Cerpen Dokter Ganteng Kaya Sombong: Kisah Dokter Superstar Rumah Sakit yang Tak Tersentuh

Posted on

Siapa sih yang nggak kenal dokter ganteng kaya di rumah sakit? Apalagi kalau dia sombongnya minta ampun dan selalu jadi superstar di sana. Tapi, jangan salah kira, di balik kesempurnaannya, ada sisi lain yang nggak banyak orang tahu.

Di cerpen ini, kita bakal ngintip dunia si dokter dingin yang nggak pernah tersentuh dan ketegangan yang bikin hati deg-degan. Yuk, ikut ikutan jatuh cinta dan benci sama si Rafael, si dokter yang bikin semuanya serba rumit!

 

Cerpen Dokter Ganteng Kaya Sombong

Tajamnya Kesombongan

Pagi itu rumah sakit terasa lebih sunyi dari biasanya, meskipun suara mesin dan peralatan medis tak pernah berhenti berdengung. Sebuah pemandangan yang sudah terlalu sering terlihat: perawat yang sibuk berlarian, pasien yang datang dan pergi, serta dokter-dokter yang hampir tak pernah memiliki waktu untuk berhenti. Namun ada satu sosok yang selalu membuat ruangan ini seolah berubah—dengan kehadirannya, suasana di ruang gawat darurat menjadi lebih terfokus, lebih intens, lebih teratur. Semua berpusat pada satu nama: Rafael Vellini.

Langkah kaki pria itu menggema di sepanjang lorong. Wajahnya yang tampan dengan dagu tegas dan mata yang tajam seolah mengunci pandangan siapa pun yang berani menatapnya lebih lama dari sekadar formalitas. Mengenakan jas putih yang pas di tubuhnya, dia bukan hanya seorang dokter, tetapi juga sebuah simbol status. Setiap orang di rumah sakit ini tahu betul apa artinya menjadi “Rafael Vellini”—dokter bedah ternama, superstar rumah sakit, dan tentunya, pria yang tak tersentuh oleh dunia di luar sana.

Aku sedang berdiri di dekat meja resepsionis ketika Rafael muncul, melewati pintu dengan langkah yang lambat namun penuh wibawa. Semua orang langsung terdiam sejenak. Mungkin mereka sudah terbiasa dengan sikapnya yang dingin, tetapi aku baru pertama kali melihatnya secara langsung. Sesuatu yang aku tidak pernah duga—bukan hanya karena ketampanannya, tapi juga aura yang seolah memancarkan kesombongan yang begitu tegas.

Aku bisa merasakan mata aku mulai terfokus pada setiap gerakannya, meskipun aku berusaha untuk tidak memperhatikannya terlalu lama. Tapi dia terlalu memikat untuk diabaikan begitu saja. Saat dia melewati ruang gawat darurat, semuanya berhenti sejenak. Bahkan, para pasien yang sedang menunggu pun seolah terdiam—semua mata tertuju pada Rafael, dan hanya dia yang bisa menyadarinya.

“Melati,” suara seorang perawat menyadarkanku dari lamunan. “Pasien di kamar 23 menunggu, katanya butuh segera perhatian.”

Aku mengangguk, mencoba kembali ke kenyataan. Namun, langkah Rafael yang terus berjalan di lorong terasa mengganggu aliran pikiranku. Aku menarik napas dalam-dalam, berusaha untuk tidak terbawa suasana. Tugas di sini bukan untuk memikirkan siapa dia atau apa yang ada di balik penampilannya yang sempurna. Tapi aku tak bisa menghindar dari kenyataan bahwa ada sesuatu yang menarik dari dirinya. Sesuatu yang mengundang perhatian tanpa harus dilakukan dengan sengaja.

Tiba-tiba, dia muncul lagi di depan pintu ruang gawat darurat, tepat saat aku sedang memeriksa pasien. “Melati, ada yang perlu dibenahi di sini?” Rafael bertanya tanpa berpaling. Suaranya dingin, tanpa emosi, seolah hanya berbicara dengan fakta dan angka.

Aku tersentak, merasa seolah diserang oleh pertanyaannya. “Ah, tidak… tidak ada yang perlu dibenahi, Dokter,” jawabku, berusaha menyembunyikan kegugupan. “Pasiennya sudah stabil, hanya perlu pengawasan lebih lanjut.”

Dia mengangguk pelan, seolah menilai segala sesuatu dengan satu pandangan cepat. “Baik, pastikan saja. Ingat, kecepatan adalah segalanya di sini,” katanya, sebelum melangkah pergi.

Aku diam sejenak, mencoba mencerna apa yang baru saja terjadi. Kata-katanya begitu tajam, tanpa rasa, seolah-olah dia berbicara dengan mesin yang tidak butuh perasaan. Tidak ada sapaan hangat atau senyum. Hanya perintah, hanya instruksi.

Ketika dia pergi, aku bisa merasakan suasana kembali normal, tapi aku tak bisa menghindar dari perasaan yang mulai berkembang dalam diriku. Dia adalah seorang dokter yang luar biasa, itu jelas. Namun, ada sesuatu dalam dirinya yang terasa sangat tak terjangkau. Keseimbangan antara kepandaian, ketenaran, dan kesombongan yang begitu menyatu dalam dirinya. Seolah dia tahu betul bahwa dunia ini ada di bawah kakinya.

Suatu sore, saat aku sedang menyiapkan beberapa obat di ruang kecil untuk perawatan pasien, Rafael kembali muncul. Kali ini, dia tidak datang untuk memeriksa pasien atau memberikan instruksi. Dia hanya berdiri di depan meja kerja, menatap layar komputer dengan ekspresi yang tak terbaca.

“Aku melihat kamu sering berlarian seperti itu,” ujarnya tanpa menoleh. “Jangan terlalu terburu-buru, Melati. Kecepatan tak selalu menjamin hasil terbaik.”

Aku terkejut mendengarnya. “Maksud kamu?” tanyaku, berusaha mencari tahu.

Dia berpaling, menatapku dengan mata yang tajam. “Kamu terlalu banyak berusaha untuk terlihat sibuk. Semua orang bisa melihatnya. Tapi apakah kamu benar-benar tahu apa yang kamu lakukan? Atau hanya sekadar mengikuti arus?”

Aku merasa terpojok, kalimatnya menembus dalam, membuatku merenung. “Aku hanya mencoba melakukan yang terbaik,” jawabku pelan.

“Baik, kalau begitu coba lakukan sesuatu yang berbeda. Jangan hanya menjadi pengikut,” Rafael berkata, dan dengan cepat melangkah pergi tanpa memberikan penjelasan lebih lanjut.

Aku berdiri di sana, merasa cemas dan bingung. Apa yang dimaksud oleh Rafael? Apa yang dia lihat dalam diriku yang membuatnya mengatakannya seperti itu?

Sekali lagi, aku sadar bahwa Rafael bukanlah orang biasa. Dia tidak hanya seorang dokter, tetapi juga seseorang yang bisa melihat lebih jauh dari sekadar permukaan. Dia bisa membaca orang dengan satu kalimat, dan terkadang kalimat-kalimat itu begitu tajam, seperti pisau yang memotong.

Namun, aku juga tidak bisa menghindari rasa ingin tahu yang tumbuh dalam diriku. Apakah semua orang yang berada di sekitarnya merasakannya? Ataukah hanya aku yang terjebak dalam pesona dan aura kesombongannya?

Aku tahu satu hal—Rafael Vellini adalah sebuah teka-teki yang tak mudah dipecahkan. Dan aku baru saja mulai mengerti betapa dalam dan rumitnya teka-teki itu.

 

Sosok Tak Tersentuh

Hari demi hari, aku mulai terbiasa dengan rutinitas rumah sakit, meskipun Rafael Vellini masih terus menghantui pikiranku. Setiap kali dia lewat, kehadirannya menciptakan atmosfer yang berbeda—dingin, tajam, dan tak terjangkau. Semua orang tampaknya sepakat untuk memberi ruang, memberi jarak, dan hanya berani berinteraksi dengan Rafael dalam batas-batas yang sudah ditentukan. Bahkan aku, yang seharusnya tidak terganggu oleh hal semacam itu, tak bisa mengelak dari kenyataan bahwa ada sesuatu yang sangat menarik tentang dirinya—sesuatu yang membuatku terus berpikir tentangnya, meskipun aku tahu betul bahwa itu bukanlah tempatku untuk terlalu mendalami.

Kehidupan sehari-hari berjalan normal. Namun, ada momen-momen kecil yang membuatku berpikir, apakah ada sisi lain dari Rafael yang belum aku lihat? Dalam setiap interaksi, dia selalu tampak seperti pria yang tak bisa diganggu. Semua percakapan dengannya terasa mekanis, seperti sedang berbicara dengan robot, meskipun kata-katanya selalu tajam dan langsung ke inti. Seolah dia tahu setiap jawabannya bahkan sebelum pertanyaan itu keluar.

Suatu pagi, aku sedang merawat seorang pasien di ruang gawat darurat saat Rafael muncul lagi, kali ini dengan ekspresi yang lebih serius. Matanya yang tajam menilai keadaan sekitarnya, seolah mencari-cari sesuatu yang salah, sesuatu yang perlu dia perbaiki dengan satu kalimat.

“Ada masalah dengan dosisnya?” Suaranya yang tegas terdengar begitu pasti.

Aku menatap pasien yang terbaring di meja periksa. “Tidak, Dokter. Semua sudah sesuai prosedur.”

Rafael memiringkan kepala, tidak begitu meyakini. “Kamu yakin? Dosis untuk pasien seberat ini seharusnya sedikit lebih banyak. Periksalah kembali.”

Aku ingin membantah, namun aku tahu betul siapa dia. Bukankah dia memang lebih berpengalaman dalam hal ini? Jadi, aku hanya mengangguk, merasa sedikit kesal dengan caranya yang selalu meragukan orang lain, namun di saat yang sama juga mengakui bahwa dia memang benar. Kepercayaan diri yang dia miliki hampir tampak seperti suatu ancaman. Bukan ancaman fisik, melainkan mental. Di hadapannya, aku merasa tidak lebih dari seorang pemula.

Saat aku kembali memeriksa dosis, aku menemukan bahwa memang ada sedikit kelalaian dalam perhitunganku. Rafael benar. Aku menelan rasa frustrasi itu dan kembali bekerja dengan tenang. Ternyata, kesombongan Rafael bukan hanya tentang penampilan atau statusnya sebagai dokter superstar, tetapi juga tentang keyakinannya yang tak tergoyahkan. Dia selalu merasa tahu lebih banyak, selalu berada di atas orang lain. Tak ada ruang untuk keraguan, hanya keyakinan dan keputusan yang cepat. Itu yang membuatnya begitu mengesankan, tapi juga membuat orang-orang sekitarnya, termasuk aku, merasa tak tersentuh.

Namun, ada satu hal yang semakin jelas setiap kali aku bertemu dengannya. Rafael bukan hanya sombong karena kesuksesan atau kecerdasannya, tetapi juga karena dia sudah terlalu lama berada di puncak. Semua orang di sekitar rumah sakit ini seperti berputar di bawah orbitnya. Bahkan mereka yang lebih senior pun tampaknya ragu untuk menyelaminya lebih dalam. Seperti ada semacam penghalang tak terlihat di antara mereka. Tidak ada yang berani menantang atau membantah apa yang dia katakan, bahkan ketika itu salah. Tak ada yang berani memecahkan tembok kaca yang terbentuk di sekelilingnya.

Satu-satunya yang berani menatapnya langsung adalah dia sendiri. Seperti sebuah ironis—dia membangun dinding sekitar dirinya yang sangat kuat, sementara orang lain hanya bisa mengamati dari luar.

Suatu sore, saat aku sedang menyelesaikan laporan medis, Rafael muncul lagi di ruang perawat. Dia berdiri di depan meja, memperhatikan layar komputer yang terbuka. “Melati, ada yang kurang di sini,” katanya tanpa basa-basi.

Aku menatap layar yang dia tunjuk. “Apa maksudmu?”

Dia menunjuk beberapa data pasien yang sedang aku kerjakan. “Ini bukan hanya tentang angka-angka, Melati. Ini tentang keputusan yang harus kamu buat, bukan hanya mengikuti prosedur. Ini tentang seberapa cepat kamu dapat menentukan apa yang benar dan apa yang salah.”

Aku menahan napas, merasa seperti sedang diuji. “Aku tahu, Rafael. Tapi, bukankah kita semua mengikuti protokol di sini? Tidak semudah itu untuk memutuskan.”

Dia menatapku dengan tatapan yang hampir tidak bisa dimengerti. “Protokol itu ada, memang. Tapi kamu tidak bisa hanya mengikuti prosedur tanpa memahami esensinya. Aku tidak datang ke sini untuk hanya melihat kamu mengikuti aturan. Aku datang untuk melihat kamu bisa membuat keputusan yang benar, meski tanpa panduan.”

Kata-katanya seperti petir yang menyambar. Tanpa sadar, aku mengerutkan dahi. “Jadi, kamu menginginkan lebih dari itu?”

Dia mengangguk pelan, seolah apa yang dia katakan adalah hal yang paling biasa di dunia. “Ini bukan soal peraturan. Ini soal siapa yang bisa menjadi yang terbaik di dunia ini. Jika kamu ingin menjadi seorang dokter yang dihormati, kamu harus lebih dari sekadar menjalankan prosedur. Kamu harus tahu kapan mengambil risiko, kapan melepaskan diri dari aturan. Itu yang membedakan orang biasa dengan orang yang luar biasa.”

Aku diam, mencoba mencerna kata-katanya yang seolah begitu sederhana namun juga begitu dalam. Semua yang Rafael katakan selalu memiliki dua sisi—satu yang jelas dan satu yang tersembunyi. Setiap kalimatnya penuh dengan ajaran tersembunyi yang sulit dicerna, seperti teka-teki yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang sudah berada di puncak. Dan meskipun aku merasa terkoyak oleh kata-katanya, aku tahu satu hal: Rafael Vellini tak akan pernah memberi tahu siapa dia sebenarnya. Tidak ada yang berani mendekat ke dalam dunia pribadinya yang tersembunyi rapat-rapat.

Tapi aku terus bertanya dalam hati, apakah ada kesempatan bagi seseorang sepertiku untuk melihat lebih jauh dari dinding kaca yang dia bangun di sekitar dirinya? Atau, akankah aku tetap menjadi penonton yang hanya bisa mengamati dari jauh, tak lebih dari itu?

 

Di Bawah Bayang-Bayangnya

Hari-hari berjalan seperti biasa, namun ada sesuatu yang semakin terasa menggantung di udara. Setiap kali aku melihat Rafael, ada sebuah ketegangan yang tak bisa dijelaskan. Sebuah tarik-menarik antara keinginan untuk lebih mengenalnya, dan ketakutan untuk jatuh ke dalam pesonanya yang memabukkan. Seperti sebuah permainan catur, di mana aku hanya bisa bergerak di bawah perintahnya, namun tetap saja aku merasa terkunci dalam posisi yang tak bisa aku kendalikan.

Aku semakin sering berpapasan dengannya, dan setiap kali itu terjadi, aku merasakan sensasi yang semakin sulit untuk dibendung. Rafael tidak pernah melirikku lebih dari sekadar tatapan sekilas, namun itu sudah cukup untuk membuat hatiku berdebar. Ada sesuatu dalam cara dia melihat dunia yang membuat semua orang seolah hanya bayangan, dan dirinya adalah pusat dari segala sesuatu. Bahkan jika dia diam, dunia sekelilingnya seakan berputar mengelilinginya.

Suatu malam, aku terpaksa bekerja lembur karena ada kasus darurat yang membutuhkan perhatian lebih. Meja operasional penuh dengan berkas-berkas, laporan, dan alat medis yang tersebar begitu saja. Semua ruangan di rumah sakit terasa begitu sepi, hanya ada suara mesin-mesin yang berdetak pelan dan langkah-langkah kaki yang hampir tak terdengar.

Aku sedang memeriksa hasil lab terakhir untuk seorang pasien ketika aku mendengar suara langkah kaki yang begitu khas. Tanpa harus menoleh, aku sudah tahu siapa yang datang. Rafael. Suaranya yang tegas, langkahnya yang penuh percaya diri, mengalihkan perhatian setiap orang yang ada di ruangan itu. Dan malam ini, aku benar-benar terperangkap dalam lingkarannya.

“Melati,” suaranya terdengar lebih rendah dari biasanya, lebih serius, bahkan agak sedikit dingin. “Pasien yang kamu tangani tadi… ada yang kurang dalam diagnosis awalnya.”

Aku memutar kursi dan melihat wajahnya yang selalu tampak seperti batu karang. Tidak ada ekspresi, tidak ada nada empati, hanya sebuah kenyataan yang dilontarkan begitu saja. Seolah dia sedang mengoreksi laporan teknis, bukan berbicara tentang nyawa seseorang.

“Apa maksudmu?” tanyaku, merasa sedikit tercengang. “Bukankah aku sudah memeriksa semuanya dengan teliti?”

Rafael menatapku, matanya yang tajam menelusuri wajahku, seakan sedang mencari kelemahan dalam diriku. “Kamu terlalu percaya pada prosedur standar, Melati. Dalam pekerjaan ini, terkadang prosedur itu hanyalah garis besar. Kamu harus belajar untuk mendengar apa yang tidak dikatakan oleh pasien, apa yang tidak terlihat di laporan.”

Aku mengerutkan dahi, mencoba memahami arah pembicaraannya. “Tapi, semua data menunjuk pada arah yang sama. Aku rasa kita tidak perlu mengambil keputusan terburu-buru.”

Dia mendekat, kini hanya beberapa langkah dariku. Suaranya semakin rendah, nyaris seperti bisikan yang hanya ditujukan untukku. “Itulah yang membedakan kita, Melati. Aku tahu kapan harus melangkah, kapan harus mengambil risiko. Kamu… masih terlalu berhati-hati. Dokter terbaik bukan hanya yang tahu banyak tentang buku dan teori, tetapi yang tahu kapan harus mempercayai instingnya.”

Aku merasa seperti sedang dipertontonkan dengan sebuah pelajaran hidup yang sangat berharga, namun juga penuh dengan tantangan. Di bawah tatapannya yang tak pernah lepas, aku merasa seakan diceramahi, namun tanpa kata-kata yang kasar. Semua terasa seperti pelajaran yang mengiris dalam diam, memaksaku untuk bertumbuh meskipun aku tidak tahu apakah aku siap untuk itu.

“Apa yang kamu sarankan?” tanyaku, suaraku terdengar lebih rendah dari yang aku inginkan.

Rafael memutar tubuhnya, seolah sudah selesai berbicara denganku. “Periksa kembali catatan pasien. Tapi kali ini, lihatlah dengan cara yang berbeda. Jangan hanya melihatnya sebagai data, lihat sebagai kehidupan.”

Aku mengangguk, meskipun aku tahu bahwa dia takkan menunggu untuk melihat hasilnya. Rafael seperti angin, datang dan pergi tanpa memberi kesempatan untuk benar-benar memahami apa yang terjadi. Aku hanya bisa mengikuti jejak langkahnya yang menghilang, sambil berusaha memahami apa yang baru saja dia katakan.

Beberapa jam berlalu dan aku akhirnya kembali memeriksa hasil catatan pasien. Rafael benar. Ada sesuatu yang tidak terlihat pada pandangan pertama, sebuah tanda yang samar yang terlewat begitu saja karena aku terlalu fokus pada analisis data dan prosedur yang sudah terlalu familiar bagiku. Aku merasa sedikit terkejut, bahkan sedikit malu pada diriku sendiri karena tidak bisa melihat apa yang dia lihat dalam sekejap.

Ketika pagi datang, aku kembali ke ruang perawat dengan pikiran yang penuh pertanyaan. Rafael sudah tidak ada di sana. Seperti biasa, dia datang dan pergi tanpa jejak. Namun kali ini, aku merasa ada sesuatu yang berubah. Aku tahu, apa yang dia katakan bukan hanya tentang pekerjaan. Itu lebih dari sekadar mengoreksi laporan atau memeriksa pasien. Itu adalah cara dia melihat dunia, cara dia mengendalikan hidupnya dan hidup orang lain di sekitarnya.

Setiap kata yang keluar dari mulutnya terasa seperti sebuah perintah, namun sekaligus sebuah tantangan. Tidak ada ruang untuk kesalahan, tidak ada waktu untuk keraguan. Di dunia Rafael Vellini, semuanya harus sempurna. Dan entah mengapa, aku merasa semakin tertarik, semakin terobsesi untuk melihat lebih dalam.

Tapi, ada satu hal yang pasti. Jika aku ingin benar-benar memahami siapa dia, aku harus lebih dari sekadar mengikuti jejaknya. Aku harus bisa menembus dinding yang dia bangun di sekitar dirinya—meskipun aku tahu itu akan jauh lebih sulit daripada yang aku kira.

 

Di Ambang Keputusan

Waktu terus bergerak, dan aku semakin tenggelam dalam dunia yang diciptakan oleh Rafael. Dunia yang dipenuhi dengan ekspektasi tinggi, tuntutan tak terucapkan, dan ketegangan yang meresap ke setiap sudut rumah sakit ini. Setiap langkahnya bagaikan langkah raja yang mengendalikan seluruh kerajaan, dan aku hanya seorang ksatria kecil yang berusaha menemukan tempatku di dunia itu.

Hari-hari itu terasa seperti sebuah pertaruhan besar, antara mempertahankan jarak dan mengikuti jejak langkahnya yang penuh karisma. Tidak ada yang mudah, tidak ada yang pasti. Aku selalu merasa berada di ujung tanduk, seolah-olah setiap keputusan yang kubuat, setiap kata yang terucap, akan menuntun pada satu arah yang tak bisa kembali.

Namun, hari itu, sesuatu berubah. Sesuatu yang tak bisa aku hindari, yang tak bisa aku lukai dengan keraguan. Malam itu, rumah sakit terasa lebih sunyi dari biasanya, hanya terdengar suara mesin dan desiran angin yang menembus celah jendela. Aku sedang duduk di ruang rapat, memeriksa laporan terakhir pasien, ketika Rafael masuk dengan langkah panjangnya yang terukur. Ada ketegangan yang membungkus setiap gerakannya.

Dia berhenti di depan meja dan menatapku dengan mata yang tampak lebih dalam dari biasanya, seperti menyelam dalam lautan perasaan yang hanya dia yang bisa pahami.

“Ada yang ingin kamu katakan?” Suaranya datar, hampir seperti perintah. Tidak ada pertanyaan, hanya pernyataan yang menuntut jawaban.

Aku menghela napas, mencoba menenangkan hati yang berdebar. “Aku rasa, aku sudah mulai mengerti apa yang kamu coba ajarkan.” Suaraku terdengar lebih tenang daripada yang sebenarnya aku rasakan. “Tapi itu bukan berarti aku harus selalu setuju dengan caramu.”

Rafael tersenyum tipis, senyuman yang mengandung lebih banyak makna daripada yang bisa kuartikan. “Kamu memang berbeda, Melati. Itu yang aku suka. Kamu tidak akan pernah menjadi seperti yang lain. Dan itu membuatmu menarik.”

Aku menatapnya, merasakan percikan rasa yang sulit didefinisikan. Ada yang lebih dalam dalam kata-katanya kali ini, bukan sekadar tantangan atau ejekan, tapi semacam pengakuan yang jarang dia berikan.

“Aku tidak ingin menjadi seperti yang lain,” jawabku, merasa ada sedikit keberanian yang tumbuh dalam diri. “Tapi aku juga tidak ingin terus berjalan dalam bayang-bayangmu, Rafael. Aku ingin menemukan jalanku sendiri.”

Ada keheningan yang lama, seperti sebuah percakapan yang berlangsung tanpa kata-kata. Rafael mengamati, seolah menilai jawabanku, kemudian akhirnya mengangguk perlahan. “Kamu tahu, Melati, banyak orang di luar sana yang berusaha mencari jalannya sendiri, tapi mereka tidak pernah benar-benar tahu ke mana mereka pergi. Mereka hanya mengikuti apa yang mereka pikir adalah kebenaran.” Dia berjalan mendekat, suara langkahnya bergema di ruang yang sempit itu. “Tapi kamu… kamu punya sesuatu yang lebih. Sesuatu yang bisa mengalahkan segala teori dan prosedur yang ada.”

Aku memandangnya, berusaha mengerti apa yang sebenarnya dia coba katakan. Tapi meskipun aku merasa seolah sedang diceramahi oleh seorang pria yang penuh dengan keyakinan, aku tahu ada kebenaran dalam kata-katanya. Aku hanya tidak tahu apakah aku siap untuk itu.

“Tapi itu tidak berarti aku akan selalu mengikuti apa yang kamu katakan,” ujarku, suaraku semakin teguh, walau sedikit bergetar.

Rafael berhenti sejenak, menatapku dengan mata yang sulit dibaca. “Aku tidak menginginkanmu untuk mengikuti. Aku hanya menginginkanmu untuk mengerti bahwa dunia ini tidak akan memberi ruang untuk keraguan. Tidak ada yang akan memberimu kesempatan kedua.”

Aku tidak bisa menahan senyum kecil yang terbit di bibirku. “Tapi, tidak ada yang sempurna, Rafael. Bahkan dunia yang kamu ciptakan di sini tidak akan pernah bisa sempurna.”

Matanya yang tajam menatapku tanpa berkedip. Ada kilatan yang sulit dimengerti dalam sorot matanya. “Kamu benar. Tidak ada yang sempurna. Tapi jika kamu tidak berusaha mencapai kesempurnaan, kamu hanya akan tetap menjadi bagian dari kekacauan yang tak teratur.”

Aku mengangguk perlahan, merasa semakin terjebak dalam percakapan yang tidak bisa aku hindari. Rafael adalah sebuah teka-teki yang semakin sulit untuk dipecahkan, dan aku semakin merasa seperti terikat pada jalannya. Semua kata-katanya, meskipun keras, tidak bisa diabaikan begitu saja.

“Jadi, apa yang kamu ingin aku lakukan?” Aku bertanya dengan suara yang lebih lembut, mencoba untuk mencari tahu lebih jauh.

Rafael menghadapiku dengan senyum tipis yang tidak pernah berubah, senyum yang penuh dengan keyakinan dan kekuatan. “Aku hanya ingin kamu mengerti bahwa kamu punya pilihan, Melati. Kamu selalu punya pilihan.”

Ketika dia berbicara, rasanya seperti seluruh dunia berhenti sejenak. Semua keputusan yang pernah aku buat, semua keraguan yang pernah aku rasakan, semuanya menguap dalam satu kata—pilihan. Aku mulai merasa bahwa dalam setiap langkah, dalam setiap detik yang berlalu, aku tidak hanya menjadi penonton dari kehidupanku sendiri. Aku akhirnya memiliki kesempatan untuk memilih jalanku.

Namun, apakah aku siap untuk melangkah? Apakah aku siap untuk menghadapi dunia ini, dunia yang penuh dengan Rafael, dengan semua kesombongannya, keteguhannya, dan pesonanya yang tak terelakkan?

Aku masih tidak tahu. Tapi satu hal yang aku tahu pasti—aku tidak akan pernah bisa kembali menjadi diriku yang dulu. Dunia ini, yang dikendalikan oleh Rafael, akan selalu menjadi bagian dari diriku yang tak bisa aku lepaskan. Dan entah bagaimana, aku merasa seperti itu adalah jalan yang aku pilih, meskipun aku belum siap untuk apa yang akan datang setelahnya.

 

Jadi, apakah Melati akan tetap bertahan dalam bayang-bayang Rafael, atau akhirnya memilih jalannya sendiri? Kadang, memilih bukan soal benar atau salah, tapi lebih ke soal keberanian untuk menghadapi apa yang datang setelahnya.

Tapi satu hal yang pasti, dunia yang penuh dengan kesombongan dan ketegangan ini nggak akan pernah sama tanpa Rafael. Dan siapa tahu, mungkin keputusannya akan membawa mereka pada sesuatu yang lebih dari sekadar cinta yang penuh drama.”

Leave a Reply