Gerobak yang Berhenti di Depan Rumah: Cerita Konyol, Ajaib, dan Penuh Makna

Posted on

Kamu pernah nggak sih, ngerasa kayak hidup kamu itu cuma permainan yang udah diatur orang lain? Kayak kamu cuma jadi karakter yang harus nurut sama skrip yang udah ditulis tanpa bisa milih jalan cerita kamu sendiri?

Nah, cerpen ini tuh kayak gitu—aneh, konyol, penuh jebakan, tapi di sisi lain, bikin kamu mikir, Aku udah pilih jalan yang bener nggak ya? Langsung aja baca, deh, kalau kamu pengen tahu ke mana gerobak itu bakal berhenti.

 

Gerobak yang Berhenti di Depan Rumah

Gerobak yang Berhenti di Muka Rumah

Pagi itu, udara masih terasa dingin meski matahari sudah mengintip malu-malu di balik awan. Angin sepoi-sepoi berhembus, membawa aroma tanah basah dari hujan yang turun semalam. Di depan rumah Mila, ada sebuah pemandangan yang membuat semuanya terasa tak biasa. Sebuah gerobak tua, yang entah datang dari mana, tiba-tiba berhenti tepat di muka rumahnya.

Gerobak itu tidak terbuat dari kayu seperti yang biasa ditemukan di pasar. Rangka logamnya berkarat, dan roda-rodanya miring seperti baru saja menempuh perjalanan panjang yang berat. Tumpukan barang-barang di atasnya terlihat seperti sisa-sisa kehidupan, benda-benda yang terlupakan dan tak lagi berguna. Ada sebuah topi lusuh yang tergeletak di salah satu sudut, boneka dengan wajah yang rusak, dan sebuah piring pecah yang sudah tidak bisa dikenali lagi desainnya. Namun, ada satu benda yang menarik perhatian Mila: sebuah buku besar dengan sampul kulit hitam yang tampak mengkilap meski usianya pasti sudah sangat tua.

Mila berdiri di depan jendela, mengamati gerobak itu dengan penuh kebingungan. Kepalanya berputar sedikit, mencoba memahami kenapa benda asing itu bisa muncul di depan rumahnya tanpa alasan yang jelas. Mungkin ada seseorang yang melintasi jalan dan meninggalkannya, pikir Mila. Tapi kenapa harus di depan rumahnya? Kenapa tidak di tempat lain?

Dia merasa sedikit aneh, tapi tidak bisa menahan rasa penasaran yang semakin mendalam. Dengan langkah pelan, dia membuka pintu dan melangkah keluar. Kakinya terasa berat seolah ada yang menahan, tapi dia memaksakan diri untuk mendekat.

“Kenapa aku harus ke sini?” gumam Mila pelan, hanya untuk dirinya sendiri.

Suasana sekitar rumah terasa sunyi, hanya suara langkah kaki Mila yang terdengar jelas. Saat dia mendekati gerobak itu, langkahnya terhenti. Sebuah bisikan halus terdengar, hampir seperti suara angin, namun ada kata-kata yang jelas terdengar.

“Jangan buka buku itu.”

Mila menoleh ke kiri dan kanan, mencari siapa yang bisa saja bersembunyi di sekitar rumahnya, namun tidak ada siapa-siapa. Hanya angin yang berdesir pelan. Pusing. Telinganya seperti berdengung, dan bisikan itu semakin jelas. Sesuatu di dalam dirinya berkata untuk tidak melangkah lebih jauh, tapi tubuhnya sudah lebih dulu bergerak.

“Buku itu…” kata suara itu lagi, kali ini lebih mendesak.

Mila memandang buku yang ada di atas gerobak. Sampulnya begitu mengkilap, meskipun sudah terlihat tua. Sebuah dorongan aneh muncul dari dalam dirinya. Ada rasa ingin tahu yang sangat besar, dan itu seolah memanggilnya untuk mendekat. Langkah Mila semakin cepat, seolah-olah tubuhnya bergerak tanpa kendali.

Dia akhirnya berdiri di samping gerobak, tangan terulur menuju buku itu. Saat jaraknya tinggal beberapa inci, gerobak itu bergerak, seperti terbangun dari tidur panjang. Dengan suara berderit, roda-roda logamnya berputar perlahan. Mila mundur sejenak, kaget. Buku itu tiba-tiba terangkat dari tumpukan barang, seperti ada tangan yang tak terlihat yang menariknya. Seketika, buku itu jatuh ke tangannya, dengan sampul hitam yang mengilap tergeletak di telapak tangannya. Mila terdiam.

“Apa ini?” pikirnya, bingung, sambil menatap buku itu dengan mata yang mulai terasa berat. Namun entah kenapa, matanya tidak bisa berhenti memandangi buku itu, seperti ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa ingin tahu yang membuatnya terjerat.

Suara bisikan itu kembali terdengar, lebih pelan kali ini, seperti sebuah ancaman yang sangat lembut. “Jangan buka halaman-halaman itu.”

Tapi Mila sudah tak peduli. Dengan rasa penasaran yang semakin memuncak, dia membuka buku itu. Setiap halaman yang dibalik tidak menunjukkan tulisan apapun. Halaman-halaman kosong, dengan hanya sedikit gambar yang tampak seperti ilusi optik. Mungkin buku ini hanya sebuah sampah, pikirnya, dan dia berniat menutupnya. Namun, saat dia hendak menutup halaman terakhir, gambar-gambar itu mulai bergerak. Perlahan, seperti menari-nari, bergoyang dan berputar di dalam buku.

Mila menelan ludah. Matanya terbelalak. “Ini… tidak mungkin,” gumamnya pelan, merasa pusing.

Gerobak itu bergerak lagi. Kali ini, lebih cepat, dengan deritan yang membuat seisi tubuh Mila terhentak. Dunia sekitar rumahnya mulai berubah. Langit yang sebelumnya cerah tiba-tiba dipenuhi awan gelap, dan suasana di sekitarnya seperti terdistorsi, bergerak dalam pola yang aneh. Pintu-pintu rumahnya mulai mengecil, dan jendela-jendela melengkung aneh. Dunia seakan-akan tidak lagi berada dalam bentuk yang sama.

Buku itu terasa semakin berat di tangannya, dan dia mendapati dirinya seolah terperangkap dalam permainan yang tidak dia pahami. Rasa panik mulai menghantui. Dunia yang familiar, rumah yang selama ini menjadi tempat perlindungannya, kini berubah menjadi tempat yang asing dan membingungkan.

Di tengah kegilaan itu, Mila bertanya pada dirinya sendiri, “Kenapa berhenti di sini? Apa yang salah?”

Namun, tak ada jawaban. Dunia terus berputar, gerobak itu berhenti mendadak, dan segala sesuatunya kembali sunyi. Mila berdiri, memegangi buku itu dengan tangan yang gemetar. Hatinya dipenuhi rasa bingung, sekaligus takut. Tidak ada lagi suara. Tidak ada lagi bisikan.

Dia tidak tahu harus berbuat apa. Rumah yang dulu tampak seperti tempat yang aman, kini terasa seperti jebakan yang tak terelakkan.

Mila memutuskan untuk kembali ke dalam rumah. Namun setiap langkah yang diambil terasa semakin berat. Gerobak itu masih ada di luar, seakan menunggu sesuatu—menunggu dirinya untuk mengambil langkah selanjutnya, tanpa tahu apa yang akan terjadi setelahnya.

 

Buku Kosong yang Menggoda

Mila duduk di kursi ruang tamu, matanya terpaku pada buku yang kini tergeletak di atas meja. Sudah hampir setengah jam sejak dia kembali ke dalam rumah, namun kepalanya tak berhenti berputar. Apa yang baru saja terjadi? Gerobak yang datang entah dari mana, buku yang tak bernyawa, dan suara-suara yang terus berbisik di telinganya—semua itu terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Tetapi saat dia menatap buku itu, dia tahu, ini bukan mimpi. Buku itu ada di sana, begitu nyata, begitu berat.

Tangan Mila gemetar saat dia menyentuh sampul buku itu lagi. Ada sesuatu yang aneh di dalamnya. Sesuatu yang menekan dadanya, memaksanya untuk membuka halaman demi halaman meskipun seluruh tubuhnya berteriak untuk berhenti.

“Kenapa aku tidak bisa berhenti?” Mila berbicara pada dirinya sendiri, berusaha menenangkan kegelisahan yang melanda. Suara bisikan itu mulai memudar, namun kegelisahan yang ditinggalkan semakin kuat. Seolah-olah ada sesuatu yang tersembunyi di balik halaman-halaman kosong itu—sesuatu yang akan membawanya ke dalam dunia lain yang tak dia pahami.

Dengan hati-hati, Mila mulai membuka halaman pertama. Begitu halus, jari-jarinya menyentuh kertas yang terasa lebih tebal dari kertas biasa. Tidak ada tulisan, tidak ada gambar, hanya warna keemasan yang berkilau di bawah cahaya lampu. Rasa pusing mulai datang kembali, namun kali ini, dia merasa seperti diperintah untuk terus membalik halaman itu.

Setiap halaman yang dibuka semakin aneh. Gambar-gambar yang dulu terlihat seperti ilusi kini bergerak dengan kecepatan yang tak terduga. Mata Mila terbelalak, tak percaya pada apa yang dilihatnya. Beberapa gambar berubah bentuk, seolah-olah benda-benda dalam buku itu ingin keluar dan berinteraksi dengan dunia luar. Sebuah topeng dengan wajah yang tumpul muncul, seakan menatap Mila dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan.

Keringat dingin mulai mengalir di dahinya. Mila menutup buku itu secepat mungkin, mencoba mengatur napas. “Apa ini?” dia bergumam, berusaha memaksa pikirannya untuk memahami situasi yang semakin tak terkendali.

Namun, saat buku itu tertutup, Mila merasakan dorongan kuat di dalam dirinya. Gerobak itu, meskipun tak terlihat lagi di luar, terasa begitu dekat. Seperti sebuah magnet yang menariknya, dia merasa seolah gerobak itu ada di dalam dirinya, berputar-putar, mengisi setiap ruang pikirannya. Lantas, tanpa bisa dia cegah, Mila membuka halaman buku itu sekali lagi.

Semakin banyak halaman yang dibuka, semakin nyata gambaran dalam buku itu. Wajah-wajah mulai muncul di antara lipatan-lipatan halaman, bukan sekadar gambar, melainkan seperti wajah-wajah yang penuh kehidupan. Ada sosok pria yang terlihat familiar, namun Mila tidak bisa mengingatnya. Sosok itu tersenyum, tapi senyumnya tidak menyenangkan, seperti ada sesuatu yang terselubung di balik senyuman itu.

Wajah itu mulai berbicara, meskipun tak ada suara yang terdengar. Hanya getaran halus yang merayap di telinga Mila. “Kamu harus kembali,” suara itu terdengar begitu jelas. “Kamu harus mengikuti jalannya.”

Mila tercekat, hampir terjatuh dari kursinya. Tangan yang memegang buku itu terasa semakin panas. Dia mencoba menutup buku itu lagi, tetapi buku itu seolah menahan tangannya. Halaman-halaman itu terbuka dengan sendirinya, dan semakin banyak gambar yang mulai muncul—gambar yang semakin membingungkan.

“Apa yang terjadi?” Mila berteriak, tetapi tidak ada yang menjawab. Semuanya hanya berputar.

Mila memegangi kepalanya, mencoba mengendalikan pikirannya. Dunia di sekelilingnya mulai berputar, dan dia merasa seperti terjebak di dalam sebuah labirin yang tak bisa dia pahami. Buku itu seolah menjadi kunci, tapi kunci untuk membuka apa? Kenapa dia merasakan dorongan kuat untuk terus mengikuti apa yang ada di dalamnya?

Dengan suara yang gemetar, dia berkata pada dirinya sendiri, “Aku harus tahu apa yang ada di balik ini. Aku harus tahu siapa mereka, apa yang mereka inginkan.”

Saat itu, mata Mila kembali tertuju pada gambar wajah pria yang tadi muncul. Senyumannya kini berubah menjadi lebih jelas, lebih tajam. Dia merasa seperti ada yang memanggilnya, menariknya ke dalam dunia yang lebih gelap.

Namun, sebelum Mila bisa berpikir lebih jauh, sebuah suara tiba-tiba menggelegar dalam pikirannya. “Kamu tidak bisa mundur. Sekali kamu membuka buku ini, tidak ada jalan kembali.”

Mila menggigil. Rasa takut semakin dalam, namun ada sesuatu yang menahannya untuk berhenti. Seperti permainan yang dipaksakan, dia harus terus melangkah, meskipun setiap langkahnya semakin membuatnya merasa terjerat.

Dengan satu tarikan napas dalam-dalam, Mila membuka halaman berikutnya. Dia tahu, dia sudah tidak bisa mundur lagi.

 

Dunia yang Terbalik

Mila tidak bisa lagi mengenali dunia di sekitarnya. Setiap sudut rumah yang dulu terasa nyaman kini tampak asing, seakan-akan ada kekuatan yang membuatnya terdistorsi. Seperti kaca yang pecah, dunia ini terbelah menjadi serpihan-serpihan kecil yang tak bisa disatukan lagi. Semua ini dimulai dengan buku itu, dan semakin dia membuka halaman-halaman berikutnya, semakin dia merasa bahwa dirinya bukan lagi bagian dari dunia yang dia kenal.

Halaman buku itu semakin tebal, dan setiap kali dibuka, gambar-gambar di dalamnya menjadi semakin hidup. Sosok pria yang muncul sebelumnya kini hadir lebih jelas, seperti bagian dari mimpi buruk yang tak bisa dihentikan. Wajahnya yang dulu samar, kini tampak penuh dengan detail. Bibirnya yang tersenyum seolah menggoda Mila untuk lebih dalam lagi menyelami dunia yang ada di dalam buku itu. Rasanya, dia tak punya pilihan selain terus mengikuti jejak gambar-gambar itu.

“Siapa kamu?” tanya Mila dalam hati, tapi jawabannya tak kunjung datang. Semua yang dia rasakan hanya semakin membingungkan. Buku itu memancarkan sebuah aura yang menariknya semakin dalam, seperti seretan arus yang membuatnya tidak bisa berbalik arah.

Tiba-tiba, rumah di sekelilingnya terasa goyah. Lantai yang tadinya kokoh, kini bergoyang seperti sedang dilanda gempa. Dinding-dinding rumah bergetar, dan suara-suara aneh terdengar dari segala arah. Mila terjatuh ke lantai, menggenggam buku itu erat-erat dengan kedua tangan. Wajah pria dalam gambar itu sekarang tampak lebih dekat, lebih jelas, seperti ingin meraih tangannya. Mila bisa merasakan napasnya yang semakin berat. Dunia ini semakin jauh dari kenyataan, dan setiap kali dia berpikir untuk berhenti, buku itu semakin memaksanya untuk terus maju.

Saat Mila menatap buku itu lagi, dia mendapati dirinya berada di tengah-tengah ruangan yang tak pernah dia lihat sebelumnya. Ruangan itu gelap, dengan cahaya remang-remang yang berasal entah dari mana. Di sekelilingnya, ada bayangan-bayangan yang bergerak, sosok-sosok yang tidak bisa dikenali, dan suara-suara bisikan yang terus berputar-putar di telinganya. Langkah kaki yang tidak terlihat terdengar mendekat, dan Mila merasa seolah ada sesuatu yang mengikuti jejaknya.

Tanpa sadar, dia bangkit berdiri. Kakinya terasa lemas, tapi seolah ada dorongan yang memaksanya untuk melangkah ke depan. Di tangan kirinya, buku itu semakin terasa berat, seperti beban yang tidak bisa dia lepaskan. Tiba-tiba, sebuah pintu besar muncul di depannya. Pintu itu terbuat dari kayu hitam, dengan ukiran-ukiran aneh yang Mila tidak pernah melihat sebelumnya. Di atas pintu, ada tulisan yang tampak terbaca jelas meski gelap.

“Jika kamu ingin kembali, buka pintu ini,” tulisan itu berbunyi, dengan huruf-huruf yang berkilauan samar di bawah cahaya yang tidak diketahui sumbernya.

Namun, Mila tahu bahwa tidak ada jalan kembali. Apa pun yang terjadi setelah membuka pintu itu, dia harus melangkah. Buku itu, dengan segala rahasianya, seolah telah mengikatnya dalam permainan ini, permainan yang tak bisa dia menangkan.

“Siapa yang membuat ini?” Mila berbisik pada dirinya sendiri, suaranya serak dan lemah. Namun, tak ada jawaban. Hanya suara bisikan yang kembali mengisi telinganya, semakin keras, semakin dekat.

Mila melangkah ke depan, meraih gagang pintu yang terasa dingin di telapak tangannya. Dengan sekali tarikan, pintu itu terbuka dengan sendirinya, dan Mila pun melangkah masuk.

Dunia di balik pintu itu bukanlah dunia yang Mila kenal. Ia berdiri di tengah padang rumput yang luas, langit berwarna merah seperti darah, dan tanahnya gelap seakan-akan terbuat dari debu yang tidak pernah bersentuhan dengan hujan. Di kejauhan, Mila bisa melihat bentuk-bentuk aneh bergerak perlahan, seolah-olah seluruh dunia itu hidup dan bergerak.

Mata Mila menyipit, berusaha menyesuaikan diri dengan cahaya yang aneh itu. Namun, meskipun dia merasa semakin bingung dan takut, dia merasa ada sesuatu yang memanggilnya. Buku yang ada di tangannya kini mulai bergetar, seperti memberi tanda.

Seolah terhipnotis, Mila melangkah lebih jauh. Setiap langkah yang dia ambil terasa semakin berat, namun ada dorongan yang tak bisa dia hindari. Di depan, ada sebuah gerobak yang tampak familiar, meskipun berbeda dari gerobak yang dia temui di depan rumah tadi. Gerobak ini lebih besar, lebih gelap, dengan roda-roda yang berputar tanpa henti.

Di samping gerobak itu, ada sosok pria yang sama seperti dalam gambar buku. Namun kali ini, dia bukan hanya sekadar gambar. Dia tampak nyata, berdiri dengan tubuh tegap dan mata yang menatap tajam ke arah Mila. Senyumannya, yang dulu tampak mengundang, kini berubah menjadi ekspresi yang penuh rahasia.

“Kamu datang,” pria itu berkata dengan suara rendah dan serak. “Kamu sudah berada di tempat yang tepat.”

Mila merasa tubuhnya beku. Tidak ada jalan kembali. Buku itu memaksanya untuk melangkah lebih jauh. Gerobak itu menunggu, dan pria itu menunggu. Sebuah perasaan aneh merayap di dalam dadanya, menciptakan rasa takut yang dalam namun juga rasa penasaran yang tak bisa dijelaskan.

“Siapa kamu?” Mila akhirnya bertanya, suara di tenggorokannya serak dan hampir tak terdengar.

Pria itu tersenyum lebih lebar, dan tatapannya semakin dalam, seolah menembus ke dalam dirinya. “Aku adalah orang yang menunggumu,” jawabnya dengan suara yang membuat Mila menggigil. “Aku adalah bagian dari buku itu. Dan kamu, Mila, adalah pemain dalam permainan yang tidak akan pernah kamu pahami sampai akhir.”

Mila merasa dunia di sekelilingnya berputar semakin cepat. Gerobak itu mulai bergerak, dan semua yang ada di sekitar mulai terdistorsi, berubah menjadi bayangan yang tidak lagi bisa dia kenali. Dia terjatuh ke tanah, menatap langit merah yang semakin menyusut.

Buku itu menggetarkan tangannya, dan dia tahu, permainan ini baru saja dimulai.

 

Titik Terakhir

Semua terasa kabur. Dunia di sekeliling Mila kini menjadi samudra hitam yang tak terjangkau, seakan-akan dia hanyalah bagian dari angin yang berhembus, entah ke mana. Gerobak itu kini berdiri tepat di hadapannya, diam, tak bergerak, seolah menunggu sesuatu yang lebih besar, lebih penting untuk terjadi. Sosok pria itu masih berdiri di sampingnya, wajahnya kini tampak lebih gelap, lebih mengerikan.

Mila bisa merasakan tubuhnya gemetar, tetapi anehnya, tak ada suara. Hanya ada bisikan lembut dari dalam kepalanya, kata-kata yang tidak bisa ia pahami, tetapi yang membuatnya semakin terperangkap dalam dunia yang tak bisa ia kendalikan. Buku itu kini ada di tangan kirinya, beratnya semakin terasa, seperti ada beban yang semakin menekan dirinya ke tanah.

“Apa yang aku lakukan di sini?” Mila berbisik, tetapi suaranya nyaris hilang, tenggelam dalam kesunyian yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.

Pria itu menatapnya dengan tatapan yang penuh makna, seolah dia tahu lebih banyak daripada yang Mila ketahui tentang dirinya sendiri. Mata pria itu berkilau dalam gelap, dan senyumannya tampak semakin lebar, semakin memuakkan. “Kamu sudah tahu jawabannya,” katanya dengan nada yang begitu rendah, begitu dalam, membuat Mila terperangkap dalam jaring-jaring kata-kata yang tidak bisa dilepaskannya. “Ini bukan tentang apa yang kamu pilih, Mila. Ini tentang siapa kamu di dalam permainan ini.”

Mila mencoba berteriak, mencoba bergerak, tetapi tubuhnya terasa kaku, seolah-olah ada sesuatu yang mengikatnya dengan gerobak itu, dengan pria itu, dengan dunia ini. Semua yang ada di sekelilingnya berputar, tak ada pegangan yang bisa dia genggam.

Gerobak itu mulai bergerak dengan sendirinya. Roda-roda yang besar berputar perlahan, menyusuri jalan yang tak tampak ujungnya. Mila terhanyut dalam perjalanan yang tidak tahu ke mana arahnya, tetapi semakin lama semakin merasa dirinya tidak bisa lepas dari situasi ini.

Di kejauhan, Mila melihat bayangan yang familiar, sebuah rumah. Rumah yang dulu menjadi tempat dia berlari mencari kenyamanan, mencari keamanan. Tapi sekarang, rumah itu tampak jauh, terlalu jauh untuk dijangkau, seperti sebuah kenangan yang semakin kabur. Setiap detik yang berlalu, rumah itu semakin kecil, seolah menjauh dari dirinya, mengingatkannya bahwa dia tidak lagi berada di dunia yang dia kenal.

Mila menggenggam buku itu lebih erat, merasakan getaran yang semakin kuat. Halaman-halaman buku itu mulai terbuka dengan sendirinya, seolah memberikan petunjuk baru, membimbingnya, atau mungkin menjeratnya lebih dalam lagi.

Ketika buku itu terbuka, kata-kata di dalamnya menari-nari di depan matanya, memunculkan gambar-gambar yang membuatnya merasa sesak. Di halaman itu, ada gambar dirinya, di tengah-tengah ruang yang penuh dengan bayangan, tangan terangkat ke arah langit yang merah, matanya kosong, seolah tak ada harapan.

“Jangan biarkan dirimu terjebak,” suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas, lebih nyata. “Tapi kamu sudah memilih, bukan?”

Mila ingin menjawab, ingin berteriak, tetapi kata-kata itu tertahan di tenggorokannya. Apa yang dia pilih? Apa yang dia pilih sejak pertama kali membuka buku itu? Semua ini terasa seperti jebakan, seperti permainan yang sudah direncanakan jauh sebelum dia mengetahuinya. Dia hanyalah pion, tidak lebih. Seperti gerobak itu, yang tak pernah bergerak sendiri, hanya mengikuti arahan dari dunia yang lebih besar, yang lebih gelap.

Tiba-tiba, sebuah suara keras terdengar. Sebuah dentingan keras yang membuat Mila terkejut. Gerobak itu berhenti, dan dia terlempar jatuh ke tanah. Tanpa sadar, Mila memandang ke atas, melihat langit yang kini tampak seperti cermin, memantulkan dirinya sendiri. Wajahnya yang penuh kebingungan, matanya yang lelah, semuanya terpantul di sana, di langit merah yang tak pernah dia kenal.

Di depan, pria itu berdiri, menatapnya dengan tatapan yang tidak lagi penuh teka-teki, tetapi penuh kejelasan yang menakutkan. “Kamu sudah mencapai titik ini, Mila,” katanya dengan suara yang dalam dan berat. “Sekarang, apa yang akan kamu lakukan?”

Mila menatap pria itu, kemudian mengalihkan pandangannya ke buku yang masih berada di tangannya. Dia merasa sudah sampai di ujung jalan, di titik yang tidak bisa dia kembali lagi. Semua keputusan yang dia buat sebelumnya, semua pilihan yang dia anggap bisa mengubah hidupnya, kini terasa seperti sebuah ilusi.

Tidak ada jalan kembali. Tidak ada solusi yang mudah. Dunia ini bukan tentang pilihan yang dia buat. Dunia ini adalah tentang menjalani apa yang sudah ditentukan.

Dengan sebuah tarikan napas dalam, Mila akhirnya menutup buku itu, dan suara-suara yang selama ini mengisi kepalanya tiba-tiba lenyap. Gerobak itu berhenti, dan dunia di sekitarnya membeku. Semua yang ada di sekelilingnya terdiam, seolah menunggu keputusan terakhir.

Mila menatap pria itu sekali lagi, dan dengan perlahan, dia mengangguk. Dia tahu, dia sudah selesai.

“Permainan ini berakhir,” kata pria itu, lalu tersenyum penuh arti, seolah-olah dia baru saja mengucapkan kalimat yang sangat memuaskan.

Dan dengan itu, Mila merasa dunia yang aneh ini perlahan menghilang, berganti dengan kegelapan yang tak pernah ada ujungnya.

 

Jadi, gitu deh, ceritanya. Kadang hidup emang kayak gerobak yang berhenti di depan rumah—kita nggak tahu pasti kenapa atau untuk apa.

Tapi yang jelas, setiap langkah yang kita ambil, nggak pernah bisa balik lagi. Semoga kamu dapet pelajaran dari perjalanan ini, atau mungkin malah makin bingung, siapa tahu. Yang penting, jangan lupa, setiap pilihan punya harga yang harus dibayar.

Leave a Reply