Daftar Isi
Ready for a magical twist on an old fairy tale? Get ready for adventure, curses, and a love story that’ll keep you hooked from start to finish!
(Siap untuk twist ajaib dari dongeng lama? Bersiaplah untuk petualangan, kutukan, dan kisah cinta yang bakal bikin kamu terus terikat dari awal sampai akhir!)
The Frog Prince Curse
The Curse of the Green Prince
(Kutukan Pangeran Hijau)
The kingdom was a place of eternal twilight, where the sun seemed too shy to shine brightly, always hiding behind thick, heavy clouds. The villagers went about their daily lives with a sense of routine, unaware of the dark secret that lingered beneath the surface of their land. In the center of the village, where the stone bridge met the castle grounds, there was a small pond, tucked away in a quiet corner. Most people walked past it, never bothering to look closely at the rock sitting at its center. But if they did, they would see him—a frog, a peculiar one at that.
(Kerajaan itu adalah tempat senja abadi, di mana matahari seakan terlalu malu untuk bersinar terang, selalu bersembunyi di balik awan tebal yang berat. Penduduk desa menjalani kehidupan sehari-hari mereka dengan rutinitas yang tak terganggu, tanpa menyadari rahasia gelap yang bersembunyi di bawah permukaan tanah mereka. Di tengah desa, tempat jembatan batu bertemu dengan halaman kastil, ada sebuah kolam kecil, tersembunyi di sudut yang tenang. Kebanyakan orang berjalan melewatinya, tak pernah peduli untuk melihat lebih dekat batu yang berada di tengahnya. Namun jika mereka melakukannya, mereka akan melihatnya—seekor kodok, yang sangat aneh.)
Oswin, once a proud prince, had been cursed by a wicked sorcerer. The curse had trapped him in the form of a frog, and only true love could break it. But no one had ever stopped long enough to see past his green, slimy exterior. The pond was his prison, and he had spent countless days hopping from one side to the other, watching as life continued without him. He had once been someone, someone important, someone with a future. But now, he was just a forgotten creature in a forgotten pond.
(Oswin, yang dulunya seorang pangeran yang bangga, telah dikutuk oleh seorang penyihir jahat. Kutukan itu menjebaknya dalam bentuk seekor kodok, dan hanya cinta sejati yang bisa memecahkannya. Namun tak ada yang pernah berhenti cukup lama untuk melihat melewati penampilan hijau dan berlendirnya. Kolam itu adalah penjaranya, dan dia telah menghabiskan hari-hari tanpa jumlah yang tak terhitungkan melompat dari satu sisi ke sisi lain, menyaksikan kehidupan terus berjalan tanpa dirinya. Dahulu, dia adalah seseorang, seseorang yang penting, seseorang dengan masa depan. Tetapi sekarang, dia hanyalah makhluk terlupakan di kolam yang terlupakan.)
One day, as the wind whispered softly through the trees, a figure approached the pond. It was a princess, her golden hair falling in waves over her shoulders, and her eyes held a spark of curiosity. She was not like the others. Most people would have seen a frog and moved on, dismissing it as nothing more than a silly creature. But this princess, Elara, was different. She knelt by the edge of the pond and peered at Oswin, her gaze steady and unafraid.
(Suatu hari, saat angin berbisik lembut melalui pepohonan, sebuah sosok mendekati kolam. Itu adalah seorang putri, rambut emasnya jatuh bergelombang di atas bahunya, dan matanya memancarkan secercah rasa ingin tahu. Dia tidak seperti yang lain. Kebanyakan orang akan melihat kodok dan melanjutkan langkah mereka, menganggapnya sebagai makhluk bodoh yang tidak berarti. Namun putri ini, Elara, berbeda. Dia berlutut di tepi kolam dan menatap Oswin, pandangannya tetap tenang dan tanpa rasa takut.)
Oswin, who had grown so used to being ignored, couldn’t help but croak in surprise. It wasn’t often that someone looked at him with such genuine interest. “You’re staring at me,” he muttered, his voice low and hoarse from years of disuse.
(Oswin, yang sudah begitu terbiasa diabaikan, tidak bisa menahan diri untuk mengeluarkan bunyi ‘kruk’ karena terkejut. Jarang sekali ada yang memandangnya dengan ketertarikan sejati seperti ini. “Kamu menatapku,” gumamnya, suaranya serak dan rendah karena bertahun-tahun tidak digunakan.)
The princess, who had not flinched or turned away, smiled at him. “I’ve never seen a frog speak before,” she said, her tone playful but curious. “What’s your name, little frog?”
(Putri itu, yang tidak terkejut atau berpaling, tersenyum padanya. “Aku belum pernah melihat kodok berbicara sebelumnya,” katanya, dengan nada yang ceria namun penuh rasa ingin tahu. “Siapa namamu, kodok kecil?”)
Oswin hesitated for a moment, his heart tightening at the thought of revealing his true self. But the loneliness, the endless waiting, and the soft sincerity in her voice made him speak. “I am Prince Oswin,” he said, his words laced with a sorrow he could not hide. “Once a prince, now cursed.”
(Oswin ragu sejenak, hatinya berdesir memikirkan untuk mengungkapkan dirinya yang sebenarnya. Namun kesepian, penantian yang tak berujung, dan keikhlasan lembut dalam suaranya membuatnya berbicara. “Aku Pangeran Oswin,” katanya, kata-katanya penuh dengan kesedihan yang tak bisa dia sembunyikan. “Dulu seorang pangeran, sekarang terkutuk.”)
Elara’s expression softened as she listened to him. She had heard tales of enchanted princes, trapped in the forms of beasts and frogs, but never had she expected to meet one herself. Her heart ached for him, but she didn’t pity him. No, she was curious. “A curse?” she asked gently. “What kind of curse could turn a prince into a frog?”
(Ekspresi Elara melunak saat dia mendengarkan Oswin. Dia pernah mendengar kisah-kisah tentang pangeran yang terpesona, terjebak dalam bentuk makhluk dan kodok, tetapi tak pernah dia menyangka akan bertemu dengan salah satunya. Hatinya terasa perih untuknya, tetapi dia tidak merasa kasihan. Tidak, dia merasa penasaran. “Kutukan?” tanyanya lembut. “Kutukan seperti apa yang bisa mengubah seorang pangeran menjadi kodok?”)
Oswin’s eyes, which had long since lost their gleam of hope, now filled with a quiet, bitter sorrow. “A wicked sorcerer cursed me,” he explained, his voice trembling slightly. “The only way to break it is through the love of someone who sees me for who I truly am. But no one has ever cared enough to see past my… appearance.”
(Mata Oswin, yang sudah lama kehilangan kilau harapan, kini dipenuhi dengan kesedihan yang tenang dan pahit. “Seorang penyihir jahat mengutukku,” jelasnya, suaranya sedikit bergetar. “Satu-satunya cara untuk memecahnya adalah melalui cinta dari seseorang yang melihatku seperti aku sebenarnya. Tapi tak ada yang pernah peduli cukup untuk melihat melewati… penampilanku.”)
Elara’s expression grew serious, and for the first time, she leaned in closer to him. “I can see you,” she said softly. “I’m not afraid of you.”
(Ekspresi Elara berubah serius, dan untuk pertama kalinya, dia mendekat. “Aku bisa melihatmu,” katanya pelan. “Aku tidak takut padamu.”)
And so, in the stillness of the pond, where the ripples barely disturbed the water, an unspoken connection began to form between the princess and the frog—between Elara and Prince Oswin. Little did they know, their journey had only just begun.
(Dan begitu, dalam ketenangan kolam, di mana riak air hampir tidak mengganggu, sebuah koneksi yang tak terkatakan mulai terbentuk antara putri dan kodok—antara Elara dan Pangeran Oswin. Tanpa mereka sadari, perjalanan mereka baru saja dimulai.)
The Princess Who Listened
(Putri yang Mendengarkan)
As the days passed, Elara returned to the pond. At first, it was simply out of curiosity—a desire to learn more about this cursed prince. But as she visited him more often, something changed. She began to listen not just to his words, but to the silence between them. In that silence, she heard his loneliness, his longing, and the faint flicker of hope that still burned deep within him.
(Seiring berjalannya waktu, Elara kembali ke kolam itu. Pada awalnya, itu hanya karena rasa ingin tahu—keinginan untuk belajar lebih banyak tentang pangeran yang terkutuk ini. Tetapi semakin sering dia mengunjunginya, sesuatu mulai berubah. Dia mulai mendengarkan bukan hanya kata-katanya, tetapi juga keheningan di antara mereka. Dalam keheningan itu, dia mendengar kesepian, kerinduan, dan percikan harapan yang masih menyala di dalam dirinya.)
Prince Oswin, who had grown used to the cold distance of the world, was surprised by her kindness. He had expected to be seen only as a frog, an insignificant creature that was to be dismissed. But Elara didn’t treat him that way. She brought him gifts—fruits from the castle’s orchards, flowers picked fresh from the garden. Each time she visited, she would sit by the pond, and they would talk. It wasn’t grand conversation, but it was enough to fill the spaces between them, to bridge the divide between curse and reality.
(Pangeran Oswin, yang sudah terbiasa dengan jaraknya dunia yang dingin, terkejut oleh kebaikan hatinya. Dia sudah mengira akan dilihat hanya sebagai kodok, makhluk tak berarti yang akan diabaikan. Namun Elara tidak memperlakukannya seperti itu. Dia membawakan hadiah—buah-buahan dari kebun kastil, bunga-bunga yang dipetik segar dari taman. Setiap kali dia mengunjunginya, dia duduk di tepi kolam, dan mereka berbicara. Itu bukan percakapan besar, tetapi sudah cukup untuk mengisi celah di antara mereka, untuk menjembatani jurang antara kutukan dan kenyataan.)
One afternoon, as Elara sat by the water, Oswin asked her something he hadn’t dared to before. “Why do you keep coming back?” he asked, his voice low and hesitant, unsure of the answer. “You could go back to the castle, live your life, but you choose to spend your time here, with me.”
(Suatu sore, saat Elara duduk di tepi air, Oswin bertanya padanya sesuatu yang belum pernah dia tanyakan sebelumnya. “Kenapa kamu terus datang?” tanyanya, suaranya pelan dan ragu, tidak yakin dengan jawabannya. “Kamu bisa kembali ke kastil, menjalani hidupmu, tetapi kamu memilih untuk menghabiskan waktumu di sini, bersamaku.”)
Elara looked at him, her eyes soft and thoughtful. She paused for a moment before answering. “Because you’re more than just a frog,” she said, her voice steady but full of warmth. “I see you for who you really are. You’re not just a prince trapped in a curse. You’re someone who deserves to be seen. And I… I think that matters.”
(Elara menatapnya, matanya lembut dan penuh pemikiran. Dia terdiam sejenak sebelum menjawab. “Karena kamu lebih dari sekadar kodok,” katanya, suaranya mantap namun penuh kehangatan. “Aku melihatmu untuk siapa kamu sebenarnya. Kamu bukan hanya seorang pangeran yang terjebak dalam kutukan. Kamu adalah seseorang yang pantas untuk dilihat. Dan aku… aku rasa itu penting.”)
Oswin’s heart swelled, a strange warmth filling him. It was the first time in years that someone had spoken to him like that—like he mattered, like he was more than the green creature he had become. “You make me feel… human again,” he whispered, his voice thick with emotion.
(Hati Oswin terasa penuh, kehangatan aneh mengisi dirinya. Ini adalah pertama kalinya dalam bertahun-tahun seseorang berbicara padanya seperti itu—seperti dia berarti, seperti dia lebih dari makhluk hijau yang telah dia jadi. “Kamu membuatku merasa… seperti manusia lagi,” bisiknya, suaranya serak dengan emosi.)
Elara smiled, a small but genuine smile, one that reached her eyes. “That’s what friends do,” she said simply. “And I consider you my friend.”
(Elara tersenyum, sebuah senyum kecil namun tulus, yang mencapai matanya. “Itulah yang dilakukan teman,” katanya sederhana. “Dan aku menganggapmu temanku.”)
The word “friend” hung in the air between them like a promise, a quiet understanding that neither of them had expected. In that moment, Oswin realized that his curse wasn’t just something that bound him to the pond—it was something that could be broken, not just by love, but by the simple power of companionship.
(Kata “teman” menggantung di udara antara mereka seperti sebuah janji, pemahaman diam yang tidak pernah mereka harapkan. Pada saat itu, Oswin menyadari bahwa kutukannya bukan hanya sesuatu yang mengikatnya pada kolam—itu adalah sesuatu yang bisa dihancurkan, bukan hanya oleh cinta, tetapi oleh kekuatan sederhana dari persahabatan.)
As Elara stood to leave, she turned to him one last time. “I’ll come again tomorrow,” she promised, a hint of mischief in her eyes. “And maybe next time, we’ll find a way to break this curse. I’m not giving up on you, Oswin.”
(Saat Elara berdiri untuk pergi, dia berbalik padanya untuk terakhir kalinya. “Aku akan datang lagi besok,” janjinya, dengan sedikit godaan di matanya. “Dan mungkin kali berikutnya, kita akan menemukan cara untuk memecahkan kutukan ini. Aku tidak akan menyerah padamu, Oswin.”)
Oswin watched her go, a mixture of hope and longing swirling in his chest. For the first time in years, he felt the stirrings of something more than just the dull ache of his curse. He had a friend now. And perhaps—just perhaps—there was still a chance for him to be free.
(Oswin memandangnya pergi, campuran antara harapan dan kerinduan berputar di dadanya. Untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dia merasakan gejolak sesuatu lebih dari sekadar rasa sakit tumpul dari kutukannya. Sekarang dia memiliki seorang teman. Dan mungkin—hanya mungkin—masih ada kesempatan baginya untuk bebas.)
The Curse That Bound Them
(Kutukan yang Mengikat Mereka)
The days grew warmer as summer ripened in the kingdom. Elara continued to visit Oswin every afternoon, her resolve growing stronger with each visit. The more she learned about him, the more she realized just how much of his life had been stolen from him by that wretched curse. His memories were fuzzy, like fragments of a shattered mirror. He could remember the feeling of his father’s embrace, the sound of his mother’s voice, but the details were lost in the fog of time.
(Hari-hari semakin hangat seiring dengan kedatangan musim panas di kerajaan. Elara terus mengunjungi Oswin setiap sore, tekadnya semakin kuat dengan setiap kunjungan. Semakin dia belajar tentang dirinya, semakin dia menyadari betapa banyak hidupnya yang telah direnggut oleh kutukan yang terkutuk itu. Ingatannya kabur, seperti potongan-potongan cermin yang pecah. Dia bisa mengingat perasaan pelukan ayahnya, suara ibu yang mengalun, tetapi detailnya hilang dalam kabut waktu.)
One day, as Elara sat beside the pond, her legs dangling in the water, Oswin spoke of something that had been troubling him for weeks. “I dream of a way to break this curse,” he said softly, his voice barely above a whisper. “But the path seems so distant, and every time I think I’m getting closer, it slips through my fingers like water.”
(Suatu hari, saat Elara duduk di samping kolam, kakinya menggantung di dalam air, Oswin berbicara tentang sesuatu yang telah mengganggunya selama beberapa minggu. “Aku bermimpi menemukan cara untuk memecahkan kutukan ini,” katanya pelan, suaranya hampir seperti bisikan. “Tetapi jalannya terasa sangat jauh, dan setiap kali aku pikir aku semakin dekat, itu meluncur dari tanganku seperti air.”)
Elara turned her gaze toward him, her heart heavy with sympathy. She had heard him speak of the curse before, but never with such intensity, such longing. “What if I told you I believe it can be broken?” she asked, her voice steady with conviction.
(Elara mengalihkan pandangannya ke arahnya, hatinya terasa berat dengan simpati. Dia pernah mendengar dia berbicara tentang kutukan itu sebelumnya, tetapi tidak pernah dengan intensitas seperti itu, kerinduan yang begitu dalam. “Bagaimana jika aku bilang aku percaya itu bisa dipatahkan?” tanyanya, suaranya mantap penuh keyakinan.)
Oswin looked at her, his deep green eyes filled with both hope and doubt. “You really think so?” he asked, his voice shaking slightly. “But how? I’ve tried everything, or so it seems. What if it’s hopeless? What if I’m doomed to be this way forever?”
(Oswin menatapnya, matanya yang hijau gelap dipenuhi harapan dan keraguan. “Kamu benar-benar pikir begitu?” tanyanya, suaranya sedikit gemetar. “Tapi bagaimana? Aku sudah mencoba segalanya, atau begitu rasanya. Bagaimana jika ini sia-sia? Bagaimana jika aku terkutuk menjadi seperti ini selamanya?”)
Elara didn’t hesitate. She stood, walking to the edge of the pond where the moonlight shimmered across the water like silver dust. “The curse has bound you for so long, Oswin. But it doesn’t have to be that way. I believe love—true love—can break any curse.”
(Elara tidak ragu. Dia berdiri, berjalan ke tepi kolam di mana cahaya bulan berkilauan di atas air seperti debu perak. “Kutukan ini sudah mengikatmu begitu lama, Oswin. Tetapi itu tidak harus seperti itu. Aku percaya cinta—cinta sejati—dapat mematahkan kutukan apapun.”)
Oswin blinked, taken aback by her words. True love? The idea seemed both far-fetched and somehow impossible to him. For how could someone—especially a princess like Elara—love a cursed frog? The thought seemed absurd, yet there was something in her eyes, something in her voice that made him wonder.
(Oswin terbelalak, terkejut oleh kata-katanya. Cinta sejati? Gagasan itu terasa tidak masuk akal dan entah bagaimana mustahil baginya. Karena bagaimana mungkin seseorang—terutama seorang putri seperti Elara—mencintai kodok yang terkutuk? Pemikiran itu terasa konyol, namun ada sesuatu di matanya, sesuatu dalam suaranya yang membuatnya bertanya-tanya.)
He looked away, his gaze dropping to the water as if searching for answers within the rippling surface. “But what if I can never be the man I was? What if I’m only this… this frog?” His voice broke at the end, the vulnerability in his words more than he had ever shown before.
(Dia menatap ke arah lain, pandangannya jatuh ke air seolah mencari jawaban di dalam permukaan yang beriak. “Tapi bagaimana jika aku tidak pernah bisa menjadi pria yang aku dulu? Bagaimana jika aku hanya ini… ini kodok?”)
Elara knelt beside him, her hand reaching out to gently rest on his. “You’re not just a frog, Oswin,” she said firmly. “You’re a prince, even if you don’t feel like one. And true love isn’t about perfection. It’s about acceptance. About seeing someone for who they really are, beyond the surface. I see you, Oswin. I see the man you are underneath all of this.”
(Elara berlutut di sampingnya, tangannya meraih dengan lembut dan meletakkan di atas tangannya. “Kamu bukan hanya kodok, Oswin,” katanya dengan tegas. “Kamu seorang pangeran, meski kamu tidak merasa seperti itu. Dan cinta sejati bukan tentang kesempurnaan. Itu tentang penerimaan. Tentang melihat seseorang untuk siapa mereka sebenarnya, di luar penampilan. Aku melihatmu, Oswin. Aku melihat pria yang kamu sebenarnya di bawah semua ini.”)
Her words wrapped around him like a warm embrace, pulling him from the shadows of doubt. For a moment, he allowed himself to believe her—to believe that maybe, just maybe, love could break the curse. But the road ahead was still unclear.
(Kata-katanya melingkupi dirinya seperti pelukan hangat, menariknya dari bayang-bayang keraguan. Untuk sesaat, dia membiarkan dirinya mempercayai kata-katanya—untuk percaya bahwa mungkin, hanya mungkin, cinta bisa mematahkan kutukan itu. Tetapi jalan yang ada di depan masih kabur.)
He squeezed her hand gently, a small smile tugging at his lips, though it was tinged with sadness. “I want to believe you, Elara. I really do. But it’s hard.”
(Dia meremas tangannya dengan lembut, sebuah senyum kecil muncul di bibirnya, meskipun itu diliputi kesedihan. “Aku ingin mempercayaimu, Elara. Aku benar-benar ingin. Tetapi itu sulit.”)
Elara squeezed his hand in return, standing with determination. “Then let’s figure it out together. We’re in this now, Oswin. And I won’t give up on you. Not now, not ever.”
(Elara meremas tangannya kembali, berdiri dengan tekad. “Mari kita cari tahu bersama. Kita sudah terlibat dalam hal ini, Oswin. Dan aku tidak akan menyerah padamu. Tidak sekarang, tidak pernah.”)
As they stood together, the moonlight casting an ethereal glow across the pond, it was as if the curse itself was beginning to weaken. Perhaps it was the promise of Elara’s words, or the flicker of hope in both their hearts. But in that moment, the impossible didn’t seem so impossible after all.
(Saat mereka berdiri bersama, cahaya bulan memancarkan cahaya gaib di atas kolam, seolah-olah kutukan itu mulai melemah. Mungkin itu adalah janji kata-kata Elara, atau kilauan harapan di hati mereka berdua. Tetapi pada saat itu, yang mustahil tidak terasa begitu mustahil setelah semua.)
The Breaking of the Curse
(Pemecahan Kutukan)
The days blurred into weeks, and with each passing moment, the bond between Elara and Oswin grew stronger. There was an unspoken understanding between them, a quiet certainty that they were destined to succeed. But even with their growing resolve, there was still a part of Oswin that hesitated. A part of him was afraid to fully believe in the possibility of breaking the curse, afraid of what it would mean for him—afraid of losing himself entirely in the process.
(Hari-hari berlalu menjadi minggu, dan dengan setiap saat yang berlalu, ikatan antara Elara dan Oswin semakin kuat. Ada pemahaman tanpa kata di antara mereka, keyakinan diam-diam bahwa mereka ditakdirkan untuk berhasil. Tetapi meskipun tekad mereka semakin besar, masih ada bagian dari diri Oswin yang ragu. Sebagian dari dirinya takut untuk sepenuhnya percaya pada kemungkinan memecahkan kutukan, takut pada apa yang itu akan berarti baginya—takut kehilangan dirinya sepenuhnya dalam proses itu.)
Elara noticed the change in his demeanor. His eyes were often distant, his thoughts elsewhere, and there were moments when she could feel the weight of his fears pressing down on him like a heavy stone. Yet, she refused to let him pull away. “You don’t have to do this alone, Oswin,” she said softly, her fingers brushing against his arm as they walked along the edge of the forest one afternoon. “I’m here, with you. We’ll face this together.”
(Elara menyadari perubahan dalam sikapnya. Matanya sering tampak jauh, pikirannya berada di tempat lain, dan ada saat-saat ketika dia bisa merasakan beratnya ketakutannya menekan dirinya seperti batu besar. Namun, dia menolak untuk membiarkannya menarik diri. “Kamu tidak perlu melakukan ini sendirian, Oswin,” katanya pelan, jarinya menyentuh lengannya saat mereka berjalan di tepi hutan suatu sore. “Aku di sini, bersamamu. Kita akan menghadapi ini bersama.”)
Oswin paused, his gaze fixed on her for a long moment. There was something in her eyes—something that made him feel both terrified and exhilarated. “You really believe in me, don’t you?” His voice was barely audible, the vulnerability in his words raw and real.
(Oswin berhenti sejenak, pandangannya tertuju padanya untuk beberapa saat yang lama. Ada sesuatu di matanya—sesuatu yang membuatnya merasa sekaligus takut dan terpesona. “Kamu benar-benar percaya padaku, kan?” Suaranya hampir tak terdengar, kerentanannya sangat nyata dalam kata-katanya.)
Elara smiled, her expression soft and full of warmth. “I do. I believe in you, Oswin. I believe that the curse is nothing more than a challenge. And with you by my side, I know we can face anything.”
(Elara tersenyum, ekspresinya lembut dan penuh kehangatan. “Aku percaya. Aku percaya padamu, Oswin. Aku percaya bahwa kutukan itu hanyalah sebuah tantangan. Dan denganmu di sisiku, aku tahu kita bisa menghadapi apapun.”)
That afternoon, the air felt different. The forest seemed to whisper secrets on the wind, and the sky was painted with hues of deep purple and gold as the sun began to set. It was in this moment, standing beneath the canopy of trees with Elara beside him, that Oswin made a choice. A choice to believe in the possibility of breaking free from his curse, to let go of his fear, and to trust in the love that had been growing between them.
(Sore itu, udara terasa berbeda. Hutan seakan berbisik rahasia melalui angin, dan langit dipenuhi dengan warna ungu gelap dan emas saat matahari mulai terbenam. Pada saat inilah, berdiri di bawah kanopi pohon dengan Elara di sampingnya, Oswin membuat pilihan. Pilihan untuk mempercayai kemungkinan untuk terbebas dari kutukannya, untuk melepaskan rasa takutnya, dan untuk mempercayai cinta yang telah tumbuh di antara mereka.)
With a deep breath, he turned to face her fully, his heart pounding in his chest. “I’m ready, Elara,” he said, his voice firm and steady. “I’m ready to break the curse. I’m ready to be free.”
(Dengan napas dalam, dia berbalik untuk menghadapi Elara sepenuhnya, hatinya berdegup kencang di dadanya. “Aku siap, Elara,” katanya, suaranya tegas dan mantap. “Aku siap untuk memecahkan kutukan itu. Aku siap untuk bebas.”)
Elara’s smile was radiant, like the first light of dawn breaking through the darkness. She stepped forward, closing the distance between them. “Then let’s do this. Together.”
(Senyuman Elara bersinar, seperti cahaya pertama fajar yang menembus kegelapan. Dia melangkah maju, mendekatkan jarak di antara mereka. “Maka mari kita lakukan ini. Bersama-sama.”)
As their hands met, a surge of energy pulsed between them, and the ground beneath them trembled slightly. The air seemed to crackle with magic, the curse weakening with every passing second. Oswin felt it—felt the chains of the curse loosening, the weight lifting from his soul.
(Saat tangan mereka bersentuhan, gelombang energi menyusup di antara mereka, dan tanah di bawah mereka bergetar sedikit. Udara seakan memancar dengan sihir, kutukan itu melemah dengan setiap detik yang berlalu. Oswin merasakannya—merasakan rantai kutukan itu terlepas, beban itu terangkat dari jiwanya.)
Then, with a final burst of light, the curse shattered completely. Oswin’s body trembled, and for the first time in years, he felt human again—his skin soft and warm, his heart light and free. His eyes shimmered with emotion as he turned to Elara, his voice breaking as he whispered, “I’m… I’m me again. I’m free.”
(Kemudian, dengan letusan cahaya terakhir, kutukan itu hancur sepenuhnya. Tubuh Oswin bergetar, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, dia merasa manusia lagi—kulitnya lembut dan hangat, hatinya ringan dan bebas. Matanya berkilauan dengan emosi saat dia menoleh pada Elara, suaranya pecah saat dia berbisik, “Aku… aku kembali menjadi diriku. Aku bebas.”)
Tears welled up in Elara’s eyes, a joyful smile breaking across her face. “I knew you could do it, Oswin,” she whispered back. “You were always meant to be free. And now, you are.”
(Air mata menggenang di mata Elara, senyum penuh kebahagiaan merekah di wajahnya. “Aku tahu kamu bisa melakukannya, Oswin,” bisiknya kembali. “Kamu memang selalu ditakdirkan untuk bebas. Dan sekarang, kamu bebas.”)
They stood there together, the weight of the curse lifted, the magic of their love stronger than any spell. In the end, it wasn’t just the curse that had been broken—it was the fear, the doubt, and the uncertainty. The love between Elara and Oswin had overcome everything, and together, they had found their freedom.
(Mereka berdiri di sana bersama, beban kutukan terangkat, sihir cinta mereka lebih kuat dari mantra apapun. Pada akhirnya, bukan hanya kutukan yang telah dipatahkan—tetapi ketakutan, keraguan, dan ketidakpastian. Cinta di antara Elara dan Oswin telah mengatasi segalanya, dan bersama-sama, mereka menemukan kebebasan mereka.)
As the moonlight bathed the forest in silver, Elara and Oswin knew their journey was far from over. But with love in their hearts and the curse broken, they were ready for whatever came next.
(Saat cahaya bulan menyinari hutan dengan perak, Elara dan Oswin tahu perjalanan mereka belum berakhir. Tetapi dengan cinta di hati mereka dan kutukan yang telah dihancurkan, mereka siap untuk apapun yang akan datang.)
And that’s where the story ends—for now. But remember, even in the darkest curses, there’s always a spark of light waiting to break through.
(Dan di situlah cerita berakhir—untuk sementara. Tapi ingat, bahkan dalam kutukan yang paling gelap, selalu ada secercah cahaya yang menunggu untuk muncul.)