Romantika Asmara Remaja: Perjalanan Konyol dan Manis Lukas & Astrid

Posted on

Oke, jadi gini ceritanya… Kalo  kamu pernah ngerasain gimana rasanya jatuh cinta tapi nggak tahu harus mulai dari mana, atau malah ngerasa canggung tiap ketemu orang yang bikin kamu deg-degan, kamu bakal ngerti banget deh sama kisah ini.

Di sini, ada Lukas, cowok yang mungkin nggak pernah nyangka bakal berurusan sama Astrid—gadis keren yang nggak bisa diam. Jadi, siap-siap buat ketawa, ngerasa gemes, dan mungkin sedikit cemas juga, karena perjalanan mereka nggak bakal mulus. Tapi ya gitu deh, kadang cinta itu dimulai dengan kekonyolan yang nggak terduga.

 

Romantika Asmara Remaja

Tugas Sejarah yang Menjadi Kacau

Hari itu, cuaca di luar cukup cerah. Matahari memancarkan sinar keemasan yang menembus celah-celah jendela ruang kelas. Seperti biasa, suasana di kelas XI IPA 3 cukup ramai, meskipun tidak terlalu ribut. Hanya beberapa suara teman-teman yang bergumam, terkadang diselingi tawa, membuat suasana kelas terasa hidup.

Aku duduk di meja pojok sebelah kanan, seperti biasa. Bukuku terbuka lebar, menandakan bahwa aku sedang menatap halaman-halaman sejarah yang entah kenapa selalu membuatku merasa semakin tenggelam. Mungkin ini alasan mengapa aku lebih memilih menghabiskan waktu di sini—di pojok kelas, jauh dari keramaian. Aku lebih suka berada di tempat yang tenang, meski tidak bisa dihindari, sesekali aku terdengar menghela napas panjang karena pelajaran yang benar-benar membosankan ini.

Lalu, tiba-tiba, ada suara langkah kaki yang terdengar mendekat. Aku tidak terlalu peduli, mengingat aku sudah terbiasa dengan keributan di sekitar kelas. Namun, langkah itu berhenti tepat di depanku.

“Hai, Lukas!” suara ceria Astrid terdengar begitu dekat. Aku menoleh dan melihat wajahnya yang tersenyum lebar. Astrid, gadis yang selalu jadi pusat perhatian di sekolah, kini berdiri di hadapanku dengan ekspresi penuh harap. “Kamu nggak keberatan kan bantu aku sedikit?”

Aku mengerutkan dahi, merasa ada sesuatu yang aneh. “Bantu kamu? Untuk apa?”

Dia meletakkan tasnya di meja dan duduk di kursi sebelahku. “Tugas sejarah, dong! Kan kamu jago banget di pelajaran ini. Aku nggak ngerti sama sekali!” Astrid menyeringai, senyumnya sedikit nakal.

Aku mendengus pelan. Tugas sejarah memang tidak pernah mudah. Bahkan aku yang paling sering dibilang ‘anak kutu buku’ pun terkadang merasa hampir putus asa dengan segala detail yang harus dihafal. Tapi melihat ekspresi Astrid yang begitu mengharapkan bantuan, aku merasa enggan untuk menolaknya.

“Kalau kamu nggak ngerti, berarti kamu belum baca buku ini,” kataku sambil menunjukkan buku sejarah yang terbuka di depanku. “Semua ada di sini.”

Astrid mendengus, mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi. “Baca itu artinya apa, Lukas? Baca, tapi kalau aku nggak ngerti sama sekali, buat apa? Yang ada malah aku bingung sendiri.”

Aku terkikik pelan mendengar kalimatnya. Memang, kadang-kadang, Astrid memang terlihat seperti gadis yang pintar, tapi kalau urusan pelajaran sejarah, dia seperti dunia lain. Entah kenapa, dia lebih tertarik ngobrol dengan teman-temannya atau menghabiskan waktu di kantin daripada belajar sejarah yang katanya “membosankan.”

“Tapi, kamu bisa kan bantu aku sedikit? Setidaknya buat nulis makalah ini,” tambahnya dengan nada memelas.

Aku menatapnya sejenak. Mungkin aku sedikit merasa kasihan padanya. Lagipula, tidak ada salahnya sedikit membantu, kan? Lagi pula, siapa tahu dia akan memberi hadiah kalau aku membantunya. “Oke deh, tapi kamu harus baca dulu bagian ini. Kalau nggak, aku nggak akan bantu sampai kamu paham,” kataku dengan nada serius, meskipun dalam hati aku sudah tahu itu akan jadi perjalanan yang panjang.

Astrid tersenyum lebar. “Deal!” jawabnya cepat, seperti biasa. “Tapi, jangan kaget ya kalau aku nanti minta bantuan lagi. Kamu kan tahu, aku ini emang nggak berbakat di pelajaran sejarah.”

Aku menggelengkan kepala, merasa lucu sekaligus agak bingung. “Ya sudah, kalau gitu, kamu harus serius. Kalau tidak, usaha kita cuma buang-buang waktu,” kataku sambil membuka kembali bukuku dan mulai menjelaskan bagian-bagian penting dari topik yang sedang kami pelajari.

Astrid mendengus lagi, sepertinya mulai merasa putus asa. Namun, dia tetap memperhatikan. “Oke, oke, aku serius kok!” Dia mencoba mencatat, meskipun kelihatan sekali kalau dia tidak mengerti apa yang kutuliskan di papan tulis.

Satu jam berlalu begitu saja. Aku baru saja menjelaskan bab tentang Perang Dunia I dan dampaknya terhadap politik dunia, namun Astrid tetap terlihat bingung. Aku bahkan sempat bertanya, “Kamu ngerti nggak?”

Dia hanya mengangguk-angguk, meskipun ekspresinya berkata lain. “Paham banget, Lukas! Jadi, Perang Dunia I itu kayak… semacam perang besar yang bikin banyak negara berantakan, kan?”

Aku hampir tersedak mendengar jawabannya. “Iya, lebih tepatnya, tapi kamu nggak bisa bilang begitu aja. Ada banyak faktor yang mempengaruhi perang itu, bukan cuma ‘berantakan’.” Aku terdiam sejenak, berpikir apakah aku sudah terlalu mengerikan menjelaskan sejarah ini.

Astrid menyandarkan kepalanya di meja, terlihat semakin frustrasi. “Lukas, jujur deh. Aku lebih suka ngomongin hal lain, yang lebih seru. Misalnya, siapa yang bakal jadi pacarku minggu depan,” katanya dengan nada bercanda.

Aku menatapnya dengan tatapan bingung, tidak tahu harus menjawab apa. “Astrid, seriuslah. Tugas ini penting.”

Astrid tertawa terbahak-bahak. “Oke, oke, aku serius deh. Tapi kan kamu tahu, sejarah ini… nggak menarik sama sekali! Kenapa nggak ada drama kayak di film, gitu?”

Aku tertawa kecil, merasa konyol. “Kamu memang beda dari yang lain, Astrid.”

Di tengah-tengah kebingungannya, entah kenapa aku mulai merasa sedikit terbawa suasana. Astrid memang ceria dan kadang konyol, tapi ada sisi lain darinya yang lebih serius dan sedikit tertutup. Aku tahu, dia bisa lebih dari yang dia tunjukkan.

Pukul istirahat pun tiba. Kami berdua beranjak ke kantin bersama, meskipun makalah sejarah yang menumpuk masih menanti. “Oke, kalau kamu nggak selesai baca catatan itu, aku nggak bakal bantu lagi,” kataku, mencoba tetap menjaga sikap serius.

Astrid hanya tersenyum dan mengangkat kedua tangan. “Ya, ya, aku janji! Aku bakal selesai, kok. Tapi, yaa… kamu harus janji bantu aku lagi nanti!”

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum. “Kamu ini…”

Kami berjalan ke kantin, tanpa menyadari kalau tugas sejarah itu, yang seharusnya hanya sebuah kewajiban, malah telah membawa kami ke perjalanan yang lebih jauh—dan mungkin lebih konyol—dari yang pernah kami bayangkan.

 

Catatan Sejarah dan Drama Tak Terduga

Seperti yang sudah bisa diprediksi, hari-hari berlalu dengan penuh kebingungannya. Meskipun aku sudah berjanji untuk membantu Astrid menyelesaikan tugas sejarahnya, kenyataannya tugas itu malah jadi proyek bersama yang lebih banyak diwarnai drama daripada belajar.

Hari itu, aku duduk di pojok yang sama, di meja yang sama, dengan buku sejarah terbuka lebar. Namun kali ini, Astrid duduk di sampingku, berusaha untuk tetap fokus, meskipun sesekali matanya melirik ke luar jendela. Setiap kali aku menjelaskan sesuatu, dia lebih banyak menggelengkan kepala. Mungkin dia berharap aku bisa menemukan cara untuk membuat sejarah ini lebih menarik, atau mungkin dia berharap aku bisa memberikan penjelasan yang lebih dari sekadar kata-kata formal di buku. Aku benar-benar nggak tahu.

“Jadi, kalau Perang Dunia I itu dimulai karena persaingan antar negara, artinya… negara-negara itu kayak… rebutan mainan gitu ya?” Astrid menatapku dengan wajah serius, mencoba memahamkan logika yang menurutnya masuk akal.

Aku hampir tersedak lagi. “Gimana sih, Astrid? Ini bukan soal mainan!” aku berkata dengan kesal, meskipun sebenarnya tidak bisa menahan tawa melihat wajah polosnya. “Mereka saling berebut pengaruh, kekuasaan, dan wilayah. Nggak segampang itu.”

“Ah, pusing deh! Kenapa nggak ada yang ngajarin aku tentang cara ngalahin musuh di game aja? Itu lebih gampang,” jawabnya santai, lalu memainkan pena yang ada di tangannya.

Aku bisa merasakan mataku mulai terasa berat. Kadang, rasanya seperti aku sudah menjelaskan hal yang sama berulang kali, tetapi dia tetap saja tidak paham. “Coba deh, Astrid, baca sedikit dari catatan ini. Nggak akan ada jalan pintas. Kalau kamu nggak ngerti, gimana nanti kamu nulis makalahnya?”

Astrid mendengus, menggigit bibir bawahnya sejenak. “Yah, ini bukan perkara ngerti, Lukas. Ini tentang kebosanan. Kalau pelajaran sejarah bisa seseru drama Korea, mungkin aku akan lebih antusias.”

Aku menggelengkan kepala. “Drama Korea? Serius?”

“Serius, Lukas! Bayangin kalau dalam sejarah itu ada cowok-cowok tampan dan cewek-cewek yang bikin ribut di setiap episode. Pasti seru banget kan?”

Aku tidak bisa menahan tawa. “Jadi kamu mau sejarah jadi drama Korea?” tanyaku, mencoba menahan diri agar tidak tertawa terbahak-bahak. “Kalau gitu, kita perlu nulis ulang semua buku sejarah. Tapi, tentu aja kita nggak bisa bawa bintang K-Drama ke kelas.”

Astrid tertawa kecil, menepuk meja dengan senang hati. “Bener juga, ya? Tapi, serius deh, kalau sejarah bisa lebih ‘terhibur,’ aku bakal belajar, kok.”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala lagi. “Itu nggak akan terjadi, Astrid.”

Namun, meskipun aku kesal, aku mulai sadar kalau sebenarnya dia tidak begitu bodoh. Mungkin cara dia belajar memang berbeda dari yang lain, tapi aku mulai merasa ada sesuatu yang menarik tentang bagaimana cara dia berpikir. Setiap kali dia ngomong, pasti ada saja hal-hal lucu yang keluar, meskipun kadang aku bingung juga. Kalau aku pikir-pikir, itu bisa jadi salah satu cara dia menghindari pelajaran yang nggak menarik buatnya.

Saat bel masuk dan kelas dimulai lagi, Astrid terlihat sedikit lebih tenang. Tapi dia masih mengutak-atik pensil di tangannya, tidak benar-benar serius dengan pelajaran yang baru dimulai.

Aku kembali ke posisi semula, menyadari bahwa semua usaha yang kulakukan untuk membantu Astrid menyelesaikan tugas sejarah itu terasa sia-sia. Namun, entah kenapa, aku tetap merasa aneh kalau nggak membantu. Ada rasa seperti ingin menjaganya, meskipun tugas ini sama sekali bukan urusanku.

Tapi, di saat itu, aku nggak tahu kalau tugas sejarah kami justru akan membawa kami lebih dekat dari yang kubayangkan. Tak ada yang menyangka bahwa drama kecil dalam sejarah itu akan berlanjut ke drama kehidupan nyata yang jauh lebih rumit—dan lebih konyol.

Setelah beberapa hari berlalu, kita akhirnya kembali ke meja yang sama. Hari ini, Astrid lebih tampak serius, meskipun tetap dengan sedikit paksaan.

“Lukas, tolong banget deh! Aku nggak ngerti soal Perang Dunia II,” katanya dengan nada setengah putus asa. “Kenapa negara bisa tiba-tiba nggak suka satu sama lain? Apakah mereka punya masalah pribadi?”

Aku menghela napas panjang. “Itu karena ada banyak faktor, Astrid. Banyak masalah yang ditimbulkan setelah Perang Dunia I. Negara-negara yang kalah merasa diperlakukan nggak adil, yang menyebabkan ketegangan lebih besar.”

Astrid menatapku dengan mata setengah sadar. “Oh, jadi intinya mereka kayak bertengkar karena masalah lama gitu ya? Kayak aku sama kamu?”

Aku hampir tersedak mendengar perkataannya. “Hah? Maksud kamu apa?”

Astrid tertawa terbahak-bahak. “Ya, seperti kita berdua. Kan kamu kadang suka bikin aku bingung banget, jadi kita bertengkar kecil.”

Aku hanya bisa menggelengkan kepala, merasa canggung. “Itu bukan masalah besar, Astrid,” jawabku, berusaha mengalihkan perhatian.

“Tapi aku nggak tahu kenapa, kalau ada kamu, semuanya jadi lebih seru, bahkan tugas sejarah yang ribet pun bisa jadi hal yang menghibur. Kamu tahu nggak?” Astrid berkata tanpa ragu, tapi tiba-tiba matanya terlihat lebih serius.

Aku terdiam sejenak, merasa agak canggung dengan kalimatnya. “Yah, kalau kamu mau sejarah jadi lebih seru, aku bisa bantu. Tapi, jangan berharap terlalu banyak drama.”

Astrid hanya tersenyum lebar, penuh harapan. “Jangan khawatir, aku nggak butuh drama. Aku cuma butuh teman yang bisa bikin tugas ini lebih ringan.”

Aku menatapnya untuk beberapa detik. Aku tidak tahu kenapa, tapi ada rasa hangat yang tiba-tiba muncul begitu saja. Mungkin memang benar, sejarah ini mungkin nggak seru, tapi ada sesuatu yang membuatnya berbeda.

Mungkin, ada lebih banyak cerita yang bisa kami tulis bersama, bahkan tanpa harus membuka buku sejarah sekali pun.

 

Ujian, Teman, dan Pengakuan yang Tertunda

Satu minggu setelah pertemuan penuh drama tentang Perang Dunia I dan II, akhirnya datang juga ujian sejarah yang sudah kami tunggu-tunggu—atau lebih tepatnya, yang kami hindari. Semua orang sudah panik, kecuali Astrid. Ya, dia tetap saja menghadapinya dengan tenang, seakan ujian sejarah ini hanya sekedar acara santai.

Hari itu, aku terkejut melihat dia datang ke kelas dengan tampang yang terlalu santai. Sementara hampir semua orang sibuk mengulang materi, Astrid malah kelihatan seperti baru bangun tidur, rambutnya sedikit acak-acakan, dan raut wajahnya nggak menunjukkan tanda-tanda kecemasan sama sekali.

“Lukas!” panggilnya dari belakang, sambil melambai-lambai dengan tangan. “Udah siap buat ujian?”

Aku melirik ke arah buku sejarah yang masih terbuka di mejaku. Aku baru saja memulai mengulang, dan sejujurnya, aku merasa sedikit lebih tenang. “Siap? Aku sih berharap bisa lulus tanpa pingsan.”

Dia tertawa lepas, hampir membuatku terjatuh dari kursi. “Eh, tenang aja. Aku yakin kita bakal aman. Kalau nggak ngerti jawabannya, tinggal nyontek dari temen aja,” katanya sambil mengedipkan mata.

Aku memandanginya, masih terheran-heran dengan sikapnya yang selalu ceria dan santai, meskipun ujian di depan mata. “Kamu bener-bener santai banget ya?” aku tanya, sedikit terkesan.

“Ya, kenapa enggak?” jawabnya tanpa beban. “Yang penting, kita jangan stress. Nanti malah jadi nggak bisa mikir.”

Aku tersenyum, walaupun sedikit bingung. “Kalau gitu, kamu pasti ada trik buat ujian sejarah ini, kan?”

Astrid memutar bola matanya, pura-pura berpikir. “Hmm, ya mungkin… Kalau soal Perang Dunia, kan, intinya mereka cuma rebutan pengaruh. Jadi kalau nanti ada soal tentang itu, kita jawab aja ‘karena kekuasaan.’ Bisa banget.”

Aku menggelengkan kepala. “Itu nggak cukup buat lulus, Astrid.”

“Tunggu aja,” dia menjawab sambil menunjuk ke arah papan pengumuman, “kalau kita gagal, kita gagal bareng. Kalau berhasil, kita berhasil bareng. Gimana? Setuju?”

Aku cuma bisa mengangguk pelan, meskipun dalam hati aku ragu kalau dia benar-benar serius.

Seperti yang sudah bisa diprediksi, ujian itu datang dan pergi dengan kecepatannya yang mencengangkan. Kelas dipenuhi dengan suara pensil yang berdetak di atas kertas, dan jeda yang sesekali diselingi dengan bisikan teman-teman yang saling berbagi jawaban. Tapi meskipun banyak yang sibuk menyontek, aku cuma bisa memandang Astrid yang asyik dengan jawabannya sendiri. Entah kenapa, dia seperti nggak pernah merasa takut sama sekali.

Aku menulis jawaban dengan kecepatan yang agak terburu-buru, namun tetap berusaha fokus. Beberapa kali aku mencuri pandang ke arah Astrid yang kelihatannya malah nggak terlalu fokus. Dia lebih sering memandang ke jendela dan menggigit pensil dengan polosnya.

Lalu, saat ujian selesai, kami semua keluar ruangan, dan suasana langsung berubah menjadi lebih santai. Namun, tiba-tiba saja, suasana yang biasa itu berubah saat kami bertemu di lorong. Astrid terlihat lebih cemas dari biasanya.

“Eh, Lukas…” dia memanggilku, menahan langkahku. “Aku… aku udah nggak bisa bohong lagi deh.”

Aku berhenti berjalan dan menatapnya, agak bingung. “Hah? Maksudnya apa, Astrid?”

Dia memandangku dengan serius, dan aku bisa melihat kilatan ketegangan di matanya. “Aku… aku nggak tahu gimana harus ngomongnya. Tapi, Lukas, aku nggak cuma mau belajar sejarah bareng kamu, loh.”

Aku terdiam, merasa dunia seakan berhenti berputar sejenak. “Maksud kamu?”

Astrid menggigit bibir bawahnya, tampak kesulitan untuk melanjutkan kata-katanya. “Aku nggak tahu kapan atau gimana semuanya mulai berubah, tapi… aku mulai ngerasa ada sesuatu yang lebih di antara kita. Jadi, kalau kamu nggak keberatan, aku pengen kita nggak cuma jadi teman belajar lagi.”

Aku terdiam, terpaku oleh kata-katanya. Aku tahu kita sudah jadi teman baik, tapi aku nggak pernah benar-benar memikirkan perasaan kami lebih dari itu. Astrid yang selalu konyol dan cuek, ternyata juga punya sisi lain yang lebih dalam. Dan sekarang dia mengungkapkan perasaannya dengan cara yang paling sederhana—tapi jujur.

Aku merasa canggung, tak tahu harus bilang apa. “Astrid, aku…” kata-kataku terhenti di tenggorokan. “Aku nggak tahu, deh. Aku nggak terlalu paham soal ini. Tapi, aku nggak mau bikin kamu kecewa.”

Dia mengangguk pelan, matanya sedikit melirik ke bawah. “Gak apa-apa, Lukas. Aku cuma mau kamu tahu, kalau aku tuh gak cuma butuh temen buat belajar. Kadang-kadang, aku cuma butuh seseorang buat diajak ngobrol… Yang nggak bikin aku merasa bodoh.”

Aku bisa merasakan hatiku sedikit terenyuh mendengar kata-katanya. “Astrid, aku… Aku nggak tahu harus gimana.”

Astrid tertawa pelan, seperti biasa. “Aku cuma bilang itu karena aku nggak mau ada yang ditahan-tahan. Jadi ya… yaudah deh, kita lihat aja nanti. Kalau kamu nggak mau, aku juga ngerti kok.”

Aku menatapnya, merasakan ada sesuatu yang lebih dari sekadar percakapan biasa. Ada perasaan yang mulai berkembang, meskipun aku belum siap untuk menghadapinya. Tapi untuk pertama kalinya, aku merasa sedikit lebih terbuka untuk apa yang akan datang.

Dan saat itu, aku tahu, hidupku nggak akan sama lagi setelah percakapan itu.

 

Langkah Baru, Mulai dari Sini

Hari-hari setelah percakapan yang mendebarkan itu berjalan seperti biasa, meskipun aku merasa ada yang berbeda. Mungkin bukan hal besar yang terjadi, tapi ada perasaan halus yang mengendap di antara aku dan Astrid. Kami nggak langsung mengubah hubungan kami, tapi rasanya seperti ada benang halus yang menghubungkan kami berdua, membuat setiap percakapan menjadi lebih berarti, dan setiap tatapan sedikit lebih lama.

Tapi, seperti halnya remaja pada umumnya, kami tetap berusaha untuk menjaga semuanya tetap ringan dan tanpa beban. Meskipun kadang-kadang aku merasakan ketegangan kecil di udara, aku dan Astrid tetap seperti biasa. Kami tertawa, bercanda, dan berdebat tentang pelajaran. Hanya saja, sekarang ada sedikit kehangatan di balik semua itu.

Pada suatu pagi yang cerah, saat aku sedang menunggu di depan pintu kelas, Astrid datang dengan ekspresi yang berbeda. Dia terlihat lebih segar dari biasanya, dan ada semacam kilauan di matanya.

“Lukas!” panggilnya sambil melambai-lambai. “Ada sesuatu yang mau aku omongin.”

Aku menatapnya dengan bingung, sedikit terkejut melihat wajahnya yang begitu bersemangat. “Apa lagi sih, Astrid?”

Dia berhenti tepat di depanku, menatapku dengan serius, lalu tiba-tiba tertawa. “Aku baru sadar sesuatu, Lukas. Aku tuh kayaknya gak bisa ngelakuin hal-hal biasa aja. Aku mesti ngelakuin hal yang beda.”

Aku mengernyitkan dahi, masih bingung dengan maksudnya. “Maksud kamu apa?”

Astrid menarik napas dalam-dalam. “Aku… Aku pengen kita keluar bareng.”

Aku terdiam, otakku mencerna kalimat itu. Keluar bareng? Sebagai teman? Atau lebih dari itu?

Astrid melihat kebingunganku dan buru-buru melanjutkan, “Aku tahu ini mungkin kedengaran aneh, tapi… aku cuma pengen ngelakuin sesuatu yang nggak biasa. Aku nggak mau kita terus-terusan diem aja, kayak kita takut ngambil langkah baru. Aku mau coba lebih dari sekadar belajar bareng.”

Aku merasa ada sesuatu yang menggugah di dalam diriku. Mungkin ini waktunya untuk melangkah keluar dari zona nyaman, untuk mencoba sesuatu yang baru. Mungkin ini kesempatan buat aku dan Astrid untuk menjelajahi hal-hal lebih besar dari sekedar pelajaran atau pertemanan biasa.

“Jadi… maksud kamu, kita jalan bareng? Seperti, kencan?” tanyaku, dengan suara pelan, hampir tak percaya.

Astrid tertawa kecil, seakan bisa mendengar keraguan di suaraku. “Iya, bisa dibilang seperti itu. Tapi tanpa tekanan, cuma santai aja. Kita coba lihat, gimana rasanya.”

Aku mengangguk pelan, hati mulai berdebar. “Oke, ayo. Kita coba aja.”

Kami sepakat untuk pergi ke kafe kecil di dekat sekolah yang selalu ramai dengan remaja. Tempat yang penuh dengan aroma kopi dan percakapan ringan. Saat kami sampai, ada suasana yang sangat nyaman di sana. Tak ada yang aneh, hanya kami berdua, ngobrol tentang segala hal yang biasa—tentang ujian, tugas, dan bahkan rencana liburan yang masih jauh.

Tapi ada sesuatu yang berbeda di sini. Aku merasa nyaman, lebih nyaman daripada sebelumnya. Saat Astrid tertawa dengan caranya yang unik, atau ketika dia memandangku dengan senyum nakal, aku tahu bahwa ini lebih dari sekedar percakapan antara teman.

Selama beberapa jam, kami hanya duduk, menikmati secangkir kopi dan ngobrol tentang hal-hal yang nggak ada kaitannya dengan ujian atau pelajaran. Itu terasa ringan, tetapi dalam, seperti sesuatu yang mulai tumbuh antara kami. Sesuatu yang belum jelas, tapi cukup untuk membuatku merasa bahwa ini adalah awal dari sesuatu yang lebih besar.

Ketika kami berdua akhirnya berjalan keluar dari kafe, kami berhenti di bawah pohon besar yang selalu ada di tengah taman. Suasana sore itu sangat tenang, dan angin sepoi-sepoi membuat daun-daun bergerak perlahan.

“Astrid,” aku memulai, suaraku sedikit ragu. “Aku nggak tahu ke mana arah ini, tapi aku rasa, aku mulai ngerasa sesuatu yang lebih… sesuatu yang lebih dari sekedar teman.”

Dia tersenyum, menatapku dengan penuh pengertian. “Aku juga, Lukas. Dan aku nggak mau kita buru-buru nentuin apa-apa. Tapi, aku rasa kita mulai berjalan ke arah yang bener.”

Aku tersenyum, merasakan beban yang selama ini aku tahan perlahan hilang. Astrid benar—kita nggak perlu terburu-buru. Ini bukan tentang label atau definisi, tapi lebih kepada perjalanan yang kita jalani bersama.

“Astrid,” kataku lagi, kali ini lebih pasti. “Terima kasih sudah ngajarin aku untuk nggak takut coba hal baru.”

Dia tertawa, dan aku merasa lega. “Sama-sama, Lukas. Tapi, kamu tahu kan, ini baru langkah pertama?”

Aku mengangguk, merasa siap untuk menghadapi langkah-langkah berikutnya. Tidak ada yang tahu apa yang akan terjadi, tapi setidaknya kami melangkah bersama—dan itu sudah cukup untukku.

Kami berjalan beriringan, menyadari bahwa perjalanan ini baru dimulai, dan seiring berjalannya waktu, langkah kami akan semakin mantap. Mungkin di masa depan, kami akan tertawa tentang ini, tapi untuk saat ini, aku hanya ingin menikmati setiap detiknya.

Dan dengan itu, aku tahu bahwa hidupku—dan hubungan kami—akan selalu penuh dengan kejutan.

 

Jadi, gitu deh ceritanya. Kadang kita nggak perlu buru-buru cari jawaban atau definisi tentang perasaan, karena yang penting adalah perjalanan itu sendiri. Siapa tahu, langkah konyol pertama bisa jadi awal dari sesuatu yang lebih besar.

Dan mungkin, justru dari semua keanehan dan kekonyolan itu, kita malah menemukan sesuatu yang lebih berarti. Jadi, kalau kamu pernah ngerasa bingung atau nggak tahu harus ngapain, inget aja—kadang, hal-hal terbaik datang dari momen yang nggak terduga.

Leave a Reply