Daftar Isi
Pernah nggak sih, kamu merasa cinta itu cuma ada di cerita-cerita, tapi di kehidupan nyata, takdir malah punya rencana lain? Ya, Arka juga pernah. Cerita ini mungkin bakal bikin kamu mikir, Kenapa sih kita nggak bisa bersama, padahal kita saling cinta?
Tapi… takdir sering kali nggak berpihak, kan? Biar aku ceritain gimana aku dan dia, Laras, harus berpisah meski hati nggak pernah bisa lupa. Ini kisah tentang cinta, perpisahan, dan kenangan yang nggak akan pernah hilang. Tapi percayalah, kadang kita memang harus melepaskan, walaupun hati berat banget.
Cinta Takdir yang Terpisah
Perjalanan Tak Terduga
Di sore yang cerah, langit berwarna biru dengan beberapa awan putih yang bergerak perlahan, aku berjalan menuju kafe kecil yang sudah jadi tempat favoritku sejak beberapa waktu lalu. Kafe ini tidak terlalu besar, namun suasananya nyaman. Aroma kopi dan kue segar menyambut begitu aku masuk, membuatku merasa lebih tenang setiap kali melangkah ke dalamnya. Meja-meja kayu yang sederhana, dikelilingi oleh kursi empuk, memberi kesan yang begitu hangat. Sebuah tempat yang tepat untuk merenung atau sekadar menikmati waktu sendirian.
Aku memilih meja dekat jendela, tempat yang menghadap langsung ke jalan kecil yang sibuk. Di luar sana, orang-orang berlalu-lalang, beraktivitas dengan kesibukan mereka, sementara aku duduk sendiri, menikmati kesendirian yang entah mengapa terasa semakin menenangkan. Aku tak benar-benar sendiri, meskipun tak ada satu orang pun yang duduk bersamaku. Ada kenangan yang selalu membuatku kembali ke sini. Tempat ini adalah saksi bisu pertemuanku dengan seseorang yang kini hanya ada di pikiranku.
Laras. Dia yang membuatku datang ke sini berulang kali.
Dua tahun yang lalu, saat pertama kali aku bertemu dengannya di kafe ini, aku tak tahu jika itu akan menjadi momen yang akan mengubah hidupku. Aku masih ingat dengan jelas bagaimana dia duduk di meja sebelahku. Saat itu, aku sedang menatap layar laptop, berusaha menyelesaikan pekerjaan yang tak kunjung selesai. Namun, perhatian ku teralihkan oleh suara tawa ringan yang datang dari arah meja Laras. Entah mengapa, aku merasa ada yang berbeda.
Dia, dengan rambut panjangnya yang tergerai, mengenakan gaun sederhana namun elegan. Senyum yang mengembang di wajahnya membuat dunia seolah berhenti sejenak. Tanpa sadar, aku mulai memperhatikannya lebih lama. Matanya yang cerdas dan hangat seolah berkata banyak meski dia tidak sedang berbicara.
Aku tak tahu mengapa, tapi hatiku langsung berpaut padanya.
Beberapa saat kemudian, dia berdiri dan berjalan ke arah barista untuk memesan minumannya. Aku tak bisa menahan diri untuk tidak menatapnya. Seperti ada sesuatu yang menarikku untuk lebih dekat, sesuatu yang tak bisa kubicarakan dengan kata-kata.
Begitu Laras kembali dengan minumannya, tanpa sengaja aku menjatuhkan gelas di meja. Aku cemas, panik. “Astaga, maafkan aku…” aku buru-buru membersihkan noda-noda kopi yang tercecer.
Laras tersenyum lembut, tatapannya hangat. “Tidak apa-apa, kok. Biasanya aku yang ceroboh,” katanya. Suaranya begitu lembut, seolah menenangkan kegelisahan yang tiba-tiba muncul dalam hatiku.
Aku tersenyum kaku. “Aku Arka,” aku memperkenalkan diri.
“Laras,” jawabnya. Hanya itu, namun sesuatu dalam suara dan tatapan mata kami seperti menghubungkan dua dunia yang berbeda. Sejak saat itu, kami mulai berbicara lebih sering, saling berbagi cerita tentang kehidupan, pekerjaan, dan banyak hal lainnya. Percakapan kami terasa begitu alami, seperti sudah lama mengenal satu sama lain, padahal baru pertama kali bertemu.
Hari-hari berlalu, dan aku semakin sering datang ke kafe ini. Kami semakin dekat, meskipun tidak pernah terlalu terbuka tentang perasaan masing-masing. Laras selalu membawa aura kebahagiaan yang sulit dijelaskan, dan aku… entah kenapa, selalu merasa tenang setiap kali bersamanya. Ada kedamaian dalam setiap tawa dan setiap kata-katanya.
Namun, aku tahu ada sesuatu yang mengganjal. Ada perasaan yang terus menghantui, namun aku terlalu takut untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya kurasakan. Apakah aku hanya terjebak dalam perasaan yang ilusif? Atau mungkin, ini adalah takdir yang mengikat kami?
Satu sore, aku akhirnya memutuskan untuk melangkah lebih jauh. Saat kami duduk bersama, aku menatap matanya dengan penuh keyakinan, hati berdebar-debar. Aku tahu, ini saatnya untuk mengungkapkan perasaan yang sudah lama tertahan.
“Laras…” aku memulai, suaraku terdengar sedikit gemetar meskipun aku berusaha sekuat tenaga untuk tetap tenang. “Aku… aku merasa ada yang berbeda ketika aku bersamamu. Sejak pertama kali kita bertemu, aku merasa seperti ada ikatan di antara kita.”
Laras menatapku dengan tatapan yang lembut, tetapi ada kesedihan yang tampaknya tersembunyi di balik matanya. Dia menundukkan kepala sejenak sebelum akhirnya mengangkat wajahnya, matanya yang penuh makna bertemu dengan mataku.
“Aku juga merasakannya, Arka. Tapi…” suara Laras perlahan menghilang, dan aku bisa melihat bagaimana dadanya bergerak naik turun, seolah dia merasa tertekan.
“Apa maksudmu?” tanyaku, suaraku mulai bergetar. Aku bisa merasakan ada sesuatu yang tak berani dia katakan, sesuatu yang mungkin akan mengubah semuanya.
“Aku… aku sudah punya seseorang, Arka,” jawab Laras dengan suara yang begitu tenang namun menyakitkan. “Maafkan aku.”
Hatiku terasa seperti dihantam batu besar. Semua rasa yang selama ini aku pendam tiba-tiba terasa sia-sia. Tak ada kata-kata yang bisa keluar dari mulutku. Aku hanya bisa duduk diam, mencoba menerima kenyataan yang baru saja aku dengar.
Laras menatapku penuh penyesalan, namun aku tahu, takdir sudah menetapkan jalan kami masing-masing. Aku tersenyum kaku, meskipun hatiku hancur. “Tidak apa-apa,” jawabku pelan. “Aku mengerti.”
Sejak saat itu, pertemuan kami di kafe ini tidak pernah sama lagi. Setiap kali aku datang, Laras tidak ada lagi di sini, dan aku hanya bisa duduk di tempat yang sama, mengenang segala yang sudah terjadi. Setiap sudut kafe ini seperti menyimpan kenangan, dan aku selalu berharap, suatu hari nanti, Laras akan kembali.
Namun, waktu terus berjalan, dan aku tetap datang ke tempat ini—tempat yang mengingatkan aku pada sebuah cinta yang tak pernah terwujud.
Sampai akhirnya, suatu hari, aku duduk di sini lagi, berharap kenangan itu masih ada, berharap takdir akan memutar ulang kisah kami…
Harapan yang Patah
Hari-hari berlalu tanpa perubahan. Setiap kali aku kembali ke kafe itu, perasaan yang sama selalu menyergapku. Aku duduk di meja yang sama, memesan kopi yang sama, dan menatap dunia yang berjalan di luar sana, sementara hatiku tetap terjebak pada kenangan yang tak kunjung hilang. Ada begitu banyak momen yang terukir dalam ingatanku, namun semuanya terasa semakin kabur seiring waktu. Laras, yang dulu selalu ada di pikiranku, kini menjadi bayangan yang hilang di tengah keramaian.
Hari-hari tanpa Laras begitu sepi. Setiap kali aku melihat pasangan lain, aku hanya bisa membandingkan mereka dengan apa yang seharusnya terjadi antara aku dan Laras. Namun kenyataannya, takdir seakan menertawakan impianku.
Setelah beberapa bulan tanpa kabar, aku mulai menyadari bahwa mungkin, memang sudah waktunya untuk melepaskan. Setiap kali aku kembali ke kafe itu, aku mencoba untuk tidak terlalu berharap—meskipun hatiku terus berkata lain. Tapi bagaimanapun, perasaan itu tak bisa begitu saja hilang. Tidak bisa begitu saja diabaikan.
Suatu sore, ketika langit mulai menguning, aku masuk ke kafe yang kini terasa semakin asing. Aku duduk di meja dekat jendela, memandangi jalan yang sudah mulai sepi. Hari itu aku merasa lebih tenang, lebih siap untuk menerima kenyataan. Aku memesan secangkir kopi dan mulai membuka laptop, mencoba untuk menulis, meskipun pikiranku lebih sering terbang ke kenangan-kenangan bersama Laras.
Aku sedang terfokus pada layar laptop ketika tiba-tiba suara langkah kaki mendekat. Tanpa berpikir, aku mendongak—dan detak jantungku seketika berhenti. Di pintu kafe, berdiri seorang pria yang aku kenal dengan sangat baik. Di sampingnya, ada seorang wanita yang aku kenal—tapi dia bukan Laras.
Namun, yang membuat hatiku berdebar tak karuan adalah kenyataan bahwa wanita itu… adalah Laras.
Tapi bukan Laras yang dulu aku kenal. Dia tampak berbeda—lebih dewasa, lebih matang. Dan yang paling mengejutkan, dia memegang tangan seorang anak kecil, seorang bocah laki-laki dengan rambut hitam legam yang tampaknya masih berusia sekitar empat tahun.
Aku menatap mereka dengan perasaan yang campur aduk. Jantungku serasa terhimpit, tapi aku berusaha sekuat mungkin untuk tidak menunjukkan perasaan yang meluap di dalam dada. Laras terlihat bahagia. Senyumnya yang dulu selalu membuat dunia terasa lebih cerah kini hadir kembali, tapi kali ini… dia tersenyum pada orang lain. Bukan padaku.
Pria yang ada di sampingnya, yang tampaknya adalah suaminya, memegang tangan Laras dengan penuh kasih sayang. Mereka berjalan menuju meja kosong di dekatku. Aku hanya bisa diam, mataku menatap mereka yang kini mulai duduk di kursi. Anak kecil itu duduk dengan manis di pangkuan ibunya, sementara pria itu mulai membuka menu dan berbicara dengan Laras.
Segalanya terasa seperti mimpi buruk yang tak bisa kuhindari. Aku ingin bangkit dan pergi dari sana, tapi tubuhku terasa seperti terkunci. Aku hanya bisa menatap mereka dari jauh, mencoba menerima kenyataan bahwa Laras kini sudah memiliki hidup yang baru—hidup yang bukan lagi bersamaku.
Aku mencoba untuk menenangkan diri. Tidak ada yang salah dengan itu, bukan? Laras berhak bahagia. Dia telah memilih jalan hidupnya, dan aku harus belajar menerima itu. Tapi tetap saja, rasanya seperti ada sesuatu yang menusuk di dalam hatiku. Aku teringat semua percakapan kami dulu, ketika kami berbicara tentang masa depan, tentang harapan, tentang cinta yang sepertinya bisa tumbuh antara kami. Tapi sekarang, semuanya terasa hampa. Kenapa aku merasa seperti ini? Bukankah aku harusnya bahagia melihat dia bahagia?
Laras menoleh ke arahku. Matanya sejenak menangkap pandanganku, dan aku melihatnya terkejut. Namun, dia cepat-cepat menundukkan kepala dan tersenyum pada anak laki-lakinya. Aku tahu dia mengenaliku. Aku tahu dia tahu siapa aku. Tapi untuk apa? Semua sudah berbeda.
Aku memaksakan diri untuk tersenyum—sebuah senyuman yang rasanya begitu pahit. Tidak ada kata yang keluar dari mulutku. Hanya senyuman kaku yang aku coba pertahankan, meskipun hatiku terasa semakin rapuh.
Laras kembali berbicara dengan suaminya, sementara anak kecil itu berlari-lari kecil di sekitar meja. Aku melihat ke arah mereka, dan sekali lagi, aku merasakan sesuatu yang begitu dalam. Seperti ada bagian dari diriku yang hilang, terkubur dalam kenyataan yang aku tak pernah inginkan. Tapi itulah yang terjadi—takdir memisahkan kami.
Aku mengalihkan pandanganku, menatap kopi yang kini sudah dingin di depanku. Tidak ada lagi yang bisa kukatakan, tidak ada yang bisa kulakukan. Mungkin inilah yang terbaik, meskipun hatiku ingin berteriak menentang kenyataan ini.
Aku bangkit dari tempat dudukku, menatap mereka untuk terakhir kalinya. Laras masih tersenyum, suaminya tampak bahagia, dan anak kecil itu—anak mereka—terlihat penuh keceriaan. Semua itu adalah gambaran kehidupan yang tak pernah bisa aku miliki bersama Laras.
Aku berjalan menuju pintu, langkahku terasa berat, seolah tak ada lagi yang bisa diharapkan. Dalam hati, aku berbisik pada diriku sendiri, “Semoga kau bahagia, Laras. Aku akan selalu mengingatmu.”
Saat pintu kafe menutup di belakangku, aku tahu satu hal—takdir memang tak pernah berpihak pada kami.
Terpaku oleh Kenangan
Waktu berjalan dengan lambat setelah pertemuan itu. Setiap hari, aku kembali ke rutinitasku—bekerja, berkutat dengan kesibukan yang seakan tak ada habisnya, mencoba mengisi kekosongan dalam hidupku dengan hal-hal lain. Tapi entah bagaimana, setiap malam aku tetap terjaga, teringat pada pertemuan itu.
Kehidupan Laras sekarang sudah berbeda—jauh lebih bahagia. Aku bisa melihat itu dari sorot matanya yang penuh kedamaian. Kehidupan yang sudah dia pilih, keluarga yang dia miliki, semuanya tampak sempurna. Sementara aku… aku masih terjebak dalam kenangan. Rasanya seperti ada sesuatu yang hilang dalam diriku. Seperti ada bagian dari diriku yang tak bisa kembali lagi, terhapus oleh takdir yang kejam.
Suatu pagi, aku duduk di bangku taman yang dulu sering aku datangi bersama Laras. Dulu, tempat ini penuh dengan tawa kami, percakapan tentang impian, tentang masa depan yang kami rencanakan bersama. Namun kini, semua itu terasa kosong. Daun-daun yang berguguran di sekitar tempat dudukku seolah mengingatkanku pada perasaan yang tak bisa kuhindari. Aku memejamkan mata sejenak, mencoba menghindari bayangan Laras yang terus mengganggu. Tapi kenyataannya, semakin keras aku berusaha melupakan, semakin kuat perasaan itu mengikatku.
Aku menarik napas panjang dan membuka mataku, menatap langit yang biru. Semua orang berjalan dengan langkah cepat, dengan dunia mereka yang tampaknya sibuk dan penuh tujuan. Sementara aku, aku terjebak di sini, mengingat masa lalu yang tak bisa aku genggam lagi.
Setelah beberapa waktu, aku mencoba untuk kembali menjalani hidupku dengan lebih baik. Aku bertemu dengan teman-teman, melakukan hal-hal kecil yang membuatku merasa sedikit lebih baik. Tapi tak ada yang bisa menggantikan rasa kosong yang kutinggalkan setelah kehilangan Laras. Aku tahu aku harus melepaskan, tapi bagaimana caranya?
Di suatu sore, aku memutuskan untuk berjalan-jalan ke pusat kota, untuk melepaskan diri dari pikiranku yang terus-menerus berputar. Jalan-jalan itu ramai, seperti biasanya, dengan orang-orang yang sibuk beraktivitas. Aku menyusuri trotoar, mencoba melupakan semuanya. Tiba-tiba, aku melihat sebuah toko buku kecil yang tak jauh dari tempatku berdiri. Tanpa berpikir panjang, aku memutuskan untuk masuk.
Di dalam toko itu, suasananya tenang. Buku-buku berjejer di rak, dan udara di sana terasa lebih damai. Aku berjalan perlahan, melihat-lihat beberapa buku yang menarik perhatianku. Tiba-tiba, sebuah buku dengan sampul berwarna biru mencuri pandanganku. Aku mengambilnya dan membuka beberapa halaman. Buku itu tentang kisah cinta yang terpisah oleh waktu dan takdir, yang membuat hatiku tiba-tiba terasa sesak.
Aku terdiam di sana, membaca beberapa kalimat di halaman pertama. Isinya mengingatkanku pada aku dan Laras. Tentang bagaimana takdir bisa begitu kejam, bagaimana dua orang yang saling mencintai bisa terpisah tanpa pernah benar-benar tahu alasan mengapa. Aku menutup buku itu dengan hati yang berat, mencoba menahan air mata yang mengancam keluar.
Saat aku hendak meletakkan buku itu kembali, tiba-tiba pintu toko terbuka. Aku menoleh sekilas, dan mataku langsung tertuju pada sosok yang membuatku terkejut—Laras.
Aku tak bisa percaya dengan apa yang kulihat. Dia berdiri di sana, dengan senyum yang sama, membawa anak kecil yang tampaknya sudah tumbuh besar. Kali ini, dia tidak datang dengan suaminya, tetapi hanya berdua dengan anak itu. Langkah Laras terhenti sejenak ketika matanya bertemu denganku. Sejenak, ada kekosongan yang tercipta di antara kami, sebuah jarak yang begitu dalam, yang terasa sulit dijembatani.
Laras tersenyum canggung, dan aku bisa melihat sedikit kebingungan di matanya. Anak kecil di sampingnya berlari-lari kecil, sementara Laras berdiri dengan sikap yang lebih tenang dari sebelumnya.
“Anakmu sudah besar, ya?” aku akhirnya berkata, berusaha memecah kebisuan yang terbangun di antara kami.
Laras tersenyum lembut, senyum yang tak pernah bisa kuabaikan. “Iya, sudah hampir lima tahun. Waktu berlalu begitu cepat, ya?”
Aku hanya bisa mengangguk pelan. Tidak ada kata-kata lebih yang bisa keluar. Kenangan tentang masa lalu berkelebat begitu saja. Semua perasaan yang aku coba sembunyikan kembali muncul begitu kuat.
Laras berdiri di depanku, tak tahu harus berkata apa. “Aku… aku nggak tahu harus gimana. Aku nggak tahu kamu akan ada di sini,” katanya akhirnya, suaranya pelan namun jelas.
“Kenapa nggak?” tanyaku, meskipun aku tahu jawabannya. “Tentu saja aku ada di sini. Ini tempat kita dulu…”
Aku terdiam, merasakan rasa sakit itu kembali menghujam. “Kamu bahagia, Laras?” tanyaku, meskipun aku sudah tahu jawabannya.
Laras mengangguk, senyumnya terlihat lebih tulus daripada yang pernah kulihat. “Iya, aku bahagia. Dengan segala yang ada sekarang. Aku harap kamu juga bisa menemukan kebahagiaanmu.”
Kata-kata itu menusuk hatiku. Mereka bukan hanya kata-kata kosong. Mereka nyata. Laras memang bahagia, dan aku harus menerima kenyataan itu. Takdir memang telah memisahkan kami, meskipun cinta kami kuat.
Aku menatapnya, lalu tersenyum. Senyum yang kali ini bukan lagi senyum yang penuh harapan, melainkan senyum yang ikhlas. “Aku senang kamu bahagia, Laras. Itu saja yang penting.”
Dengan itu, aku berbalik dan meninggalkan toko buku itu, meninggalkan Laras dan anaknya, meninggalkan segala kenangan yang sudah lama tertinggal. Dalam hati, aku hanya bisa berharap bahwa meskipun takdir memisahkan kita, kita tetap menemukan jalan menuju kebahagiaan kita masing-masing.
Aku melangkah pergi, kali ini dengan hati yang lebih tenang—meskipun tetap dengan sedikit luka.
Menyudahi Dengan Ikhlas
Langit malam tampak tenang, dan angin berhembus lembut, membawa aroma hujan yang mulai turun. Aku duduk di bangku taman yang dulu sering aku kunjungi bersama Laras, di tempat yang sama, namun dengan perasaan yang sangat berbeda. Waktu telah berlalu begitu lama, dan aku tahu, sudah saatnya aku melepaskan.
Aku menatap ke depan, melihat siluet pohon-pohon yang tinggi, dengan cahaya bulan yang lembut menyinari jalanan. Semua tampak begitu damai, seperti dunia ini masih berputar meskipun aku merasa seakan terhenti di satu titik. Setiap detik yang kujalani di sini, terasa seperti kenangan yang masih bergema. Kenangan yang mengikatku, kenangan yang begitu kuat, namun kini, hanya bisa kuhadapi dengan senyuman pahit.
Laras dan aku tidak pernah lagi bertemu sejak pertemuan di toko buku itu. Kami saling memberi ruang untuk hidup masing-masing, seperti yang seharusnya terjadi. Aku sudah bisa melihat bahwa dia telah menemukan kebahagiaan yang dia cari, bersama orang yang tepat, bersama anak yang membawa kebahagiaan dalam hidupnya. Sedangkan aku, aku masih bertahan di antara bayang-bayang masa lalu, berusaha mencari arti dari semua ini.
Aku sudah cukup lama berjuang dengan perasaan ini. Aku sudah cukup lama berusaha melupakan, meskipun kenyataannya, aku masih belum bisa sepenuhnya. Namun, pertemuan terakhir kami—aku menyadari sesuatu. Aku sadar bahwa meskipun kami tak bisa bersama, meskipun takdir telah memisahkan kami, aku tetap bisa bahagia. Bukan karena aku menemukan pengganti Laras, bukan karena aku bisa melupakan semuanya, tetapi karena aku telah menerima takdir itu dengan lapang dada.
Saat itu, aku menatap langit, membiarkan hujan turun perlahan, menenangkan pikiranku. Aku tahu, ini adalah akhir dari perjalanan kita. Aku dan Laras—kita akan selalu memiliki tempat dalam hati satu sama lain. Namun, kita juga harus tahu kapan saatnya untuk melepaskan. Takdir memang tak berpihak pada kita, tapi itu tidak berarti kita harus menyesali segala yang telah terjadi. Karena, seperti yang aku pelajari dari kisah kita, cinta tidak selalu berakhir dengan kebersamaan. Kadang, cinta itu tumbuh dalam kesendirian, dalam kenangan, dan dalam kebahagiaan orang yang kita cintai.
Aku berdiri dan melangkah pergi, meninggalkan taman itu sekali lagi. Tidak ada lagi rasa sakit yang membelenggu hatiku. Tidak ada lagi tangisan yang terpendam. Aku tahu bahwa Laras akan selalu ada di hatiku, dalam kenangan yang manis, dalam cinta yang tidak pernah pudar. Dan aku juga tahu, dia akan selalu memiliki tempat dalam hidupku, meskipun kita tak bisa bersama. Kami berdua sudah menemukan jalan kami masing-masing, meskipun itu berarti kita harus saling melepaskan.
Aku melangkah dengan kepala tegak, dengan senyuman yang lebih tulus. Ini adalah saatnya untuk bergerak maju, untuk meraih kebahagiaanku sendiri. Takdir mungkin tidak berpihak pada kami, tapi aku percaya bahwa hidup masih punya banyak hal indah yang bisa kutemui. Dan mungkin, suatu hari nanti, aku akan menemukan cinta yang baru—cinta yang tak terhalang oleh masa lalu, cinta yang bisa berkembang tanpa bayang-bayang yang menghalanginya.
Dengan langkah yang lebih pasti, aku meninggalkan kenangan itu di belakangku. Meskipun hatiku masih membawa sedikit luka, aku tahu, luka itu akan sembuh seiring waktu. Karena takdir, meskipun kejam, juga mengajarkan kita untuk menjadi lebih kuat, untuk menerima kenyataan dengan hati yang lebih lapang.
Di bawah hujan yang semakin deras, aku melangkah dengan keyakinan baru. Sebuah perjalanan baru menantiku, dan aku siap menghadapinya—tanpa menoleh ke belakang.
Dan begitulah, Arka akhirnya harus belajar untuk melepaskan. Takdir memang nggak selalu adil, tapi siapa kita untuk melawan alurnya? Meski hati ini masih tersisa rasa rindu yang nggak bisa dihapus, Arka tahu, hidup harus terus berjalan.
Dan mungkin, suatu hari nanti, Arka akan menemukan kebahagiaan baru, dengan cara yang berbeda. Tapi untuk saat ini, Arka hanya bisa tersenyum, melepaskan kenangan itu, dan terus berjalan. Tak ada yang pernah benar-benar hilang, kan? Karena di setiap langkah, ada cinta yang pernah ada, meski tak bisa kita miliki.