Daftar Isi
Gini deh, bayangin kalau suatu hari kamu masuk kelas, tiba-tiba ada yang aneh banget, kayak suasana yang nggak pernah kamu rasain sebelumnya. Teman-teman di kelas yang biasanya riuh tiba-tiba jadi senyap, dan kamu ngerasa ada yang ngikutin.
Serius, gak cuma ngerasa doang, tapi beneran ada yang nggak beres di sana. Dan yang paling serem, kamu malah jadi penasaran buat nyelidikin. Nah, itu dia yang terjadi di kelas aku. Kelas yang biasanya rame, malah jadi tempat yang bikin merinding.
Misteri Kelas yang Tak Terungkap
Ketukan Misterius di Kelas A-7
Pagi itu kelas A-7 tampak seperti biasa, penuh suara tawa dan obrolan. Suara desas-desus dari meja ke meja memenuhi ruangan, mengalahkan keheningan yang biasanya datang sebelum guru masuk. Hari ini, seperti hari-hari lainnya, kelas kami ramai—saling berbicara, tertawa, bahkan ada yang sibuk mengerjakan tugas yang sudah lama tertunda.
Aku duduk di bangku kedua dari depan, dekat dengan jendela. Di sampingku, Mela, teman sekelasku yang selalu tampak serius dan hampir tidak pernah tertawa, terlihat gelisah. Matanya yang biasanya tajam dan penuh fokus kini tampak menerawang, tak jelas arah pandangannya. Sesekali dia melirik ke sudut belakang kelas, ke jendela, dan yang paling aneh—ke pintu yang tampaknya tak ada yang istimewa. Tetapi, matanya tetap terfokus di sana.
“Kenapa, Mel? Ada yang nggak beres?” aku mencoba membuka percakapan, meskipun aku sendiri merasa ada yang aneh di udara. Sesuatu yang sulit dijelaskan.
Mela tidak langsung menjawab, malah menundukkan kepalanya. Suasana seakan semakin tegang, tapi tidak ada yang menyadari. Semua sibuk dengan dunia mereka sendiri.
“Kamu nggak merasa ada yang aneh?” akhirnya dia berbisik, suara itu pelan, hampir tidak terdengar.
Aku menatapnya, bingung. Tidak ada yang aneh, kan? Semua orang sibuk seperti biasa. Di depan, ada Iva yang sedang asyik dengan catatannya, di belakang, Ravi dan Wira mengobrol tentang film yang mereka tonton malam sebelumnya. Bahkan suara ketukan pensil di meja mulai terdengar lagi, menggantikan obrolan yang sempat terhenti.
“Serius, Mel. Semua baik-baik aja.” Aku berusaha menenangkan, meski sebenarnya hatiku juga sedikit gelisah, terpengaruh oleh ketegangan yang dibawanya. Tetapi, Mela tetap terdiam.
Dan saat itu, suara ketukan aneh mulai terdengar. Tak keras, hanya sedikit mengganggu, seperti seseorang yang sedang mengetuk meja dengan ujung jari, pelan namun berulang-ulang. Aku menoleh, mencoba mencari asal suara tersebut, namun semua tempat duduk tampak penuh. Tidak ada yang duduk di meja belakang yang biasanya kosong. Semuanya tampak seperti biasa.
Tapi suara itu tetap ada. Tak bisa diabaikan. Ketukan itu terdengar lagi, kali ini lebih keras.
Aku menoleh ke Mela. Wajahnya semakin pucat. Matanya terus mengikuti suara ketukan itu, dan kini, dia mulai melirikku dengan ekspresi yang sulit diartikan.
“Mel, itu cuma suara ketukan biasa, kan?” tanyaku, mencoba meyakinkan dirinya, meski aku sendiri mulai merasa tidak nyaman.
Mela menggeleng pelan. “Tidak, Kase. Itu… bukan suara biasa.” Dia berbicara dengan suara bergetar. “Dengar baik-baik. Itu… datang dari belakang, dari dinding.”
Seketika, tubuhku terasa kaku. Dinding? Tidak ada yang aneh di sana. Kelas ini sudah sering kami tempati, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, pikirku. Aku mencoba menenangkan diri, tetapi ketukan itu semakin jelas terdengar.
Tak lama setelah itu, pintu kelas terbuka. Semua orang terdiam, seolah suara ketukan itu terhenti dengan sendirinya. Aku berbalik ke pintu, dan seorang anak laki-laki memasuki kelas. Dia mengenakan seragam yang terlihat sedikit lebih tua daripada kami, dan wajahnya datar, tanpa ekspresi.
Dia melangkah dengan tenang menuju bangku belakang, yang kebetulan kosong. Tidak ada yang mengenalnya, dan suasana kelas yang sebelumnya ramai menjadi sunyi sejenak. Semua mata tertuju padanya, menunggu, entah apa yang sedang terjadi.
Aku melihat Mela semakin gelisah, bahkan dia menggigit bibir bawahnya. Aku ingin bertanya lebih banyak, tapi tak ada yang bisa kutanyakan. Anak itu duduk di bangkunya, dan keanehan mulai terasa semakin jelas.
Guru kami, yang datang beberapa detik kemudian, terlihat sangat santai, bahkan tidak terkejut dengan kehadiran anak itu. Seperti sudah mengenalnya.
“Selamat pagi, semuanya. Hari ini kita akan membahas topik baru,” ujar guru dengan senyum ramah, tanpa mempedulikan anak laki-laki itu.
Aku menatap anak itu lagi. Dia hanya duduk diam di sana, dengan tatapan kosong yang tidak bisa kutangkap. Bahkan, saat guru mulai mengajar, dia tetap tidak bergerak, hanya memperhatikan.
Suara ketukan itu kembali terdengar, lebih cepat dan lebih keras dari sebelumnya. Semua orang kembali sibuk dengan catatan mereka, tidak ada yang mendengarkan. Tetapi, aku dan Mela tetap terdiam, menatap anak baru yang aneh itu. Ada sesuatu yang sangat janggal.
“Ada yang aneh di sini,” kata Mela, akhirnya memecah keheningan di antara kami. “Aku nggak tahu apa, tapi aku merasa ada yang salah.”
Aku hanya bisa menatap Mela, bingung, dan sesaat, aku merasakan ketegangan yang sama. Sesuatu yang tak terlihat, yang mengganggu keseimbangan kelas ini.
Namun, pelajaran tetap berjalan. Suara ketukan itu berhenti begitu saja, seolah tak pernah ada. Semua kembali seperti biasa, tapi ada yang tidak beres. Aku bisa merasakannya. Sesuatu yang tak terlihat, yang tersembunyi di antara tawa, suara bising, dan keramaian kelas A-7.
Dan buku yang tergeletak di lantai—di belakang meja anak baru itu—terlihat mencurigakan.
Anak Baru dan Buku Tua
Suasana kelas terasa semakin berat, meski suara guru yang menjelaskan pelajaran terus terdengar dengan semangat. Di tengah keramaian, aku masih bisa merasakan kejanggalan yang mengambang di udara. Semua teman-teman sekelasku sibuk menulis, mengerjakan tugas, atau berbicara satu sama lain, tapi aku tahu ada sesuatu yang salah. Sesuatu yang lebih besar dari sekadar anak baru yang tiba-tiba muncul tanpa diketahui siapa dia.
Di meja belakang, anak itu tetap duduk dengan tenang, seolah tidak terpengaruh oleh kehebohan yang terjadi di kelas. Matanya kosong, menatap lurus ke depan. Aku sempat mencoba mencuri pandang beberapa kali, tetapi entah mengapa aku merasa seperti sedang mengawasi sesuatu yang tidak seharusnya dilihat.
Aku melirik Mela, yang duduk di sampingku dengan wajah cemas. Matanya tetap tertuju pada anak itu, tidak bergerak. Aku bisa merasakan kegelisahannya. Mela adalah tipe orang yang jarang terpengaruh suasana, tapi kali ini, dia tidak bisa menahan perasaannya. Rasanya ada sesuatu yang sangat mengganggu di dalam dirinya.
Pelajaran berlalu dengan cepat, tetapi aku tidak bisa fokus. Setiap kali aku menulis atau mendengarkan penjelasan guru, pikiranku kembali berkelana ke meja belakang, tempat anak itu duduk. Tak bisa kukatakan kenapa, tapi ada ketegangan yang membekas. Sesekali aku melirik ke sana, hanya untuk menemukan anak itu masih duduk diam, dengan buku yang tergeletak di sampingnya.
Aku tahu, aku harus melakukan sesuatu. Aku harus mengetahui siapa dia, dan apa yang sebenarnya terjadi di kelas ini.
Begitu bel berbunyi, pertanda pelajaran selesai, aku langsung berdiri dan melangkah menuju meja anak itu. Mela, yang selalu ada di sampingku, ikut berdiri, meski dia tampak ragu-ragu.
“Kita harus tahu lebih banyak, Mel,” kataku, berbisik agar tidak menarik perhatian.
Mela mengangguk, meski ekspresinya masih terjaga ketegangan. Kami berdua melangkah pelan menuju meja belakang, tempat anak baru itu duduk. Di sana, sebuah buku tua tergeletak dengan sampul yang agak usang, hampir tak terlihat oleh orang lain. Buku itu berbeda. Seolah sengaja disembunyikan di bawah meja, dan hanya aku yang menyadari keberadaannya.
Tanpa mengucapkan sepatah kata pun, aku mengambil buku itu. Begitu aku memegangnya, aku merasa seolah ada energi yang mengalir di dalamnya—energi yang tak bisa dijelaskan. Aku melirik Mela, yang tampak terkejut, namun tak mengatakan apa-apa.
“Apakah kamu yakin?” Mela bertanya dengan suara pelan, masih meragukan keputusan kami.
Aku hanya mengangguk, meskipun jantungku berdegup kencang. Buku ini… aku harus membacanya.
Di saat itulah, anak itu mengangkat kepalanya. Matanya yang kosong, kini menatap lurus ke arahku. Tak ada senyuman, tak ada emosi apapun yang tercermin di wajahnya. Hanya pandangan kosong yang membuatku merasa semakin tidak nyaman.
“Jangan buka itu,” ucapnya dengan suara rendah yang terkesan dalam.
Aku terdiam. Mela pun menoleh, terkejut dengan suara yang begitu dalam dan misterius itu. Anak itu menatapku, seperti tahu apa yang sedang aku lakukan.
“Kenapa?” aku bertanya, mencoba menahan rasa takut yang mulai merayapi diriku.
Dia hanya terdiam beberapa detik, lalu berkata, “Itu bukan buku untuk kalian.”
Aku merasa tubuhku kaku, kata-katanya terasa seperti peringatan yang terlalu serius untuk diabaikan. Tetapi aku tidak bisa mundur begitu saja. Ada dorongan kuat dalam diriku untuk membuka buku itu, untuk mengungkapkan misteri yang selama ini tersembunyi di dalamnya.
Tanpa kata-kata lagi, anak itu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju pintu kelas. Saat pintu terbuka, angin dingin yang tak terduga melintas, membuat seluruh kelas merasakan perubahan suhu yang aneh. Anak itu menoleh sekali lagi, dan dengan suara yang hampir tidak terdengar, dia berkata, “Kalian tidak tahu apa yang kalian hadapi.”
Lalu dia keluar dari kelas, meninggalkan kami dalam kebingungannya.
Aku berdiri di sana dengan buku itu di tangan. Mela, yang kini lebih pucat dari sebelumnya, hanya bisa menatapku dengan tatapan kosong.
“Apa yang terjadi, Kase?” tanyanya, suaranya bergetar.
Aku menggenggam buku itu lebih erat. Ada sesuatu yang mengundang rasa takut, tetapi di saat yang sama, rasa ingin tahu itu lebih besar. Aku harus membukanya. Aku harus tahu apa yang ada di balik semua ini.
“Ayo kita buka sekarang,” jawabku, menatap Mela dengan tekad yang tak bisa dijelaskan.
Dengan hati-hati, aku membuka halaman pertama. Begitu halaman itu terlipat, sebuah kalimat muncul di atasnya, tertulis dengan tinta hitam yang sudah pudar.
“Siapa yang membuka buku ini, akan terperangkap dalam waktu yang tak bisa kembali.”
Pernyataan itu membuat seluruh tubuhku terasa kaku. Aku menoleh ke Mela, matanya penuh ketakutan. Kami tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi aku tahu satu hal pasti—kali ini, misteri itu sudah mulai membuka pintu, dan tidak ada yang bisa menghentikannya.
Rahasia di Balik Dinding
Keheningan di kelas A-7 semakin terasa membekap. Bahkan setelah anak baru itu pergi, suasana kelas seperti tidak kembali normal. Semua orang sibuk dengan urusan mereka sendiri, tetapi ada yang berbeda. Semua tampaknya merasa ada sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang menggantung di udara.
Aku dan Mela masih berdiri di tempat yang sama, di samping meja belakang tempat anak itu duduk tadi. Buku tua itu ada di tanganku, dan meskipun aku ingin sekali membuka halaman berikutnya, aku tahu kami harus berhati-hati. Kalimat pertama yang kutemukan begitu mencengkeram pikiran, membuat hatiku berdebar-debar.
Mela menatapku dengan ekspresi yang semakin gelisah. “Kase… apakah kamu nggak merasa takut? Maksudku, kalimat itu… kita nggak tahu apa yang akan terjadi. Mungkin kita harus segera mengembalikannya.”
Aku menggelengkan kepala. “Nggak, Mel. Kita sudah terjebak dalam ini. Aku yakin, buku ini… dia punya jawaban untuk semua yang terjadi di sini.” Aku memutuskan untuk tidak ragu. Meskipun ketakutan mengintai di setiap sudut pikiranku, ada sesuatu yang lebih besar—rasa ingin tahu yang tak bisa dipadamkan.
Mela menghela napas, kemudian mengikuti langkahku ketika aku berjalan kembali ke bangkuku, buku itu masih terpegang erat. Suasana kelas masih terasa canggung, meskipun semuanya kembali sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing. Tidak ada yang menyadari apa yang baru saja terjadi, atau mungkin mereka terlalu malas untuk peduli.
Aku duduk di bangkuku dengan hati-hati, membuka halaman berikutnya dari buku itu. Tapi kali ini, sesuatu yang aneh terjadi. Halaman pertama yang kutulis sebelumnya mulai memudar, dan kata-kata itu berubah. Mereka bergeser, menyusup ke dalam garis tulisan, membentuk kalimat baru yang lebih gelap dan misterius. Di bawah tulisan itu, ada gambar yang samar—gambarnya tidak jelas, seperti sesuatu yang dipaksa untuk terselubung di balik bayang-bayang.
Aku membaca kalimat itu dengan teliti:
“Saat jari-jari kalian menyentuhnya, waktu akan mengulangi dirinya sendiri, dan kalian akan terjebak di ruang yang tak terlihat.”
Seketika, udara di kelas terasa semakin berat. Semua suara di sekelilingku seolah memudar, menghilang. Aku merasa seperti terperangkap dalam ruang kosong, hanya aku dan Mela yang masih ada, berdiri di antara misteri yang semakin dalam. Mata Mela bertemu mataku, dan aku bisa melihat ketakutan yang sangat nyata di wajahnya.
“Kase… kamu benar-benar yakin dengan ini?” Mela bertanya pelan, suaranya bergetar.
Aku mengangguk, meskipun hatiku tidak bisa sepenuhnya yakin. Tapi aku merasa seperti kami sudah berada di titik ini, dan tidak ada jalan mundur. Sesuatu yang besar sedang terjadi, dan aku harus tahu lebih banyak. Aku harus membuka semua yang tersembunyi.
Tanpa memberikan jawaban, aku berdiri lagi, kali ini membawa buku itu ke arah dinding kelas yang tidak begitu mencolok. Dinding itu selalu tampak biasa saja, tidak ada yang menarik di sana. Tetapi entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang tersembunyi. Seperti ada rahasia besar yang terkubur di balik permukaannya.
Mela mengikuti langkahku, meskipun wajahnya semakin pucat. Kami berhenti di depan dinding, dan aku menempelkan telapak tangan di permukaannya, merasakan sesuatu yang aneh. Dinding itu terasa dingin, seperti batu yang tidak biasa. Aku menekan sedikit, dan tiba-tiba, terdengar suara berderak keras.
Mela terlonjak mundur. “Kase, apa yang kamu lakukan? Jangan!”
Tapi aku tidak peduli. Pintu itu, yang tidak pernah terlihat sebelumnya, kini terbuka perlahan di depan kami. Sebuah lorong gelap terbuka di balik dinding kelas, seperti sebuah pintu yang menghubungkan dimensi lain.
“Mel, ini… ini yang harus kita temukan,” aku berkata dengan suara yang hampir tidak terdengar, meskipun aku sendiri merasakan ketakutan yang mengalir dalam tubuhku.
Mela tampak ragu-ragu, tetapi dia akhirnya mengangguk pelan, seolah tidak ada pilihan lain. Kami berdua melangkah masuk ke lorong itu, dengan hati yang berdebar hebat. Lorong itu gelap dan terasa dingin, jauh lebih dingin daripada yang bisa kuingat. Tanpa sumber cahaya, kami hanya mengandalkan sedikit cahaya dari luar yang menyusup ke dalam.
Kami berjalan pelan, tidak ada suara kecuali langkah kaki kami. Namun, semakin jauh kami melangkah, semakin terasa ada sesuatu yang mengintai di belakang kami. Seperti ada mata yang mengawasi, atau suara yang bergerak dalam keheningan.
Setelah beberapa menit, kami sampai di ujung lorong. Di sana, ada sebuah pintu kecil yang tampaknya sudah lama tak digunakan. Kayu pintu itu tampak lapuk, dengan kunci yang sudah berkarat menggantung di gagangnya. Aku bisa merasakan hawa yang lebih aneh di sekitar pintu itu. Sesuatu yang lebih besar dari sekedar ketakutan biasa.
Mela tampak ragu-ragu. “Kase, kita harus berhenti, ini… ini tidak benar.”
Aku menarik napas dalam-dalam. “Kita sudah sampai sejauh ini, Mel. Tidak ada jalan kembali. Kita harus buka pintu ini.”
Dengan hati-hati, aku mengambil kunci yang tergantung di pintu, dan memutarnya perlahan. Saat itu, terdengar suara berderak keras—seperti pintu yang lama tertutup rapat akhirnya dibuka setelah bertahun-tahun. Pintu itu terbuka perlahan, menampilkan ruang gelap yang lebih besar dari yang bisa kubayangkan.
Di dalam ruangan itu, ada sebuah meja besar, dan di atasnya, sebuah benda yang terbungkus kain hitam tebal. Aku bisa merasakannya—di dalam kain itu ada sesuatu yang sangat penting, sesuatu yang bisa mengubah segalanya.
Dengan tangan gemetar, aku meraih kain itu dan mengangkatnya perlahan. Begitu kain itu terbuka, sebuah objek yang tidak aku kenal terpampang di hadapanku. Bentuknya tidak jelas, dan seolah ada energi yang tak terlihat mengelilinginya.
Aku memandangnya dengan kagum, dan di saat yang sama, ada perasaan yang tak bisa dijelaskan—sebuah perasaan yang menuntut untuk dipecahkan. Aku tahu, ini adalah kunci dari semua yang terjadi di sini.
Dan tiba-tiba, suara bisikan terdengar, sangat dekat di telingaku.
“Jangan sentuh itu.”
Keputusan Terakhir
Suara itu bergema di telingaku, seolah berasal dari sudut gelap ruangan yang tak terlihat. Hanya ada aku dan Mela di dalamnya, namun seakan ada ribuan bisikan yang menghantui. Aku menoleh cepat ke arah Mela, tapi dia hanya berdiri terdiam, wajahnya semakin pucat. Dia jelas merasakan apa yang kurasakan—sebuah ancaman tak terlihat yang terus mengintai.
“Jangan sentuh itu,” suara itu kembali terdengar, kali ini lebih jelas, seperti sebuah peringatan yang tak bisa diabaikan. Namun, entah kenapa, aku merasa ada kekuatan yang menarikku ke objek itu. Seolah seluruh dunia bergantung pada keputusan ini.
Aku menarik napas dalam-dalam. “Mel, kamu dengar itu? Ada sesuatu yang mencoba menghentikan kita.”
Mela terlihat semakin panik. “Kase, ini gila! Kita nggak bisa terus seperti ini. Buku itu, pintu ini, semuanya—ini bukan tempat yang kita kenal! Ada sesuatu yang salah dengan tempat ini. Aku takut kalau kita nggak segera keluar, kita nggak akan pernah kembali ke kehidupan kita yang biasa.”
Aku terdiam, perasaan antara keraguan dan keberanian bertarung dalam diri. Satu sisi dari diriku ingin mundur, melepaskan semuanya, kembali ke kehidupan biasa—ke sekolah yang riuh, ke teman-teman yang tidak tahu apa-apa. Tapi sisi lain, sisi yang sudah terjerat dalam misteri ini, mendesakku untuk terus maju. Rasanya seperti ada sesuatu yang tak terucapkan, sesuatu yang lebih besar dari sekadar rasa takut.
Aku melangkah maju, mendekati meja besar yang berdiri kokoh di tengah ruangan. Mela menarik tanganku, mencoba menghentikan langkahku, tapi aku terlepas darinya.
“Kase!” serunya, namun aku tak bisa berhenti.
Tangan yang gemetar akhirnya menyentuh benda itu. Begitu aku menyentuhnya, seluruh ruangan seakan bergetar. Sebuah energi yang begitu kuat dan mengerikan mengalir ke tubuhku, menjalari setiap saraf dan menyesakkan dadaku. Mataku berkunang-kunang, dan aku hampir kehilangan keseimbangan. Seperti ada tangan yang menarikku ke dalam kegelapan, dan suara bisikan itu semakin dekat, seolah menggema di seluruh tubuhku.
Namun, ketika aku membuka mataku, aku melihat sesuatu yang mengejutkan. Di dalam objek itu, ada gambar—gambar yang hidup, berputar-putar, menampilkan wajah-wajah yang pernah kulihat sebelumnya. Wajah-wajah teman sekelas kami, wajah Mela, wajahku sendiri. Dan semuanya tampak bergetar, seolah terperangkap dalam lingkaran yang tak bisa dihentikan.
Aku mundur, terjatuh ke lantai dengan tubuh yang gemetar. “Apa ini? Apa yang sedang terjadi?” suara hatiku berbisik keras, tak tahu lagi mana yang nyata.
“Ini tidak seharusnya terjadi, Kase,” suara Mela tiba-tiba muncul di sampingku. Aku menoleh dan melihatnya, wajahnya begitu pucat, lebih pucat dari sebelumnya. “Ini… lebih dari yang kita kira.”
Sementara itu, benda itu di atas meja tetap berputar, seperti tak terpengaruh oleh apa pun yang terjadi di sekitarnya. Aku merasa seperti terjebak dalam sebuah lingkaran waktu yang terus berulang. Aku harus menghentikannya, aku harus bisa mengendalikan apa yang terjadi.
Aku berdiri lagi, dengan tubuh yang masih gemetar, dan melihat ke sekeliling. Ruangan ini tampaknya tidak akan pernah mengizinkan kami keluar dengan cara biasa. Lalu, aku melihat sesuatu di ujung ruangan—sebuah pintu lain, tersembunyi di balik bayang-bayang yang semakin gelap. Pintu itu tampaknya menawarkan jalan keluar, atau mungkin, justru lebih banyak misteri.
“Ayo, Mel,” aku berkata, mencoba menenangkan dirinya meskipun aku sendiri takut. “Kita harus keluar. Kalau kita tinggal di sini lebih lama, semuanya akan menjadi lebih buruk.”
Mela menatapku, matanya penuh ketakutan, namun dia mengangguk. “Kita harus pergi, Kase. Cepat.”
Kami berlari menuju pintu itu, dan begitu kami menyeberangi ambang pintu, semuanya terhenti. Suasana menjadi hening, seperti dunia ini berhenti berputar, menyadari bahwa kami telah meninggalkan sesuatu yang lebih besar daripada yang bisa kami pahami.
Begitu kami melangkah keluar dari ruang gelap itu, kembali ke dunia nyata, kami merasakan perbedaan yang mencolok. Kelas kami kembali seperti semula, riuh dengan suara tawa dan obrolan teman-teman yang sibuk dengan aktivitas mereka. Namun, ada sesuatu yang hilang, sesuatu yang tak bisa kami ungkapkan.
Aku menatap Mela, dan kami saling tersenyum lemah. Meskipun kami tahu ada banyak hal yang belum kami pahami, kami juga tahu satu hal: Kami sudah memilih jalan kami. Dan meskipun kami tidak tahu apa yang akan terjadi ke depan, kami tahu bahwa misteri ini—misteri yang telah kami ungkap—akan selalu ada di dalam diri kami.
Dan mungkin, hanya mungkin, ada bagian dari kami yang tidak akan pernah kembali ke dunia yang biasa itu lagi.
Jadi, entah itu hanya imajinasi kita atau memang ada sesuatu yang lebih gelap di balik kelas itu, satu hal yang pasti—kami nggak akan pernah bisa melihat kelas itu sama lagi. Mungkin misteri itu nggak bakal pernah terungkap, atau mungkin, ada banyak hal yang lebih aneh lagi yang masih menunggu untuk ditemukan.
Tapi satu hal yang aku tahu, sejak hari itu, kelas yang awalnya cuma tempat belajar biasa, kini jadi tempat yang selalu bikin aku bertanya-tanya: Apakah kita benar-benar tahu apa yang terjadi di sekitar kita? Mungkin, hanya waktu yang bisa kasih jawabannya.