Daftar Isi
Kadang hidup emang nggak adil, sih. Di desa ini, ada sungai yang dulu bersih banget, tempat orang-orang main, cuci muka, atau sekadar duduk santai. Tapi sekarang? Sungai itu udah rusak parah, penuh limbah pabrik kertas, nggak bisa diselamatkan lagi.
Dulu banyak yang semangat buat benerin semuanya, tapi sekarang? Cuma bisa nyesel dan ngeliat aja. Cerita ini tentang gimana keegoisan manusia bisa ngerusak sesuatu yang udah ada sejak lama, dan gimana kita harus nerima kenyataan pahit yang nggak bisa dibalikin lagi.
Cerpen Sungai Tercemar
Aliran yang Tersumbat
Sungai itu masih mengalir, meskipun aku tahu alirannya sudah tidak sama lagi. Di tepi jembatan kayu yang retak, aku berdiri memandangi air yang mengalir begitu pelan. Dulu, aku ingat betul betapa derasnya air ini, mengalir bebas membawa kehidupan. Sekarang, airnya terhenti di banyak tempat, terhalang oleh sampah-sampah yang terus menumpuk, seperti kenangan-kenangan buruk yang enggan pergi.
Zaki mengusap wajahnya dengan tangan. Matanya sayu, seakan-akan dia tak ingin melihat apa yang ada di depan mata. “Pernahkah kamu membayangkan, Lia, kalau sungai ini bisa jadi seperti ini?” ujarnya pelan.
Lia hanya diam, menggenggam tas ransel dengan erat, seolah mencoba menahan emosi yang mulai memenuhi dadanya. Mungkin, aku bisa merasa sedikit lebih baik jika dia mengatakan sesuatu, apapun itu. Tapi Lia hanya menatap sungai yang tercemar dengan wajah penuh keletihan.
“Aku ingat waktu kita masih kecil,” lanjut Zaki, menunduk, “kita sering main di sini, menangkap ikan dengan tangan kosong, atau cuma duduk-duduk di tepi sambil ngobrol tentang mimpi-mimpi bodoh kita.”
“Aku ingat.” Lia menyahut, suaranya serak. “Tapi lihat sekarang, Zaki. Apa yang terjadi dengan sungai ini? Dulu kita bisa berbaring di atas bebatuan itu, menyentuh airnya tanpa takut sakit atau kotor. Sekarang? Aku takut kalau air ini bisa bikin kita sakit.”
Zaki mengangguk. Ada keheningan yang menutupi kata-kata mereka. Di luar sana, suara mesin pabrik kertas yang terus berputar seolah menjadi pengingat betapa kotor dan rusaknya dunia ini. Lima tahun yang lalu, pabrik itu dibangun dengan janji-janji manis: pekerjaan, kemajuan, dan kemakmuran. Tapi yang datang hanya kerusakan, di sini, di desa ini.
Aku tahu, Lia tahu, kita semua tahu—sungai ini tak akan pernah sama lagi. Limbah-limbah dari pabrik itu mengalir begitu saja ke sungai tanpa pengolahan, mencemari setiap inci air yang pernah menjadi sumber kehidupan. Bahkan ikan-ikan yang dulu meramaikan aliran ini kini lenyap tanpa jejak. Begitu juga dengan suara riuh anak-anak yang dulu bermain di sekitar sungai. Semua itu hilang, tenggelam bersama kertas-kertas yang berceceran di air.
Lia akhirnya memecah keheningan. “Zaki, kita harus berhenti berharap. Kita sudah cukup berjuang. Mengadu ke kepala desa, ke pabrik, apa hasilnya? Mereka cuma menertawakan kita.”
Aku menggigit bibir, perasaan frustrasi semakin sulit ditahan. “Tapi, Lia, kita tidak bisa hanya diam. Kita nggak bisa membiarkan mereka terus merusak semuanya. Apa kita harus biarkan sungai ini mati begitu saja? Apa kita harus tinggal diam dan biarkan mereka terus mengotori segalanya?”
Lia menoleh padaku dengan ekspresi datar. “Zaki, aku bukan bilang kita harus diam. Tapi kenyataannya kita nggak bisa melawan mereka. Kepala desa nggak peduli, pabrik itu terlalu besar untuk kita lawan.”
Dia benar. Aku tahu itu. Tapi tetap saja, ada rasa marah yang menggumpal dalam diriku. Aku tak bisa menerima kenyataan bahwa segalanya berubah karena ketamakan manusia, karena uang, karena keserakahan yang hanya menguntungkan segelintir orang.
“Dulu, aku pernah berpikir kalau kita bisa mengubah semua ini. Kalau kita bisa menghentikan pabrik itu, bisa bikin mereka sadar,” kataku. “Tapi sekarang… aku mulai merasa, semuanya sia-sia.”
Lia mendekat, dan tiba-tiba dia meletakkan tangannya di bahuku, mencoba memberikan kekuatan yang entah darimana. “Kita bisa berhenti berharap, Zaki. Kita bisa berhenti melawan, kalau itu yang membuat kita lebih damai. Terkadang, kita harus tahu kapan harus menyerah.”
Aku menatap sungai itu sekali lagi, merasakan air yang mengalir lambat dan keruh. Rasa sakit itu semakin dalam. Di mana dulu ada kehidupan, kini hanya ada keheningan dan air yang tercemar. Mungkin Lia benar. Mungkin inilah saatnya untuk menyerah.
Namun, di dalam hatiku, aku merasa seperti ada sesuatu yang belum selesai. Walaupun harapan itu semakin memudar, aku tak bisa begitu saja melepaskannya. Tidak, aku tak akan menyerah begitu saja.
“Aku nggak bisa, Lia. Aku nggak bisa begitu saja membiarkan sungai ini mati,” jawabku, dengan suara yang lebih keras dari sebelumnya.
Lia hanya menghela napas, melepaskan tangannya dari bahuku. “Kita nggak bisa melawan semuanya sendirian, Zaki.”
Aku tahu dia benar. Kita memang tidak bisa melawan semuanya sendirian. Tapi aku masih merasa bahwa ada satu hal yang harus dilakukan. Apakah itu berarti aku harus terus berjuang sendiri? Aku tak tahu. Tapi setidaknya, aku harus mencoba.
Sebelum Lia sempat menjawab, kami mendengar suara deru mesin dari kejauhan. Pabrik kertas itu seolah tak pernah berhenti beroperasi, mengunyah segala yang ada di sekitar desa ini, menyisakan hanya kerusakan dan penyesalan.
Zaki menarik napas dalam-dalam dan melangkah lebih dekat ke tepi sungai. Dengan hati yang penuh perasaan campur aduk, aku menatap sungai itu, yang kini tak lagi menjadi tempat yang aman. Sungai yang dulu menjadi saksi kebahagiaan kami kini hanya mengingatkan kami tentang betapa kecilnya kekuatan kami.
Tidak ada lagi yang bisa dilakukan. Sungai ini—dan mungkin juga desa ini—telah rusak. Tapi entah kenapa, aku merasa bahwa perjalananku baru saja dimulai.
Jejak-jejak Limbah
Pagi itu, aku duduk di depan rumah, menatap langit yang kelabu. Awan tebal menggantung rendah, seakan-akan dunia menahan napas, menunggu sesuatu yang tak kunjung datang. Beberapa hari telah berlalu sejak percakapan dengan Lia di tepi sungai. Namun perasaan itu—rasa kesal yang tak kunjung hilang—terus membekas dalam pikiranku. Aku merasa terjebak, di antara kenyataan yang tak bisa diubah dan keinginan untuk melakukan sesuatu yang berarti.
Lia datang menghampiriku, wajahnya masih terlihat lelah, seolah-olah dia juga masih berjuang dengan pikirannya sendiri. Dia duduk di sebelahku, meletakkan tasnya di lantai dengan berat.
“Kamu masih mikirin itu?” tanya Lia pelan, mencoba membuka percakapan.
Aku mengangguk, walaupun aku tahu jawabanku tidak akan mengubah apapun. “Aku nggak bisa berhenti mikir, Lia. Sungai itu… Semua yang ada di sana—semua yang hilang—seperti bagian dari diriku yang ikut tercemar. Aku nggak bisa cuma duduk diam.”
Lia menghela napas panjang, lalu mengusap rambutnya yang sedikit kusut. “Kita sudah berusaha, Zaki. Kita sudah melawan. Tapi kita nggak bisa berhadapan dengan pabrik itu, dengan kekuatan yang mereka punya. Apa yang kita punya? Cuma perasaan kita yang terluka.”
Aku menatapnya dengan tatapan yang sulit dipahami. “Tapi, Lia, kalau bukan kita yang peduli, siapa lagi? Kalau bukan kita yang mencoba, siapa lagi yang akan merawat sungai itu? Kalau semua orang terus berpikir seperti itu, kita nggak akan pernah bisa berubah.”
Lia menunduk, matanya berkaca-kaca. “Aku tahu, Zaki. Aku tahu. Tapi terkadang, semakin kita berjuang, semakin kita merasa kosong. Aku nggak mau kamu merasa seperti itu.”
Ada sesuatu dalam suara Lia yang membuat hatiku semakin berat. Keputusasaan yang dia rasakan seolah mengalir bersamaku, meresap dalam setiap kata yang terucap. Aku tahu Lia mencintaiku, dan aku juga mencintainya. Tapi perasaan itu tak cukup untuk mengubah keadaan yang ada.
Aku berdiri dan berjalan keluar, melangkah menuju jalan setapak yang membelah ladang jagung menuju pabrik. Setiap langkah terasa semakin berat, namun ada dorongan yang tak bisa dijelaskan. Di dalam hati, aku tahu ini adalah jalan yang harus aku tempuh.
Pabrik itu, yang beberapa tahun lalu didirikan di tepi desa, berdiri kokoh dengan mesin-mesin besar yang terus berputar. Aku bisa melihatnya dari kejauhan, dan setiap kali aku melihatnya, ada perasaan seperti tertindih oleh sesuatu yang besar dan tak terhindarkan. Seiring aku semakin dekat, bau busuk yang khas dari limbah pabrik semakin menyengat. Rasanya seperti aku terjebak dalam sesuatu yang lebih besar dari diriku, dalam sebuah lingkaran yang tak pernah bisa keluar.
Di depan pabrik, beberapa pekerja terlihat sibuk membawa bahan baku. Mereka tidak peduli dengan segala yang terjadi di luar sana. Dunia mereka hanya terbatas pada mesin dan angka-angka yang harus dicapai. Mereka tidak tahu, atau mungkin mereka memilih untuk tidak tahu, bahwa setiap helai kertas yang mereka hasilkan membawa kerusakan.
Salah satu pekerja mendekatiku, wajahnya tidak asing. Aku mengenalnya. Namanya Haris, salah satu pemuda yang dulu sering bermain di sungai bersama kami. Sekarang, dia bekerja di pabrik itu, mencoba bertahan hidup dengan cara yang tak banyak pilihan.
“Zaki?” Haris menyapaku dengan suara yang ragu, seakan tak yakin kalau aku masih mengenalinya.
Aku menatapnya, melihat perubahan dalam dirinya. Haris yang dulu penuh tawa kini tampak lesu, matanya kosong, seperti tidak ada harapan lagi di sana. “Haris… Kamu masih kerja di sini?”
Dia mengangguk, dan aku bisa melihat raut wajahnya yang menahan beban berat. “Iya, Zaki. Gak banyak pilihan. Kamu tahu sendiri, pekerjaan di sini lumayan buat bertahan hidup.”
Aku menatapnya lebih lama. “Tapi kamu tahu, kan, apa yang terjadi dengan sungai itu? Limbah dari pabrik ini merusak semuanya. Ikan-ikan hilang, airnya kotor, semua orang sudah mulai merasakannya.”
Haris terdiam, menundukkan kepala. “Aku tahu, Zaki. Tapi kalau aku berhenti, apa yang harus aku makan? Apa yang harus aku berikan buat keluargaku?” Suaranya hampir tak terdengar, penuh dengan penyesalan yang dia sembunyikan.
Aku merasa sakit mendengarnya. “Kamu tahu apa yang terjadi dengan sungai itu, Haris. Kamu tahu betul, kan, apa yang kalian lakukan di sini berdampak langsung ke kehidupan di luar sana?”
Dia mengangkat kepala, wajahnya tampak lebih keras. “Zaki, aku bukan pengusaha besar. Aku cuma orang biasa yang butuh pekerjaan. Kalau kamu beneran peduli, coba cari cara yang bisa buat semuanya berubah. Jangan cuma ngomong aja, kalau nggak ada jalan keluar.”
Kalimat itu menyentak. Aku merasa seperti terbangun dari mimpi buruk yang sudah lama aku abaikan. Aku mengerti, Haris tidak salah. Dia bukan satu-satunya yang harus mempertanggungjawabkan ini. Tapi keegoisan mereka yang hanya memikirkan keuntungan dan kelangsungan hidup pribadi membuat semuanya semakin buruk. Dunia ini sudah berjalan begitu lama dengan cara yang salah, dan aku, entah kenapa, merasa semakin terjebak dalam putaran itu.
“Aku cuma ingin kamu sadar, Haris. Semua ini nggak bisa dipertahankan,” kataku dengan suara yang tak terlalu keras, lebih kepada diri sendiri daripada kepada Haris.
Dia hanya mengangguk pelan, seperti menyetujui kata-kataku tanpa ada niat untuk mengubah apapun. “Aku tahu, Zaki. Aku tahu.”
Aku melangkah mundur, meninggalkan Haris di depan pabrik itu. Kata-katanya terus terngiang-ngiang dalam pikiranku. Aku bisa merasakan betapa perasaan kami, semua orang yang tinggal di desa ini, semakin tenggelam dalam kesulitan yang tak kunjung usai.
Langkahku terasa berat, namun aku tahu satu hal pasti—aku harus melakukan sesuatu. Apapun itu.
Di Persimpangan Jalan
Hari-hari terus berlalu, dan aku semakin merasa terjebak dalam kebuntuan yang tak terhindarkan. Sungai itu semakin rusak. Airnya yang dulu jernih kini hanya menyisakan lumpur keruh yang mengambang. Ada begitu banyak limbah yang mengotori, dari sisa-sisa bahan kimia pabrik yang mengalir bebas, hingga plastik dan sampah yang dibuang oleh orang-orang yang tak peduli. Setiap kali aku melewati sungai, aku merasa hatiku semakin berat. Tidak hanya karena apa yang aku lihat, tapi juga karena perasaan tak berdaya yang terus menggerogoti diriku.
Aku masih ingat bagaimana dulu kami bermain di sungai itu, Lia dan aku berlarian tanpa beban, tertawa di antara riak air yang jernih. Kini, setiap kali aku berdiri di tepi sungai, aku hanya bisa merasakan kehampaan. Rasa itu menyesakkan dada. Semua kenangan itu hilang begitu saja, terkubur dalam tumpukan sampah dan limbah yang tak bisa dihentikan.
Suatu sore, saat aku duduk sendiri di bangku kayu dekat rumah, Lia mendekat lagi. Wajahnya kali ini tampak lebih serius, bahkan cemas. Seperti ada sesuatu yang ingin dia katakan, tapi enggan keluar. Aku menatapnya, berharap dia tahu bahwa aku juga sedang bergulat dengan perasaan yang sama.
“Ada apa, Lia?” tanyaku, mencoba membuka percakapan.
Lia duduk di sampingku, menggigit bibirnya. “Zaki, aku… aku udah dengar sesuatu dari orang-orang di desa. Pabrik itu… mereka lagi merencanakan untuk perluasan. Mereka mau tambah besar lagi,” katanya pelan, seolah takut kalau aku tidak bisa menerima kenyataan itu.
Hatiku serasa berhenti sejenak. “Apa? Perluasan? Jadi mereka mau merusak lebih banyak lagi?” suaraku bergetar, tak percaya.
Lia mengangguk. “Iya, Zaki. Mereka nggak peduli sama lingkungan di sini. Semua yang mereka pedulikan cuma keuntungan dan produk mereka. Mereka nggak peduli kalau desa ini hancur.”
Aku mengalihkan pandanganku ke depan, memandangi jalan yang mulai gelap, diterangi hanya oleh cahaya remang-remang dari rumah-rumah yang berjauhan. “Dan kita, Lia, kita nggak bisa berhenti mereka. Kita nggak bisa melawan kekuatan besar seperti itu.”
Lia menunduk. “Aku nggak tahu harus gimana lagi, Zaki. Setiap kali aku berpikir kita bisa berbuat sesuatu, kenyataan itu justru makin jauh. Orang-orang desa nggak peduli. Mereka lebih memilih pekerjaan yang datang dari pabrik itu. Semua yang kita coba lakukan seolah sia-sia.”
Aku menatap Lia dengan perasaan yang campur aduk. “Kita nggak bisa menyerah, Lia. Mungkin mereka bisa menang dalam hal bisnis, tapi mereka nggak bisa menang dalam hati kita. Aku nggak bisa hidup dengan melihat semuanya hancur seperti ini. Kita harus mencari cara. Kita harus bertindak.”
Lia menatapku dengan tatapan kosong. “Cara apa, Zaki? Apa yang bisa kita lakukan? Kita nggak punya uang, nggak punya kekuatan, nggak punya apa-apa.”
Aku bangkit berdiri, menatap sungai yang semakin tercemar. “Aku nggak tahu, Lia. Tapi aku nggak bisa diam saja. Aku nggak bisa terus melihat desa ini dan sungai ini hancur perlahan-lahan, tanpa ada yang berani melawan.”
Lia terdiam, kemudian perlahan ikut berdiri. “Kamu tahu… terkadang aku berpikir, mungkin kita harus menyerah saja. Ini sudah di luar tangan kita.”
Tapi aku tak bisa. Aku tak bisa menyerah. Ada sesuatu di dalam diriku yang terus memaksa untuk melawan. Aku mengingat wajah Haris, dan aku tahu dia merasa terjebak. Sama seperti kita, dia hanya ingin bertahan hidup. Tapi itu bukan alasan untuk terus mengabaikan apa yang terjadi di sekitar kita.
Keesokan harinya, aku memutuskan untuk pergi ke pabrik sekali lagi. Aku tahu, kalau aku hanya menunggu, semuanya akan semakin buruk. Namun kali ini, aku tidak pergi sendirian. Lia ikut bersamaku. Meskipun dia lebih ragu, dia tahu bahwa ini adalah satu-satunya cara untuk melakukan sesuatu yang benar.
Kami sampai di depan pabrik. Suara mesin yang bising menyambut kami, dan bau bahan kimia yang khas semakin menusuk. Aku merasakan perasaan yang sudah lama tidak aku rasakan—marah. Tapi kali ini, marah bukan hanya karena pabrik ini merusak alam. Aku marah karena tidak ada yang berani bertindak. Kami hanya bisa bicara, tetapi kami tidak pernah benar-benar berbuat apa-apa.
Lia menarik napasku. “Zaki, ini mungkin keputusan yang salah. Kalau kita ketahuan, bisa-bisa kita diusir dari desa.”
Aku menggenggam tangannya erat. “Aku nggak peduli, Lia. Ini sudah cukup.”
Kami berjalan menuju pintu belakang pabrik, mencoba mencari cara untuk masuk tanpa dilihat oleh penjaga. Di luar, beberapa pekerja keluar merokok di sudut pabrik, tetapi kami bisa menghindar. Kami berjalan cepat, semakin mendekat pada bagian belakang gedung yang lebih sepi.
Tapi saat kami hampir sampai, tiba-tiba seorang penjaga datang dari arah lain, terlihat sangat curiga dengan kehadiran kami. Kami berhenti sejenak, membeku di tempat. Lia menatapku dengan mata yang penuh kecemasan.
“Zaki…” bisiknya, hampir tak terdengar.
Aku meraih tangannya, dan kami berdua berlari. Kami harus kembali, berpikir cepat, menghindari tanggapan yang lebih besar. Namun, saat kami berlari, aku bisa merasakan sesuatu yang lebih besar dari rasa takut kami. Kami bisa saja dihadang, dihentikan, tapi saat itu—di bawah langit yang semakin gelap—aku merasa kami sudah berada di ujung persimpangan yang tak bisa lagi kembali.
Kami kembali ke desa dengan rasa kecewa. Pabrik itu telah melangkah lebih jauh, dan kita, meskipun berusaha sekuat tenaga, tetap tak cukup kuat untuk menandingi kekuatan mereka.
Aku menatap Lia yang sudah kelelahan, wajahnya penuh dengan keputusasaan. “Kita nggak bisa terus begini, Lia,” kataku, lebih kepada diri sendiri daripada kepadanya.
Lia hanya diam. Seperti aku, dia tahu, semua ini sudah terlambat.
Akhir yang Tak Terelakkan
Beberapa minggu berlalu setelah kejadian di depan pabrik itu. Desa kami semakin tenggelam dalam kesunyian. Tak ada lagi perlawanan, tak ada lagi harapan yang bisa digenggam. Semua yang kami coba lakukan—berbicara dengan penduduk, mencoba mengumpulkan bukti tentang kerusakan sungai—seakan sia-sia. Pabrik itu terus beroperasi, semakin besar dan semakin tak terkendali. Mereka telah memiliki kendali penuh atas semuanya. Semua orang yang kami temui lebih memilih tetap diam, terbuai oleh janji-janji pekerjaan yang datang dari pabrik. Tak ada yang berani melawan kekuatan uang yang mereka bawa.
Aku sering terjaga di malam hari, merenung di depan jendela. Mengingat kenangan tentang sungai yang dulu begitu hidup, dan betapa kita semua pernah merasa bebas di sana. Kini, aku hanya bisa melihat sungai itu—sungai yang telah lama hilang. Sesuatu yang dulu begitu indah dan murni, kini hanya menyisakan kehancuran.
Lia, entah bagaimana, seakan sudah menerima kenyataan itu. Dia lebih sering menyendiri, terlarut dalam pikirannya. Aku bisa melihat bahwa dalam dirinya ada kekosongan yang sama seperti yang aku rasakan. Keputusasaan yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata. Kami berbicara lebih sedikit, tidak lagi tentang perlawanan atau harapan yang dulu kami miliki. Semua terasa sia-sia, dan kami tahu itu.
Suatu sore yang mendung, saat aku berjalan di sekitar desa, aku melihat sesuatu yang tak pernah aku duga. Sebuah truk besar melintas dengan membawa lebih banyak lagi limbah pabrik—limbah yang tidak terkelola, yang langsung dibuang ke sungai. Aku berhenti di tepi jalan, menatap truk itu yang perlahan menghilang. Ada rasa sakit yang begitu dalam di dadaku, seperti ada bagian dari diriku yang telah hilang bersamanya. Aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Lia mendekat, berdiri di sampingku tanpa berkata apa-apa. Hanya ada hening yang menyesakkan. Kami berdua tahu, sungai itu sudah tak bisa diselamatkan. Kami sudah terlambat. Semua usaha yang kami lakukan, semua harapan yang kami bangun, kini hanya tinggal kenangan.
“Apa yang harus kita lakukan, Lia?” tanyaku, suaraku hampir tenggelam oleh angin yang berhembus kencang. “Apakah kita benar-benar kalah?”
Lia hanya menggelengkan kepala. “Kita nggak kalah, Zaki. Tapi mungkin… ini bukan tentang kita lagi. Ini lebih besar dari kita. Mungkin kita hanya bisa menerima kenyataan ini.”
Kami berjalan perlahan kembali ke rumah, melewati jalan yang sepi. Tidak ada lagi orang yang berbicara tentang sungai atau pabrik itu. Semua seakan terdiam dalam ketakutan yang tak terlihat. Mungkin mereka sudah menyerah. Mungkin mereka memang tidak peduli.
Sesampainya di rumah, aku duduk di bangku yang sama, tempat aku dan Lia sering berbicara dulu. Semua terasa hampa. Lia masuk ke dalam rumah tanpa berkata apa-apa. Aku masih duduk di luar, menatap langit yang semakin gelap. Aku ingin melawan. Aku ingin menyelamatkan desa ini, menyelamatkan sungai ini. Tapi aku juga tahu, kadang-kadang, melawan bukanlah solusi. Kadang-kadang, menerima kenyataan adalah satu-satunya pilihan yang tersisa.
Tiba-tiba, suara langkah kaki terdengar di belakangku. Aku menoleh dan melihat Lia berdiri di pintu, memandangi aku dengan tatapan yang tidak bisa kubaca.
“Zaki,” katanya pelan, “kita harus berhenti berpura-pura bisa mengubah semuanya.”
Aku hanya menatapnya, tidak bisa berkata apa-apa. Dalam hatiku, aku tahu dia benar. Kami sudah mencapai titik di mana tak ada lagi yang bisa dilakukan. Semua yang kami perjuangkan, semua yang kami coba selamatkan, semuanya sudah rusak, tercemar, tak bisa dipulihkan lagi.
Lia berjalan menuju aku dan duduk di sampingku. “Mungkin ini jalan yang harus kita tempuh. Mungkin kita hanya bisa menerima, dan berharap suatu saat nanti, akan ada yang datang untuk memperbaiki apa yang telah rusak.”
Aku mengangguk pelan. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi. Kami duduk di sana, dalam keheningan yang berat, menunggu apa yang akan datang selanjutnya. Tidak ada yang bisa diperbaiki. Tidak ada lagi perlawanan yang bisa dilakukan. Semua sudah terlambat.
Malam itu, ketika aku menutup mata, aku tidak merasa tidur. Hanya ada perasaan kosong yang memenuhi seluruh tubuhku. Perasaan bahwa segala sesuatu yang indah sudah hancur. Bahwa kita, manusia, sering kali terlalu egois untuk peduli pada apa yang lebih besar dari diri kita sendiri.
Sungai itu, yang dulu menjadi saksi hidup kami, kini hanya tinggal kenangan. Kenangan tentang keindahan yang pernah ada, sebelum keegoisan menghancurkannya. Aku tahu, tidak ada yang bisa kembali. Tidak ada yang bisa diselamatkan.
Kami hanya bisa menunggu waktu, dan menerima kenyataan yang tak terhindarkan.
Akhirnya, semua yang bisa mereka lakuin cuma nunggu waktu, nunggu apa yang bakal datang setelah semua ini. Sungai itu, desa ini, dan semua yang pernah mereka impikan buat perbaikin, udah hancur karena keserakahan.
Dan mereka, yang dulu semangat banget, cuma bisa berdiri dan ngeliat. Mungkin ini bukan tentang menang atau kalah. Mungkin ini cuma soal belajar nerima, bahwa nggak semua hal bisa mereka selamatkan.