Detektif Sekolah: Misteri Laci Hilang dan Mesin Rahasia

Posted on

Siapa bilang sekolah cuma soal ujian dan tugas? Di sini, ada cerita yang jauh lebih seru, penuh rahasia, dan pastinya bikin kamu nggak bisa berhenti baca.

Bayangin aja, ada laci yang hilang, mesin rahasia di ruang bawah tanah, dan seorang detektif muda yang nekat ngungkap semuanya. Kalau kamu pikir ini cuma cerita biasa, siap-siap deh, karena apa yang terjadi di balik pintu sekolah bisa jauh lebih gila dari yang kamu bayangin!

 

Detektif Sekolah

Laci yang Menghilang

Sekolah Menengah Atas Bukit Ceria mungkin terdengar seperti tempat yang damai, penuh tawa dan kebahagiaan. Tapi siapa sangka, di balik ketenangan itu, ada sebuah misteri yang siap mengguncang dunia—atau setidaknya, mengganggu ketenangan hari-hariku. Ya, laci yang hilang.

Awalnya, aku nggak terlalu peduli. Laci itu hanya salah satu dari banyak laci di ruang kelas, jadi kenapa repot-repot mencarinya? Tapi saat pagi itu, Ibu Guru Dewi mengumumkan bahwa laci milik Jaka, murid kelas XI yang terkenal dengan hobi anehnya mengoleksi mainan robot, hilang tanpa jejak, semua orang langsung heboh.

“Jaka, bisa jelaskan ke teman-temanmu, kenapa laci kamu hilang begitu saja?” tanya Ibu Guru Dewi, berusaha tetap tenang meski jelas ada keresahan di wajahnya.

Jaka, yang biasanya suka membuat kegaduhan di kelas dengan koleksi mainan robotnya, sekarang tampak bingung. “Aku juga nggak tahu, Bu. Tadi pagi waktu aku masuk kelas, laci aku sudah nggak ada di tempatnya,” jawabnya, matanya melirik ke sekeliling, seakan berharap ada petunjuk yang muncul begitu saja.

Aku duduk di belakang kelas, sambil melipat tangan. Aku biasa saja, kan? Apa sih pentingnya laci hilang? Tapi ada sesuatu yang menggelitik di pikiranku. Ada yang aneh. Kenapa laci itu? Kenapa harus milik Jaka? Kenapa tiba-tiba laci itu menghilang, seolah-olah ada sesuatu yang berharga di dalamnya?

Kimi, sahabatku yang duduk di sampingku, menyenggol lenganku. “Gimana kalau itu cuma hal biasa, ya? Laci bisa aja dipindahin sama temen sekelasnya, kan?”

Aku menggelengkan kepala. “Nggak, Kimi. Ini bukan cuma soal laci yang hilang. Ada sesuatu di balik semua ini. Laci itu… pasti menyembunyikan sesuatu.”

“Apa maksudnya, Agam? Kamu udah berimajinasi lagi, ya?” Kimi setengah bercanda, tapi aku bisa lihat dari matanya yang sedikit terbelalak, dia juga mulai curiga.

“Pokoknya, laci itu nggak hilang begitu saja,” jawabku, mataku sudah fokus. “Aku akan cari tahu.”

Hari pertama aku mulai mengamati. Biasanya, misteri macam gini cuma butuh sedikit perhatian lebih, dan sedikit penciuman detektif untuk menemukannya. Aku mulai dari ruang kelas, memastikan setiap sudut diperiksa. Seperti biasa, Kimi menemani. Tapi kali ini, dia nggak terlalu semangat. Kimi nggak terlalu suka kalau aku terjun langsung ke dalam masalah seperti ini.

“Serius deh, Agam. Kamu ini terlalu suka kebanyakan mikir. Laci hilang, ya hilang aja. Kalau kamu terus-terusan gitu, malah bisa bahaya,” kata Kimi dengan nada khawatir. Tapi aku cuma tersenyum tipis.

“Tenang aja, Kimi. Aku bukan detektif amatir yang nggak tahu caranya menyelidiki. Aku cuma butuh waktu. Semua petunjuk ada di sekitar kita.”

Aku mulai bertanya pada teman-teman satu kelas yang terlihat lebih tertarik pada hal lain selain laci hilang itu. Mereka semua tampak seperti nggak peduli—atau mungkin mereka takut ada yang salah dengan laci itu, dan memilih diam. Tapi ada satu orang yang nggak bisa aku abaikan.

Jaka. Dia tetap terlihat cemas, tetapi lebih tertutup daripada biasanya. Aku memutuskan untuk mengikutinya sepulang sekolah. Mungkin aku bisa mendapat petunjuk di luar jam sekolah.

Saat bel sekolah berbunyi, aku mengikuti langkah Jaka dengan hati-hati. Tidak ada yang mencurigakan, kecuali cara Jaka berjalan—agak terburu-buru, tapi juga tampak hati-hati. Aku hampir kehilangan jejaknya, tetapi akhirnya dia memasuki ruang guru.

Aku berhenti di depan pintu, memandangi papan nama yang terpasang dengan tulisan “Ruang Guru”. Sambil bersembunyi di balik dinding, aku mendengar suara Jaka yang agak samar dari dalam ruangan.

“Kamu yakin nggak ada yang tahu?” suara itu terdengar seperti Jaka, tetapi aku nggak yakin. Aku mendekatkan telinga ke pintu.

“Tidak ada yang akan tahu. Ini cuma masalah kecil,” jawab suara lain. Kedua suara itu bercampur, agak berat dan serius, membuat aku semakin penasaran.

Aku harus masuk ke dalam. Aku memutuskan untuk menyelinap ke ruang guru. Pelan-pelan, aku membuka pintu sedikit dan mengintip. Jaka sedang berdiri di meja guru, menghadap ke arah papan tulis. Tapi yang lebih mencuri perhatianku adalah benda kecil yang ada di tangannya—sebuah mainan robot kecil yang bersinar di bawah cahaya lampu.

“Apa-apaan ini?” gumamku dalam hati. Jadi, ternyata bukan cuma laci yang hilang. Jaka, dengan koleksi robotnya yang aneh itu, sedang menyembunyikan sesuatu yang lebih besar dari yang aku bayangkan.

Aku mundur perlahan, berusaha untuk tidak diketahui. Sambil menahan napas, aku kembali ke tempat yang aman—di balik pohon besar dekat pintu belakang sekolah. Kimi sudah menunggu, wajahnya penuh tanya.

“Jadi, apa yang kamu temukan?” tanya Kimi, sudah tahu kalau aku pasti menemukan sesuatu yang aneh.

Aku menghela napas panjang. “Kimi, ini lebih dari sekadar laci hilang. Ada sesuatu yang lebih besar yang Jaka coba sembunyikan. Aku nggak tahu persis apa, tapi itu jelas nggak biasa. Laci itu bukan sekadar tempat menyimpan barang.”

Kimi mengernyitkan dahi. “Kamu yakin ini nggak cuma soal mainan robot?”

“Aku yakin, Kimi,” jawabku, mantap. “Aku akan cari tahu lebih banyak lagi. Kita harus lebih dekat dengan Jaka untuk mengetahui apa yang sebenarnya dia sembunyikan.”

Dan malam itu, aku tahu satu hal pasti—misteri ini baru saja dimulai.

 

Petunjuk Pertama

Malam sudah tiba, dan aku duduk di meja belajar, mencoba mencerna semua informasi yang aku dapatkan. Jaka, mainan robot, dan ruang guru—semuanya tampak saling terhubung, tapi bagaimana caranya? Ada yang lebih besar dari sekadar laci hilang dan benda kecil yang disembunyikan Jaka. Aku harus menemukan petunjuk lebih jauh.

Kimi mengirim pesan lewat ponselnya. “Jadi, apa rencanamu besok?” Aku cuma membalas dengan singkat: “Ikut aja.”

Aku tahu Kimi nggak terlalu suka masalah kayak gini. Tapi kali ini, dia nggak bisa menghindar—aku butuh dia.

Besoknya, pelajaran pertama berjalan biasa saja. Tapi, pikiranku terus berpacu, mencoba menemukan setiap petunjuk yang mungkin tersembunyi di sekitar kami. Aku memilih duduk di kursi paling belakang, tempat yang paling strategis untuk mengamati dan mendengarkan. Kimi duduk di sebelahku, tampaknya agak malas, tapi matanya tetap terjaga.

Satu hal yang mencurigakan adalah bagaimana seluruh kelas terlihat seperti tidak peduli dengan hilangnya laci Jaka. Mereka sibuk dengan tugas mereka, tetapi Jaka? Dia terlihat jauh lebih gelisah daripada biasanya. Bahkan, aku melihatnya berbisik dengan teman sekelasnya, si Faris, yang tampaknya sangat tertarik pada sesuatu yang Jaka bawa.

Aku mengambil keputusan. Sekarang atau tidak sama sekali.

“Kimi, ikut aku ke ruang guru,” bisikku. Kimi melotot, tampaknya ingin menolak, tapi aku sudah bersiap.

“Kenapa sih kamu nggak bisa tenang? Kita kan cuma cari tahu apa yang sebenarnya terjadi,” kataku, memaksanya untuk ikut. Kimi menghembuskan napas panjang, tapi akhirnya mengikuti.

Kami berjalan menuju ruang guru dengan langkah hati-hati. Kali ini, aku nggak akan menyerah. Aku yakin ada sesuatu yang tersembunyi di ruang itu, dan itu pasti ada hubungannya dengan hilangnya laci Jaka. Begitu tiba di depan pintu ruang guru, kami melirik ke dalam melalui celah kecil. Tidak ada yang mencurigakan—hanya para guru yang sedang berbincang.

Tapi, ada satu hal yang menarik perhatian: sebuah meja yang tertutup rapat. Sepertinya baru saja dipindahkan. Dengan cermat, aku memeriksa ruangan dari luar. Salah satu guru, Pak Agus, sedang berbicara di telepon, tampak cukup lama. Ini kesempatan kami.

“Sekarang!” perintahku, menarik Kimi untuk bergerak cepat. Kami berdua meluncur masuk ke dalam ruang guru tanpa suara, menyusup ke belakang meja yang tadi kutargetkan. Meja itu menghadap ke dinding, dan di atasnya terdapat banyak tumpukan kertas. Namun, yang menarik perhatianku adalah sebuah kotak hitam kecil yang tergeletak di bawah meja.

“Ini apa?” gumam Kimi, matanya mengikuti gerak tanganku yang sudah mulai meraih kotak itu.

Aku membuka kotak itu perlahan, memastikan tidak ada suara. Di dalamnya ada beberapa dokumen yang tampak penting—berisi gambar-gambar, catatan tangan, dan juga beberapa halaman dengan kode yang tampaknya acak.

“Apa ini?” Kimi mendekat, berusaha mengamati lebih jelas.

“Ini… sepertinya dokumen lama,” jawabku, memegang salah satu kertas yang cukup menarik perhatian. Ada beberapa gambar yang tampaknya berupa diagram robot, dan beberapa kode yang tidak aku mengerti. Tapi aku tahu satu hal pasti: ini lebih dari sekadar mainan robot yang Jaka bawa.

Aku menyelipkan dokumen-dokumen itu ke dalam tas, dan kami dengan cepat keluar dari ruang guru, bersembunyi di balik dinding sebelum guru lainnya menyadari kami.

Di luar ruang guru, Kimi mengerutkan dahi. “Agam, apa yang baru saja kita ambil? Apa ini ada hubungannya dengan laci Jaka?”

Aku hanya mengangguk. “Ada sesuatu yang besar di balik semua ini, Kimi. Laci Jaka cuma permulaan. Ini lebih dari sekadar mainan robot atau laci yang hilang.”

Kami kembali ke kelas dengan hati-hati, tak ingin menarik perhatian. Setiap detik terasa semakin tegang. Aku memeriksa dokumen-dokumen itu di bawah meja, mencoba mencerna apa yang ada di dalamnya.

“Ada gambar robot lagi, kan? Tapi ini beda,” gumam Kimi sambil mengamati satu halaman yang menunjukkan diagram lebih rumit. “Dan itu kayak kode rahasia. Apa yang kita cari, Agam?”

Aku berhenti sejenak, mataku melirik ke luar jendela. Aku merasa seperti berada di jalur yang tepat. “Mungkin ini lebih dari sekadar mainan, Kimi. Ini… bisa jadi kunci untuk sesuatu yang lebih besar. Sesuatu yang disembunyikan, dan laci Jaka adalah petunjuk pertama.”

Kimi menatapku dengan ragu, tapi di matanya aku bisa lihat ada sedikit rasa ingin tahu. “Kita harus mulai dari sini. Tapi hati-hati, Agam. Ini bisa jauh lebih berbahaya dari yang kita kira.”

Aku tersenyum tipis. “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Kita akan mengungkap semuanya.”

Kami memutuskan untuk kembali ke kelas, tapi kali ini, kami membawa lebih banyak dari sekadar rasa penasaran. Kami membawa dokumen yang bisa jadi jalan menuju misteri yang lebih besar. Dan aku tahu, ini baru permulaan.

Tapi siapa yang menyembunyikan semua ini? Dan apa yang ada di balik semua rahasia ini? Kami harus segera mencari tahu.

 

Jejak yang Tersisa

Setelah kami kembali ke kelas, rasanya dunia di sekitar kami menjadi sedikit lebih gelap, lebih menekan. Tidak ada yang tahu apa yang baru saja kami temukan. Kimi masih terlihat cemas, namun di matanya ada api kecil—rasa penasaran yang mulai menguasai dirinya. Aku tahu dia nggak bisa lagi mundur dari ini.

“Agam, kita serius banget nih. Tapi kamu yakin ini aman?” Kimi bertanya pelan, meskipun sudah ada sedikit keyakinan dalam suaranya. Aku bisa melihat dia mulai terjebak dalam misteri ini, sama seperti aku.

Aku mengangguk, membuka tas dan menata dokumen-dokumen yang kami ambil tadi di meja. Aku mulai mencermati gambar-gambar robot yang ada di dalamnya. Ada sesuatu yang aneh dengan desain-desain itu, sesuatu yang terasa sangat tidak biasa. Seperti ada pesan tersembunyi dalam setiap gambar itu—tapi apa?

“Kalau kita bisa mengungkap rahasia ini, kita bisa menemukan apa yang sebenarnya terjadi, Kimi,” kataku, bersikeras.

Kimi melirikku, lalu menatap dokumen-dokumen yang tersebar di meja. “Tapi siapa yang bakal percaya kita? Kita bukan detektif profesional,” ujarnya dengan ragu.

“Bukan masalah siapa yang percaya, tapi kita harus mencari tahu dulu. Jangan khawatir, aku punya ide.”

Aku memutar otak. Tadi, saat kami menyelidiki ruang guru, ada satu hal yang menarik—sesuatu yang belum kami perhatikan. Seseorang pasti pernah mengunjungi ruang itu sebelumnya, dan mungkin meninggalkan jejak-jejak yang bisa membantu. Tapi siapa?

Aku bangkit dari kursi dan menatap Kimi dengan penuh semangat. “Aku tahu siapa yang tahu lebih banyak tentang ini.”

Kimi mengernyitkan dahi. “Siapa?”

“Jaka,” jawabku singkat.

“Jaka?” Kimi tampaknya terkejut. “Tapi dia kan anak yang… gimana ya… aneh, nggak suka ngobrol. Dan lagi, kita nggak bisa langsung tanya dia begitu aja, kan?”

Aku tersenyum misterius. “Itu dia, Kimi. Kalau kita tanya dia langsung, kita nggak bakal dapat jawaban. Tapi kita bisa mencari cara untuk memanfaatkan dia. Aku tahu tempat di mana dia sering menyendiri.”

Kimi menatapku bingung. “Maksud kamu?”

“Ada satu sudut di sekolah ini yang sering jadi tempatnya Jaka untuk melarikan diri dari semua orang. Tempat yang nggak pernah ada yang tahu. Kita bakal ke sana.”

Kami berjalan menuju bagian belakang sekolah, tempat yang biasanya sepi dan jarang dilalui orang. Di sana, di sudut yang tersembunyi, ada bangku panjang di bawah pohon besar. Di tempat itulah Jaka sering duduk, sendirian, seakan menghindari dunia.

Saat kami tiba, Jaka sedang duduk di sana, memegang sebuah buku. Matanya menatap kosong ke depan, tidak peduli dengan kedatangan kami. Kimi dan aku saling berpandangan, dan aku memberi isyarat padanya untuk mendekati.

“Jaka!” seruku, berjalan perlahan menuju bangku. Jaka menoleh, matanya tampak agak terkejut. Dia tentu tidak mengira ada orang yang berani mendekatinya.

“Kenapa? Ada apa?” jawab Jaka, nada suaranya agak datar.

“Aku cuma ingin bicara,” jawabku, berusaha terdengar santai. “Tentang laci itu.”

Kimi yang berdiri di sebelahku tampak sedikit gelisah, tapi aku terus menatap Jaka dengan serius. Jaka masih terlihat bingung, tapi dia sedikit mengernyitkan dahi.

“Apa maksudmu?” tanya Jaka, matanya kini mulai memerah, seakan merasa cemas.

Aku duduk di sampingnya, memberi isyarat kepada Kimi untuk bergabung. “Laci yang hilang. Kamu nggak merasa ada yang aneh dengan itu, Jaka?”

Jaka terdiam sejenak. “Aku nggak tahu apa yang kamu bicarakan.”

Aku tidak langsung menyerah. “Kami sudah tahu ada sesuatu yang kamu sembunyikan, Jaka. Dan kami cuma ingin tahu kenapa.”

Dia menunduk, matanya mulai berkelip-kelip. Sepertinya ada yang sedang dia coba tutupi. Namun, dia tidak bisa lagi berbohong.

“Apa yang sebenarnya terjadi, Jaka?” Kimi bertanya, kali ini suaranya lebih lembut, mencoba meredakan ketegangan.

Jaka menghela napas panjang, akhirnya berbicara pelan. “Aku… aku nggak sengaja nemuin sesuatu yang nggak seharusnya ada di sekolah ini. Ada orang-orang yang ingin menggunakan benda itu, dan aku nggak bisa biarin itu terjadi.”

Aku dan Kimi saling berpandangan, makin bingung. “Benda? Apa maksudnya?” tanyaku, berusaha lebih jelas.

Jaka mengangkat buku yang ada di tangannya, menunjukkan gambar-gambar yang familiar. Itu adalah gambar-gambar robot, sama seperti yang ada di dokumen yang kami ambil dari ruang guru. “Ini… ini adalah bagian dari rencana mereka. Tapi aku nggak bisa kasih tahu lebih banyak. Aku takut.”

Aku meraih buku itu dan memeriksa lebih dekat. Ternyata, gambar itu lebih dari sekadar desain robot. Ada kode-kode dan diagram yang menunjukkan cara membuat sesuatu. Sesuatu yang bisa mengubah segalanya. Dan semua ini ada hubungannya dengan laci yang hilang.

“Jaka, kamu tahu siapa yang melakukan ini?” tanyaku.

Jaka menatapku dengan ragu. “Aku nggak bisa bilang siapa. Tapi aku bisa bantu kalian. Kalau kalian serius, ada satu tempat yang kalian harus pergi.”

“Tempat apa?” tanyaku, penuh harap.

Jaka hanya mengangguk pelan, “Sekolah ini… ada ruang bawah tanah yang terhubung dengan laboratorium. Di sana… kalian akan menemukan jawabannya.”

Aku dan Kimi saling pandang. Ini dia. Jawaban yang kami cari.

Kami harus segera ke sana. Tapi, apa yang akan kami temukan di ruang bawah tanah itu?

 

Pembukaan Pintu Rahasia

Ruang bawah tanah. Itu adalah kata yang terus berputar di kepalaku. Setiap langkah menuju sana terasa semakin berat, seakan kami semakin dekat pada sebuah kenyataan yang akan mengubah segalanya. Jaka sudah memberi kami petunjuk yang jelas, namun masih ada satu masalah besar: apa yang kami temukan di bawah sana bisa lebih dari sekadar sekumpulan gambar dan diagram aneh.

Kami tiba di ujung koridor belakang sekolah, tempat yang biasa kami hindari. Kimi berdiri di belakangku, matanya menyipit, seakan mencari tahu apakah kami benar-benar harus melangkah lebih jauh. Aku bisa merasakan ketegangan yang terpendam, tapi aku juga tahu ini adalah satu-satunya cara untuk mengungkapkan apa yang sedang disembunyikan.

Jaka yang biasanya pendiam kini terlihat gelisah. Dia berdiri di samping kami, menunjukkan sebuah pintu besar yang tersembunyi di balik rak buku tua. “Ini dia. Kalau kalian serius, kita masuk sekarang.”

Aku menatap pintu itu, ngeri dan penasaran. Kimi mengangguk pelan, menandakan persetujuannya. Kami sudah sampai sejauh ini, dan mundur bukan pilihan.

Tanpa berkata apa-apa lagi, Jaka menekan sebuah tombol tersembunyi di sisi rak, dan pintu itu perlahan terbuka, memunculkan tangga curam yang menuju ke bawah. Suara derit pintu yang terbuka mengisi udara, dan kami pun turun.

Ruang bawah tanah itu terasa lebih gelap dan lebih dingin daripada yang kami bayangkan. Dindingnya basah, dengan udara yang terasa pengap. Pijakan langkah kami terasa berat, seolah-olah waktu di sini berjalan lebih lambat. Setiap suara langkah kami memantul kembali dari dinding-dinding batu yang keras, menciptakan suasana misterius yang semakin mengintimidasi.

Kami sampai di ruangan besar yang dipenuhi dengan perangkat-perangkat yang aneh. Ada meja-meja besar dengan layar komputer, berbagai macam alat yang tidak kami kenali, dan kabel-kabel yang berserakan. Namun, di tengah-tengahnya, ada sebuah benda yang menarik perhatian kami: sebuah mesin besar yang sepertinya sedang dibangun, dengan bagian-bagian yang tidak lengkap, namun terlihat sangat canggih.

Kimi berjalan mendekat, tangannya gemetar saat meraba permukaan mesin itu. “Ini… ini bisa jadi alat yang mengubah segalanya, Agam. Tapi kenapa di sini?”

Aku mengangguk, mencoba memahami setiap potongan informasi yang ada di hadapan kami. Mesin ini jelas bukan untuk keperluan biasa. Itu adalah prototipe—sesuatu yang bahkan bisa mengubah cara dunia bekerja. Namun, siapa yang membangunnya? Dan kenapa tersembunyi di bawah sekolah kami?

Ketika aku menoleh, aku melihat sebuah buku besar terbuka di atas meja, dikelilingi oleh diagram dan catatan-catatan tangan yang membingungkan. Aku mendekatinya, memeriksa setiap halaman dengan cermat. Ada satu kalimat yang menarik perhatian: “Proyek ini harus selesai, atau dunia yang kita kenal akan berakhir.”

Kimi membaca dari sebelahku, suaranya rendah. “Tapi siapa yang menulis ini? Apa maksudnya?”

“Ini tidak bisa terjadi begitu saja. Mereka sedang membangun sesuatu yang bisa mengubah segalanya,” kataku, menatap Kimi. “Dan mereka harus disetop.”

Suaranya bergetar saat Kimi bertanya, “Tapi siapa mereka, Agam? Dan kenapa kita yang harus menyetopnya?”

Aku menutup buku itu dengan hati-hati, merenungkan apa yang baru saja kami temukan. “Kita sudah terlalu jauh. Sekarang, kita harus mencari tahu siapa yang mengendalikan semuanya. Ini lebih besar dari yang kita kira.”

Jaka berdiri di dekat pintu, tatapannya gelap. “Kalian nggak bisa terus di sini. Jika kalian terus mencari, kalian akan berhadapan dengan mereka. Itu bukan sekadar permainan.”

“Apa maksudmu?” aku bertanya, merasa cemas dengan peringatan itu.

Jaka hanya menggeleng, terlihat semakin ketakutan. “Kalian sudah tahu terlalu banyak. Satu-satunya cara untuk keluar dari sini adalah dengan mengungkap semuanya.”

Kami terdiam, mencerna kata-katanya. Aku dan Kimi tidak tahu apakah kami siap menghadapi semua ini. Tapi satu hal yang jelas: kami tidak bisa mundur sekarang.

Jaka melangkah mundur, mendekati pintu. “Kalian harus pergi. Sekarang.”

Kimi dan aku saling pandang, kemudian berjalan menuju pintu dengan langkah yang cepat. Saat kami kembali ke dunia di luar ruang bawah tanah, udara terasa lebih segar, tetapi di dalam hati kami ada pertanyaan besar yang belum terjawab.

Kami tidak tahu siapa yang benar-benar mengendalikan semua ini. Kami hanya tahu satu hal: jika kami tetap mencari, kami akan menemukan kebenaran—dan kemungkinan besar, kami akan berhadapan dengan sesuatu yang lebih gelap dan berbahaya daripada yang bisa kami bayangkan.

Tapi yang pasti, kami tidak bisa mundur. Ini baru permulaan.

Dan rahasia yang ada di balik sekolah kami? Itu akan terungkap, secepatnya.

 

Jadi, gimana? Apakah kalian juga merasa terjebak dalam misteri yang nggak ada habisnya ini? Rahasia di balik sekolah, laci yang hilang, dan mesin aneh itu baru permulaan. Siapa tahu, mungkin ada lebih banyak hal yang menunggu untuk ditemukan.

Tapi satu yang pasti, perjalanan Agam dan Kimi nggak akan berhenti di sini. Dan siapa tahu, mungkin kita semua sedang berada di ujung petualangan yang lebih besar. Sampai jumpa di cerita selanjutnya, siapa tahu kita bakal menemukan lebih banyak rahasia yang tersembunyi di balik dinding-dinding ini!

Leave a Reply