Perjalanan Mencari Kata-Kata Hilang: Cerita Fabel tentang Puisi dan Kehidupan

Posted on

Jadi, bayangin deh… pernah nggak sih, kamu merasa kalau dunia ini kayak penuh banget sama kata-kata, tapi ada saatnya kata-kata itu tiba-tiba hilang? Iya, hilang! Kayak cuma ada kebisuan yang bikin kamu bingung mau ngomong apa.

Nah, cerpen ini bakal ngajak kamu jalan bareng dua karakter yang lagi cari-cari jawaban di tengah dunia yang aneh ini. Ada puisi, drama, fabel, dan segudang rahasia yang bisa bikin kamu mikir ulang tentang arti kata-kata. Yuk, ikut petualangan mereka, dan temuin sendiri gimana mereka berani menghadapi kegelapan demi menemukan terang yang nggak bisa dilihat mata biasa!

 

Perjalanan Mencari Kata-Kata Hilang

Nyanyian Hutan yang Retak

Rimba Liris, sebuah desa di mana angin berbisik dalam bait, dan pepohonan berbicara melalui sajak. Setiap makhluk hidup di sana tahu, bahwa kata-kata adalah napas alam. Tapi akhir-akhir ini, napas itu terdengar sesak, seperti seseorang yang kehilangan melodi.

Di tengah hamparan hijau itu, Zarah, seekor rubah muda dengan bulu sewarna tembaga, sedang duduk di pinggir sungai kecil. Matanya yang tajam menatap pantulan dirinya di air yang mengalir pelan. Sebuah pena bulu gagak tergenggam di cakar kecilnya, menari di atas perkamen yang hampir penuh dengan tulisan.

“Aku rasa ini terlalu datar,” gumamnya pada dirinya sendiri.

Dia menarik napas panjang, lalu menulis ulang bait yang tadi ia buat. Namun, kata-kata itu terasa asing, seolah-olah bukan miliknya. Di belakangnya, daun-daun mendesir pelan. Seekor musang dengan langkah tergesa muncul dari balik semak.

“Zarah! Kamu di sini!” seru Elvar, napasnya sedikit terengah.

Zarah menoleh. “Apa lagi, Elvar? Aku lagi sibuk.”

“Kamu harus dengar ini. Filara memanggil kita. Dia bilang ada sesuatu yang aneh di hutan utara.”

Zarah mengerutkan dahi. Ia meletakkan pena dan perkamen di atas batu besar. “Aneh gimana?”

“Katanya… angin berhenti bicara.”

Zarah terdiam sejenak. Angin di Rimba Liris adalah pembawa pesan dari para leluhur. Jika angin berhenti bicara, itu bukan pertanda baik.

“Baiklah,” ujarnya sambil berdiri. “Ayo kita lihat apa yang terjadi.”

Mereka berjalan bersama menuju pohon ek raksasa di tengah desa. Pohon itu adalah pusat dari segala cerita dan sajak yang pernah tercipta. Filara, burung hantu tua yang dihormati oleh seluruh penghuni Rimba Liris, berdiri di salah satu cabangnya.

“Aku sudah menunggu kalian,” ujar Filara saat Zarah dan Elvar tiba. Suaranya rendah, tetapi setiap katanya terdengar jelas, seperti lonceng kecil yang berdentang di kejauhan.

Zarah mendongak. “Apa yang sebenarnya terjadi, Filara? Elvar bilang angin berhenti bicara.”

“Bukan hanya angin, Zarah. Banyak hal yang hilang,” jawab Filara. Dia membuka salah satu sayapnya, menunjuk ke arah hutan utara.

Di sana, pepohonan yang biasanya berbisik kini berdiri diam, seolah-olah mereka lupa bagaimana caranya bernyanyi. Bahkan burung-burung yang biasa melagukan bait-bait syair kini hanya duduk diam di sarang mereka.

“Elvar, Zarah,” Filara melanjutkan, “aku khawatir ini lebih dari sekadar kebisuan. Aku takut ini awal dari sesuatu yang jauh lebih besar.”

“Kamu pikir ini apa?” tanya Zarah, mencoba menyembunyikan rasa cemas di suaranya.

Filara menghela napas panjang. “Aku tidak tahu pasti, tapi legenda tentang hilangnya kata-kata… itu bukan hanya dongeng.”

Zarah mengerutkan dahi. “Legenda itu? Maksudmu yang tentang Gunung Eterna?”

Filara mengangguk pelan. “Gunung itu bukan hanya sumber dari semua puisi di desa ini. Ia juga bisa menjadi akhir dari semuanya.”

Elvar, yang sejak tadi mendengarkan dengan cemas, akhirnya angkat suara. “Jadi… apa yang harus kita lakukan?”

“Perjalanan harus dimulai,” jawab Filara tegas. “Kalian harus pergi ke Gunung Eterna dan mencari tahu apa yang terjadi. Jika kata-kata benar-benar mulai hilang, seluruh desa ini bisa lenyap.”

Zarah merasa jantungnya berdegup lebih cepat. Dia tahu apa yang dimaksud Filara. Desa Rimba Liris bukan sekadar tempat tinggal; desa ini adalah puisi itu sendiri. Jika kata-kata hilang, maka keberadaan mereka pun akan ikut musnah.

“Tapi… kenapa aku?” tanyanya pelan.

“Karena kamu, Zarah, adalah penulis yang terbaik di desa ini,” jawab Filara. “Dan kamu, Elvar, dengan nyanyianmu yang selalu menenangkan, bisa membantu memanggil kata-kata yang hilang.”

Zarah menatap Elvar, yang balas mengangguk pelan. Ada sesuatu di mata musang itu yang membuat Zarah merasa tidak sendirian.

“Baiklah,” katanya akhirnya. “Kami akan pergi.”

Filara menatap mereka dengan penuh harap. “Ingatlah, perjalanan ini tidak mudah. Tapi kalian tidak punya pilihan selain melakukannya.”

Angin tiba-tiba berhembus pelan, seperti memberi dorongan semangat pada kedua makhluk itu. Zarah dan Elvar memulai perjalanan mereka dengan perasaan campur aduk, membawa harapan seluruh desa dalam setiap langkah mereka.

Langkah pertama menuju Gunung Eterna telah dimulai, dengan puisi yang kini terasa kosong di hati mereka.

 

Jejak Aksara di Gunung Eterna

Langit di atas Rimba Liris berubah menjadi abu-abu kelam. Seolah-olah, awan-awan menyimpan beban rahasia yang berat. Zarah dan Elvar berjalan melewati jalan setapak berbatu menuju hutan utara. Udara terasa sunyi, bahkan gesekan dedaunan seperti kehilangan ritmenya.

“Aku nggak suka ini,” gumam Elvar, sambil melirik ke arah pohon-pohon tinggi yang berdiri diam seperti patung. “Hutan ini biasanya penuh suara. Sekarang seperti… mati.”

“Jangan pikirkan itu,” jawab Zarah tanpa menoleh. “Kita fokus saja ke Gunung Eterna.”

Namun, hatinya pun dipenuhi kegelisahan. Langkah-langkah kecilnya membawa mereka semakin dalam ke hutan, dan setiap langkah seperti menuntun mereka ke dalam ketidakpastian.

Setelah berjalan cukup jauh, mereka tiba di sebuah persimpangan. Jalan di depan mereka terbagi menjadi tiga, masing-masing tampak sama gelap dan tak bersahabat.

“Filara nggak bilang soal ini,” keluh Elvar sambil menggaruk kepalanya.

Zarah mengamati setiap jalan. “Ada jejak di sana,” katanya sambil menunjuk ke jalan yang di sebelah kiri. “Sepertinya arah itu yang harus kita ambil.”

“Bagaimana kalau salah?” tanya Elvar dengan nada khawatir.

“Kita nggak punya waktu untuk ragu,” jawab Zarah tegas.

Mereka melangkah ke jalan yang ditunjukkan Zarah. Jalan itu semakin menyempit, dan pohon-pohon di sekitarnya terasa lebih rapat, seolah menutup diri dari dunia luar. Angin tipis berhembus, membawa aroma tanah basah dan dedaunan tua.

Di ujung jalan, mereka menemukan sebuah gua kecil yang tertutup tanaman merambat. Dari dalam gua terdengar suara gemerisik pelan, seperti desahan makhluk yang tak terlihat.

“Kamu yakin kita harus masuk ke situ?” bisik Elvar, berusaha menahan gemetar di suaranya.

“Kita nggak punya pilihan,” jawab Zarah, mencoba menyembunyikan rasa gugupnya.

Mereka menyibak tanaman merambat dan melangkah masuk ke dalam gua. Di dalamnya, udara terasa lebih dingin, dan lantai gua ditutupi oleh lumut lembut yang menyerap setiap langkah kaki mereka.

Di tengah gua, sebuah cahaya redup memancar dari sebuah batu besar yang dipenuhi ukiran aneh. Ukiran itu berbentuk huruf-huruf kuno, yang seolah-olah menyusun sebuah puisi dalam bahasa yang tidak mereka kenali.

“Apa ini?” bisik Elvar sambil mendekati batu itu.

Zarah mengamati ukiran tersebut. Dia tidak mengerti apa arti huruf-huruf itu, tetapi mereka terasa familiar, seperti bayangan samar dari sebuah mimpi yang pernah ia alami.

Tiba-tiba, dari sudut gua, muncul seekor ular besar dengan sisik berkilauan berwarna hijau zamrud. Ular itu melingkar di atas batu, menatap mereka dengan mata kuning yang bersinar tajam.

“Kalian mencari Gunung Eterna,” desis ular itu, suaranya seperti desiran angin di malam hari.

Zarah mundur selangkah. “Siapa kamu?” tanyanya, berusaha menjaga nada suaranya tetap tegas.

“Aku Saphra,” jawab ular itu. “Penjaga jejak aksara. Tidak ada yang bisa mencapai Gunung Eterna tanpa melewati aku.”

“Kami harus pergi ke sana,” kata Zarah dengan nada penuh keyakinan. “Rimba Liris sedang dalam bahaya. Kata-kata menghilang, dan desa kami membutuhkan bantuan.”

Saphra memiringkan kepalanya, seolah sedang mempertimbangkan sesuatu. “Bahaya? Hm, itu sudah lama kudengar. Tapi, perjalanan kalian tidak akan semudah itu.”

“Kalau begitu bantu kami!” seru Elvar, yang mulai merasa frustasi.

“Bantu kalian?” Saphra terkekeh pelan. “Aku tidak bekerja dengan cuma-cuma. Kalau kalian ingin melewati gua ini, kalian harus menjawab teka-teki yang aku berikan.”

“Teka-teki?” Zarah mengerutkan kening.

“Benar,” jawab Saphra. “Jawablah dengan benar, maka aku akan memberi kalian petunjuk ke Gunung Eterna. Jika kalian gagal… maka aku akan menyimpan kalian di sini sebagai bagian dari koleksi puisi pribadiku.”

Zarah menelan ludah. Pilihan itu terasa seperti perangkap, tetapi ia tahu mereka tidak bisa mundur. “Baik, beri teka-tekinya.”

Saphra tersenyum licik. “Dengarkan baik-baik:

Di awal aku membawa makna,
di akhir aku tetap menyimpan cerita.
Aku ada di setiap bait,
tanpaku, puisi kehilangan spirit.

Apa aku?”

Elvar menatap Zarah dengan ekspresi panik. “Apa ini? Aku nggak ngerti sama sekali!” bisiknya.

Zarah mengabaikan Elvar. Ia memejamkan mata, mencoba merenungkan teka-teki itu. Kata-kata Saphra terus terngiang di kepalanya. Sesuatu yang ada di awal dan akhir, sesuatu yang membuat puisi hidup.

“Elvar,” katanya akhirnya, membuka matanya. “Aku tahu jawabannya.”

Elvar menatapnya dengan harapan. “Apa?”

“Jawabannya adalah… huruf.”

Saphra terdiam sejenak, lalu tersenyum. “Kamu pintar, rubah kecil.”

Ular itu melingkar di atas batu, memperlihatkan sebuah lorong kecil di belakangnya. “Itu jalan ke Gunung Eterna. Tapi hati-hati. Jalan itu penuh dengan bahaya yang tidak bisa kalian bayangkan.”

Zarah dan Elvar menatap lorong itu dengan perasaan campur aduk. Mereka tahu, perjalanan baru saja dimulai.

 

Lembah Bisikan yang Terkunci

Zarah dan Elvar melangkah keluar dari gua, memasuki lorong sempit yang semakin lama semakin terbuka menjadi lembah yang luas. Lembah itu dipenuhi kabut tipis yang mengapung seperti tirai sutra. Batu-batu besar tersebar di mana-mana, masing-masing dihiasi ukiran huruf-huruf kuno yang serupa dengan yang mereka lihat di gua tadi.

“Elvar, lihat ini,” ujar Zarah sambil mendekati salah satu batu besar. Jarinya menyusuri ukiran yang terasa dingin dan halus di bawah cakar. “Huruf-huruf ini seperti puisi, tapi aku nggak ngerti artinya.”

“Zarah, jangan terlalu dekat,” bisik Elvar dengan gugup. “Tempat ini nggak terasa… aman.”

Zarah melirik ke sekeliling. Kabut itu bergerak, seolah-olah hidup, membentuk pola melingkar di sekitar mereka. Tidak ada suara selain napas mereka sendiri, dan keheningan itu terasa berat, hampir menindas.

Dari tengah lembah, sebuah suara pelan muncul, seperti bisikan yang saling bertumpang-tindih. Zarah dan Elvar membeku di tempat mereka, mencoba mendengar lebih jelas.

“Kata-kata… hilang… penyair… musnah…”

Zarah menelan ludah, lalu berjalan perlahan ke arah suara itu. Elvar mengikuti di belakangnya dengan langkah hati-hati, matanya terus waspada.

Di tengah lembah, mereka menemukan sebuah lingkaran batu yang tertutup oleh tanaman merambat. Di tengah lingkaran itu berdiri sebuah pilar tinggi, dan di atasnya, sebuah buku besar yang terbuka. Halamannya kosong, seperti lembaran putih yang menunggu tinta.

“Buku apa itu?” bisik Elvar.

“Satu-satunya cara untuk tahu adalah dengan mendekat,” jawab Zarah.

Saat mereka melangkah ke dalam lingkaran, suara bisikan menjadi semakin jelas. Kata-kata melayang di udara, berputar di sekitar mereka, tetapi tidak ada yang utuh, hanya pecahan-pecahan makna yang sulit dipahami.

Zarah mengangkat buku itu perlahan. Kulitnya terasa dingin, dan ketika ia menyentuh halaman pertama, cahaya keemasan menyebar dari buku itu, menerangi lingkaran batu di sekitarnya.

“Elvar, lihat ini,” katanya dengan napas tertahan.

Huruf-huruf mulai muncul di halaman kosong, seolah-olah seseorang sedang menulis di sana. Kata-kata itu membentuk sebuah pesan:

“Kunci bisikan ada di hati yang berani,
melangkah melawan kebisuan sejati.
Tapi hati-hati dengan kata yang hilang,
mereka bisa menjadi musuh paling tegar.”

“Elvar, kamu ngerti maksudnya?” tanya Zarah sambil menatap buku itu.

Elvar menggeleng. “Nggak sepenuhnya. Tapi aku rasa kita harus menemukan ‘kata yang hilang’ itu.”

Tiba-tiba, tanah di sekitar mereka bergetar. Dari balik kabut, makhluk-makhluk bayangan mulai muncul. Mereka tidak berbentuk jelas, hanya siluet hitam dengan mata merah menyala, seperti amarah yang terperangkap dalam keheningan.

“Zarah…” suara Elvar bergetar. “Mereka nggak kelihatan ramah.”

Zarah menutup buku itu dengan cepat dan memasukkannya ke dalam tas kecil yang ia bawa. “Kita harus pergi.”

Mereka mulai berlari keluar dari lingkaran batu, tetapi bayangan-bayangan itu mengejar mereka dengan kecepatan yang mengerikan. Suara bisikan yang tadinya samar kini berubah menjadi teriakan-teriakan parau, penuh kemarahan dan kepedihan.

Elvar hampir tersandung sebuah batu besar, tetapi Zarah menariknya tepat waktu. “Ayo, jangan berhenti!” serunya.

Namun, salah satu bayangan berhasil mendekati mereka. Makhluk itu mengayunkan cakar hitamnya ke arah Zarah, tetapi Elvar melompat ke depan, menabraknya dengan tubuhnya yang kecil namun kuat.

“Lari, Zarah!” teriak Elvar sambil bergulat dengan bayangan itu.

“Aku nggak akan ninggalin kamu!” balas Zarah, tapi sebelum ia bisa membantu, salah satu bayangan lain melompat ke arahnya.

Zarah meraih sebuah cabang pohon yang patah dan mengayunkannya ke arah bayangan itu. Cabang itu menembus makhluk itu, yang langsung memudar menjadi debu. Elvar, yang masih bergulat dengan makhluk lain, berhasil melepaskan diri dengan cara yang sama.

“Aku rasa mereka nggak tahan dengan benda-benda dari alam,” katanya sambil terengah-engah.

Zarah mengangguk. “Kita harus cari jalan keluar dari sini. Cepat!”

Mereka berlari menuju ujung lembah, di mana cahaya matahari terlihat samar-samar menembus kabut. Bayangan-bayangan itu terus mengejar, tetapi setiap kali mereka mencoba mendekat, Zarah dan Elvar menggunakan dahan pohon atau batu untuk melawan.

Akhirnya, mereka berhasil keluar dari lembah dan mencapai tepi sebuah jurang. Di bawah mereka, sungai besar mengalir dengan deras, suaranya seperti simfoni alam yang penuh semangat.

“Bagaimana caranya kita menyeberang?” tanya Elvar, napasnya tersengal.

Zarah melihat sekeliling, mencari sesuatu yang bisa membantu. Di sisi lain jurang, ia melihat sebuah jembatan gantung yang sudah tua dan rapuh, tetapi cukup panjang untuk membawa mereka ke seberang.

“Kita nggak punya pilihan lain,” katanya sambil melangkah ke jembatan itu.

Elvar mengikutinya, tetapi jembatan itu mulai berderit di bawah berat mereka. Angin di jurang meniup kencang, membuat jembatan bergoyang-goyang dengan berbahaya.

Ketika mereka sampai di tengah jembatan, suara bisikan itu muncul lagi, kali ini dari jurang di bawah mereka. Dari kedalaman gelap, bayangan-bayangan itu muncul lagi, melayang ke arah mereka.

“Cepat, Zarah!” teriak Elvar.

Mereka berlari sekuat tenaga, sementara jembatan mulai runtuh di belakang mereka. Bayangan-bayangan itu semakin mendekat, tetapi saat mereka melangkah ke sisi lain jurang, cahaya keemasan dari buku di dalam tas Zarah tiba-tiba menyala terang.

Bayangan-bayangan itu langsung mundur, menghilang ke dalam kegelapan jurang. Zarah dan Elvar terjatuh ke tanah, napas mereka terengah-engah, tetapi mereka selamat.

“Zarah,” kata Elvar dengan suara pelan. “Aku rasa buku itu lebih dari sekadar buku.”

Zarah mengeluarkan buku itu dari tasnya, menatap cahaya yang masih memancar dari halamannya. “Aku juga rasa begitu,” jawabnya. “Tapi apa sebenarnya yang kita bawa ini?”

Mereka saling menatap, dengan pertanyaan yang sama memenuhi benak mereka: Apa yang menunggu mereka di Gunung Eterna?

 

Cahaya yang Menghancurkan Kegelapan

Zarah dan Elvar berdiri di ujung dunia yang tak dikenal. Mereka melihat gunung yang jauh di hadapan mereka, puncaknya tersembunyi di balik awan hitam pekat. Gunung Eterna, tempat yang selama ini mereka cari, berdiri megah namun misterius. Seluruh lembah yang mereka lewati kini terasa jauh di belakang, tapi dampak dari perjalanan itu masih membekas—terutama rasa takut yang terus menghantui mereka.

“Elvar…” Zarah menghela napas, menatap gunung itu dengan tatapan yang penuh keraguan. “Kita sudah terlalu jauh, dan rasanya semakin sulit untuk mundur.”

“Aku tahu,” jawab Elvar, suaranya serak. “Tapi kita nggak punya pilihan lain, Zarah. Kau lihat sendiri apa yang terjadi pada mereka yang gagal.”

Zarah menoleh, mengingat bayangan-bayangan yang mereka hadapi. Kehilangan kata-kata itu terasa seperti kehilangan sesuatu yang lebih dari sekadar bahasa. Itu adalah kehilangan harapan, kehilangan diri. Dan di depan mereka, Gunung Eterna tampak seperti satu-satunya harapan yang tersisa. Tetapi, semakin mendekat, semakin banyak teka-teki yang belum mereka jawab.

“Jadi, apa kita siap untuk ini?” tanya Zarah, suaranya mengandung kebingungan dan keputusasaan yang belum pernah ia rasakan sebelumnya.

“Kita nggak bisa mundur, Zarah,” jawab Elvar dengan tegas. “Kita nggak bisa terus melarikan diri dari ini. Ini tentang puisi yang hilang, tentang kata-kata yang tersisa. Semua yang kita alami, semua yang terjadi—semuanya mengarah ke sini.”

Mereka melangkah bersama, menuju kaki gunung. Saat mereka memasuki wilayahnya, udara berubah menjadi dingin. Semua suara mulai meredup, seakan alam sendiri ikut mengheningkan diri untuk memberikan mereka ruang. Tetapi ruang itu terasa menyesakkan. Setiap langkah terasa seperti beban yang semakin berat.

Tiba-tiba, di hadapan mereka muncul sebuah gerbang besar, terbuat dari batu hitam yang dipenuhi dengan ukiran-ukiran yang tak dikenali. Di atasnya, ada sebuah tulisan dalam bahasa yang Zarah dan Elvar tak mampu mengerti, meskipun mereka tahu itu penting. Buku yang Zarah bawa mulai bergetar, cahaya dari dalamnya semakin terang. Sesuatu memanggil mereka, memandu mereka menuju gerbang itu.

“Haruskah kita melangkah masuk?” tanya Zarah, suara gemetar.

Elvar menatap gerbang itu, lalu kembali memandang Zarah. “Aku rasa ini waktunya. Ini waktunya untuk menemukan apa yang selama ini kita cari.”

Dengan tangan yang sedikit gemetar, Zarah mendorong gerbang itu. Ketika gerbang itu terbuka, sebuah dunia baru menyambut mereka—sebuah dunia yang penuh dengan cahaya biru berkilauan, udara yang lembut namun berat dengan makna. Di sana, terhampar sebuah padang luas yang penuh dengan bunga-bunga berwarna-warni. Namun, bukan bunga yang menarik perhatian Zarah. Di tengah padang itu, ada sebuah pohon besar, dengan cabang-cabangnya yang menjuntai ke tanah, seakan mengundang mereka untuk mendekat.

“Apakah itu…?” Zarah bertanya, suaranya terhenti karena heran.

“Itu pohon kehidupan,” jawab Elvar, sedikit terengah. “Di sanalah semua kata-kata berasal, dan mungkin… di sanalah kita menemukan jawabannya.”

Mereka melangkah mendekat, dan ketika mereka berdiri di bawah pohon itu, cahaya dari buku Zarah tiba-tiba meledak, memancarkan kilatan yang sangat terang, hingga mereka terpaksa menutup mata.

Namun, saat cahaya itu mereda, sebuah suara terdengar. Suara lembut, tapi penuh kekuatan.

“Selamat datang, para pencari,” suara itu bergema di udara, mengalir seperti aliran sungai yang tenang namun mendalam. “Kalian telah menemukan jalan menuju sumber dari segala kata. Namun, pertanyaan kalian belum berakhir. Apa yang kalian inginkan dari kata-kata ini? Apa yang kalian harapkan dapat ditemukan di balik kata-kata yang hilang?”

Zarah tertegun, kata-kata itu menghujam hatinya. Ia telah bertanya-tanya selama ini tentang makna perjalanan mereka. “Aku… Aku ingin menemukan kebenaran,” jawabnya, suara lemah namun pasti. “Aku ingin tahu mengapa kata-kata itu bisa hilang, mengapa dunia ini seolah-olah terlupakan.”

“Dan aku,” Elvar melanjutkan, “ingin memahami alasan di balik semua ini. Apa yang membuat kita kehilangan kata-kata kita? Mengapa kita terjebak dalam ketakutan akan kegelapan yang datang tanpa suara?”

Suara itu tertawa lembut, seakan mengerti segala yang mereka rasakan. “Kalian telah menemukan jawaban yang sebenarnya. Kebenaran itu bukanlah sesuatu yang bisa dijelaskan dengan kata-kata semata. Kebenaran itu ada dalam perjalanan kalian, dalam setiap langkah yang telah kalian ambil. Kata-kata yang hilang itu bukan milik dunia ini. Mereka milik jiwa-jiwa yang tidak pernah menerima kenyataan mereka sendiri.”

Tiba-tiba, pohon itu mengeluarkan cahaya yang lebih terang dari sebelumnya, dan bunga-bunga di sekitar mereka mulai mekar dengan sendirinya, menyebarkan wewangian yang begitu harum, seakan seluruh dunia berbisik.

“Sekarang,” suara itu berkata, “kalian harus memilih. Kembali dan simpan kata-kata ini dalam hati kalian, atau teruskan perjalanan kalian menuju pencarian yang lebih dalam. Tetapi ingatlah—setiap kata yang kalian ucapkan akan membawa perubahan, tak peduli seberapa kecil.”

Zarah dan Elvar saling menatap. Mereka tahu, pilihan ini bukan hanya tentang kata-kata yang mereka bawa. Ini tentang perjalanan mereka, tentang siapa mereka menjadi, dan tentang apa yang mereka percayai.

Zarah akhirnya mengangguk, senyum tipis muncul di bibirnya. “Aku siap,” katanya dengan penuh keyakinan.

“Dan aku juga,” jawab Elvar, suaranya lebih tegas dari sebelumnya.

Saat mereka mengangkat kaki untuk melangkah lebih jauh ke dalam dunia yang penuh cahaya ini, mereka tahu bahwa apapun yang terjadi, kata-kata yang mereka temukan akan tetap mengarahkan mereka. Dunia mungkin penuh dengan kegelapan dan ketidakpastian, tetapi mereka sudah memiliki kunci untuk membukanya: Keberanian untuk berbicara, dan hati yang tidak pernah berhenti berharap.

Dan dengan itu, mereka berjalan menuju cakrawala yang tak terduga, meninggalkan bayangan-bayangan yang pernah mengejar mereka, untuk mencari dunia yang lebih luas, lebih terang, dan lebih penuh makna—dimana kata-kata mereka akhirnya menjadi hidup.

 

Jadi, gimana? Setelah baca cerita ini, kamu mulai mikir kan, betapa pentingnya kata-kata dalam hidup kita? Kadang, kata-kata bisa jadi kekuatan terbesar, tapi juga bisa jadi hilang begitu aja. Tapi yang pasti, kadang kita harus berani buat cari tahu apa yang hilang itu.

Semua perjalanan, baik atau buruk, bakal bawa kita ke tempat yang lebih terang, asal kita nggak takut buat nyoba. Jadi, teruslah bicara, teruslah berjuang, dan jangan pernah takut buat menemukan makna dari setiap kata yang kamu ucapkan. Karena, siapa tahu, mungkin kata-kata itu yang akhirnya bakal menyelamatkan dunia.

Leave a Reply