Gerson Poyk: Perjalanan Rambut Berjurai yang Menghubungkan Dunia

Posted on

Gerson Poyk, si pemuda dengan rambut panjang berjurai, ternyata bukan orang biasa. Bayangin, rambutnya aja bisa nyambungin dunia, lho! Cuma masalahnya, dia baru sadar kalau hidupnya bakal terhubung dengan kekuatan yang bahkan dia sendiri nggak ngerti. Penasaran gimana dia mulai berpetualang? Yuk, simak ceritanya, jangan sampai kelewatan!

 

Gerson Poyk

Rambut yang Mengalir

Di pagi yang cerah, udara segar menyentuh kulit Gerson saat ia melangkah keluar dari rumahnya yang sederhana. Kota kecil itu, yang selalu tenang dan sepi, memberi rasa damai yang hanya bisa didapatkan dari tempat yang jauh dari hiruk-pikuk dunia besar. Namun, ada satu hal yang berbeda tentang hari ini. Seperti ada sesuatu yang menggantung di udara, seperti tanda bahwa hari ini bukanlah hari biasa.

Gerson mengusap rambutnya yang panjang dan hitam legam. Rambutnya itu bukan rambut biasa. Sejak kecil, ia selalu merasa ada sesuatu yang tak wajar tentang rambutnya yang berjurai itu. Ia bisa merasakannya—rambutnya seperti hidup, bergerak dengan irama yang tak bisa ia kendalikan. Terkadang, saat angin berhembus kencang, ia bisa merasakan rambutnya bergerak seolah memiliki kehidupan sendiri. Dan pagi ini, ia merasa rambutnya itu bergerak lebih cepat dari biasanya, seolah mendesaknya untuk segera beranjak.

“Kenapa, ya?” gumamnya, memegang ujung rambutnya yang terasa lebih berat dari biasanya. “Apa kamu merasa ada yang aneh juga?”

Rambutnya, yang biasanya tergerai dengan tenang, kini seperti bergulung-gulung, seolah menjalar ke arah yang sama. Gerson menatap rambutnya yang mulai bergerak, seolah ada sesuatu yang menariknya. Hatinya berdebar, tapi ia tetap melangkah, mengikuti arah gerakan rambutnya yang seolah mengarah ke sebuah tempat yang tak pernah ia kunjungi sebelumnya.

Di luar, angin berdesir, dan kota yang biasa damai itu tampak berbeda. Semua tampak lebih tajam, lebih hidup. Gerson tak bisa mengabaikan bisikan halus yang terdengar di telinganya, seperti suara lembut yang memanggilnya, memintanya untuk mengikuti jejak rambut yang berjurai itu.

“Ke sana,” suara itu terdengar jelas, namun tetap asing. “Pergilah ke hutan.”

Gerson terdiam sejenak, menatap sekitar, memastikan tak ada orang yang memperhatikannya. Tapi tak ada yang aneh. Hanya rumah-rumah kecil yang berjejer, dengan pemandangan pepohonan hijau yang biasa terlihat. Namun, entah mengapa, hati Gerson seperti diberi dorongan kuat. Tanpa banyak berpikir, ia mulai melangkah ke arah yang ditunjukkan oleh rambutnya. Ke hutan yang terletak di pinggir kota.

Hutan itu, meskipun dekat, selalu terasa misterius bagi Gerson. Ada sesuatu yang mengundang rasa takut, meskipun tak ada satu pun orang yang pernah melaporkan kejadian aneh di sana. Gerson sering mendengar cerita tentang hutan itu, tentang bagaimana orang-orang yang memasuki hutan tersebut terkadang tak pernah kembali dengan utuh. Tapi kini, ia tak bisa berhenti. Rambutnya terus menariknya, seperti memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari sekadar dorongan fisik.

Saat kaki Gerson menyentuh tanah hutan yang lembab, sebuah perasaan aneh merayapi tubuhnya. Ia menoleh ke belakang, memastikan tak ada yang mengikutinya. Namun hanya hutan yang rapat dan gelap yang menatapnya. Seperti ada bisikan yang datang dari dalam, menyuruhnya untuk terus maju. Rambutnya kini bergerak lebih cepat, seperti tergerak oleh angin yang tak terlihat, menariknya lebih dalam ke dalam kegelapan hutan.

Di tengah hutan, Gerson berhenti. Di sana, di antara pepohonan yang tinggi, berdiri sebuah gua kecil, tersembunyi dan hampir terlupakan oleh waktu. Rambut Gerson terasa tegang, bergerak dengan sendirinya, berputar-putar di udara seolah-olah memberi petunjuk tentang sesuatu yang ada di dalam gua tersebut.

“Hmm… Ini dia, ya?” Gerson berbisik, mencoba menenangkan diri. Ia mengangkat kaki, melangkah memasuki gua yang gelap itu. Suara angin berdesir semakin kencang di sekitar telinganya, seperti sesuatu yang menunggu di dalam.

Begitu ia melangkah lebih jauh ke dalam gua, ia melihat sebuah cermin besar yang tersembunyi di balik bebatuan. Cermin itu tidak mencerminkan hanya bayangannya, tetapi ada sesuatu yang lain. Cermin itu seolah memperlihatkan gambaran yang lebih dalam—lebih dari sekadar wajahnya, lebih dari sekadar tubuhnya. Cermin itu menunjukkan dirinya, namun bukan dirinya yang biasa ia lihat. Rambutnya, yang berjurai panjang, bergerak dengan pola yang rumit, seolah membentuk gambaran lain yang tak bisa ia mengerti.

Gerson tertegun. Ia merasakan getaran halus di dalam dirinya. Rambutnya, yang selama ini terasa seperti bagian dari dirinya, kini tampak lebih hidup, seolah bergerak sesuai dengan alur takdir yang lebih besar. Ia mendekatkan diri ke cermin, dan begitu ia menyentuh permukaan kaca, seluruh dunia di sekitarnya bergetar.

“Apa yang terjadi?” suara Gerson teredam oleh kebingungannya. Cermin itu bukan hanya sekadar kaca—itu adalah sebuah pintu, sebuah pintu yang membawanya ke sesuatu yang lebih besar.

Tiba-tiba, rambutnya seperti memimpin jalannya. Bergulung-gulung, melilit dan berputar, seolah menunjukkan arah yang harus ia tuju. Satu perasaan muncul di dalam dirinya, sesuatu yang tak pernah ia rasakan sebelumnya: takdirnya bukan hanya tentang dirinya saja. Rambut itu, yang selama ini menjadi kekuatan aneh dalam hidupnya, adalah sebuah kunci. Kunci untuk membuka dunia yang tak bisa dilihat oleh mata biasa.

Saat ia tertegun, rambutnya yang panjang dan berjurai itu bergerak lebih cepat. Sesuatu mulai bergema dalam dirinya. Ada suara yang terdengar dari jauh, seperti bisikan dari dunia lain. Sesuatu yang belum pernah ia dengar sebelumnya, namun terasa sangat familiar.

“Mulailah perjalananmu,” suara itu semakin jelas, seolah datang dari dalam tubuhnya sendiri. “Kami menunggumu.”

Di sana, di gua yang gelap itu, Gerson tahu bahwa hidupnya akan berubah selamanya. Dunia yang biasa ia kenal bukanlah satu-satunya dunia yang ada. Rambutnya yang berjurai panjang, yang telah lama ia anggap sebagai keanehan, kini menjadi pembuka jalan untuk sebuah perjalanan yang tak terbayangkan.

Namun perjalanan itu baru saja dimulai.

 

Bisikan dari Hutan

Gerson masih terdiam di depan cermin itu, tubuhnya terasa kaku dan terbebani oleh perasaan yang campur aduk. Rambutnya yang berjurai panjang kini tergerai dengan bebas, bergerak lebih liar dari sebelumnya. Ia merasa seperti ada sesuatu yang mengikat dirinya dengan benda itu, sebuah kekuatan yang seolah memanggilnya untuk melangkah lebih jauh. Namun, di dalam hatinya, masih ada keraguan yang mengganjal.

“Apa yang sebenarnya terjadi?” gumamnya pelan. Suaranya terdengar samar, seolah terbenam dalam gua yang sepi ini.

Tanpa sadar, ia mengangkat tangan dan menyentuh cermin itu lagi. Begitu ujung jarinya menyentuh permukaan kaca, seluruh tubuhnya tergetar. Cahaya biru samar menyelimuti ruang di sekitarnya, dan untuk sesaat, ia merasa seperti dilontarkan ke dalam dimensi yang sama sekali berbeda.

Seketika, dunia di sekitarnya berubah. Cermin itu tak lagi menjadi sekadar refleksi dari dirinya. Alih-alih, ia melihat gambaran lain, sebuah pemandangan yang begitu berbeda dari dunia yang ia kenal. Pemandangan yang penuh dengan kabut biru, pepohonan yang tinggi menjulang, dan langit yang berwarna keunguan.

Gerson tertegun, mulutnya ternganga. Ia memutar tubuhnya, mencoba memahami apa yang sedang terjadi.

“Ini… bukan dunia yang aku kenal,” ujarnya pelan, matanya berkeliling.

Tiba-tiba, ia mendengar suara langkah kaki dari kejauhan, datang dengan kecepatan yang tidak bisa ia ukur. Ia menoleh, dan dalam kabut yang tebal, sebuah sosok muncul. Sosok itu berjalan dengan langkah pasti, seolah tak terhalang oleh apa pun, meskipun kabut itu menghalangi pandangan. Sosok itu mengenakan jubah hitam yang berkibar di udara, rambutnya panjang dan tergerai—seperti rambut Gerson.

Mata Gerson membelalak. “Siapa… siapa kamu?” suaranya serak.

Sosok itu tidak menjawab. Ia hanya melangkah lebih dekat, langkahnya terasa berat, namun setiap gerakannya terkesan penuh makna, seolah setiap langkah itu membawa Gerson semakin dekat ke takdir yang tak ia mengerti.

“Saya… saya tidak tahu apa yang sedang terjadi,” Gerson berbicara lebih kepada dirinya sendiri. Ia melangkah mundur beberapa langkah, mencoba mencari jalan keluar dari situasi yang semakin membingungkan ini. Namun, rambutnya yang berjurai panjang, yang sebelumnya terasa seolah memiliki hidup sendiri, kini bergerak lebih cepat. Berputar-putar di udara, seperti menarik Gerson untuk lebih mendekat kepada sosok misterius itu.

Sosok yang berjalan mendekat itu akhirnya berbicara. Suaranya lembut, namun dalam dan penuh kekuatan. “Tidak ada jalan mundur, Gerson. Kamu sudah terpilih.”

Gerson merasa tubuhnya seperti dipaksa bergerak maju. Ia ingin berlari, tetapi rambutnya, yang kini terasa lebih berat dan lebih hidup, menahannya. Rambut itu seperti memiliki kehendaknya sendiri, membawa Gerson semakin dalam ke dunia yang tak dikenal.

“Saya… terpilih?” tanya Gerson, bingung dan takut. “Apa maksudmu?”

Sosok itu berhenti sejenak dan menatap Gerson dengan mata yang dalam, penuh misteri. “Kamu adalah satu-satunya yang bisa membuka jalan ini. Rambutmu bukan hanya rambut, Gerson. Itu adalah kunci.”

“Rambut saya? Kunci untuk apa?” Gerson semakin bingung, mencoba memahami setiap kata yang keluar dari mulut sosok itu.

Sosok itu tersenyum tipis, senyum yang penuh dengan kebijaksanaan yang tak bisa dipahami Gerson. “Untuk membuka batas dunia ini. Untuk membawa keseimbangan.”

Gerson tak bisa mengungkapkan apa yang ia rasakan. Semua ini terasa begitu rumit, seperti sebuah teka-teki yang tidak bisa ia pecahkan. Seiring dengan ucapan sosok itu, suara bisikan lain terdengar lagi, kali ini lebih jelas, datang dari dalam dirinya sendiri. Suara itu mengisi setiap sudut pikirannya.

“Ikuti langkahmu, Gerson. Jangan takut.”

Dengan perasaan yang tercampur antara takut dan penasaran, Gerson akhirnya memutuskan untuk mengikuti sosok itu. Rambutnya bergerak sendiri, memimpinnya menuju tempat yang lebih dalam. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih berat, seperti ada sesuatu yang menuntunnya tanpa ampun.

Mereka memasuki sebuah ruang yang lebih luas, dan Gerson melihat sekelilingnya. Tempat itu bukan hanya sebuah gua, melainkan sebuah ruang besar yang tampaknya dibangun dengan kekuatan yang lebih besar dari apa pun yang bisa ia bayangkan. Dinding-dindingnya terbuat dari batu yang berkilau, seolah dipahat dengan presisi yang sempurna. Gerson menyentuh batu itu dengan jari-jarinya, merasakan getaran halus yang beredar dari sana.

Sosok misterius itu kembali berbicara. “Ini adalah tempat yang telah lama terlupakan. Dunia ini terhubung dengan dunia lain. Dunia yang hanya bisa dijangkau oleh mereka yang terpilih.”

Gerson menatap sosok itu dengan mata terbuka lebar. “Dunia lain? Dunia seperti apa?”

Sosok itu hanya tersenyum dan mengangkat tangan. Sebuah gerakan halus, dan tiba-tiba, di tengah ruangan muncul sebuah gerbang yang memancarkan cahaya biru. Cahaya itu begitu terang, hampir menyilaukan, tetapi Gerson merasa tertarik. Rambutnya, yang kini tergerai lebih panjang dan lebih liar, bergerak menuju gerbang itu.

“Di sana,” sosok itu berkata pelan. “Tempat yang harus kamu tuju. Kamu akan menemukan jawabanmu di sana.”

Gerson menatap gerbang itu, merasa ragu namun juga terpanggil. Hatinya berdebar kencang, tetapi ia tahu, dalam kedalamannya, bahwa ini adalah langkah pertama dalam perjalanan yang tak bisa dihindari.

Sosok itu mengangguk. “Lanjutkan perjalananmu, Gerson. Waktumu telah tiba.”

Dengan rambut yang bergerak lebih cepat, seperti menariknya, Gerson menginjakkan kaki di ambang gerbang itu. Semua yang ia kenal, semua yang ia pahami tentang dunia ini, terasa memudar. Ia melangkah ke dalam cahaya biru yang mempesona, dan saat ia melangkah, kabut dan kegelapan menyelimuti dirinya, membawa Gerson ke dunia yang lebih besar, lebih dalam, dan lebih penuh dengan rahasia daripada yang pernah ia bayangkan.

Perjalanan baru saja dimulai.

 

Di Balik Pintu Waktu

Gerson terlempar ke dalam sebuah dunia yang terasa begitu asing. Saat kakinya menginjak tanah, semuanya berubah. Kabut biru yang semula menyelimuti tubuhnya kini lenyap begitu saja, digantikan oleh udara yang berat dan hangat. Di hadapannya, tampak sebuah pemandangan yang sangat berbeda—sebuah padang rumput yang luas, terhampar hingga sejauh mata memandang. Langit di atasnya berwarna keemasan, seolah senja tidak pernah berakhir. Di kejauhan, gunung-gunung menjulang tinggi dengan puncaknya yang tertutup awan, seperti raksasa yang sedang tidur.

Namun, meskipun pemandangan itu menakjubkan, Gerson tidak bisa merasakan kebahagiaan. Hatinya dipenuhi ketegangan, pertanyaan-pertanyaan yang tidak terjawab berputar-putar dalam pikirannya. Rambutnya yang panjang masih bergerak dengan sendirinya, seperti terhubung langsung dengan kekuatan yang ada di sekitar sini, mendorongnya untuk melangkah lebih jauh.

Ia menoleh ke belakang, tetapi gerbang biru yang membawanya ke tempat ini telah menghilang. Hanya ada padang rumput dan angin yang berbisik lembut. Suasana yang tenang, tetapi juga penuh dengan ancaman yang tak terungkapkan.

“Ke mana aku harus pergi?” bisik Gerson, merasa seolah ia sedang berdiri di tengah-tengah sebuah teka-teki yang sangat besar.

Tiba-tiba, suara itu kembali. Suara yang sudah mulai ia kenali—suara halus dan dalam yang berasal dari dalam dirinya. Ia merasa rambutnya tertarik ke arah tertentu, seperti ada daya tarik yang tak bisa ia hindari. Tanpa banyak berpikir, Gerson mengikuti arah yang ditunjukkan oleh rambutnya. Setiap langkahnya terasa semakin berat, seperti langkah kaki yang tak pernah berhenti, seolah ia dipaksa untuk berjalan, tetapi tetap merasa terhenti di tempat yang sama.

Beberapa waktu berlalu sebelum ia menemukan sesuatu yang lain di tengah padang rumput. Sebuah pohon besar berdiri di sana, akarnya menjalar ke dalam tanah, dan cabang-cabangnya membentuk kanopi yang melindungi segala sesuatu di bawahnya. Di bawah pohon itu, ada sebuah batu besar, berbentuk seperti altar. Di atas batu itu, ada lambang yang tak ia kenali—sebuah simbol yang terukir halus, seperti sebuah mata yang melingkar di dalam lingkaran.

Gerson merasa ada yang tidak beres. Meskipun tempat ini begitu damai, ada sesuatu yang mencekam, seolah pohon itu dan batu itu menyimpan rahasia yang sangat dalam. Rambutnya mulai bergerak dengan cepat, seolah bergetar dalam ketegangan. Gerson merasa dorongan yang kuat untuk mendekati batu itu. Ia perlahan melangkah, dan saat tangannya menyentuh permukaan batu, sebuah suara yang dalam, lebih keras dari sebelumnya, memenuhi telinganya.

“Kami menunggu.”

Gerson terkejut, menarik tangannya dengan cepat. “Menunggu? Siapa kamu?” tanyanya, meski ia tahu tak ada siapa pun yang bisa menjawabnya.

Tiba-tiba, matahari yang tadinya bersinar lembut, mulai meredup. Langit yang semula keemasan berubah menjadi merah gelap, dan langit yang luas kini terasa tercekik. Angin yang semula sejuk kini berubah menjadi dingin, berbisik dengan kata-kata yang tak bisa ia dengar sepenuhnya.

Gerson mundur sedikit, melihat sekelilingnya, namun tak ada yang berubah—hanya padang rumput, pohon besar itu, dan altar batu. Ia menggenggam erat rambutnya yang panjang, yang kini terasa semakin mengikat. Seperti ada suara yang memanggilnya, menggugah bagian terdalam dari dirinya yang belum ia pahami. Ia merasa terperangkap dalam sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya.

Tiba-tiba, dari balik pohon itu, sosok lain muncul. Sosok yang lebih jelas kini, lebih nyata dari sebelumnya. Seorang wanita, dengan rambut yang berkilau keperakan, berpakaian putih dengan motif yang sangat rumit, seolah berasal dari dunia yang jauh lebih tua. Matanya, seperti mata Gerson, berkilauan dengan cahaya yang tidak biasa, dan wajahnya mengandung kedalaman yang tak bisa digambarkan.

Wanita itu mendekat, langkahnya tenang dan pasti, meski tanah yang ia pijak terasa rapuh, seolah terhubung dengan energi yang tak terlihat. “Kamu akhirnya sampai, Gerson,” katanya, suaranya lembut namun penuh kekuatan. “Kami menunggumu di sini.”

Gerson menatap wanita itu dengan penuh kebingungan. “Kami? Siapa kalian? Apa yang sedang terjadi di sini?”

Wanita itu mengangkat tangannya, menunjuk ke arah altar batu. “Ini adalah tempatmu, Gerson. Ini adalah titik awal perjalananmu. Kamu, dengan rambutmu yang berjurai, adalah kunci untuk membuka dunia ini—dan dunia yang ada di baliknya.”

Gerson merasa seolah ada yang menghimpit dadanya. “Aku? Aku tidak mengerti. Rambutku? Kenapa ini terjadi padaku?”

Wanita itu tersenyum, senyum yang penuh misteri. “Rambutmu bukan sekadar rambut, Gerson. Rambutmu adalah penerus dari kekuatan yang telah ada selama ribuan tahun. Kamu terpilih untuk menjaga keseimbangan yang telah lama hilang. Dunia ini membutuhkanmu untuk mengembalikannya.”

Gerson merasa seperti dunia sekitarnya berputar. “Tapi aku bukan siapa-siapa. Aku… hanya seorang pemuda biasa.”

Wanita itu menggelengkan kepala. “Tidak, Gerson. Kamu bukan hanya pemuda biasa. Kamu lebih dari itu. Dunia ini akan hancur jika kamu tidak memahami kekuatan yang ada di dalam dirimu. Kekuatan yang tertanam dalam rambutmu—dan dalam hatimu.”

Gerson merasa ketakutan merayap dalam dirinya. Tetapi saat ia menatap wanita itu, sesuatu dalam dirinya terasa terbangun, seolah ada bagian dari dirinya yang ia tidak kenali mulai bangkit. Rambutnya bergerak dengan lebih cepat, dan ia bisa merasakan sebuah dorongan, sebuah kekuatan yang datang dari dalam dirinya, menuntunnya untuk mengambil langkah berikutnya.

“Jadi, apa yang harus aku lakukan?” tanyanya, hampir tidak percaya bahwa ia bisa berbicara dengan percaya diri.

Wanita itu menatapnya dengan penuh harapan. “Kamu harus memasuki pintu yang ada di depanmu, Gerson. Pintu yang akan membawamu ke dunia yang lain. Di sana, kamu akan menemukan jawaban atas segala yang telah terjadi.”

Gerson menatap pintu yang muncul di depan mata, pintu besar dengan ukiran rumit yang tampak seperti mengandung ribuan kisah. Ia tahu, tidak ada lagi jalan mundur. Semua yang ia tahu tentang dunia ini akan berubah, dan perjalanan sejati baru saja dimulai.

Dengan langkah mantap, Gerson melangkah menuju pintu itu, rambutnya bergerak mengikuti langkahnya, siap menyambut apa pun yang akan terjadi.

 

Keberanian Dalam Gelap

Pintu itu terbuka dengan sendirinya, mengeluarkan suara gemerisik yang samar. Gerson melangkah masuk, memasuki kegelapan yang tak terlukiskan. Dunia di balik pintu itu bukanlah dunia yang ia bayangkan. Begitu ia melangkah lebih jauh, kegelapan mulai bertransformasi menjadi sebuah ruang yang luas. Tidak ada langit, tidak ada tanah—hanya kekosongan tak berujung, di mana hanya ada dirinya dan suara samar yang menggema.

Suara itu datang lagi. “Kamu di sini, Gerson.”

Kali ini, suaranya bukan berasal dari wanita yang ia temui sebelumnya, melainkan dari dalam dirinya sendiri, seolah mengalir lewat urat nadi dan merasuki setiap sudut tubuhnya. Gerson terdiam sejenak, merasakan angin yang tidak terasa. Apa pun yang ada di tempat ini, itu terasa jauh lebih kuat dari apa pun yang pernah ia hadapi sebelumnya. Rambutnya yang panjang, yang bergerak dengan irama yang seakan terhubung dengan dunia ini, kini mulai bergetar hebat. Ia merasa ada sesuatu yang menunggunya, sesuatu yang sangat penting.

Tiba-tiba, di kejauhan, sebuah cahaya muncul—perlahan, namun pasti, seperti bintang yang baru lahir. Gerson bergerak menuju cahaya itu tanpa ragu, seolah cahaya itu adalah jawabannya. Setiap langkah yang ia ambil terasa lebih pasti, lebih kuat, seperti ada sesuatu yang menggerakkan seluruh dirinya. Dalam cahaya itu, ia melihat bayangan-bayangan bergerak, seakan mengamati langkahnya dengan penuh perhatian.

Saat ia semakin dekat, bayangan-bayangan itu mulai membentuk sosok-sosok yang dikenal—beberapa wajah yang ia kenali, namun lebih banyak lagi yang asing baginya. Mereka semua menghadap padanya, tidak mengucapkan sepatah kata pun. Gerson berhenti sejenak, perasaan cemas kembali datang, namun kali ini ia berusaha menenangkan dirinya. “Apa yang kalian inginkan dariku?” tanyanya dengan suara serak, berusaha tidak menunjukkan ketakutannya.

Seorang sosok maju ke depannya. Wajahnya tidak jelas, tetapi matanya berbinar dengan sinar yang sangat familiar. Wanita yang ia temui di dunia sebelumnya muncul, tetapi kali ini ia terlihat berbeda, seolah lebih terang, lebih jelas—seperti refleksi dirinya sendiri.

“Kami adalah bagian dari perjalananmu, Gerson,” kata wanita itu dengan lembut, meski suaranya mengandung sesuatu yang lebih dalam. “Kami adalah ingatan yang ada di dalam dirimu. Kami adalah pilihanmu.”

“Pilihan?” Gerson bertanya, kebingungannya semakin dalam.

“Ya,” jawab wanita itu. “Kekuatan yang ada dalam dirimu bukan hanya tentang apa yang bisa kamu lihat, tetapi apa yang kamu pilih untuk terima. Kamu telah diberi pilihan, Gerson—untuk melanjutkan, atau untuk mundur. Dunia ini, dunia yang telah lama terpisah, bisa diperbaiki hanya jika kamu memilih untuk memeluk kekuatanmu, untuk menggunakan rambutmu sebagai penghubung antara semua dunia yang ada.”

Gerson menatap rambutnya yang kini terjurai lebih panjang dari sebelumnya, terurai dengan kekuatan yang hampir tak terbayangkan. Ia merasa ada sesuatu yang terbuka dalam dirinya, sebuah jalan yang selama ini terkunci rapat, menuntunnya untuk memahami lebih dalam tentang dirinya sendiri.

“Apa yang terjadi jika aku memilih untuk mundur?” tanya Gerson, suara penuh keraguan.

Wanita itu tersenyum, tapi senyum itu terasa seperti sebuah peringatan. “Jika kamu mundur, dunia akan tetap terpecah. Keseimbangan akan hilang, dan semuanya akan terbenam dalam kekacauan yang lebih gelap dari sebelumnya.”

Gerson menelan ludah, perasaan berat menghantam dadanya. Ia merasakan sesuatu yang berbeda, seolah ada beban yang luar biasa besar pada pundaknya, namun di sisi lain, ada secercah harapan yang tak bisa ia abaikan. Dalam dirinya, ia merasa siap untuk memilih. Ia mengangkat kepalanya, menatap wanita itu dengan lebih tegas.

“Aku memilih untuk maju.”

Wanita itu mengangguk, tanda bahwa keputusan itu telah diterima. “Baiklah. Maka mulai sekarang, kamu adalah penghubung antara dunia yang terpecah ini. Kekuatanmu bukan hanya terletak pada rambutmu, tetapi juga pada keberanianmu untuk menghadapi apa yang akan datang.”

Dengan keputusan itu, cahaya semakin terang, dan bayangan-bayangan di sekitar Gerson mulai menghilang, menyatu dengan dunia yang tampaknya semakin dekat. Ia tahu, perjalanannya baru saja dimulai. Dunia ini—dan banyak dunia lain—menunggu.

Dengan langkah mantap, Gerson melangkah maju, meninggalkan bayangannya yang terpecah dan memasuki jalan yang tidak diketahui. Di balik setiap langkahnya, rambutnya yang panjang bergerak dengan sendirinya, seolah mengikuti alunan takdir yang sudah digariskan untuknya. Dunia baru, dunia yang penuh dengan misteri, kekuatan, dan kemungkinan, menanti di depan matanya.

Dan Gerson tahu, tidak ada yang akan sama lagi. Dunia ini, dan dirinya, akan selalu terhubung—tak terpisahkan, selamanya.

 

Jadi, gimana? Gerson Poyk bakal ngadepin dunia yang penuh misteri dengan rambut berjurainya, atau dia bakal terjebak dalam kekacauan yang nggak bisa dibalik lagi?

Kita tunggu aja kelanjutannya! Tapi satu yang pasti, petualangannya baru aja dimulai, dan nggak ada yang tahu apa yang bakal terjadi selanjutnya. Seru kan?

Leave a Reply