Daftar Isi
Pernah kebayang gimana jadinya kalau hutan punya aturan sendiri yang nggak bisa dilanggar, bahkan sama raja hutan sekalipun? Ini bukan dongeng biasa tentang harimau dan kancil—ini cerita tentang ego, akal licik, dan balasan dari alam yang nggak pernah salah hitung. Siap-siap masuk ke hutan liar di mana semua bisa berubah dalam sekejap!
Hukum Alam
Hukum Alam yang Tak Terelakkan
Hutan itu selalu memiliki nuansa yang berbeda. Di sini, di bawah pepohonan raksasa yang sudah bertumbuh selama berabad-abad, segalanya berjalan dengan cara yang tak bisa dimengerti oleh makhluk lain. Semua peraturan adalah hukum alam yang tak terelakkan, dan di dalam hukum itu ada satu aturan yang tak bisa dibantah: yang kuat akan bertahan, yang lemah akan jatuh.
Sundra, harimau besar itu, tahu persis betapa menakutkannya dirinya di hutan ini. Kekuatan tubuhnya yang kekar, gigi-gigi tajam yang bisa merobek apapun, serta cakar yang jika mengenai siapa pun, akan meninggalkan bekas luka yang tak terhapuskan. Semua makhluk tahu, bahwa keberadaannya adalah ancaman. Tidak ada yang berani menghadapinya, kecuali satu.
Serangga, si kancil kecil yang cerdik, selalu ada di sini, menghindar dengan lincahnya. Serangga tak pernah takut. Dia selalu tahu bagaimana caranya menghindari maut, mengelak dari cengkraman maut Sundra, dan selalu berhasil keluar dengan selamat. Bagi Serangga, hutan ini adalah tempat bermain, medan pertempuran yang tidak pernah bisa dijangkaunya, meski dia sering kali tahu bahwa Sundra, sang harimau, selalu ada di dekatnya.
Di pagi itu, Serangga sedang sibuk mencari makan. Sejumput daun muda yang baru tumbuh di dekat sungai adalah hidangannya. Namun, ketenangannya segera terganggu oleh suara gemerisik daun kering yang mengundang bahaya.
Dari balik pohon besar, terdengar langkah berat yang mengguncang tanah. Itu dia. Sundra.
Serangga menegakkan tubuhnya, matanya menelisik ke arah suara. Ia tahu itu Sundra. Tidak ada makhluk lain yang bisa mengeluarkan suara sebesar itu di hutan. Tapi dia tidak melarikan diri. Serangga tidak pernah takut. Dia tahu betul, jika dia lari, itu hanya akan membuat Sundra semakin tertarik untuk mengejarnya.
Sundra muncul dari balik bayang-bayang pohon besar. Matanya yang tajam menatap Serangga, memperhatikannya dari jarak yang cukup jauh. Suaranya berat, penuh dengan ancaman. “Kau tahu kan, Serangga, bahwa kau takkan bisa lari selamanya?”
Serangga mengangkat kepala, membiarkan angin pagi menyentuh bulunya. “Aku tahu itu, Sundra. Tapi kau juga tahu, aku tidak mudah dipermainkan oleh kekuatanmu,” jawab Serangga, suaranya tenang meski di dalam hati, ia tetap waspada.
Sundra mendekat, langkahnya berat, dan setiap pijakan kakinya seolah mengguncang tanah di bawahnya. “Sombong sekali. Kau pikir, aku tidak bisa menangkapmu hanya karena kau lincah?”
Serangga menatapnya, dengan sedikit senyum terlukis di bibirnya. “Kau terlalu menganggap dirimu tak terkalahkan, Sundra. Kau terlalu besar, terlalu kuat… dan itu membuatmu lambat.”
Sundra mendekat lebih jauh lagi, kini jaraknya hanya beberapa langkah. Dia mencakar tanah, membunyikan suara keras yang menggetarkan hutan. “Kau mencoba mengolok-olokku, Serangga? Tidak ada yang bisa menghindar dari cakaranku. Tidak ada yang bisa selamat.”
Serangga tetap tenang, meskipun ia tahu bahwa bahaya sudah sangat dekat. Kecepatan Sundra memang luar biasa, tapi kelicikan adalah senjata terkuatnya. Dengan sekali lompatan, Serangga bergerak cepat, melompat ke samping, menghindari cakar besar yang melesat ke arahnya. Ia menghindar dengan mudah, seolah-olah tubuhnya ringan seperti udara, melintas di antara semak belukar dan pohon-pohon besar.
Sundra melompat ke arah yang sama, berusaha mengejar, tapi dia terlambat. Cakarnya hanya mengenai udara kosong, sementara Serangga sudah melompat ke belakang dan bersembunyi di balik batang pohon besar.
“Kau pikir aku tak tahu cara bermain di hutan ini?” Serangga menyeringai, suaranya hampir tak terdengar di antara gemerisik daun dan angin yang berhembus.
Sundra mendengus keras, menatap Serangga dengan tatapan penuh kemarahan. “Kau memang cerdik, Serangga. Tapi itu tidak akan bertahan lama. Aku akan menemukanmu, meskipun kau bersembunyi.”
Serangga hanya tertawa kecil. “Kau terlalu besar dan terlalu angkuh, Sundra. Terkadang, yang besar justru menjadi mangsa bagi yang lebih kecil yang pintar menghindar.”
Dengan satu lompatan cepat, Serangga melesat ke arah yang berlawanan. Sundra mengejarnya, namun kali ini, ia tersandung akar pohon besar yang menjulang ke atas. Tubuhnya terhenti sejenak, dan itu memberi kesempatan bagi Serangga untuk menambah jarak.
Sundra marah. Terasa seperti ada yang mematahkan kebanggaan raja hutan itu. Tidak ada yang pernah bisa menghindar darinya begitu lama. Tidak ada yang pernah berani melawan.
“Tunggu saja, Serangga,” geram Sundra, kembali mengerahkan seluruh tenaganya untuk bangkit dan melanjutkan pengejaran. “Suatu hari, aku akan menangkapmu. Kau takkan bisa bersembunyi selamanya.”
Namun, Serangga sudah jauh, melesat ke dalam bayang-bayang hutan yang semakin gelap. “Kita lihat saja, Sundra,” jawab Serangga dengan suara yang hampir tak terdengar, tetapi penuh dengan kepastian. “Suatu hari nanti, kau akan mengerti bahwa di hutan ini, bukan hanya kekuatan yang dihitung.”
Serangga menghilang ke dalam gelapnya hutan, meninggalkan Sundra yang terengah-engah di bawah pohon besar. Di sana, di tengah hutan yang lebat, sebuah pertarungan sengit antara kekuatan dan kelicikan baru saja dimulai. Namun, siapa yang akan bertahan hingga akhir? Itu adalah pertanyaan yang hanya waktu yang bisa menjawabnya.
Tapi satu hal yang pasti—hukum alam tak akan pernah berubah.
Sundra, Sang Raja Hutan
Hutan semakin sunyi saat cahaya matahari sore mulai meresap ke celah-celah dedaunan, memberi bayangan yang lebih panjang di tanah. Sundra masih berdiri di tempat yang sama, mengerang dalam kebisuan. Langkah beratnya meninggalkan jejak, tapi hatinya—sungai kemarahannya—tidak bisa terhentikan. Kekalahan yang tadi hanya membuatnya semakin geram. Tidak ada yang pernah berani menghindar darinya, apalagi membuatnya merasa seolah terhina.
Tapi, Serangga—kancil kecil itu—berbeda.
Sundra mengatur napasnya, menajamkan indra penciumannya yang tajam. Aroma Serangga, sangat khas—tercampur dengan bau tanah, rumput basah, dan bau kehidupan yang segar. Tetapi kali ini, aroma itu semakin samar. Kancil itu tahu betul bagaimana cara bersembunyi, dan itulah yang membuatnya semakin sulit ditangkap. Sundra mendengus keras, mengguncang dedaunan yang bergoyang di sekitar tubuhnya.
“Lari terus, Serangga. Lari terus. Kau takkan bisa menghindar selamanya,” gumamnya, penuh kebencian.
Langkahnya mengguncang tanah saat ia mulai melangkah lebih cepat. Dia sudah tahu, Serangga pasti akan mencari jalan keluar dari hutan ini. Tetapi Sundra tidak akan memberi kesempatan itu. Hutan ini adalah teritorinya. Setiap sudut, setiap bayangan di balik pohon besar, adalah miliknya. Dan untuk pertama kalinya, Sundra merasa bahwa sesuatu yang sangat penting sedang terganggu. Ketika jarak antara mereka semakin dekat, Sundra tahu bahwa hari ini harus berakhir dengan satu cara—ia harus menang.
Di sisi lain, Serangga yang kecil itu tidak menghiraukan langkah berat yang semakin mendekat. Ia tahu betul bagaimana Sundra bergerak, bagaimana raja hutan itu berburu, dan cara-cara menghindarnya. Tapi lebih dari itu, Serangga tahu bahwa kekuatan saja tidak cukup untuk bertahan hidup di hutan. Itu adalah salah satu hukum alam yang dia pahami dengan sempurna.
Serangga berhenti sejenak, memperhatikan setiap gerakan di sekitar pohon-pohon besar yang seolah mengamati mereka. Di balik tubuh kecilnya, Serangga menyembunyikan kecerdikan yang luar biasa. Ia tidak takut, hanya berhati-hati. Ia tahu betul, jika ia salah langkah, segalanya akan berakhir dengan cepat.
Dengan hati-hati, Serangga menggerakkan tubuhnya menjauh, memanjat semak-semak rendah. Ia terus melangkah, meninggalkan jejak samar yang sulit dilacak. Dan meskipun Sundra semakin dekat, Serangga tidak terburu-buru. Tidak ada kebutuhan untuk lari tanpa arah. Semua harus penuh perhitungan.
Namun, Sundra sudah semakin dekat, dan semakin mendekat. Tercium lagi aroma Serangga, kali ini lebih tajam, lebih kuat. Ia melangkah lebih cepat, merobek semak dan rumput yang menghalanginya. Ketika langkahnya semakin cepat, sebuah suara berat keluar dari mulutnya, terengah-engah: “Kamu pikir, kamu bisa bertahan lama? Dunia ini bukan tempat untuk kau yang lemah. Aku adalah raja hutan ini!”
Sundra berlari, dan tiba-tiba ia melihatnya. Sosok kecil itu bersembunyi di balik sebuah batu besar, mata kecilnya hanya sedikit terlihat. Serangga! Sundra menggeram dalam kemarahan. Dengan cepat, ia melompat, menubruk batu itu, berharap bisa menangkap tubuh kecil yang lincah itu.
Tapi, Serangga lebih cepat. Dalam sekejap, ia melompat ke samping, meninggalkan batu yang terguling dengan suara keras. “Kau terlalu lambat, Sundra,” ujar Serangga dengan nada mengejek, meski ada ketegangan di wajahnya. “Kekuatanmu tidak akan selalu membantumu.”
Sundra terhuyung, dan sesaat, ia merasa seolah-olah ada yang tidak beres. Ia tak pernah merasa seperti ini sebelumnya—terdesak oleh makhluk kecil yang bahkan tidak sebanding dengan ukurannya. Rasa bangganya mulai pecah sedikit demi sedikit.
“Lari terus, Serangga! Jangan kira aku akan memberi ampun!” Sundra menggeram, kini semakin mendekat. Cakarnya yang besar mengarah pada tubuh Serangga, namun dengan cepat, kancil itu melompat ke pohon besar di sebelahnya.
Sundra berdiri di tempat, matanya berkilat tajam. Kali ini, Serangga tak akan bisa menghindar lagi. “Hari ini, permainan ini berakhir!”
Sundra melangkah lebih mantap, kali ini tidak ada lagi keraguan. Tetapi tiba-tiba, ia berhenti. Di bawah pohon-pohon yang menjulang tinggi, suasana terasa berbeda. Ada keheningan yang aneh. Semua suara makhluk hutan tiba-tiba hilang. Hanya ada angin yang berhembus pelan, membawa aroma yang aneh. Sesuatu yang berbeda.
Sundra menggerakkan hidungnya, merasakan perubahan yang baru saja terjadi. Ia menatap Serangga yang berdiri di balik pohon, dengan tatapan yang tidak biasa. Kali ini, wajah Serangga tidak menunjukkan rasa takut sedikit pun. Ada ketenangan yang aneh, seolah-olah dia sudah mempersiapkan sesuatu yang lebih besar.
“Sundra, kamu tidak mengerti hutan ini,” ujar Serangga dengan suara rendah, seolah berbicara lebih dari sekadar percakapan biasa. “Kau sudah terlalu lama menjadi raja, sampai kau lupa hukum alam yang sebenarnya.”
Sundra merasa tubuhnya kaku. Apa yang dimaksud Serangga? Ada sesuatu yang aneh di udara ini. Sesuatu yang menggetarkan bahkan raja hutan sepertinya. Sesaat, dia merasa ada yang lebih besar yang sedang mengintainya.
“Jangan berpikir kau tahu lebih banyak dari aku,” Sundra menjawab dengan suara kasar, meski dalam hatinya, ada keraguan yang mulai tumbuh.
Dan tiba-tiba, dari dalam hutan yang semakin gelap, sebuah suara keras menggelegar. Sesuatu yang jauh lebih besar dari dirinya. Sundra menegakkan tubuh, matanya menajam. Hukum alam telah berubah, dan kini dia harus menghadapi sisi lain dari hutan yang selama ini ia abaikan.
Ujian Dari Alam Liar
Suara itu semakin dekat, seolah menggema dalam setiap sudut hutan yang gelap. Sundra membeku sejenak, matanya melirik ke arah Serangga, yang kini berdiri tegak, tidak sedikit pun tampak panik. Ada ketenangan di wajahnya, seolah dia sudah siap menghadapi apapun yang datang. Namun, Sundra, raja hutan yang tak pernah tahu takut, merasakan sesatu yang tak biasa merayap di sepanjang tulangnya. Sesuatu yang bahkan lebih besar dan lebih mengerikan dari apapun yang pernah dia hadapi.
Aroma darah, bukan darah binatang biasa, mengalir ke indera penciumannya. Bukan bau yang mudah dilupakan. Hanya ada satu makhluk yang bisa meninggalkan jejak seperti itu.
“Dia datang,” kata Serangga, dengan suara serak yang hampir tak terdengar.
Sundra menoleh tajam. “Siapa?”
“Dia, yang tidak pernah kita sebut. Dia, yang lebih tua dari kita semua,” jawab Serangga, suaranya penuh ketegangan, meskipun dia berusaha tetap tenang. “Hanya satu makhluk yang bisa memutuskan hidup atau mati di sini. Bahkan aku tak pernah berani berhadapan dengannya.”
Kata-kata Serangga menggetarkan Sundra. Di dunia hutan, makhluk yang bisa mengalahkan kekuatan fisik bukanlah hal yang biasa. Semua binatang di sini tahu tempat mereka. Dan bagi Sundra, sebagai harimau, tak ada yang bisa mengalahkannya. Tapi Serangga, si kancil kecil itu, dengan ketakutannya yang tampak sangat nyata, memberikan peringatan yang tidak bisa diabaikan begitu saja.
Kemudian, kabut tipis mulai menyelimuti hutan. Udara menjadi lebih dingin, dan angin yang biasanya tenang kini berubah menjadi semakin kuat. Daun-daun yang bergoyang tiba-tiba terhenti, dan seluruh dunia terasa terhenti, seolah menunggu sesuatu yang besar untuk datang. Hutan ini… hutan yang biasa dikuasai oleh Sundra, kini terasa seolah dia bukan lagi makhluk yang memerintah.
Sundra mendengar langkah besar, sangat besar, seperti sesuatu yang sedang berjalan di antara pohon-pohon raksasa. Tubuhnya gemetar, meskipun dia berusaha menahan diri. Suara gemuruh itu semakin dekat, semakin mendekat. Sepertinya ada sesuatu yang bersembunyi di balik bayangan pohon besar. Hati Sundra berdebar lebih cepat.
“Siapa… siapa yang datang?” Sundra bertanya, matanya melotot. Kali ini, dia merasa terpojok. Ini bukan pertempuran biasa. Ini bukan pertarungan yang bisa dimenangkan hanya dengan kekuatan.
Serangga berdiri, menghadap ke arah suara yang semakin keras, semakin mengancam. Tanpa menoleh sedikit pun ke arah Sundra, dia berkata, “Kau takkan bisa melawannya, Sundra. Kami tak punya pilihan lain selain bertahan hidup… atau mati.”
Tiba-tiba, bayangan besar muncul di balik pohon. Langkahnya berat, tubuhnya besar, dan sepertinya hutan ini menjadi miliknya. Sundra bisa melihatnya dengan jelas. Itu bukan sekadar seekor harimau besar, bukan makhluk biasa seperti dirinya. Ini lebih dari itu.
Makhluk yang muncul di hadapannya adalah seekor harimau purba, dengan bulu yang lebih tebal dan tajam dari milik Sundra. Matanya yang mengkilat menunjukkan kebijaksanaan yang telah teruji oleh waktu. Tubuhnya lebih besar, lebih kuat, dan aura kekuatannya lebih menakutkan dari siapapun yang pernah Sundra hadapi.
“Dia…” suara Serangga tersendat, “Sundra, itu adalah Tungar, raja zaman dahulu yang disembunyikan oleh hutan. Dia adalah yang pertama kali datang ke hutan ini, yang pertama mengatur segalanya. Hukum alam yang kita ikuti berasal darinya.”
Sundra tertegun. Nama itu… Tungar, terdengar seperti dongeng yang diceritakan oleh para bijak hutan, tentang makhluk purba yang menguasai segala sesuatu. Tidak ada yang benar-benar tahu apa yang terjadi pada Tungar, kecuali satu hal—makhluk ini lebih tua, lebih kuat, dan lebih tahu tentang hutan ini dari siapapun.
“Tungar,” Sundra bergumam, suaranya penuh rasa takut yang tersembunyi. “Apa yang kau inginkan dariku? Aku adalah raja di sini!”
Tungar hanya mendengus, sebuah suara berat dan menakutkan, kemudian dia melangkah maju. “Kau bukan lagi raja, Sundra. Hutan ini sudah lama melupakanmu. Kau hanya bagian dari kisah lama, cerita yang tak lagi penting. Aku adalah hukum yang sebenarnya. Aku adalah hutan ini.”
Sundra merasakan keringat dingin mulai mengalir di tengkuknya. Dia merasa tubuhnya mengecil. Kekuatannya, kebesarannya, semuanya terasa sia-sia di hadapan makhluk yang lebih besar ini.
“Aku bukan datang untuk bertarung,” lanjut Tungar, suara rendah namun penuh wibawa. “Aku datang untuk menuntut apa yang seharusnya menjadi milikku.”
Serangga bergerak maju sedikit, menatap Sundra dengan sorot mata yang tajam. “Kau tahu, Sundra. Dunia ini bukan hanya milikmu. Aku tahu kamu percaya bahwa kekuatan adalah segalanya, tapi hukum alam mengajarkan kita bahwa ada saatnya untuk menyerah… dan ada saatnya untuk bertahan hidup.”
Tungar mendekat lebih jauh, dan setiap langkahnya membuat udara terasa lebih berat. Sundra, meskipun keangkuhannya tidak bisa dibendung, mulai merasakan ketakutan yang belum pernah ia alami sebelumnya.
“Jangan lupa, Sundra,” Tungar melanjutkan dengan suara yang menggetarkan tanah, “Tidak ada yang bisa melawan waktu dan alam. Hukum yang ada lebih besar dari semua raja dan makhluk yang pernah ada.”
Sundra mendengus, berusaha untuk mempertahankan keteguhan hatinya. Tapi kata-kata itu memukulnya dengan keras. Apakah ini akhir dari semuanya? Akankah Sundra yang dulu ditakuti, yang dulu menghuni hutan ini, akhirnya harus tunduk pada hukum alam yang lebih tua dan lebih kuat?
“Tunggu,” kata Serangga, dengan suara yang mengejutkan. “Mungkin… mungkin kita bisa menemukan cara untuk berdamai. Hutan ini tak perlu dihancurkan, tak perlu ada yang mati…”
Namun, Tungar hanya menggelengkan kepala. “Damai? Tak ada damai bagi yang tak tahu tempatnya. Hanya ada kelanjutan bagi mereka yang mengerti.”
Di antara mereka, hutan itu sendiri mulai meresap, seolah membungkus semuanya dalam ketidakpastian yang kelam. Dan Sundra, dengan keangkuhannya, hanya bisa menunggu, karena kali ini, dia tahu bahwa hukum alam yang sesungguhnya, lebih besar dari semua yang pernah dia tahu.
Keputusan Hutan
Sundra berdiri diam di tengah hutan yang gelap. Setiap suara di sekitarnya terasa membeku, seolah semuanya menunggu sesuatu yang besar untuk terjadi. Mata Tungar, yang penuh kebijaksanaan dan ancaman, tak lepas dari pandangannya. Rasanya ada sebuah kekuatan yang jauh lebih besar dari sekedar fisik dan kekuatan tubuh. Semua kekuatan yang pernah dimilikinya, yang selama ini ia anggap tak terkalahkan, tampak seolah tak berarti di hadapan makhluk purba ini.
“Tungar,” Sundra akhirnya berkata, suaranya lebih rendah, penuh keteguhan yang mulai rapuh. “Apa yang kau inginkan dariku?”
Tungar hanya menghela napas, suaranya berat dan penuh pengertian. “Kau tahu, Sundra. Hutan ini bukan hanya milikmu. Semua makhluk di sini punya peran mereka sendiri, baik besar maupun kecil. Kamu mengira menjadi raja berarti menguasai segalanya, tapi itu salah. Hutan ini yang menguasai. Alam yang lebih tua dari kita, yang akan mengatur segalanya.”
Sundra merasa kata-kata itu menusuk lebih dalam dari yang ia duga. Selama ini, ia hidup dengan keyakinan bahwa kekuatan fisik adalah segalanya, bahwa dia adalah penguasa yang tidak bisa digoyahkan. Tapi sekarang, berdiri di hadapan Tungar, ia tahu bahwa tidak semua hal bisa diselesaikan dengan kekuatan.
“Apa yang terjadi pada hutan ini?” tanya Sundra, lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Tungar. “Apa yang aku lakukan salah?”
Tungar mendekat, gerakannya lambat dan penuh kewaspadaan. “Kau tak tahu apa yang benar-benar terjadi pada hutan ini, Sundra. Dulu, kau tak pernah peduli dengan keseimbangan alam. Kau hanya berfokus pada kekuatan, kehebatan, tanpa peduli bagaimana hal itu mengganggu keseimbangan yang ada.”
Serangga, yang sejak awal hanya mengamati, tiba-tiba melangkah maju. “Kita harus menghentikan semua ini, Sundra. Tak ada yang bisa bertahan melawan kehendak alam. Kalau kita terus mempertahankan ego, kita semua akan hilang. Hutan ini akan menuntut balas.”
Tungar mengangguk, “Serangga benar. Alam ini punya hukumnya sendiri. Dan hukum itu tak bisa diganggu gugat. Kamu sudah terlalu lama meremehkan hukum yang ada, Sundra. Kini saatnya untuk menghadapinya.”
Sundra terdiam. Hatinya terasa berat. Ada perasaan yang menggerogoti dirinya—sesuatu yang selama ini ia hindari. Rasa takut, yang tak pernah ia kenali sebelumnya, kini datang begitu kuat. Tak ada lagi anggapan bahwa ia bisa mengalahkan segalanya dengan kekuatan semata. Hutan ini sudah lebih dulu tahu cara menguji kekuatan sejati.
“Aku… aku tak tahu,” Sundra akhirnya mengakui, suaranya hampir tenggelam dalam kesendirian hutan. “Aku hanya tahu satu hal—aku tak ingin mati di sini.”
Tungar tersenyum tipis. “Matilah, atau bertahanlah, Sundra. Pilihan ada di tanganmu. Tapi hutan ini tak akan menunggu lebih lama.”
Dalam sekejap, Sundra merasakan tekanan yang tak tertahankan di dadanya. Hutan ini, makhluk yang lebih tua dan lebih bijaksana dari dirinya, tak akan memberinya pilihan jika dia terus mempertahankan kebanggaannya. Dalam sekejap juga, Sundra merasakan ikatan yang lebih dalam—ikatan dengan bumi, dengan segala yang ada di sekitar mereka. Satu hal yang ia pelajari: hutan ini tak pernah memilih siapa yang kuat, hanya yang tahu untuk menghormati.
Mata Sundra berpaling ke Serangga, lalu ke Tungar, dan akhirnya ke seluruh hutan yang kini diam. Ada sebuah pemahaman yang tiba-tiba muncul di dalam dirinya, menggerakkan dirinya untuk merendahkan egonya.
“Jika ini yang diminta oleh alam,” katanya perlahan, “maka aku akan mengikuti jalan ini.”
Tungar menatapnya dengan penuh pengertian, sebuah sinar di mata purbanya yang seolah menyetujui keputusan Sundra. “Selamat datang kembali, Sundra. Kami akan selalu mengingatmu. Tapi jangan lupa—kekuatan sejati ada pada mereka yang tahu untuk mengalah dan mendengarkan.”
Serangga berjalan mendekat, wajahnya sedikit lebih tenang. “Kau telah memilih dengan bijaksana, Sundra. Kekuatanmu bukan lagi hanya tentang fisik, tapi tentang memahami apa yang lebih besar daripada diri kita sendiri.”
Sundra menundukkan kepala, merasa berat namun juga lega. Untuk pertama kalinya, dia merasa dirinya lebih dari sekedar harimau besar di hutan. Ada sesuatu yang lebih besar darinya. Sesuatu yang harus dihormati, bukan ditaklukkan.
Di bawah langit yang mulai terang, hutan kembali hidup, gemericik suara air sungai yang mengalir, gemerisik daun yang tertiup angin, dan dengung kehidupan lainnya kembali terdengar jelas. Alam, dengan segala hukum dan kekuatannya, terus berjalan, tanpa mempedulikan siapa yang bertahan dan siapa yang tersingkir.
Sundra, yang pernah mengira dirinya adalah penguasa, kini hanya menjadi bagian dari sesuatu yang jauh lebih besar—sebuah pelajaran berharga tentang kehormatan, kekuatan, dan penerimaan.
Dan di sana, di antara pepohonan yang tinggi, di bawah langit yang luas, mereka bertiga melangkah bersama, tak lagi sebagai musuh, tetapi sebagai makhluk yang saling menghormati hukum yang lebih besar dari sekadar keinginan diri.
Di hutan yang penuh rahasia, tak ada yang benar-benar berkuasa, kecuali alam itu sendiri. Sundra, si raja yang pernah sombong, kini paham bahwa kekuatan sejati bukan soal menang atau kalah, tapi soal menghormati dan menerima. Dan hutan, dengan segala sisi gelap dan terangnya, terus hidup—mengajarkan bahwa semua makhluk hanyalah bagian kecil dari keseimbangan yang lebih besar.