Cerpen Diary Tak Terbaca: Kisah Harapan yang Hilang dan Perasaan yang Terkubur

Posted on

Kadang, kita nulis di diary cuma buat ngebuang perasaan yang gak bisa diceritain ke siapa-siapa. Tapi, apa jadinya kalau diary itu nggak pernah terbaca? Gak ada yang tahu, gak ada yang peduli.

Semua yang kita tulis jadi cuma goresan kosong di halaman, kayak harapan yang akhirnya hilang begitu aja. Yuk, simak cerita tentang seorang gadis yang merasa semua yang dia rasain terpendam rapat di dalam diary-nya yang tak pernah terbuka.

 

Diary Tak Terbaca

Buku Tua yang Terkubur

Di sebuah sudut kamar yang terlupakan, sebuah buku kecil tergeletak begitu saja. Di atas meja kayu yang sudah berusia lebih dari dua puluh tahun itu, buku itu tampak begitu kesepian, seakan tak ingin dilihat oleh siapapun. Kulitnya yang mulai mengelupas menunjukkan usia yang sudah lama berlalu. Buku itu adalah diary milik Aruna, seorang gadis yang hidup dalam bayang-bayang dunia yang sibuk dan riuh, namun tak pernah benar-benar menjadi bagian dari dunia itu.

Di luar, hujan turun dengan deras, suara rintiknya seakan mengisi kekosongan yang ada di sekitar rumah tua ini. Tidak ada suara lain selain itu, tidak ada orang yang bisa mengganggu ketenangan yang memeluk malam ini. Aruna duduk di dekat jendela, menatap langit yang gelap, hanya diterangi oleh kilatan petir yang sesekali muncul, memberi bayangan pada wajahnya yang tampak lelah.

Dia selalu duduk di sana, di pojok kamar yang sepi. Kamar itu seperti miliknya, meskipun sebenarnya ia jarang merasa ada di sana. Tempat ini tak pernah memberi rasa aman atau kebahagiaan. Bahkan tempat tidurnya yang terletak dekat jendela pun terasa asing baginya. Selalu ada jarak yang sulit dijelaskan. Seperti ada dinding tipis yang memisahkannya dari dunia luar. Semua itu tidak bisa dilihat oleh siapa pun, tapi Aruna merasakannya setiap hari.

Pagi, siang, malam—semuanya terasa sama baginya. Kesendirian bukanlah pilihan, tapi kenyataan yang harus ia hadapi setiap hari. Tidak ada teman yang datang, tidak ada suara riuh dari orang-orang yang lewat. Yang ada hanyalah dirinya, dan buku kecil yang selalu menemaninya saat malam tiba. Buku itu adalah tempatnya mengungkapkan segala perasaan yang tidak pernah bisa ia bagi dengan siapapun.

Saat hujan mulai reda, Aruna membuka diary-nya, membuka halaman pertama yang sudah usang. Ia mengusapnya dengan lembut, seperti sedang menyapa teman lamanya. Begitu banyak yang ingin ia tulis, tetapi kata-kata sering kali terasa tak cukup untuk menggambarkan semua yang ada di dalam hatinya.

“Kalau kamu bisa dengar, pasti kamu tahu betapa beratnya aku…” gumamnya pelan, seakan bicara pada buku itu. “Tapi tak ada yang tahu. Tak ada yang peduli.”

Tangan Aruna mulai menari di atas kertas. Tulisannya tak pernah indah, tapi itu tidak masalah. Apa yang ia tulis adalah cerminan dirinya yang terlupakan. Setiap kalimat yang ia tuangkan adalah bagian dari jiwa yang hilang. Hari itu, ia menulis tentang perasaan yang semakin mendalam—perasaan yang selalu ia sembunyikan dari dunia luar.

“Kenapa aku selalu merasa terasing? Kenapa aku selalu merasa seperti bayangan yang terus menghilang tanpa ada yang peduli?” tulisnya dengan tergesa-gesa. “Aku sudah mencoba… mencoba untuk menjadi bagian dari dunia ini, tapi selalu ada yang menghalangi. Mereka… mereka yang begitu sibuk dengan hidup mereka sendiri sampai aku hanya jadi titik kecil yang tidak berarti.”

Aruna menatap tulisan itu, menarik napas dalam-dalam, dan menghapusnya. Tapi bukan karena ia merasa itu salah, justru karena ia merasa kata-kata itu terlalu sedikit. Tak ada kata yang cukup untuk menggambarkan bagaimana rasanya hidup dalam ketidakjelasan ini. Begitu banyak yang ingin ia katakan, tapi tak ada yang cukup memahami.

“Kalau saja ada yang peduli,” bisiknya, menundukkan kepalanya. “Kalau saja ada yang datang dan berkata, ‘Hei, kamu penting.’”

Namun, tak ada yang datang.

Ketika jam menunjukkan tengah malam, Aruna berhenti menulis. Dia sudah terbiasa dengan keheningan ini—keheningan yang seperti teman yang selalu setia menemaninya. Buku itu adalah satu-satunya tempat di mana ia bisa menulis tanpa takut dihakimi. Tidak ada yang akan membaca tulisan-tulisan itu, tidak ada yang akan mengerti. Namun, itu adalah cara Aruna bertahan. Cara dia berusaha melepaskan beban yang begitu berat di hatinya.

Aruna menatap buku itu satu kali lagi, meletakkannya kembali di meja kayu yang mulai pudar warnanya. Kemudian, ia menutup matanya, berbaring di tempat tidur yang terasa asing baginya. Dalam hati, ada perasaan yang mengganggu, seakan ada sesuatu yang lebih besar sedang menantinya. Sesuatu yang tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata, sesuatu yang mengarah pada jalan yang tak bisa ia hindari.

Pagi berikutnya, Aruna bangun lebih awal. Hujan yang semalam turun deras kini sudah berhenti, meninggalkan kabut tipis yang menyelimuti kota. Seperti biasa, ia tak mendengar suara langkah kaki di luar kamarnya, tak ada yang datang menemuinya, tak ada yang peduli. Tetapi, di dalam hatinya, ada seberkas harapan yang tak bisa ia matikan. Mungkin suatu saat, di suatu tempat, ada seseorang yang akan menemukan diary-nya—dan mungkin, hanya mungkin, orang itu akan mengerti.

Namun, untuk saat ini, Aruna hanya bisa menunggu di kamar itu, dengan buku tua yang masih tersimpan di meja, dan dengan harapan yang semakin memudar, terkubur dalam kesendirian yang tak berkesudahan.

Aruna tahu, mungkin diary-nya tidak akan pernah terbaca. Namun, ia tetap menulis. Karena menulis adalah satu-satunya cara ia bisa tetap ada, meskipun hanya dalam kata-kata yang terlupakan.

 

Kata-kata yang Tak Pernah Didengar

Matahari baru saja mengintip dari balik awan, menyebarkan sinar pucatnya ke seluruh kota yang tampak seperti sedang terlelap dalam keheningan. Pagi itu terasa sama seperti pagi-pagi sebelumnya bagi Aruna—sepi, kosong, tak ada yang berbeda. Tidak ada yang menunggu atau yang mengharapkan kehadirannya. Kamar itu masih seperti kemarin, tak ada yang berubah. Namun, ada sesuatu yang terasa lebih berat di dadanya, seperti ada beban yang tak terucapkan, sesuatu yang tak bisa ia ceritakan pada siapapun.

Ia duduk di meja tulisnya, matanya menatap kosong pada buku diary yang tergeletak di sana. Halaman pertama masih terbuka, entri malam kemarin masih terpampang jelas di kertas yang mulai menguning. Aruna tahu bahwa tak ada yang akan pernah membacanya—tidak ada yang peduli. Namun, entah mengapa, saat ia melihat tulisan itu, ada semacam dorongan yang datang begitu saja. Tiba-tiba, ia merasa harus melanjutkannya, menulis lebih banyak, seperti ada sesuatu yang belum selesai, sesuatu yang ingin ia ungkapkan namun tak tahu harus mulai dari mana.

“Kenapa hidup ini seperti ini?” gumamnya pelan, tangannya mulai bergerak menulis lagi. “Kenapa aku selalu merasa seperti bayangan? Selalu ada di sana, tapi tak ada yang melihatku.”

Tulisannya kini lebih lancar, lebih banyak, seperti sungai yang mengalir tanpa hambatan. Setiap kata yang tertulis seperti menggambarkan beban yang terlepas, meskipun hanya sedikit. Aruna tahu, tulisan ini bukan hanya tentang apa yang ia rasakan saat ini. Ini adalah catatan dari hidupnya—sebuah hidup yang dilalui dalam kesepian, dalam bayang-bayang kesedihan yang tak bisa diceritakan kepada siapapun.

Ia menulis tentang hari-hari yang terasa begitu panjang, tentang kebiasaan yang terbentuk dalam kesendirian, dan tentang perasaan yang selalu tersembunyi dalam hati. Tentang bagaimana dunia bergerak begitu cepat, sementara dirinya tetap tertinggal di belakang, seperti orang yang terlupakan, tak pernah ada dalam ingatan orang lain.

“Orang-orang berlalu tanpa tahu aku ada,” tulisnya dengan cepat, seolah kata-kata itu adalah pelampiasan dari rasa yang telah lama terkunci. “Mereka tidak tahu betapa aku ingin mereka melihatku. Tidak tahu betapa aku ingin berbicara, tapi tidak ada yang mendengarkan.”

Kali ini, tulisan itu terasa lebih tajam, lebih menyakitkan. Aruna bisa merasakan setiap kalimat yang ia tulis seakan menyusup ke dalam jiwanya, menyingkap lapisan-lapisan kesedihan yang tak terlihat oleh mata orang lain. Ia menulis dengan penuh perasaan, seperti sedang berbicara kepada seseorang yang tidak akan pernah ada.

“Tapi aku tahu,” lanjutnya, “bahwa aku tak akan pernah mendapatkan apa yang aku inginkan. Tak ada yang akan peduli. Tak ada yang akan datang untuk menyelamatkan aku dari perasaan ini.”

Ia berhenti menulis, menatap kata-kata yang baru saja tertulis. Sebuah perasaan aneh mengalir di dalam dadanya—seperti ada beban yang sedikit terangkat, namun di saat yang bersamaan, perasaan itu juga membawa kesedihan yang lebih dalam. Aruna tahu bahwa tidak ada jalan keluar dari ini. Tidak ada yang bisa mengubah kenyataan bahwa ia terjebak dalam dunia yang sepi, dunia yang tidak pernah memperhatikannya.

“Kenapa aku begitu bodoh?” pikirnya sejenak. “Kenapa aku masih berharap ada yang melihatku? Kenapa aku masih berharap ada yang peduli?”

Ia meletakkan pena dan menatap buku itu dengan kosong. Terkadang, ia merasa seolah hidupnya hanya terdiri dari tulisan-tulisan yang tidak pernah terbaca. Semua kata yang ia tulis seakan menguap begitu saja, hilang dalam kesendirian yang abadi.

Namun, ada satu hal yang tetap ada—harapan kecil yang tak bisa ia matikan. Mungkin, hanya mungkin, suatu hari nanti, ada seseorang yang akan menemukan diary ini, membaca setiap kata yang ia tulis, dan akhirnya mengerti. Mungkin, hanya mungkin, ada seseorang yang akan melihatnya bukan hanya sebagai bayangan, tetapi sebagai seseorang yang sebenarnya ada di dunia ini.

Tapi, untuk saat ini, harapan itu tetap tersembunyi di balik setiap kata yang tertulis. Aruna tahu, mungkin tidak ada yang akan peduli. Mungkin, ia akan tetap menjadi bayangan yang hilang dalam keramaian dunia ini. Namun, menulis adalah satu-satunya cara bagi Aruna untuk merasa hidup—meskipun hanya dalam kata-kata yang tak pernah didengar.

Hari itu berlalu begitu saja, seperti hari-hari lainnya. Tidak ada yang berubah. Keluarganya tetap sibuk dengan hidup mereka, seperti tak pernah ada Aruna di tengah-tengah mereka. Tidak ada yang peduli, tidak ada yang bertanya. Aruna hanya duduk di kamarnya, menatap halaman-halaman diary-nya, menulis lagi dan lagi, berharap ada seseorang yang akan melihatnya suatu hari nanti.

Namun, ia tahu, mungkin itu hanya mimpi. Dan mimpi itu, seperti kata-kata yang ia tulis, akan terkubur dalam kesunyian yang tak pernah terungkapkan.

 

Di Balik Setiap Halaman yang Terabaikan

Sudah dua minggu berlalu sejak Aruna menulis entri terakhir di diary-nya. Hari-hari terasa seperti gelombang yang datang dan pergi, tanpa ada perubahan yang berarti. Ia masih hidup di dunia yang sepi, dikelilingi oleh keramaian yang tak pernah menyentuh hatinya. Meski begitu, ada satu hal yang selalu tetap—di setiap malam yang sunyi, di setiap pagi yang kosong, ia selalu kembali pada bukunya, pada kata-kata yang tak pernah ada yang membaca.

Pagi itu, matahari terbit dengan lambat, seakan tak ingin menunjukkan wajahnya dengan begitu cepat. Aruna duduk di tepi jendela, menatap langit yang buram, penuh awan. Hujan mungkin akan turun sebentar lagi, seperti biasa. Seperti rutinitas yang tak pernah gagal datang setiap musim. Ia menarik napas panjang, melamun tentang masa lalu, tentang bagaimana dulu ia sering berlari ke luar rumah, bermain dengan teman-temannya, merasakan hangatnya matahari, dan tertawa dengan bebas. Tapi semua itu sekarang terasa jauh—seperti kenangan yang sudah terkubur begitu dalam, tak bisa dijangkau lagi.

Tapi bukan kenangan itu yang membuat Aruna terus menulis. Bukan kenangan itu yang membuatnya terus berharap. Sebaliknya, ia menulis karena merasa tak ada pilihan lain. Menulis adalah satu-satunya cara untuk mengatasi segala kerumitan perasaannya. Menulis adalah cara untuk mengekspresikan ketidakberdayaannya. Setiap kali ia menulis, ia merasa sedikit lebih hidup. Meskipun di dunia nyata, ia adalah seseorang yang tidak ada, yang tak pernah dihargai atau diperhatikan.

Aruna membuka diary-nya lagi, merasakan halaman-halaman itu yang sudah usang di ujung jarinya. Setiap kali membuka halaman baru, ia seakan membuka lembaran hidupnya yang terkubur, sedikit demi sedikit. Entah kenapa, kali ini, ia merasa sesuatu yang berbeda. Suatu dorongan yang lebih kuat untuk menulis, untuk mengungkapkan semua yang ia pendam, meskipun ia tahu bahwa kata-kata itu takkan pernah sampai pada siapa pun.

“Banyak yang aku ingin katakan, tapi tak ada yang bisa mendengarkan,” tulisnya dengan tangan yang sedikit gemetar, seolah kata-kata itu keluar dari tempat yang sangat dalam, lebih dalam dari yang ia kira. “Aku merasa terperangkap di dalam diriku sendiri, dalam tubuh yang hidup tanpa arti. Aku terperangkap dalam dunia yang tidak pernah memberi ruang untukku.”

Aruna berhenti sejenak, menatap kata-kata itu, lalu menggigit bibir bawahnya. Ia tahu bahwa menulis ini mungkin hanya akan menambah beban di dalam hatinya. Tetapi itu adalah satu-satunya cara untuk merasakan sedikit kelegaan. Ketika ia menulis, ada semacam pelepasan—meskipun sangat kecil—dari tekanan yang begitu berat di dalam dirinya.

“Kadang aku berpikir, apa jadinya kalau aku berhenti menulis? Apakah aku akan benar-benar hilang?” lanjutnya menulis, suara hatinya berbisik. “Atau mungkin aku sudah hilang sejak dulu, hanya saja tak ada yang menyadarinya.”

Ia menunduk, melihat halaman itu kembali, dan merasakan beratnya kata-kata yang baru saja ia tulis. Hatinya terasa sesak. Beberapa kalimat yang ia tulis tiba-tiba terasa sangat nyata, seolah Aruna bukan lagi seorang gadis yang menulis di buku, melainkan seorang gadis yang benar-benar terperangkap dalam dunia yang tak pernah melihatnya.

Pada suatu titik, Aruna merasa ingin menyerah. Ia ingin menutup buku itu, membuangnya, dan melupakan semuanya. Namun, sepertinya ada semacam kekuatan yang menariknya untuk terus menulis. Setiap kata yang tertulis, meskipun tak berarti bagi dunia luar, seakan memberi sedikit kelegaan di dalam hatinya. Seperti ada bagian dari dirinya yang keluar dan bebas—meskipun hanya untuk sementara.

Tapi, meskipun ia terus menulis, ada bagian dari dirinya yang merasa semakin terasingkan. Di luar kamar itu, di luar dunia yang ia kenal, ada kehidupan yang terus berjalan. Orang-orang tertawa, berbicara, hidup, namun Aruna merasa terpisah. Ia seperti bayangan yang terbuang—sebuah wujud yang hanya ada dalam ruang-ruang kosong, tanpa tujuan, tanpa makna.

Hari itu, Aruna memutuskan untuk keluar sejenak. Mungkin, meskipun dunia ini terasa asing, ia butuh melihatnya dari sisi yang berbeda. Ia berjalan menuju halaman depan rumah tua itu, di mana kabut tipis masih menyelimuti udara pagi. Hujan telah reda, meninggalkan tanah yang basah dan aroma tanah yang khas. Namun, meskipun udara segar, Aruna tetap merasakan kekosongan di dalam dirinya. Ia berusaha berjalan dengan langkah yang pasti, mencoba meyakinkan dirinya bahwa dunia ini masih bisa dijangkau, meskipun hanya sekejap.

Aruna duduk di bangku taman yang sudah karatan, menatap jalanan kosong. Tidak ada yang lewat. Semua terlihat seperti mati, seolah-olah dunia ini berhenti sejenak. Tidak ada suara tawa, tidak ada keramaian. Hanya ada dirinya, duduk sendiri di tempat yang terasa sangat asing. Hujan kecil kembali turun, titik-titik airnya jatuh di atas tanah, membasahi halaman depan rumah. Semua itu mengingatkan Aruna pada satu hal—bahwa dunia ini terus berputar, tanpa peduli apakah ia ada di sana atau tidak.

Ia menatap buku kecilnya yang kini berada di genggamannya. Sekali lagi, ada dorongan yang datang begitu saja—untuk membuka halaman itu, untuk menulis, untuk meluapkan segala yang ada di dalam dirinya. Namun, entah kenapa, ia merasa seolah kata-kata itu tidak akan pernah cukup. Tidak akan pernah ada cukup ruang untuk semua perasaan yang terpendam. Tak ada cukup waktu untuk merangkai kata-kata yang bisa mengungkapkan semuanya.

Aruna meletakkan buku itu di sampingnya, merasakan ketenangan yang aneh. Mungkin ini yang ia cari—sejenak merasa bebas, meskipun hanya tanpa kata-kata. Mungkin suatu saat nanti, ada yang akan menemukan tulisan-tulisan itu. Mungkin ada yang akan mengerti, meskipun Aruna tahu, itu hanya harapan yang terlalu jauh.

Tetapi untuk saat ini, ia hanya duduk di sana, membiarkan hujan membasahi rambutnya, tanpa peduli apapun yang akan terjadi setelahnya.

 

Ketika Halaman Terakhir Terbuka

Pagi berikutnya, Aruna tidak lagi membuka diary-nya. Buku itu masih tergeletak di meja kecil di sudut kamar, tertutup dengan tenang seperti tidur panjang yang tak terbangunkan. Hari-hari berlalu begitu saja. Terkadang, ia merasa bahwa dirinya seperti bagian dari rutinitas yang sudah tidak lagi dihiraukan siapa pun, bahkan dirinya sendiri. Dunia ini, dengan segala kegilaan dan kesibukannya, terus berjalan tanpa memperdulikan apakah ada seseorang yang tenggelam di dalamnya atau tidak.

Hujan datang dan pergi tanpa ragu, namun langit tetap kelabu, tanpa ada janji cerah yang bisa dipastikan. Aruna merasa seperti berada di ujung waktu yang tidak pernah berakhir. Ia mencoba untuk melupakan semua tentang tulisan-tulisannya—tentang perasaan yang terpendam, tentang harapan yang sudah terkubur begitu dalam. Tapi seperti biasa, kenangan itu datang dengan cara yang tak terduga. Setiap kali ia melihat diary itu, seolah ada suara yang memanggilnya kembali.

Di suatu sore yang tak istimewa, Aruna duduk di tepian jendela lagi, memandangi dunia yang masih terlihat sama—sepi, kosong, dan sunyi. Ia merasa seolah waktu telah berhenti, namun dia tetap hidup, bergerak dengan langkah yang tak berarti. Ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tidak bisa ia definisikan. Seseorang bisa mati dalam tubuhnya, meskipun ia masih bernapas. Mungkin inilah yang dirasakannya selama ini.

Aruna berdiri, dan tanpa berpikir panjang, ia berjalan menuju meja kecil di sudut kamar. Diary itu tergeletak begitu sederhana, menunggu untuk dibuka sekali lagi. Ia menarik napas panjang, memegang buku itu dengan kedua tangan, dan membuka halaman terakhir. Halaman itu kosong, dan bagi Aruna, itu seperti sebuah akhir yang tak terucapkan. Tidak ada lagi yang perlu ditulis. Tidak ada lagi kata-kata yang bisa mewakili apa yang ada di dalam hatinya. Semuanya telah tercurah, meskipun tak seorang pun tahu. Tak ada yang akan pernah tahu.

Namun, ketika ia menatap halaman kosong itu, Aruna merasa seperti ada kedamaian yang tiba-tiba menyelimutinya. Tidak ada tekanan, tidak ada keinginan, hanya ada penerimaan. Terkadang, kata-kata memang tidak perlu ada untuk membuat sesuatu menjadi berarti. Kadang-kadang, hanya dengan duduk dalam kesendirian, dengan melihat dunia tanpa harapan akan sesuatu yang lebih, bisa memberi ketenangan yang lebih dalam daripada kata-kata apapun.

Dengan satu tarikan napas terakhir, Aruna menutup buku itu perlahan. Tanpa kata, tanpa tangisan. Ia meletakkannya di atas meja, dan berjalan menuju pintu. Dunia di luar masih sama—tetap dengan semua kegilaan dan kebisingannya. Tapi untuknya, dunia ini sudah tidak lagi menuntut. Ia sudah terbebas dari segala yang pernah menahannya. Hari-hari yang kosong bukan lagi sebuah beban, melainkan sebuah kedamaian yang sulit diungkapkan. Seperti buku yang tertutup, seperti entri yang terabaikan, Aruna merasa bahwa dirinya akhirnya menemukan kedamaian dalam kesunyian yang tak pernah terucapkan.

Ia keluar dari rumah, menyusuri jalanan yang masih sepi. Tidak ada yang menunggu. Tidak ada yang memperhatikan. Dunia ini hanya ada dalam keramaian yang tidak bisa dirasakannya. Dan itu sudah cukup. Sebab terkadang, hilang bukan berarti dilupakan. Terkadang, hilang adalah kebebasan yang sebenarnya. Dunia ini akan terus berputar, dan mungkin, hanya beberapa orang yang akan tahu bahwa ada cerita yang terkubur di dalamnya. Tapi Aruna tidak lagi peduli.

Ia melangkah pergi, tanpa suara, tanpa jejak. Halaman terakhir dari diary itu tetap kosong, seperti hidupnya yang tak lagi memiliki ruang untuk disesali. Tidak ada yang tahu apa yang sebenarnya ada di balik kata-kata yang tertulis. Tidak ada yang akan tahu. Tapi, bagi Aruna, itulah cara ia menemukan kedamaian yang sebenarnya—dalam kebisuan yang tak terucapkan.

 

Mungkin, kadang kita memang butuh untuk menutup buku dan berhenti menulis. Tapi bukan berarti semuanya hilang begitu saja.

Beberapa cerita, meski tak pernah terbaca, tetap ada—terpendam di tempat yang paling dalam, di antara halaman-halaman yang tak pernah dilihat oleh siapa pun. Dan siapa tahu, mungkin suatu hari, ketika kita sudah siap, kita akan menemukan kembali kata-kata yang dulu tak berani kita ungkapkan.

Leave a Reply