Hantu Sekolah: Misteri Kegelapan yang Menyergap

Posted on

Kamu pasti nggak bakal nyangka bakal masuk ke dunia yang jauh lebih gelap daripada yang pernah kamu bayangin. Bayangin aja, di sekolah yang biasa aja, ada tempat yang nggak pernah kamu lihat sebelumnya, dan yang lebih serem lagi—tempat itu punya rahasia yang jauh lebih misterius dari yang bisa kamu bayangkan.

Ada hantu yang nggak cuma nungguin di pojokan, tapi juga siap ngerenggut siapa pun yang berani masuk ke dunia mereka. Cerita ini bakal bikin kamu mikir dua kali sebelum mampir ke sekolah sendirian, deh. Siap-siap merinding!

 

Hantu Sekolah

Bisik Lorong Lantai Empat

Aku sudah sering mendengar cerita itu. Setiap kali istirahat, teman-temanku selalu berbicara tentang hal yang satu ini. Lantai empat, ruang kosong yang tak pernah dimasuki siapapun. Suasana sekolah yang agak sunyi di ujung kota ini seakan selalu memberikan kesan seram, terutama saat sudah lewat jam pelajaran terakhir. Di sana, di lantai empat, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang tak terlihat, tapi selalu bisa dirasakan. Setiap orang yang pernah berani mencoba masuk ke sana tak pernah kembali dengan cerita yang biasa.

“Dengar-dengar, sih, kalau kamu ke sana pas malam hari, ada suara langkah kaki. Entah siapa yang jalan, tapi nggak ada siapa-siapa. Kalau kamu duduk terlalu lama, katanya kamu bakal denger suara ketawa pelan, kayak dari kejauhan. Nggak percaya, coba aja sendiri,” bisik Darla dengan nada serius yang enggak biasanya. Biasanya sih, dia cuma suka becanda, tapi kali ini ada sesuatu dalam suaranya yang bikin aku agak merinding.

“Ah, jangan percaya deh. Itu cuma cerita orang yang pengen ngusilin aja. Lantai empat udah lama nggak dipakai, pasti banyak debu dan barang-barang rusak. Kalian cuma kebawa perasaan,” jawab Kiana dengan santai. Dia memang terkenal berani dan nggak gampang takut. Sifatnya yang cuek dan tengil itu selalu jadi alasan buat dia nggak peduli sama hal-hal kayak gitu.

Tapi entah kenapa, cerita itu nggak bisa hilang dari kepala aku. Aku tahu, kalau sudah ada cerita semacam itu, pasti ada sesuatu yang lebih dalam. Dan saat Aksa mulai menantang, aku cuma bisa diam, menunggu respon temen-temen yang lain.

“Kalian semua sih penakut. Kalau memang nggak ada apa-apa, kenapa nggak coba aja? Coba buktikan kalau nggak ada yang aneh. Kalian berani?” Aksa menatap kami satu per satu dengan tatapan tantangan. Aksa memang terkenal punya keberanian yang agak kelewatan, dan kalau dia sudah menantang, pasti semua orang yang mendengarnya bakal tertarik.

“Ya udah deh, ayo. Aku ikut.” Gilang akhirnya angkat suara, sedikit ragu, tapi masih terlihat berani. “Tapi kalau ada apa-apa, aku nggak tanggung jawab loh.”

Kiana menatap Gilang dengan senyum sinis. “Kalian pada takut, kan? Pasti cuma cerita doang.”

Tapi aku bisa lihat dari ekspresi mereka, bahwa ada keraguan di mata mereka. Semua berani, tapi juga tidak yakin. Seperti ada sesuatu yang mengikat kami untuk tahu lebih jauh. Aku sendiri merasa aneh, seakan-akan tempat itu menyimpan sesuatu yang nggak bisa diabaikan begitu saja.


Malam pun datang. Udara terasa lebih dingin dari biasanya, dan cahaya rembulan hanya menyisakan bayangan gelap di sepanjang lorong sekolah. Kami sudah berkumpul di depan pintu gerbang, masing-masing dengan senter dan perlengkapan seadanya. Darla menggenggam tangan Gilang, meski dia berusaha terlihat tenang. Kiana hanya tersenyum, sementara Aksa sudah berjalan duluan, seolah-olah tempat ini sudah menjadi rumahnya.

“Jangan takut, kita cuma cari tahu aja kok,” ujarku sambil mengikuti langkah mereka.

Sesampainya di tangga, suasana berubah. Tangga tua itu berderit setiap kali kami melangkah. Aku bisa merasakan hawa dingin yang tiba-tiba mencekam, menyelimuti tubuh kami. Tangga menuju lantai empat terasa lebih sempit dan gelap, seperti terowongan yang memaksa kami untuk berjalan lebih cepat. Suara langkah kaki kami bergema, memecah keheningan malam. Namun, semakin kami mendekat ke lantai empat, semakin berat rasanya. Entah kenapa, hati aku mulai berdegup kencang. Seseorang di sini merasa takut, meskipun tak ada yang mengakuinya.

“Ayo, jangan mundur. Kita cuma lihat-lihat, kok,” kata Kiana, memimpin kami maju dengan langkah mantap.

Begitu tiba di lantai empat, sepi yang mengelilingi kami seperti menelan semua suara. Udara terasa lebih berat, dan aroma bau apek dari kayu tua langsung menusuk hidung. Tidak ada suara selain desiran napas kami yang terasa lebih cepat. Di ujung lorong, pintu ruang kosong itu tampak tertutup rapat, hanya ada tanda “Dilarang Masuk” yang sedikit miring, seakan ingin memperingatkan kami.

“Ayo buka!” tantang Aksa dengan bersemangat.

Tapi begitu aku menatap pintu itu lebih dekat, ada sesuatu yang mengganggu. Pintu kayu itu terlihat berbeda. Mungkin karena sudah lama tak digunakan, atau mungkin ada sesuatu yang membuatnya terasa lebih berat untuk dibuka. Aku menahan napas sejenak, lalu akhirnya menggerakkan tangan untuk membuka pintu.

Pintu itu berderit keras saat aku membuka, dan di dalam, suasana gelap pekat. Debu-debu tebal menutupi setiap sudut ruangan, dan di atas meja tua, ada tumpukan buku-buku yang tak teratur. Bau apek dan lembab semakin terasa. Ruangan ini seperti tidak pernah disentuh oleh siapa pun selama bertahun-tahun.

“Apa kita benar-benar mau masuk ke sini?” tanya Darla dengan suara cemas.

“Harus, kan? Kita udah sampai sini,” jawab Kiana, yang sudah melangkah masuk lebih dulu.

Aku mengikutinya, dan ketika kami semua berada di dalam, sebuah suara pelan terdengar. Suara itu seperti… ketawa. Ketawa pelan yang datang entah dari mana. Aku menoleh ke kiri dan kanan, mencari sumber suara itu, tapi tidak ada siapa-siapa.

“Apa itu?” tanya Gilang dengan nada suara yang agak tinggi, matanya bergerak-gerak, mencari tahu.

Kiana menyeringai, “Tuh kan, cuma perasaan aja. Lihat, nggak ada apa-apa.”

Namun, saat itu juga, di sudut ruangan, ada sesuatu yang bergerak. Sebuah bayangan hitam yang samar mulai muncul, perlahan menyatu dengan kegelapan. Kami semua terdiam, mataku terkunci pada bayangan itu. Tiba-tiba, ada suara langkah kaki. Suara itu semakin keras, dan ketika kami berbalik, tidak ada siapa-siapa.

“Ada apa ini?” Darla berbisik, suaranya gemetar.

Aku memegang ponselku dengan gemetar, mencoba merekam keadaan sekitar, namun tiba-tiba layar ponselku mati. Gelap. Semua gelap. Kami berdiri di sana, bingung dan cemas. Sesuatu terasa sangat salah di sini.

“Ayo keluar! Sekarang!” aku hampir berteriak, namun suara ketawa itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas dan lebih dekat.

Satu langkah demi satu langkah, kami mundur, mencoba keluar dari ruangan itu, namun pintu tiba-tiba tertutup sendiri dengan keras. Kami terjebak. Apa yang sedang terjadi?

 

Jejak Bayangan di Kegelapan

Kami berdiri terpaku, menatap pintu yang tiba-tiba tertutup rapat. Jantungku berdegup kencang, dan napasku terasa sesak. Di dalam ruangan ini, semua terasa berbeda. Seperti ada kekuatan yang mengendalikan kami, menarik kami untuk tetap di sini. Suara ketawa itu kembali terdengar, lebih pelan, lebih mengerikan. Aku memalingkan kepala, tapi hanya ada kegelapan yang menyelimuti.

“Apa yang terjadi? Kenapa pintunya…?” Darla berbisik, suaranya hampir tak terdengar. Tangannya menggenggam erat lengan Gilang, dan wajahnya tampak pucat.

“Aku nggak tahu,” jawab Gilang dengan suara yang terbata-bata. “Pintu itu… nggak ada orang yang masuk ke sini kan? Pasti ada yang main-main.”

“Apa kamu nggak merasa ada yang aneh?” tanyaku, suara ku terasa lebih keras daripada yang kuinginkan. Aku berusaha mengatur napas, tapi rasanya semakin berat.

“Pasti cuma kebetulan, kok. Semua ini cuma karena kita udah kebawa cerita-cerita tadi,” Kiana mencoba terdengar tenang, meskipun jelas ada kegelisahan di matanya. “Kalian terlalu berlebihan. Ayo, keluar dari sini.”

Tapi, saat kami mencoba bergerak menuju pintu, sesuatu yang lebih menakutkan terjadi. Bayangan gelap itu kembali bergerak, kali ini lebih jelas, melintas di depan kami, secepat kilat. Tidak ada suara, hanya gerakan itu yang semakin mendekat. Kami semua terdiam. Sungguh, tidak ada penjelasan untuk itu.

“Siapa itu?” Darla hampir berteriak, matanya membesar, melihat ke arah bayangan yang semakin mendekat.

Tanpa sempat menjawab, bayangan itu berhenti. Di depanku, di tengah-tengah ruangan yang gelap, aku melihat sesuatu yang mengejutkan. Seorang wanita berdiri di sana, sangat diam, dengan wajah tertunduk, mengenakan pakaian sekolah yang sudah lusuh, seperti dari zaman dulu.

Kepalaku terasa berat, aku ingin berbalik dan lari, tapi tubuhku seperti membeku. Mata wanita itu… tidak bergerak, hanya ada kesan kosong di matanya. Entah kenapa, aku merasa seakan kami sedang diperhatikan. Dan aku tahu, itu bukan sekedar perasaan.

“Darla, Gilang, Kiana, kamu lihat itu?” suaraku serak, tapi aku tahu mereka pasti merasakannya juga. Mata mereka terbelalak, menatap wanita itu dengan ketakutan yang sama.

Wanita itu bergerak perlahan, kepalanya sedikit menoleh ke arah kami. Suasana semakin mencekam. Tangan kami semua terasa dingin, keringat mengalir di seluruh tubuh. Saat wanita itu mengangkat kepalanya, wajahnya terlihat jelas. Wajah yang penuh dengan luka, seperti bekas goresan yang dalam. Darah segar menetes dari matanya, dan mulutnya terbuka sedikit, seperti hendak berbicara.

Namun, suara itu bukan suara manusia. Suara itu terdengar berbisik, sangat pelan, namun seakan mampu menghancurkan ketenangan dalam hati. “Keluar…” hanya itu yang bisa kami dengar. Suara itu bukan suara wanita yang kita kenal, tetapi sesuatu yang lebih tua, lebih seram. Itu suara dari kedalaman yang tidak bisa kami mengerti.

Aku mundur beberapa langkah, diikuti oleh yang lainnya. Tanpa berkata apapun, kami semua bergerak ke arah pintu, namun pintu itu tetap terkunci rapat. Tidak ada cara untuk membukanya.

“Kita nggak bisa keluar,” bisik Kiana, suaranya hampir tidak terdengar. Dia menatap pintu yang tampaknya semakin menjauh dari jangkauannya. “Gimana ini?”

“Kita harus cari cara keluar, sekarang juga,” jawab Gilang, suaranya tegang. “Apa yang sebenarnya terjadi di sini?”

Tiba-tiba, ruangan itu mulai bergetar. Lantai di bawah kaki kami terasa seperti bergerak. Langkah-langkah berat terdengar semakin dekat. Kami berputar ke sana kemari, mencoba mencari sumber suara itu, namun semuanya hanya gelap. Tidak ada yang tampak di dalam bayangan itu.

Kita mulai merasakan bahwa ini bukan sekedar cerita hantu biasa. Sesuatu yang lebih gelap, lebih dalam, mengendalikan tempat ini. Apa yang terjadi di lantai empat ini, apa yang sebenarnya terjadi pada wanita itu?

“Apa yang harus kita lakukan?” tanya Darla, suaranya terputus-putus. “Kita nggak bisa terus-terusan di sini.”

Namun, sebelum ada yang bisa menjawab, suara langkah kaki itu semakin dekat, semakin keras, dan akhirnya, di ujung ruangan, sebuah pintu terbuka perlahan. Kami semua terdiam, tidak ada yang bergerak. Semua mata tertuju pada pintu yang terbuka dengan sendirinya.

“Ke sana…” suara itu kembali terdengar, suara yang sama seperti sebelumnya. Kali ini lebih keras, lebih jelas. “Masuk…” kata suara itu.

Kami berbalik, saling berpandangan. Tidak ada pilihan lain. Kami hanya bisa mengikuti perintah itu, meskipun rasa takut semakin menghantui kami. Pintu itu seakan memanggil kami, dan tak ada jalan lain selain masuk. Kami berjalan perlahan, semakin mendekati pintu yang terbuka lebar di hadapan kami.

Dan begitu kami memasuki ruangan itu, suasana berubah lagi.

 

Ruangan yang Tak Pernah Ada

Kami melangkah masuk ke dalam ruangan yang pintunya terbuka tanpa alasan. Semua terasa semakin aneh, semakin asing. Ketika kaki kami menjejak lantai, rasa dingin yang luar biasa langsung menyelimuti tubuh kami. Seolah-olah kami bukan lagi berada di sekolah ini, melainkan di tempat yang jauh lebih gelap, yang bahkan tidak bisa kami bayangkan sebelumnya. Udara di sini begitu pekat, seolah-olah setiap napas yang kami ambil membawa sesuatu yang buruk, sesuatu yang tidak boleh kami kenal.

Ruangan itu sangat luas, meskipun tidak terlihat jelas berapa panjang atau lebarnya. Semua benda yang ada di sana tampak buram, hampir tidak tampak sama sekali. Hanya ada sedikit cahaya yang datang dari celah-celah langit-langit yang rusak. Dan dari sinilah, kami merasakan kehadiran itu—sesuatu yang mengawasi kami, bergerak di antara bayangan.

“Apa ini?” Darla berbisik, suaranya bergetar. Matanya memandang sekeliling dengan waspada. “Tempat ini nggak ada di gedung ini kan?”

Gilang mengangguk pelan, tidak bisa menjawab. Dia pun merasa bingung. Bagaimana bisa, di sekolah sebesar ini, ada ruangan yang kami tidak pernah tahu ada? Ruangan ini terasa sangat asing, seolah-olah ditarik dari dimensi lain.

Di tengah ruangan, ada meja panjang yang terbuat dari kayu tua. Di atasnya, ada sebuah buku terbuka, tergeletak begitu saja, seperti menunggu seseorang untuk membukanya. Itu seperti undangan—undangan untuk kami masuk lebih dalam ke dalam misteri yang tidak bisa kami jelaskan.

“Jangan buka itu,” kata Kiana, suaranya tegang, berbisik. “Kita nggak tahu apa yang ada di sana.”

Namun, saat mataku tertuju pada buku itu, aku merasa seperti ada sesuatu yang menarikku untuk mendekat. Tangan ku terasa seperti bergerak sendiri, tertarik untuk membuka buku itu, membaca apa yang ada di dalamnya.

“Aku rasa kita harus lihat,” jawabku pelan, tanpa bisa menghindar dari perasaan aneh yang semakin kuat. “Ini mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi.”

Dengan langkah pelan, aku mendekati meja itu dan mulai membuka halaman pertama. Tulisan yang ada di dalam buku itu sangat aneh, tidak seperti tulisan yang biasa kami lihat. Semua kata-katanya tampak terbalik, tetapi entah bagaimana aku bisa membacanya, seperti ada suara yang membimbingku.

“Di balik dinding-dinding yang tidak tampak, bersemayam jiwa-jiwa yang telah terlupakan. Mereka menunggu saat yang tepat untuk kembali, untuk menuntut balas dari mereka yang tidak percaya pada mereka.”

Aku berhenti membaca, dan mataku tertuju pada satu kalimat yang terasa sangat berat. “Ada yang hilang di sini.”

Kiana yang berdiri di belakangku tiba-tiba menarik tanganku. “Jangan lanjutkan!” teriaknya, hampir histeris. “Apa itu? Kenapa kamu baca itu?”

Namun, sebelum aku sempat menjawab, sesuatu yang mengerikan terjadi.

Tiba-tiba, ruangan itu bergetar hebat. Lampu-lampu yang ada di sekitar kami mulai berkedip, dan bayangan-bayangan yang semula hanya tampak samar, mulai bergerak. Benda-benda yang ada di dalam ruangan mulai terangkat sedikit dari tempatnya, seolah ada kekuatan lain yang menggerakkan semuanya.

“Keluar… kalian harus keluar sekarang,” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih keras, lebih memaksa, lebih penuh ancaman. Suara wanita itu terdengar lebih jelas, lebih nyata, seperti sedang berada di belakang kami. Kami semua berbalik, wajah kami semua pucat. Bayangan itu, yang tadi sempat menghilang, kini muncul kembali—lebih besar, lebih jelas, lebih menakutkan.

Darla menjerit keras, tubuhnya mulai gemetar. “Kita nggak bisa tinggal di sini! Ini bukan tempat yang aman!”

Tapi saat kami mencoba bergerak menuju pintu yang sama sekali tidak tampak, ruangan itu mulai berputar. Lantai bergeser, dinding bergoyang, dan suara-suara aneh terus bergema di sekitar kami. Semuanya terasa semakin kacau. Terlebih lagi, ketika pandanganku kembali terfokus pada wajah bayangan itu, aku bisa melihat sesuatu yang lebih jelas.

Matanya… matanya tidak tampak seperti mata manusia. Mereka gelap, dalam, dan ada kilatan cahaya yang menari di dalamnya. Seperti api yang membakar, siap menghanguskan apa saja yang ada di dekatnya.

“Kita harus pergi!” teriak Gilang, memegang lengan Darla yang masih terdiam. “Ada sesuatu yang salah di sini!”

Namun saat kami berbalik untuk berlari, ruangan itu semakin menghilang, seperti menghilang ke dalam kegelapan yang lebih dalam. Pintu yang tadi terbuka, kini tertutup rapat, seakan tidak ada jalan keluar.

Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih dalam, lebih mengerikan.

“Kalian tidak bisa pergi… Kalian akan tetap di sini, seperti mereka yang lain.”

Sekarang, kami tahu bahwa kami terjebak di suatu tempat yang tidak bisa kami pahami, di dalam ruang yang bahkan tidak ada di dunia ini. Dan bayangan itu—sama seperti buku itu—hanya menunjukkan satu hal: ada sesuatu yang lebih gelap, yang menunggu kami di dalam tempat ini.

Kami tidak bisa kabur dari sini.

 

Kegelapan yang Menelan

Panik menyelimutiku, menyesakkan dada, menghalangi setiap langkah yang hendak kuambil. Kami semua kini berputar-putar di tengah ruangan yang semakin menghilang di dalam kegelapan. Ruangan yang semula luas kini terasa semakin kecil, semakin sesak, dan bayangan-bayangan itu… mereka mulai bergerak, seolah mengejar kami.

“Apa yang harus kita lakukan?!” teriak Kiana, suaranya hampir tak terdengar di antara riuh suara yang mulai menderu di sekitar kami. Matanya membesar, penuh ketakutan. Kami semua merasa terjebak dalam sebuah lingkaran tak berujung.

Darla memegang tangan Gilang dengan erat. “Kita harus keluar! Sekarang!” teriaknya, suaranya penuh keputusasaan. Setiap sudut ruangan kini dipenuhi dengan bayangan gelap yang bergerak seperti makhluk hidup, merayap di setiap celah, menjalar ke seluruh dinding, menciptakan sebuah jaring tak kasat mata yang menahan kami.

Aku berlari, mencari pintu yang mungkin bisa membuka. Aku tahu, kami tidak bisa tinggal di sini lebih lama. Suara bisikan itu kembali terdengar, lebih keras, lebih menghantui. “Kalian tidak akan keluar…” Kata-kata itu bagaikan kutukan, menyusup ke dalam otakku, membuatku semakin merasa kehilangan harapan.

Sekarang, di tengah kegelapan, aku mulai merasakan sesuatu yang lebih jahat lagi—sesuatu yang lebih tua dan lebih kuat. Bayangan wanita itu. Aku tidak tahu bagaimana, tapi aku bisa merasakannya lebih dekat, lebih nyata, seolah ia sudah ada di belakangku. Aku menoleh dengan cepat, namun yang kutemui hanya kegelapan.

“Lari!” Gilang berteriak, menarik kami menjauh dari satu sudut yang semakin gelap. Aku bisa melihat wajahnya, pucat dan penuh kecemasan, tapi juga ada sesuatu yang lain—sesuatu yang mulai terlihat di matanya: penyerahan.

Kami berlari, meskipun tanpa tujuan yang jelas. Pintu-pintu yang ada tidak bisa kami temukan. Semua jalur tampak berputar-putar, seakan kami terperangkap dalam ruang yang tidak pernah ada. Terlalu banyak bayangan yang menutupi jalan, terlalu banyak suara yang mengganggu. Hawa dingin semakin menggigit, lebih keras, lebih mencekam.

Dan tiba-tiba, semuanya berhenti.

Di depan kami, muncul sebuah pintu. Pintu yang berbeda dari pintu-pintu lain yang telah kami coba sebelumnya. Pintu itu tampak tua, penuh dengan goresan dan debu. Namun ada sesuatu yang membuatku yakin, kami harus menuju ke sana. Pintu itu tampak seperti satu-satunya harapan yang tersisa.

“Kita harus ke sana,” kataku, suaraku lebih tegas dari sebelumnya. Aku bisa merasakan bahwa inilah jalan keluar. Inilah satu-satunya kesempatan.

Kami berlari ke arah pintu itu, dan begitu kami mendekat, pintu itu membuka dengan sendirinya. Di baliknya, hanya ada kegelapan. Tapi kami tak punya pilihan lain.

Dengan hati yang berdegup kencang, kami melangkah masuk. Pintu itu tertutup seketika di belakang kami, dan kami terperangkap dalam kegelapan yang sama sekali berbeda. Ruangan ini tak seperti yang lain. Ada rasa yang lebih berat di sini. Tidak ada suara sama sekali. Hanya keheningan yang memeluk kami, begitu tebal dan penuh tekanan.

Dan di sinilah kami berada, di tengah kegelapan itu, saat akhirnya kami mendengar suara wanita itu lagi, kali ini sangat jelas, sangat dekat.

“Kalian memilih jalan ini… sekarang kalian adalah bagian dari kami.”

Seketika, aku merasakan tubuhku terhisap oleh kegelapan itu. Pandanganku mulai kabur, napasku semakin berat. Kami semua terjatuh, terlempar ke dalam ruang yang lebih dalam, yang lebih hitam. Suara itu semakin dekat, semakin mencekam.

Tidak ada jalan keluar.

 

Jadi, gimana? Masih berani sendirian di sekolah malam-malam setelah baca cerita ini? Jangan sampai kamu jadi bagian dari misteri yang nggak terpecahkan itu.

Kadang, yang kita anggap biasa aja, ternyata punya sisi gelap yang nggak pernah kita duga. Hati-hati, karena nggak semua pintu yang terbuka itu layak buat kita masuki. Kalau kamu mendengar bisikan di malam hari, jangan terlalu penasaran, ya. Bisa-bisa kamu nggak kembali lagi.

Leave a Reply