambil menggosok matanya dengan malas. “Kamu baru selesai bikin patung kemarin, sekarang sudah mulai lagi?”

Aku hanya tersenyum melihat kehebohan pagi itu. Mungkin bagi orang luar, hari-hari di Rumah Rusa terasa biasa saja, bahkan membosankan. Tetapi, bagi kami, setiap hari di rumah ini adalah bagian dari cerita yang tak pernah berakhir. Ada kebersamaan di balik rutinitas yang sederhana, tawa yang mewarnai hari-hari kami, dan sedikit kekacauan yang menjadikannya lebih hidup.

Pagi itu, setelah sarapan, kami berdua—Aksa dan aku—memutuskan untuk pergi ke taman belakang untuk menikmati udara segar. Tidak ada yang spesial, hanya duduk bersama di bangku kayu yang ada di sudut taman, ditemani dengan secangkir teh hangat. Taman ini, meski tak sebesar taman-taman di luar sana, adalah tempat yang selalu memberi kedamaian.

“Aku cuma pikir, gimana kalau kita coba buat sesuatu yang beneran beda hari ini?” aku berkata pelan, menggulirkan ide dalam kepala.

Aksa menatapku dengan tatapan kosong, namun perlahan matanya mulai berbinar. “Apa maksudmu? Jangan bilang kita akan mulai proyek seni Dira lagi, ya?”

Aku tertawa. “Bukan. Aku pikir, mungkin kita bisa… lebih banyak bercanda. Maksudnya, kita sudah lama nggak kayak gitu, kan? Sesekali lari dari rutinitas. Nggak usah terlalu serius terus.”

Aksa tersenyum tipis. “Itu baru ide yang keren.”

Tak lama setelah itu, Dira keluar dengan raut wajah penuh tekad, membawa peralatan lukis yang lebih banyak daripada yang kami harapkan. “Aku mau lukis pemandangan, tapi kali ini pakai warna-warni! Ayo, kalian mau bantuin nggak?”

Dan, meskipun rencana untuk menikmati ketenangan pagi terganggu, aku merasa senang. Kami mulai melukis bersama, mencoret-coret kertas dengan warna yang tak terduga. Bahkan Ayah dan Ibu yang sedang duduk di samping kami ikut tersenyum melihat kelucuan kami. Rumah ini, meskipun penuh dengan kekacauan kecil dan kebisingan, adalah tempat di mana kami saling memberi ruang untuk menjadi diri kami sendiri.

Di bawah langit yang sama, di halaman belakang ini, kami merasa lebih dekat. Setiap hari yang penuh tawa, setiap momen yang penuh kehangatan, semuanya membentuk kenangan yang akan selalu kami simpan di dalam hati.

Saat matahari mulai terbenam, dan langit berubah menjadi oranye kemerahan, kami duduk bersama di meja makan, menikmati makanan yang sederhana namun terasa istimewa. Tidak ada yang lebih berarti dari kebersamaan ini—dari hari-hari di Rumah Rusa yang penuh warna meskipun tidak sempurna.

“Ada satu hal yang aku pelajari selama ini,” kataku, sambil menyentuh tangan Aksa. “Kehidupan itu bukan soal kesempurnaan. Tapi soal merayakan momen-momen kecil yang kita punya bersama.”

Aksa mengangguk perlahan. “Benar. Rumah ini bukan hanya tentang tempat tinggal. Ini adalah tempat kita menjadi keluarga.”

Dira, yang masih asyik dengan lukisannya, menoleh dan ikut tersenyum. “Kalian benar. Ini rumah kita. Dengan semua kebisingan dan kekacauan yang ada di dalamnya.”

Malam pun datang, dan kami semua tertawa bersama, mengenang hari-hari yang sudah berlalu. Rumah Rusa mungkin sederhana, tapi di sinilah kami merasakan kenyamanan yang tak bisa ditemukan di tempat lain. Di sini, di bawah langit yang sama, kami belajar bahwa rumah adalah tempat di mana hati kita tinggal, tempat di mana kebahagiaan bukan diukur dengan hal-hal besar, melainkan dengan kehangatan yang tercipta dalam kebersamaan.

Dan seperti itulah hari-hari kami di Rumah Rusa—tak pernah sempurna, tapi selalu penuh makna.

 

Dan begitulah, hidup kadang nggak selalu tentang momen besar atau perjalanan jauh. Terkadang, kebahagiaan datang dari hal-hal kecil yang terjadi di rumah, di tengah-tengah rutinitas yang biasa.

Karena di akhir hari, rumah bukan cuma soal tempat tinggal, tapi soal orang-orang yang selalu ada, dengan segala kekacauan dan tawa yang mereka bawa. Semoga cerita ini ngingetin kita untuk lebih menghargai tiap detik kebersamaan yang ada.

Leave a Reply