Cinta Terlarang di Rumah Sakit: Kisah Dokter Tampan dan Suster Miskin yang Tak Terpisahkan

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasain jatuh cinta sama orang yang seharusnya nggak boleh kamu cintai? Entah karena status sosial, atau mungkin karena kalian emang berbeda banget, kayak langit dan bumi. Nah, ceritanya Zorael dan Elian tuh gitu.

Elian dokter tampan, kaya, dan tajir melintir, sedangkan Zorael cuma suster miskin yang hidup pas-pasan. Kami sering banget bertengkar, nggak pernah akur. Tapi, anehnya, mereka selalu berdua. Dan siapa sangka, di balik segala perbedaan itu, ada rasa yang malah semakin berkembang, kayak api yang nggak bisa dipadamkan. Penasaran? Yuk, baca cerita mereka yang penuh drama ini!

 

Cinta Terlarang di Rumah Sakit

Ketegangan di Ruang Perawatan

Ruang perawatan intensif rumah sakit ini selalu penuh dengan aroma antiseptik yang kental dan suara monitor yang terus berdetak. Setiap hari, aku merasa seperti berada di dalam sebuah dunia yang terpisah dari kehidupan nyata, di mana harapan dan keputusasaan saling bertarung dalam diam. Namun, yang paling aku ingat setiap hari bukanlah pasien yang terbaring lemah atau keluarga yang menunggu dengan cemas. Tidak, yang selalu mengganggu pikiranku adalah pria itu. Dr. Elian Vance. Dokter bedah muda dengan segalanya—kecuali hati yang hangat.

Dia tampan, sangat tampan. Wajahnya seperti keluar dari iklan perawatan kulit, dengan rambut hitam pekat yang selalu tertata rapi dan tatapan yang tajam, seolah-olah mampu melihat jauh ke dalam dirimu. Tapi aku tahu lebih baik. Di balik ketampanannya, di balik senyum yang jarang ia tunjukkan, ada sesuatu yang lebih gelap—sikap dinginnya yang selalu membuatku merasa seperti aku bukan siapa-siapa.

Hari itu, kami harus menangani pasien yang baru saja datang dalam keadaan kritis. Seorang pria tua yang mengalami serangan jantung. Elian sudah berada di ruang perawatan sejak pagi, mempersiapkan segala alat medis yang diperlukan. Aku hanya berdiri di dekat meja, mempersiapkan peralatan untuk melakukan pemantauan setelah prosedur selesai. Tugas kami berbeda, namun tak terpisahkan. Kami berdua tahu, tanpa satu sama lain, pasien tidak akan mendapatkan perawatan terbaik.

“Apa kamu sudah siap, Zorael?” Suara Elian terdengar seperti biasa—datar dan tanpa emosi. Tidak ada sapaan atau pertanyaan sekadar basa-basi. Aku tahu dia tidak tertarik pada hal-hal kecil semacam itu.

Aku mendengus, sedikit jengkel dengan cara dia berbicara. “Kamu tahu, aku bukan anak kecil yang perlu disuruh-suruh, Elian,” jawabku dengan nada yang sedikit lebih tajam dari biasanya. Kadang aku merasa seperti berbicara dengan robot ketika dia begitu.

Elian hanya menatapku dengan tatapan datar, seolah tidak mengerti apa yang membuatku kesal. “Aku hanya ingin memastikan semuanya berjalan lancar. Ini bukan pekerjaan yang bisa dianggap remeh.”

“Aku tahu itu,” balasku, sedikit kesal. “Kita berdua tahu itu.”

Kami melanjutkan pekerjaan kami tanpa banyak bicara. Namun, aku bisa merasakan ketegangan yang menggelayuti udara. Biasanya, aku berusaha untuk tidak mempedulikan Elian, tapi kali ini rasanya seperti ada yang mengganjal. Aku tahu, kami tidak pernah sepakat tentang banyak hal, tetapi entah kenapa, hari itu aku merasa seolah-olah kami sedang berada di ujung sebuah jurang, hanya sedikit lagi sebelum semuanya hancur berantakan.

Ketika pasien mulai menunjukkan tanda-tanda membaik setelah prosedur awal, aku menghela napas lega. Meskipun aku tak pernah mengungkapkannya, aku selalu merasa cemas setiap kali kami menangani pasien berat. Namun, Elian tampaknya tak pernah merasa takut. “Pasien akan baik-baik saja,” katanya, tanpa sedikit pun perubahan ekspresi di wajahnya.

“Dia belum keluar dari bahaya, Elian. Jangan buru-buru merasa aman,” jawabku, berusaha keras untuk tetap tenang meskipun aku bisa merasakan ketegangan yang terus meningkat antara kami.

Elian mengangkat bahu, seolah tidak peduli dengan ucapanku. “Aku yakin prosedur kita sudah cukup baik.”

“Aku tahu kita baik, tapi…” aku terdiam sejenak, berusaha menata kata-kataku. “Kadang kita perlu lebih dari sekadar prosedur, Elian. Kita juga butuh perasaan. Perasaan bahwa kita ada untuk mereka.”

Elian menoleh, matanya tajam menatapku, seolah mencari-cari sesuatu dalam diriku. “Aku hanya berpikir tentang hasil, Zorael. Tidak ada yang lebih penting daripada itu.”

Sakit. Entah kenapa, kata-katanya membuat dadaku terasa sesak. Semua kata-kata dan sikap dinginnya seolah mengingatkanku betapa jauh jarak kami. Kami memang bekerja di tempat yang sama, kami mungkin memiliki tujuan yang sama, tetapi kami sangat berbeda.

Aku berbalik, berusaha menahan air mata yang ingin keluar. Tidak, aku tidak boleh lemah di hadapannya. Aku tidak ingin dia melihatku seperti itu. Tidak dengan orang seperti Elian, yang selalu merasa seperti dunia ini adalah miliknya.

Namun, meskipun kami selalu bertengkar dan tidak pernah setuju, aku tahu satu hal: saat pasien membutuhkan kami, kami akan tetap bekerja bersama. Tanpa banyak kata. Kami berdua seperti dua kutub yang berbeda, namun tak pernah bisa dipisahkan.

Hari itu berakhir dengan pasien yang stabil, dan meskipun hatiku sedikit berat, aku tahu aku sudah melakukan yang terbaik. “Terima kasih, Zorael,” Elian akhirnya berkata setelah kami selesai, tanpa ekspresi khusus.

Aku menatapnya, mencoba membaca raut wajahnya yang datar itu. “Sama-sama,” jawabku, meskipun aku tahu kalimat itu tidak cukup untuk menggambarkan perasaanku. “Tapi jangan terlalu yakin, Elian. Kita harus terus berjaga.”

“Selalu,” jawabnya singkat, lalu berbalik meninggalkanku.

Malam itu, aku duduk di ruang istirahat, memandang langit yang gelap lewat jendela kecil. Ketegangan antara kami masih terasa. Kami mungkin tidak sejalan dalam banyak hal, tetapi ada satu hal yang pasti—kami selalu bersatu untuk menyelamatkan mereka yang membutuhkan. Bahkan jika kami terus bertengkar, bahkan jika kami tidak pernah saling mengerti, aku tahu itu. Kami tak akan pernah benar-benar bisa dipisahkan, seperti kertas dan prangko.

 

Tepi Kehidupan, Tepi Pertarungan

Hari-hari di rumah sakit kembali seperti biasa—penuh dengan hiruk-pikuk, suara monitor yang tak pernah berhenti, dan bisik-bisik pasien yang berharap mendapatkan kesembuhan. Tapi aku tahu, ada sesuatu yang berbeda kali ini. Meskipun kami berdua selalu bekerja bersama dalam diam, ada semacam ketegangan yang menggelayuti udara. Aku dan Elian seperti dua kutub yang tidak pernah bisa bersatu, tapi entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang menarik kami lebih dekat, meskipun itu bukan sesuatu yang terlihat secara langsung.

Hari itu, kami ditugaskan menangani seorang wanita muda bernama Nadia, yang baru saja menjalani operasi pengangkatan tumor di otaknya. Kondisinya sangat kritis—setiap detik sangat berarti. Tidak ada ruang untuk kesalahan. Seperti biasa, Elian sudah berada di ruang perawatan sejak pagi, mempersiapkan segala hal yang diperlukan. Aku datang beberapa menit setelahnya, membawa peralatan untuk pemantauan.

“Jadi, kita benar-benar harus melakukan ini bersama?” Aku bertanya, sedikit berguman. Aku merasa aneh, bertanya sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hal yang biasa bagi kami.

Elian menoleh sebentar, tampaknya tak terlalu terkesan dengan pertanyaanku. “Kita selalu bekerja bersama, Zorael. Kamu lupa?” Jawabnya dengan nada datar, seperti biasa. Tidak ada emosi, tidak ada keraguan.

Aku menghela napas. “Aku hanya… bingung. Kita seperti dua orang yang selalu berlawanan, tapi entah kenapa, kita selalu ada di sini, bersama-sama. Seperti dua kutub yang tak bisa dipisahkan.”

Elian hanya mengangkat alisnya sedikit, tapi tidak berkata apa-apa. Dia sudah terbiasa dengan keberadaanku yang selalu ada di dekatnya meski kami sering bertengkar. Aku bisa merasakan ada ketegangan yang tak terlihat antara kami, meskipun dia mencoba menyembunyikannya. Namun, aku tidak bisa membiarkan diri aku terlarut dalam perasaan itu. Kami memiliki tugas yang lebih besar di depan kami.

Nadia terbaring lemah di ranjang rumah sakit, nafasnya terengah-engah, dan matanya terpejam rapat. Kami berdua mulai melakukan pemeriksaan rutin—Elian memeriksa hasil CT scan terbaru, sementara aku melakukan pemantauan tekanan darah dan kadar oksigen. Ada rasa cemas di udara, meskipun kami berusaha menjaga agar semuanya tetap berjalan dengan lancar.

“Tegangan di tubuhnya meningkat,” kataku setelah beberapa saat, memandang layar monitor yang menunjukkan gejala-gejala yang mengkhawatirkan.

Elian melihatku dengan cepat, matanya tajam. “Kamu sudah mencoba menurunkan dosis obat penenang?”

“Sudah, tapi tampaknya tidak cukup efektif. Aku pikir kita perlu mempertimbangkan prosedur lain.”

Dia mengangguk, menatapku dengan serius. “Kita akan coba terapi lain. Segera.”

Aku mengerti maksudnya. Tidak ada ruang untuk ragu. Kami harus membuat keputusan cepat, tanpa memperhitungkan perasaan atau perbedaan di antara kami. Kami hanya fokus pada satu tujuan: menyelamatkan hidup pasien kami.

Beberapa jam kemudian, kami berada di ruang operasi lagi, bersama-sama. Suasana tegang, tetapi kami tahu apa yang harus dilakukan. Elian bekerja dengan cekatan, tangannya bergerak cepat dan terampil, sementara aku berdiri di sampingnya, memberikan alat-alat yang diperlukan. Kami tidak banyak bicara. Kami sudah tahu tugas masing-masing. Tetapi dalam setiap gerakan, dalam setiap keputusan yang diambil, ada perasaan yang tumbuh, meskipun tak ada kata yang diucapkan.

“Zorael,” Elian akhirnya membuka mulut setelah beberapa saat, suaranya sedikit lebih lembut dari sebelumnya. “Aku tahu kamu merasa cemas. Aku juga.”

Aku menatapnya sejenak, terkejut. “Apa? Kamu? Cemas?” Aku hampir tidak percaya mendengar itu dari mulutnya. Elian Vance, sang dokter bedah yang selalu tampak tak tergoyahkan, cemas? Mungkin aku salah dengar.

Dia menghela napas, menatap tubuh Nadia yang sedang terbaring di meja operasi. “Tidak ada yang bisa mengabaikan perasaan cemas ketika kita berurusan dengan nyawa seseorang. Kita hanya… tidak boleh membiarkan itu menguasai kita.”

Aku diam, merenungkan kata-katanya. Dalam beberapa detik itu, aku mulai melihat sisi lain dari Elian—sisi yang jarang sekali aku lihat. Sebuah sisi manusiawi yang tersembunyi di balik sikap dinginnya.

Namun, meskipun ada pengakuan itu, ketegangan antara kami tetap ada. Aku masih merasa ada jarak yang besar di antara kami, seperti tembok tak terlihat yang menghalangi kedekatan yang lebih nyata. Aku berusaha tidak memikirkan itu terlalu dalam. Kami masih memiliki satu tujuan yang sama.

Pasien kami, Nadia, akhirnya berhasil melewati fase kritis setelah beberapa jam penuh ketegangan di ruang operasi. Kami keluar dengan napas lega, meskipun lelah. Aku dan Elian berdiri di luar ruang ICU, memandang tubuh Nadia yang akhirnya tampak stabil.

“Dia selamat, Zorael,” kata Elian, suaranya kini lebih tenang.

“Ya,” jawabku, merasa bangga meskipun aku tak mengungkapkannya. “Kita berhasil.”

Tapi, di saat kami berdua berdiri di sana, ada sesuatu yang lebih besar yang masih terpendam—sesuatu yang belum pernah kami hadapi bersama. Sebuah perasaan yang lebih dalam dari sekadar profesionalisme. Tapi, seperti biasa, kami hanya fokus pada pekerjaan kami.

“Ini tidak mudah, Zorael. Tapi kita berhasil,” kata Elian lagi, kali ini dengan nada yang lebih pribadi. “Kita selalu berhasil bersama, meskipun kita selalu bertengkar.”

Aku memandangnya dengan tatapan yang sulit dimengerti. “Kita selalu bersama, tapi itu tidak berarti kita saling mengerti,” jawabku perlahan.

Elian terdiam sejenak, seperti sedang mempertimbangkan kata-kataku. Tapi akhirnya dia mengangguk. “Mungkin kita tidak harus selalu mengerti satu sama lain, Zorael. Kadang, kita hanya perlu ada di sini, bersama.”

Aku menatapnya lama, merasakan kedalaman dalam kata-katanya yang mengusik. Dalam diam, kami menyadari bahwa meskipun segala perbedaan, kami memang tidak bisa dipisahkan.

 

Di Balik Setiap Keputusan

Hari itu langit tampak lebih gelap dari biasanya. Hujan rintik-rintik mengguyur jalanan kota, menciptakan suasana yang seolah mendukung kegelisahan yang merayap di hatiku. Setelah beberapa hari penuh dengan jadwal yang padat dan pasien-pasien yang membutuhkan perhatian ekstra, aku mulai merasa kelelahan, baik fisik maupun mental. Tapi, ada sesuatu yang lebih besar yang mengusik pikiran—sesuatu yang melibatkan Elian.

Pekerjaan kami di rumah sakit selalu menjadi alasan utama kami bertemu, tapi belakangan aku merasa ada ketegangan yang semakin sulit untuk diabaikan. Kami berdua sudah terjebak dalam rutinitas yang mengharuskan kami untuk bekerja bersama. Kami juga sudah menjadi dua bagian yang tak bisa dipisahkan. Namun, meskipun begitu, ada sisi lain dari Elian yang tak pernah benar-benar aku pahami. Sesuatu yang bahkan aku sendiri tidak bisa jelaskan.

Aku masih ingat betul, saat kami berdiri di luar ruang ICU setelah operasi Nadia. Meski tampak biasa-biasa saja, aku bisa merasakan sedikit perubahan dalam diri Elian. Ada ketulusan yang lebih mendalam dalam setiap kata yang dia ucapkan. Sesuatu yang selama ini tertahan di balik ketegasan dan ketidaktertarikan yang dia tunjukkan. Aku merasa, entah kenapa, dia mulai melihatku dengan cara yang berbeda.

Namun, seperti biasa, Elian tetap Elian. Tak banyak bicara, tidak banyak menunjukkan perasaan. Dan aku? Aku sama saja. Sejak kecil, aku sudah terbiasa menyembunyikan perasaan, menjaga jarak, dan meredam setiap emosi yang muncul. Itu cara kami bertahan hidup di dunia yang penuh dengan tekanan dan ekspektasi tinggi. Dunia rumah sakit, tempat di mana kesalahan sekecil apapun bisa berarti hidup atau mati.

“Zorael, kamu bisa datang ke ruang staf sebentar?” Suara Elian tiba-tiba menyadarkanku dari lamunan. Dia berdiri di depan ruang perawatan pasien, menatapku dengan ekspresi yang sulit aku baca.

Aku mengangguk, meskipun jantungku sedikit berdegup lebih cepat. “Ada apa, Elian?”

Dia sedikit ragu, kemudian melangkah lebih dekat. “Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan. Tentang proyek penelitian yang sedang kita kerjakan. Dan… tentang pasien yang akan kita tangani besok.”

“Ah, oke,” jawabku, mencoba terdengar tenang, padahal pikiranku sudah mulai melayang ke arah lain. Biasanya, jika dia mengatakan itu, berarti ada hal besar yang harus diputuskan bersama. Tapi kali ini, ada sesuatu yang terasa lebih mendalam.

Kami berjalan ke ruang staf bersama-sama, tanpa kata-kata yang terucap. Begitu sampai, Elian menutup pintu dengan hati-hati dan menarik kursi di sebelah meja. Aku duduk di seberangnya, mencoba menahan perasaan yang mulai mengganggu. Elian memandangku sejenak, seolah mencari cara untuk memulai pembicaraan.

“Aku tahu ini mungkin agak pribadi,” katanya akhirnya, dengan nada yang sedikit lebih rendah dari biasanya. “Tapi, aku ingin kita berbicara lebih serius soal pasien besok. Ini bukan hanya soal prosedur atau keputusan medis. Ini tentang bagaimana kita berdua bisa bekerja lebih efektif sebagai tim.”

Aku mengernyitkan dahi. “Lebih efektif sebagai tim? Bukankah kita sudah melakukannya dengan baik?”

Elian terdiam sejenak, seolah mempertimbangkan kata-kataku. “Aku tahu kita sudah bekerja bersama cukup lama, Zorael. Tapi kadang-kadang aku merasa seperti kita berdua saling bertindak seolah tidak ada yang benar-benar peduli. Kita hanya… menjalani tugas, tanpa pernah membicarakan apa yang ada di baliknya.”

Aku menatapnya tajam. Apa yang dia katakan? Kami selalu bersama di ruang operasi, selalu berada di garis depan bersama. Kami selalu menyelamatkan nyawa bersama. Apakah itu tidak cukup?

“Tapi kita sudah menyelesaikan semua tugas kita dengan baik. Semua pasien kita selamat, dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan,” kataku, berusaha terdengar meyakinkan, meskipun dalam hati aku tahu ada yang salah. Ada perasaan yang menggelitik di dalam dadaku, perasaan yang belum pernah aku rasakan sebelumnya ketika bersama Elian.

“Aku tahu itu, Zorael. Tapi kamu juga tahu bahwa dalam pekerjaan ini, ada lebih dari sekadar kesuksesan profesional. Ada perasaan, ada komitmen, dan ada pengorbanan. Aku merasa kita sudah terlalu lama terjebak dalam rutinitas tanpa pernah benar-benar saling memahami.”

Aku terdiam, kata-katanya menusuk lebih dalam dari yang aku bayangkan. Ya, mungkin dia benar. Kami memang sering bertengkar, sering berdebat, tapi apakah itu berarti kami tidak peduli satu sama lain? Aku merasa bingung, tidak tahu harus berkata apa. Tidak mudah untuk membuka perasaan yang selama ini terkubur rapat.

“Zorael,” Elian melanjutkan, suaranya kini lebih lembut, “Aku tidak bilang kita harus jadi teman dekat atau bahkan lebih. Aku hanya… ingin kita lebih terbuka satu sama lain. Aku ingin kita belajar untuk saling memahami, bukan hanya sebagai rekan kerja, tapi sebagai manusia.”

Aku menundukkan kepala, mencoba mengendalikan perasaan yang mulai campur aduk. Kata-katanya sangat berbeda dari apa yang biasa aku dengar. Elian yang selama ini tampak keras dan dingin, kini mulai membuka sedikit celah di dinding ketegarannya. Ini… tidak seperti yang aku kira.

“Aku… aku mengerti,” jawabku akhirnya, meskipun aku tidak yakin sepenuhnya dengan kata-kataku sendiri.

Elian mengangguk pelan. “Itu saja, Zorael. Tidak ada yang perlu dipaksakan. Kita hanya perlu saling menghargai pekerjaan satu sama lain. Itu cukup.”

Kami terdiam sejenak, hanya terdengar suara detak jam dinding yang berirama pelan. Di tengah keheningan itu, aku menyadari sesuatu yang tak pernah aku perhatikan sebelumnya. Meskipun kami selalu berlawanan, meskipun kami selalu bertengkar, ada perasaan yang lebih dalam dari sekadar hubungan profesional. Sesuatu yang lebih rumit. Sesuatu yang lebih manusiawi.

Aku memandang Elian, dan untuk pertama kalinya, aku merasa seolah-olah aku melihat dia dengan cara yang berbeda. Tapi perasaan itu tidak semudah yang aku bayangkan. Begitu banyak hal yang menghalangi kami untuk benar-benar terbuka satu sama lain. Dunia rumah sakit ini, dengan segala tuntutannya, membuat kami lebih sering berfokus pada tugas daripada perasaan.

Namun, entah kenapa, saat itu aku merasa seperti kami mulai berjalan menuju jalan yang sama. Sebuah jalan yang penuh dengan tantangan, penuh dengan perbedaan, tapi tetap satu tujuan. Kami berdua tahu bahwa meskipun kami sering bertengkar, kami tidak bisa mengabaikan kenyataan bahwa kami selalu ada di sisi yang sama, dalam pertempuran yang tak pernah berakhir ini.

Dan itu cukup. Untuk saat ini, itu sudah cukup.

 

Ketika Keputusan Itu Tiba

Malam itu, hujan akhirnya berhenti, meninggalkan langit yang kelam dan udara segar yang terasa lebih berat dari biasanya. Rumah sakit masih ramai dengan aktivitas, meski tak setegap siang hari. Beberapa pasien yang baru saja menjalani perawatan sedang dipantau, sementara di ruang administrasi, kertas-kertas masih menumpuk menunggu tanda tangan para dokter. Aku berdiri di dekat jendela ruang staf, memandangi kota yang perlahan mulai kembali tenang.

Aku tahu keputusan itu tak bisa ditunda lebih lama. Setiap hari aku bekerja berdampingan dengan Elian, setiap kali kami berdebat, kami juga berusaha memahami satu sama lain. Tapi ada satu hal yang mengganggu. Perasaan yang semakin sulit untuk diabaikan, yang semakin besar dan semakin nyata. Sesuatu yang lebih dari sekadar hubungan profesional. Sesuatu yang berkembang lebih dalam di antara kami.

Namun, apakah aku siap untuk itu? Apakah kami siap menghadapi semua konsekuensi yang bisa muncul jika kami mengizinkan perasaan itu tumbuh?

Aku melangkah keluar dari ruang staf dan berjalan menuju ruang operasi. Tiba-tiba, langkahku terhenti. Elian berdiri di ujung koridor, menunggu, seolah sudah tahu aku akan keluar. Wajahnya tampak lebih tenang dari yang aku harapkan, tetapi matanya—ada sesuatu yang berbeda di sana. Sebuah ketegangan yang sama, sebuah keinginan yang kami tidak bisa ungkapkan dengan kata-kata.

“Elian,” panggilku pelan.

Dia menoleh, menyunggingkan senyum tipis. “Kamu tahu kan, Zorael, ini bukan hanya tentang keputusan medis lagi.”

Aku mengangguk perlahan, merasa seolah-olah kami sedang berbicara tentang dua hal yang sama sekali berbeda, tapi tetap saling terhubung. Kami sudah cukup lama bertarung bersama, cukup lama berdebat, dan cukup lama berpura-pura bahwa tidak ada apa-apa di antara kami selain pekerjaan. Tapi, saat itu, aku mulai menyadari sesuatu. Kami berdua sama-sama menginginkan lebih dari itu. Tapi apakah kami berani untuk melepaskan tembok yang selama ini kami bangun?

“Zorael,” Elian melangkah mendekat, suaranya menjadi lebih serius, “Aku tahu kita sudah sering bertengkar, kita sudah sering tidak setuju. Tapi ada satu hal yang aku yakin—kita bekerja lebih baik bersama. Dan bukan hanya soal pekerjaan ini. Aku ingin kita belajar untuk lebih percaya pada satu sama lain. Aku ingin lebih dari sekadar dokter dan suster.”

Aku terdiam, kata-katanya membuat dadaku berdegup lebih kencang. Kami berdua sudah lama tahu bahwa hubungan kami lebih dari sekadar pekerjaan, lebih dari sekadar perasaan saling tergantung. Ada banyak yang belum kami ungkapkan, banyak yang masih kami simpan. Aku merasa bingung, tapi juga teringat akan kata-kata Elian sebelumnya tentang menghargai satu sama lain. Mungkin ini waktunya. Mungkin inilah saatnya untuk lebih dari sekadar bertarung bersama di ruang rumah sakit.

“Aku juga merasa begitu, Elian,” jawabku akhirnya, suara aku hampir berbisik, seolah takut jika berkata terlalu keras akan merusak semuanya. “Tapi… apakah kita siap untuk semua ini? Apakah kita siap menghadapi kenyataan bahwa kita mungkin tidak bisa kembali seperti dulu?”

Elian menarik napas panjang, seolah menimbang-nimbang kata-kataku. “Zorael, kita tidak pernah bisa mengontrol apa yang terjadi. Kita hanya bisa memutuskan apa yang kita inginkan sekarang. Dan aku ingin kita mencoba—jika itu bisa membuat kita lebih kuat, lebih baik. Tidak hanya untuk pasien kita, tapi untuk kita berdua.”

Dia mendekat, kali ini jaraknya sangat dekat. Aku bisa merasakan kehangatan tubuhnya, aroma khasnya yang selalu menenangkan meski di tengah segala ketegangan yang mengelilingi kami. Aku merasa hati ini mulai melunak, meskipun kebingunganku masih ada. Aku ingin percaya, tapi bagaimana jika ini hanya sementara? Bagaimana jika kami tidak bisa bertahan setelah semua yang kami jalani bersama?

Elian menatapku dengan tatapan yang penuh arti, seolah-olah mencoba menyampaikan lebih banyak daripada sekadar kata-kata. “Aku tidak bisa janji bahwa semuanya akan mudah, Zorael. Tapi aku berjanji, aku akan selalu ada untukmu. Aku akan ada di sampingmu, bahkan jika dunia ini berbalik melawan kita.”

Aku menelan ludah, sedikit terkejut dengan kedalaman perasaan yang disampaikan Elian. Apa yang terjadi dengan kami? Apa yang terjadi dengan diriku?

“Aku… Aku juga akan ada untukmu, Elian,” kataku pelan, tanpa sadar jari-jariku mulai gemetar. Rasanya seperti ada beban yang terangkat dari pundakku, meskipun aku tahu ada banyak hal yang harus dipertimbangkan. “Aku ingin kita tetap seperti ini. Aku ingin kita bekerja bersama, lebih dari sekadar rekan kerja. Aku ingin kita… menjadi sesuatu yang lebih.”

Elian tersenyum, senyum yang jarang terlihat di wajahnya. Senyum yang penuh arti, penuh harapan, dan penuh kemungkinan. “Kalau begitu, mari kita mulai dari sini. Dari langkah pertama ini. Kita akan berjalan bersama, Zorael. Bukan hanya sebagai dokter dan suster, tapi sebagai sesuatu yang lebih.”

Aku mengangguk, merasakan keputusan itu mulai menguat. Kami tahu, perjalanan kami tidak akan mudah. Tetapi untuk pertama kalinya, aku merasa ada harapan di ujung jalan, sebuah harapan yang kami bangun bersama.

Malam itu, rumah sakit masih sibuk seperti biasa. Tapi bagi kami berdua, rasanya seperti ada dunia yang baru yang sedang dimulai. Dunia yang penuh dengan tantangan, perasaan yang tak terucapkan, dan sebuah ikatan yang semakin kuat. Kami tidak tahu ke mana perjalanan ini akan membawa kami, tetapi satu hal yang pasti—kami tidak akan melangkah sendiri. Kami akan selalu berjalan bersama, meskipun ada banyak rintangan yang menanti. Dan itu, bagi kami, sudah cukup.

 

Akhirnya, Zorael sadar—kadang cinta itu nggak peduli sama status atau perbedaan. Yang penting, kita berjuang bareng, dan nggak ada yang lebih indah daripada punya seseorang yang mau selalu ada di sisi kita. Elian dan Zorael? Kami masih punya banyak cerita, tapi satu yang pasti—kami nggak akan pernah sendiri lagi.

Leave a Reply