Cerpen Horor: Dilarang Bernyanyi di Kamar Mandi, Teror yang Menghantui

Posted on

Oke, jadi gini ceritanya. Kamu pernah nggak sih ngerasa kayak ada sesuatu yang aneh banget di kamar mandi? Iya, yang kayak cuma ngerasa kok ada yang nggak beres ya gitu. Nah, bayangin kalau ada aturan aneh yang nggak boleh kamu langgar—misalnya, dilarang nyanyi di kamar mandi.

Kedengeran konyol, kan? Tapi, kalau kamu tahu apa yang bakal terjadi kalau kamu melanggar aturan itu, mungkin kamu bakal mikir dua kali. Cerita horor yang satu ini bakal bikin kamu nggak bisa lepas dari ketegangan dan rasa takut. Penasaran kan? Yuk, baca!

 

Cerpen Horor

Suara yang Terpendam

Kamar mandi itu selalu terasa asing, meskipun sudah bertahun-tahun aku tinggal di rumah ini. Seperti ada sesuatu yang menyembunyikan diri di balik dinding putihnya. Setiap kali aku masuk ke dalamnya, ada perasaan seperti diawasi, namun saat aku menoleh, tak ada siapa-siapa. Dinding keramiknya yang dingin selalu mengingatkanku akan sesuatu yang tak bisa kutangkap. Rasanya aneh, tapi aku tak bisa menjelaskannya.

Hari itu, cuaca di luar terasa panas, dan aku membutuhkan sedikit waktu untuk menyendiri. Kamar mandi adalah tempat paling dekat yang bisa memberikan ketenangan. Tanpa berpikir panjang, aku berjalan menuju pintu kamar mandi, menutupnya pelan di belakangku. Langkahku berat, seakan aku sedang berjalan di dalam mimpi yang tak nyata. Aku menyalakan shower, membiarkan air mengalir menenangkan pikiran yang kacau.

Aku tahu, aku hanya butuh waktu sejenak. Dan saat itulah, tiba-tiba aku merasa ingin bernyanyi. Suara musik yang mengalun dari ponselku, lalu aku ikut bergumam perlahan mengikuti irama. Tak ada yang akan mengganggu. Aku merasa bebas.

“Tahu nggak sih, ada larangan nggak boleh nyanyi di sini?”

Suara itu datang begitu saja. Awalnya aku kira hanya imajinasiku, tapi saat aku berhenti dan menoleh, kamar mandi itu tetap sunyi. Tak ada yang bergerak, tak ada yang terdengar selain suara air yang terus mengalir.

Tapi kenapa aku merasa begitu berbeda? Sesuatu dalam diriku merespon bisikan itu, entah kenapa.

Aku menghela napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Ah, mungkin cuma kebetulan,” gumamku. Aku melanjutkan nyanyianku, meskipun ada sedikit perasaan aneh yang mulai merayapi tubuhku.

Tiba-tiba, suara itu terdengar lagi. Kali ini lebih jelas.

“Jangan… Jangan nyanyi lagi…”

Aku terdiam. Itu suara seorang perempuan, lirih dan penuh kesedihan. Tidak mungkin ini hanya khayalan, pikirku. Tapi aku berusaha meyakinkan diriku bahwa itu hanya suara dalam kepalaku, mungkin efek dari kelelahan atau mungkin saja suara ponselku yang memantul dari dinding.

Namun, meskipun aku mencoba meyakinkan diri, suasana di sekitar menjadi semakin berat. Udara di dalam kamar mandi terasa dingin, lebih dingin dari sebelumnya. Aku menggigil tanpa alasan yang jelas. Tangan yang memegang shower mulai terasa kaku, dan suara isakan itu semakin jelas, semakin nyata.

Ada sesuatu yang berbeda, dan itu membuat jantungku berdebar kencang. Seperti ada sesuatu yang sedang mengamati setiap gerak-gerikku.

“Kenapa… Kenapa aku nggak bisa berhenti nyanyi?” bisikku pada diriku sendiri, mencoba mengalihkan ketegangan yang mulai mencekam.

Suara tangisan itu semakin keras, sampai aku bisa merasakannya menyentuh punggungku. Aku berbalik cepat, ingin memastikan tak ada siapa-siapa di belakangku. Namun hanya ada cermin retak yang memantulkan bayanganku yang terlihat pucat.

Aku menelan ludah, berusaha tenang. “Mungkin aku cuma lelah,” kataku pelan, mencoba meyakinkan diri. “Aku butuh istirahat… Hanya itu. Hanya itu yang aku butuhkan.”

Tapi saat aku melangkah mundur untuk menutup kran shower, suara itu kembali—lebih tajam dan penuh amarah kali ini.

“Jangan… Jangan sekali-kali menyanyi di sini lagi!”

Aku membeku. Pintu kamar mandi itu terkunci dengan sendirinya. Jantungku semakin cepat berdetak. Tak bisa kuungkapkan dengan kata-kata betapa ngerinya perasaan itu—seperti ada sesuatu yang menahanku di sini, menghalangi aku untuk keluar.

Tangisan itu bukan lagi suara dari luar diriku, tetapi seolah dari dalam kamar mandi itu sendiri. Tertutup rapat di balik dinding-dinding keramik yang dingin. Seolah ada sesuatu yang tak terlihat, menunggu, mengawasi, dan mengendalikan.

“Siapa di sana?!” teriakku, suaraku pecah, terbatuk oleh ketakutan yang mendalam.

Tidak ada jawaban.

Aku mencoba sekali lagi menarik pintu, menggoyang-goyangkannya dengan sekuat tenaga. Tapi tetap saja, pintu itu tetap terkunci. Tak ada yang bisa ku lakukan selain merasakan angin dingin yang berhembus melalui celah-celah kecil di kamar mandi itu.

“Jangan… nyanyi lagi…” suara itu berbisik semakin dekat, terdengar hanya beberapa inci dari telingaku.

Aku merasa seperti ada tangan yang menyentuh pundakku, dingin dan berat, seakan mencengkeram tubuhku. Suara itu semakin menyesakkan. Suara tangisan yang tak henti-hentinya menggema di seluruh ruangan. Aku ingin melarikan diri, tapi seakan ada kekuatan yang menahanku, membuatku tetap terperangkap di sini, di dalam kamar mandi yang selalu terasa seperti tempat yang asing bagiku.

Saat aku menoleh ke cermin, aku hampir tidak percaya dengan apa yang kulihat. Bayanganku, atau lebih tepatnya, bayangan gelap di balik cermin itu… bukan aku. Bayangan itu bergerak, namun aku tetap diam di tempat, tak bisa berbuat apa-apa.

“Kenapa aku mendengarnya… Kenapa ini terjadi pada aku?” suara itu berbisik, penuh ketakutan, seperti permohonan.

Tapi suara itu bukan hanya bisikan. Itu adalah peringatan. Peringatan yang datang dari tempat yang lebih gelap, lebih menakutkan. Sesuatu yang sangat jauh dari yang bisa aku bayangkan.

Aku hanya bisa berdiam, terperangkap dalam ketakutanku.

 

Bisikan di Balik Tirai

Kamar mandi terasa semakin kecil. Udara yang semula sejuk kini berubah menjadi lembap, berat, seolah memenuhi setiap sudut dengan kecemasan yang tak bisa kutangguhkan. Aku duduk di sudut, berusaha menenangkan diri. Tangan masih menggenggam erat pegangan shower, sementara mataku terus terfokus pada cermin yang terpantul gelap, seolah menantangku untuk melihat lebih jauh.

Suara isakan itu masih ada, bergetar pelan di telingaku. Aku bisa merasakannya, seakan itu bukan sekadar suara, melainkan sebuah kehadiran yang memaksa diriku untuk merasakannya. Namun, tidak ada sosok yang terlihat, hanya ruang kosong yang terasa semakin terperangkap oleh ketegangan ini.

Aku berusaha untuk berpikir jernih. “Ini gila,” kataku pada diriku sendiri. “Aku harus keluar dari sini.” Tetapi semakin aku berusaha untuk bergerak, semakin kaku tubuhku. Seperti ada tangan tak terlihat yang menarikku kembali ke tempat ini, ke dalam ruangan yang semakin sesak. Aku harus melawan perasaan ini, melawan rasa takut yang mulai menguasai diriku.

Dengan langkah pelan, aku mendekati tirai shower. Suara itu terdengar lebih dekat, semakin keras. Sambil menarik napas dalam-dalam, aku menarik tirai itu dengan tangan gemetar. Tapi begitu tirai itu terbuka, aku hanya menemukan kegelapan.

Sekeliling kamar mandi seakan terbalut oleh keheningan yang menyesakkan. Namun, di balik bayang-bayang gelap, aku bisa merasakan sesuatu yang tak terlihat—sesuatu yang terus mengamati, terus mengikutiku.

“Jangan pernah menyanyi lagi,” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas. Lebih berat. Seperti suara yang terlepas dari kedalaman ruang yang tak terjangkau.

Aku menutup mata sejenak, mencoba mengusir perasaan itu. Tapi saat aku membuka mata, bayangan itu mulai terlihat. Dari balik cermin, di sudut yang paling gelap, aku bisa melihat siluet seseorang yang tidak bisa kuidentifikasi—bukan bayanganku, bukan sosok yang aku kenal. Hanya sebuah bentuk gelap yang berdiri diam, menatapku.

Aku mundur, terkejut, dan hampir terjatuh. “Siapa kamu?” tanyaku, suara bergetar, hampir tak terdengar. “Apa yang kamu inginkan?”

Tak ada jawaban. Hanya bisikan itu, yang semakin lama semakin jelas, semakin dekat. Aku merasa ada sesuatu yang bergerak di balik bayangan itu. Langkah kaki yang begitu pelan, tapi bisa ku dengar jelas, berderak di atas lantai keramik yang dingin.

“Kenapa kamu masih di sini?” bisik suara itu, lebih dalam. “Kenapa kamu melanggar aturan kami?”

Aku ingin berteriak, namun lidahku terasa kelu. Aku merasa sesak, tak bisa bergerak, seakan tubuhku terpasung oleh ketakutan yang begitu nyata. Mata ini terus tertuju pada bayangan yang semakin mendekat, semakin nyata di balik cermin. Seketika, bayangan itu seperti bergerak melampaui kaca, mengarah padaku. Aku mundur lagi, meraba pegangan pintu kamar mandi, tapi pintunya tak bergerak. Kunci kamar mandi itu seakan hilang, seakan tak ada cara untuk keluar.

Suaranya berubah. Dari bisikan menjadi seruan marah. “Kamu sudah melanggar! Kamu sudah memilih jalan ini, Vania.”

Aku merasa tubuhku terhuyung. Dinding kamar mandi yang tadinya tampak biasa kini berubah menjadi ruang yang menindihku, mencekikku, menenggelamkanku dalam ketakutan yang tak bisa digambarkan. Air di kran shower masih mengalir, tapi kini suara gemericik itu terdengar asing. Seperti ada sesuatu yang menyembunyikan diri di dalamnya, menunggu kesempatan untuk muncul.

Aku merasa seolah ruang ini menjadi lebih sempit, lebih menekan. Air yang mengalir di lantai mulai menyentuh kaki, dingin dan licin, seolah menjeratku. Aku terjatuh ke lantai, hampir kehilangan keseimbangan, dan saat itu, bayangan itu sudah benar-benar ada di depanku. Begitu dekat, aku bisa merasakan napas yang tak terlihat, yang berat dan penuh amarah.

“Kenapa kamu nyanyi di sini? Kamu tahu apa yang akan terjadi?” suara itu menuntut, bergetar dalam keheningan.

Aku ingin melawan, ingin berteriak, ingin lari, namun tubuhku seakan tak lagi bisa mendengar perintahku. Tangisan itu mulai terdengar lagi, tetapi kali ini terasa lebih mendalam—seperti suara dari dalam bumi, penuh dengan kesedihan yang tak terbayangkan.

Aku menutup telinga, berusaha menghindari suara itu, namun bisikan itu tetap saja hadir, semakin keras. Terus menggema, seolah tidak ada ujungnya.

“Jangan nyanyi lagi,” suara itu merayap dalam pikiranku, mengendap-endap.

Aku merasa seperti sedang dililit oleh belenggu tak terlihat, terjebak dalam permainan yang tak bisa ku kendalikan. Pikiranku dipenuhi dengan gambar-gambar yang tidak aku inginkan. Wajah-wajah yang tidak aku kenal, mata yang mengawasi, dan tangan yang seolah akan menjangkauku kapan saja. Semua hal itu mulai mengaburkan pandanganku.

Ada suara yang berbeda di balik bisikan itu, suara seperti langkah-langkah yang mendekat, tetapi saat aku menoleh, tidak ada siapa-siapa. Cermin itu retak perlahan, pecahan-pecahan kaca yang seolah menari-nari di udara. Dan dalam sekejap, bayangan itu kembali menghilang. Semua yang ada hanya ruang kosong, tetapi ketakutan itu tetap terperangkap di dalamku.

Aku mencoba mengatur napas, berusaha tenang, meskipun jantungku berdetak semakin cepat. Aku tahu, aku tak bisa terus seperti ini. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa seperti ada yang menguasai seluruh ruang ini, yang menguasai pikiranku, tubuhku.

Aku berlutut, gemetar. “Apa yang harus aku lakukan?” desisku pelan, hampir tak terdengar.

 

Kegelapan yang Terungkap

Aku tidak tahu sudah berapa lama aku duduk di lantai kamar mandi itu, menatap cermin yang kini pecah berantakan. Suasana sepi semakin menyesakkan, dan bisikan itu tak kunjung reda. Suara yang berat dan penuh ancaman itu masih bergema dalam pikiranku, memaksaku untuk terus berpikir, mencari jalan keluar yang entah ada atau tidak.

Tangan kananku masih terpegang erat pada dinding, seolah itu satu-satunya yang bisa memberiku pegangan di tengah ketidakpastian ini. Aku berusaha berdiri, tetapi kegelapan yang menghantui kamar mandi itu membuat kakiku lemas, hampir tidak mampu menopang tubuhku. Rasa takut dan cemas seperti menjalar di seluruh tubuhku, mengikatku dengan ketakutan yang semakin nyata.

Aku melirik ke pintu, berharap bisa keluar. Tapi pintu itu tak bergerak. Kunci kamar mandi itu, yang entah sejak kapan hilang, tak memberiku jalan keluar. Ada semacam kutukan di sini, sebuah penghalang yang tidak terlihat, namun terasa begitu kuat. Semua usaha untuk melarikan diri tampaknya sia-sia.

Aku mendekatkan diri lagi ke cermin yang pecah. Di balik potongan kaca yang hancur, aku melihat kilatan-kilatan samar, seperti bayangan yang bergerak di dalamnya. Tapi saat aku mencoba mendekatkan wajahku, semuanya menghilang. Hanya cermin kosong yang memantulkan wajahku yang pucat, wajah yang tak lagi mengenal diri sendiri.

Keringat dingin mengalir di pelipisku. Aku menggigit bibir, berusaha menahan rasa takut yang semakin mendalam. Dan saat itu, aku mendengarnya lagi—suara yang sangat jelas, lebih keras dari sebelumnya.

“Kamu tak akan bisa keluar, Vania,” bisikan itu begitu dekat, seakan berdesis di telingaku. “Kamu sudah melanggar. Kamu sudah tahu konsekuensinya.”

Aku merinding. Suara itu, kini terdengar seperti lebih dari sekadar bisikan. Itu seperti suara dari dalam dirinya sendiri, sebuah kekuatan yang mengalir begitu kuat, memaksa tubuhku untuk mendengarnya, merasakannya. Aku mencoba mengalihkan pandangan dari cermin, berharap bisa menghentikan suara itu, tapi tak ada yang bisa kutangkap. Bahkan udara di sekitarku terasa lebih tebal, semakin berat, seperti ada sesuatu yang mengikat setiap gerakanku.

Aku merapikan napasku, mencoba berpikir jernih. “Aku harus keluar,” bisikku pelan. “Aku harus keluar dari sini.”

Tapi apa yang bisa aku lakukan? Pintu terkunci, cermin yang pecah itu seakan menyembunyikan lebih banyak hal dari yang aku bayangkan, dan suara itu—suara yang terus menerus menggema, menggugat, dan menghantuiku.

Ketika aku memalingkan wajahku lagi ke cermin, aku melihat sesuatu yang lain. Di balik kaca yang pecah, tampak bayangan samar—seperti sosok yang berdiri, mengawasi. Mataku tertuju pada bayangan itu, dan saat itulah aku melihatnya lebih jelas. Itu adalah wajah—wajah yang tidak aku kenal, namun terasa sangat dekat. Wajah yang terdistorsi, seakan tersenyum dengan cara yang sangat menyeramkan.

Aku terlonjak mundur, hampir terjatuh. “Apa ini?” suaraku serak, hampir tidak terdengar.

Tidak ada jawaban, hanya bisikan itu yang semakin kuat, semakin menekan. Aku merasa seluruh tubuhku terhimpit oleh sesuatu yang tak terlihat, seolah ada tangan tak kasat mata yang menghalangi napasku.

“Kamu akan tetap di sini, Vania. Tidak ada yang bisa menyelamatkanmu.” Suara itu terdengar lebih jernih, seakan berbicara langsung ke dalam pikiranku. Aku merasakan sesuatu yang lebih buruk dari sekadar ketakutan—sesuatu yang menyeruak keluar dari dalam diriku, menuntut aku untuk lebih tahu tentang apa yang terjadi.

Aku menatap cermin itu dengan cemas. Di balik bayangan wajah yang distorsi itu, ada kilatan cahaya merah yang bergerak perlahan, memancar dari dalam kegelapan. Aku merasa perasaan takut itu mulai berubah menjadi kemarahan yang tersimpan dalam diriku. Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Apa yang membuat tempat ini begitu angker? Mengapa aku yang harus menghadapi semua ini?

Aku merasa tubuhku dipenuhi dengan rasa terdesak, seolah harus mencari jawaban. Aku harus keluar dari sini. Aku harus tahu apa yang telah terjadi di balik semua ini. Ada sesuatu yang menghalangi semua ini terjadi—sesuatu yang lebih besar daripada sekadar suara yang berbisik di kamar mandi ini.

Aku menatap cermin itu lagi. Kali ini, aku tidak menghindar. Aku mendekatkan wajahku lebih dekat, berharap bisa menemukan petunjuk. Dan saat itulah, kilatan merah itu semakin jelas. Itu bukan hanya cahaya, itu adalah sebuah bentuk. Sebuah tangan. Tangan yang terulur keluar dari balik bayangan, mendekat padaku.

Aku mundur dengan cepat, tetapi tangan itu sudah hampir menyentuh wajahku. Seperti ada kekuatan yang menarikku, memaksaku untuk menghadapi apa yang ada di balik semua ini. Aku menutup mata, berharap semuanya hanyalah mimpi buruk, tapi tidak ada yang berubah.

“Jangan lagi bernyanyi di sini, Vania,” suara itu terdengar sekali lagi, kali ini dengan nada yang lebih rendah, lebih dalam, lebih mengancam. “Kamu sudah masuk ke dalam dunia kami.”

Aku ingin lari, tetapi tubuhku terasa lumpuh, seolah tak lagi bisa bergerak. Kegelapan itu semakin pekat, semakin menyesakkan, dan aku tahu saat itu, aku tak hanya melawan ketakutan. Aku melawan sesuatu yang lebih kuat dari sekadar bayangan atau suara. Sesuatu yang sudah menguasai tempat ini, dan aku adalah bagian dari permainan yang tak bisa aku hentikan.

 

Kamar Mandi yang Tak Akan Terbuka

Tangan itu masih menggantung di udara, dan aku bisa merasakan udara di sekitarku semakin dingin. Semakin dekat, semakin nyata, seperti ada sesuatu yang berusaha menghubungkan kami, mengikat kami dalam satu takdir yang tak bisa dihindari. Aku tak tahu lagi apa yang sedang terjadi. Pikiranku dipenuhi oleh bayangan-bayangan yang tak bisa aku kendalikan, suara-suara yang terus memanggil namaku.

Aku merasakan kehadiran itu lebih kuat. Sosok yang tak terlihat itu, atau mungkin sudah terlalu lama tersembunyi dalam bayang-bayang ruang ini, kini lebih tampak—lebih nyata—daripada sebelumnya. Aku menatap bayangan tangan yang hampir menyentuh wajahku, tapi aku tak bisa bergerak. Kaki dan tanganku terasa seperti dibekukan oleh sesuatu yang tak terlihat.

“Apa yang kamu inginkan dariku?” suaraku pecah, hampir seperti suara orang yang sedang menangis. Aku ingin berteriak, tetapi suara itu seolah tertahan di tenggorokanku.

Jawabannya datang dalam bisikan rendah, seperti sebuah ancaman yang mengalir di telingaku. “Kamu melanggar aturan, Vania. Tidak ada yang boleh bernyanyi di sini.”

Aku menutup mata, berusaha menahan rasa takut yang semakin meresap. Apa yang dimaksud dengan “aturan” ini? Kenapa semua ini harus terjadi padaku? Apakah ini bagian dari hukuman yang aku tak tahu? Tapi aku tak punya waktu untuk mencari jawabannya, karena saat itu, bayangan tangan yang mendekat itu mulai bergerak, semakin cepat, dan dalam sekejap, aku merasakannya menempel pada kulit wajahku, dingin dan menekan.

Aku merasa seolah-olah aku tak lagi mengendalikan tubuhku. Satu-satunya yang ada di pikiranku adalah keinginan untuk keluar—keluar dari tempat ini, keluar dari ruang yang sesak ini, tapi tak ada jalan.

Lalu, terdengar suara langkah kaki, bukan dari dalam kamar mandi, tetapi dari luar. Pintu yang terkunci itu berderit pelan, seperti seseorang yang mencoba masuk. Aku terkejut, menoleh dengan cepat ke arah pintu. Ada harapan kecil yang muncul, harapan untuk diselamatkan. Tetapi saat aku memandang lagi ke arah cermin, sesuatu yang lebih menakutkan muncul.

Di balik pecahan kaca, aku melihat bukan hanya wajahku—tetapi wajah yang sangat asing. Wajah yang tak bisa kuidentifikasi, dan dalam sekejap itu, wajah itu berubah menjadi sosok yang sangat menyeramkan. Sebuah senyuman yang bengkok dan matanya yang gelap, kosong, hanya ada kekosongan yang mencekam.

Aku mundur, tetapi pintu kamar mandi itu tak terbuka. Kunci itu masih hilang, dan suara langkah kaki dari luar itu hanya semakin menghilang. Tak ada yang datang untuk menyelamatkan.

“Tidak ada yang akan datang, Vania,” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih tajam dan lebih penuh dengan amarah. “Kamu telah menyanyikan lagu yang dilarang. Kamu telah memasuki dunia kami. Dan kamu akan tetap di sini, selamanya.”

Aku ingin berteriak, ingin melawan, tapi kekuatan yang menahan tubuhku terlalu kuat. Aku merasa seperti jatuh ke dalam kegelapan yang tak bisa aku hindari, seolah dunia ini sudah tertutup rapat, dan tak ada lagi jalan untuk keluar. Aku bisa merasakan tubuhku semakin lemah, semakin tidak berarti, seperti terhisap oleh kekosongan yang semakin besar.

Aku menatap kembali cermin itu, dan kali ini aku melihat bayangan yang lebih besar—lebih kuat—sebuah sosok yang semakin mendekat. Dengan suara berbisik, sosok itu berkata, “Ini adalah akhir dari ceritamu, Vania.”

Sosok itu semakin mendekat, semakin nyata. Dan aku tahu saat itu, aku tak bisa melawan lagi. Semua usaha untuk keluar, semua keinginan untuk bebas, semuanya sia-sia. Aku telah memasuki ruang yang tak akan pernah bisa kutinggalkan. Kamar mandi ini, dengan semua larangannya, telah menuntunku ke takdir yang tak bisa dibatalkan.

Ketika tubuhku akhirnya terjatuh ke lantai, dan mataku mulai tertutup, aku tahu satu hal pasti—aku akan tetap terperangkap di sini, selamanya.

 

Jadi, itu dia cerita horor yang nggak cuma bikin merinding, tapi juga ngebuat kamu mikir ulang soal hal-hal kecil yang kadang dianggap remeh, kayak nyanyi di kamar mandi. Kadang, aturan-aturan yang kita anggap nggak penting bisa nyeret kita ke dalam dunia yang jauh lebih gelap dari yang kita bayangin.

So, mulai sekarang, mungkin kamu bakal lebih berhati-hati deh setiap kali masuk ke kamar mandi. Jangan sampe ada yang mengintai, siap menunggu, hanya karena kita nggak tahu apa yang ada di balik pintu itu.

Leave a Reply