Daftar Isi
Kadang, kita merasa sendiri banget di dunia ini, apalagi kalau jauh dari rumah. Tapi siapa sangka, di tempat yang asing, kita bisa nemuin orang yang nggak cuma jadi teman, tapi bener-bener jadi sahabat yang udah kayak saudara.
Mungkin awalnya canggung, penuh pertanyaan, dan nggak ada jaminan bakal deket. Tapi, siapa yang nyangka kalau perjalanan itu malah bikin kita ngerasa punya rumah baru, cuma lewat persahabatan yang saling menguatkan. Jadi, siap-siap aja, ceritanya bakal bawa kamu ke tempat di mana sahabat bisa jadi lebih dari sekadar teman.
Persahabatan Sejati
Pertemuan yang Tak Terduga
Di ruang kelas yang penuh dengan suara detak jam dinding dan bisikan teman-teman sekelas, aku duduk dengan mata yang menerawang ke luar jendela. Jakarta—kota yang tidak pernah tidur. Orang-orangnya selalu sibuk, bergegas ke sana kemari, seperti lalat-lalat yang tak pernah berhenti terbang. Aku, Ezra, adalah salah satu dari mereka, perantau yang jauh dari rumah dan keluarga. Sudah tiga bulan sejak aku memutuskan untuk kuliah di sini, jauh dari kota kelahiranku, jauh dari segala yang familiar.
Hidup di Jakarta bukanlah hal yang mudah. Di sini, aku merasa terkadang seperti benda asing yang tak pernah menemukan tempatnya. Universitas ini, dengan segala kebisingannya, adalah dunia baru yang harus kutemui setiap hari. Teman-teman yang datang dari berbagai latar belakang, mengobrol tanpa henti tentang hal-hal yang tidak pernah kumengerti, dan aku—hanya menjadi penonton dalam kehidupan mereka.
Saat itulah aku melihatnya. Nara. Dia selalu duduk di sudut kelas, dengan buku tebal di tangannya, tampak tenggelam dalam dunia yang sangat berbeda. Wajahnya datar, tak banyak bicara, seolah dunia di sekelilingnya tak penting. Sejujurnya, aku juga tidak tahu apa yang menarik darinya. Kami hanya sesama mahasiswa yang berada di tempat yang sama, menjalani rutinitas yang sama. Namun, entah kenapa, aku merasa ada sesuatu yang bisa kutangkap dari dirinya.
Hari itu, seperti biasa, kelas berlangsung membosankan. Semua orang sibuk dengan tugas masing-masing. Aku duduk sendiri di bangku belakang, menghadap papan tulis, tetapi pikiranku mengembara jauh entah ke mana. Ketika bel tanda akhir kelas berbunyi, aku mengangkat tas dan berjalan keluar, merasa sedikit lega. Aku membutuhkan udara segar.
Ketika aku keluar dan berjalan ke arah taman kampus, aku melihat Nara. Dia duduk di salah satu bangku taman, seperti biasanya, dengan kepala tertunduk, membaca buku yang sepertinya tak ada habisnya. Tanpa pikir panjang, aku mendekat dan duduk di bangku sebelahnya. Kami tidak saling berbicara untuk beberapa detik, hingga akhirnya aku membuka mulut.
“Hei, Nara,” sapaku.
Dia menoleh, matanya terlihat sedikit terkejut, namun segera berubah menjadi senyum tipis. “Oh, Ezra, kan? Lagi ngapain?”
Aku tertawa pelan. “Ya gitu deh, cuma jalan-jalan, bosen di dalam kelas. Kamu sendiri?”
Dia mengangkat bahunya, menatap langit sejenak sebelum akhirnya menjawab, “Pikiranku kemana-mana.”
Aku mengangguk, merasa sedikit terhubung dengan pernyataannya. “Sama. Kadang kuliah di sini berasa kayak di dunia lain, ya. Rasanya nggak ada yang ngerti.”
Lama dia diam, memikirkan kata-kataku, sebelum akhirnya berkata, “Iya, aku ngerti. Rasanya memang seperti itu. Tapi… kalau kamu nggak bisa bertahan di sini, kamu bakal kehilangan banyak hal.”
Aku terdiam mendengar kata-katanya. “Kehilangan apa maksudmu?”
Dia memutar buku yang ada di tangannya, seolah memilih kata-kata dengan hati-hati. “Kehilangan kesempatan untuk berkembang. Ini tempat yang keras, Ezra. Tapi kalau kamu bertahan, kamu bakal belajar banyak hal yang nggak bisa kamu pelajari di tempat lain. Aku pikir… kita harus coba saling menguatkan.”
Tiba-tiba, suasana itu terasa berbeda. Ada semacam ketulusan dalam suaranya yang membuatku sedikit bingung. Apa maksudnya dengan saling menguatkan? Kami hanya kenalan, belum sempat berteman baik. Namun entah kenapa, kata-katanya terasa menenangkan. Aku tidak tahu kenapa, tetapi aku merasa dia tahu persis apa yang aku rasakan.
Aku menarik napas panjang dan memutuskan untuk melanjutkan percakapan. “Saling menguatkan, ya? Hmm, itu bisa jadi ide bagus, tapi aku nggak tahu kalau aku punya banyak hal untuk diberikan.”
Dia menoleh ke arahku dengan tatapan serius, namun ada sedikit senyum di sudut bibirnya. “Tidak perlu banyak, Ezra. Kadang, hanya mendengarkan dan hadir sudah cukup.”
Aku tidak tahu harus berkata apa. Sejak saat itu, aku mulai menyadari bahwa mungkin, hanya mungkin, ada lebih dari sekedar kebetulan di balik pertemuan ini. Nara, yang awalnya terasa asing, kini mulai terasa seperti seseorang yang bisa aku percayai.
Malam itu, setelah aku pulang ke kosan, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang baru saja terjadi. Saling menguatkan. Sesuatu yang selama ini aku pikir hanya ada di keluarga. Ternyata, bahkan di tempat asing ini, aku bisa menemukan seseorang yang bisa menjadi teman, yang bisa mengerti aku tanpa perlu banyak kata.
Beberapa hari setelah itu, kami mulai lebih sering bertemu. Kadang kami makan siang bersama, kadang hanya duduk berdua di taman, berbicara tentang banyak hal. Tentang kuliah, tentang Jakarta, dan kadang tentang perasaan yang kami coba sembunyikan. Kami berdua saling mengisi ruang kosong yang ada dalam hidup masing-masing. Tanpa sadar, kami mulai menjadi bagian penting dari satu sama lain, saling memberi kekuatan di tengah kesulitan.
Aku tahu, ini baru permulaan. Ada perjalanan panjang yang harus kami tempuh, dan mungkin, baru kali ini aku merasa menemukan seseorang yang benar-benar bisa memahami apa yang aku rasakan. Nara, teman yang akhirnya menjadi saudara, ada di sini, berjalan bersamaku di kota ini yang dulu terasa sangat asing.
Kehidupan di perantauan tidak lagi sepi. Setidaknya, aku tidak sendiri lagi.
Di Balik Kesendirian
Sudah beberapa minggu sejak aku dan Nara mulai sering menghabiskan waktu bersama. Kami semakin dekat, meskipun hubungan kami masih terasa agak canggung di beberapa momen. Namun, ada sesuatu yang selalu membuatku merasa nyaman saat berada di dekatnya—suasana yang tenang, tanpa harus ada kata-kata yang dipaksakan.
Aku mengingat dengan jelas sore itu, ketika kami sedang duduk di taman kampus, ditemani oleh udara yang sejuk dan langit yang mendung. Langit Jakarta memang seringkali penuh sesak dengan polusi, tapi pada saat-saat tertentu, saat hujan datang, ada kedamaian yang aneh. Nara duduk dengan kepala tertunduk, fokus pada buku yang sedang dibacanya. Aku sendiri hanya memandangi angin yang menggoyangkan daun-daun pohon, seakan-akan alam ini tahu apa yang aku rasakan.
“Kenapa sih kamu lebih suka baca buku-buku tebal gitu?” aku memecah keheningan, penasaran dengan pilihan bacaan Nara yang selalu serius.
Dia menoleh dan tersenyum tipis. “Buku-buku ini… mereka lebih bisa mengerti aku daripada orang-orang di sekitar.”
Aku sedikit terkejut dengan jawabannya. Ada kesedihan yang tersembunyi dalam kata-katanya, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar perasaan bosan dengan buku. “Kenapa kamu bilang begitu?”
Nara menghela napas, lalu meletakkan bukunya di pangkuannya. “Karena… tidak banyak orang yang mau mendengarkan. Mereka lebih suka berbicara, bukan mendengarkan. Dan aku… kadang lebih suka berada dalam dunia yang lebih diam.”
Aku mengangguk, mencoba memahami apa yang dia maksud. Aku juga merasakan hal yang sama, meskipun dengan cara yang berbeda. Aku mungkin lebih sering berbicara, tapi tak jarang aku merasa hampa setelah itu, seolah-olah kata-kataku hanya mengalir begitu saja tanpa arti.
“Aku tahu apa yang kamu rasakan,” jawabku pelan. “Kadang, meskipun ada banyak orang di sekitar kita, kita tetap merasa sendiri, kan?”
Nara menatapku dengan tatapan yang dalam, seolah-olah ia baru saja menemukan kesamaan yang tak terucapkan antara kami. “Iya, itu benar. Perasaan itu… aneh, kan?”
Aku tertawa kecil. “Iya, sangat aneh. Tapi… ya, mungkin kita memang di sini bukan hanya untuk bertahan, tapi untuk mencari tempat di antara semua orang yang juga merasa seperti kita.”
Dia mengangkat bahunya, matanya menatap jauh, seolah-olah merenung dalam-dalam. “Aku kira aku sudah menyerah dengan mencari tempat di sini, Ezra. Tapi, sekarang setelah lebih sering ngobrol sama kamu, aku jadi merasa… sedikit lebih ringan.”
Kata-kata itu menyentuh hatiku lebih dalam daripada yang aku duga. Tidak ada yang lebih berharga dari bisa membuat seseorang merasa sedikit lebih baik, terutama di tempat yang asing ini.
Kami melanjutkan percakapan, tapi kali ini suasananya berbeda. Kami tak lagi hanya sekadar berbicara tentang kuliah atau hal-hal ringan. Kami mulai membuka lebih banyak diri, berbagi tentang masa lalu, tentang rumah yang kami tinggalkan, tentang orang-orang yang tidak lagi ada di sekitar kami.
Nara bercerita tentang keluarganya, tentang bagaimana dia tumbuh di kota kecil yang jauh dari keramaian Jakarta. “Dulu, aku sering merasa kesepian di rumah,” katanya, matanya sedikit berkaca-kaca. “Aku punya keluarga, tapi mereka sibuk dengan pekerjaan mereka. Jadi, aku lebih banyak menghabiskan waktu sendiri. Buku adalah teman terbaikku.”
Aku mendengarkan dengan seksama, merasakan betapa dalam perasaan yang dia ungkapkan. Di sisi lain, aku juga mulai menceritakan lebih banyak tentang keluargaku. Aku datang dari keluarga yang sangat dekat, meskipun mereka tak selalu memahami pilihan hidupku untuk kuliah di Jakarta.
“Kadang, aku merasa bersalah karena jauh dari mereka,” aku berkata, suara sedikit tersekat. “Mereka selalu mengiraku kuat, tapi aku merasa sangat kecil di sini. Nggak tahu harus bagaimana.”
Nara menatapku dengan penuh pengertian, seolah-olah dia tahu betul apa yang aku rasakan. “Aku ngerti, Ezra. Terkadang, jauh dari keluarga memang membuat kita merasa tak punya pijakan. Tapi… coba deh, anggap aja kita saling punya. Kita bisa saling bantu.”
Aku tersenyum, merasa hangat mendengarnya. Tidak ada yang lebih menenangkan selain merasa dimengerti. “Kamu benar. Mungkin kita bisa jadi keluarga di sini.”
Sejak saat itu, kami tidak hanya menjadi teman, tetapi kami saling mengisi kekosongan yang ada dalam hidup masing-masing. Di tengah kehidupan yang kadang membuat kami merasa terasing, kami menemukan kenyamanan satu sama lain. Kami tidak lagi hanya sekadar orang yang bertemu di kampus, tapi dua jiwa yang saling menguatkan.
Setiap kali aku merasa lelah atau terpuruk, aku tahu Nara selalu ada. Begitu pun sebaliknya, dia juga tahu bahwa aku akan selalu berada di sisinya ketika dia membutuhkan seseorang untuk mendengarkan.
Kami mulai lebih sering bertemu, tak hanya di kampus, tapi juga di luar kampus. Sesekali kami berjalan-jalan di kota Jakarta, menikmati jalanan yang ramai, mencari tempat makan murah, atau hanya sekadar duduk di taman hingga malam tiba. Kami berdua sama-sama perantau yang jauh dari rumah, dan entah bagaimana, dalam kesendirian itu, kami menemukan persahabatan yang lebih dari sekadar hubungan biasa.
Meski masih ada banyak hal yang harus kami hadapi di depan, entah itu kuliah yang semakin menumpuk atau tantangan lainnya, aku tahu satu hal—aku tidak lagi merasa sendirian. Nara, sahabatku yang kini seperti saudara, ada di sini. Kami berdua menghadapinya bersama, dan itu sudah cukup memberi kekuatan untuk terus melangkah.
Ketika Dunia Berputar
Malam itu, langit Jakarta mendung, memberi isyarat bahwa hujan akan segera turun. Kami duduk berdua di kafe kecil di sudut kota, tempat yang sudah menjadi langganan kami setiap kali kami ingin melarikan diri dari rutinitas kampus yang membosankan. Aku menatap Nara yang sedang asyik meminum cappuccino-nya, wajahnya terlihat tenang meski ada sedikit guratan lelah di matanya.
“Ezra, kamu ingat nggak waktu pertama kali kita ngobrol?” Nara tiba-tiba bertanya, suaranya terdengar lembut, hampir seperti bisikan.
Aku sedikit terkejut. Memang, sejak pertemuan pertama kami, banyak hal telah berubah, tapi aku tak menyangka bahwa Nara akan mengingat dengan jelas momen itu. Waktu itu, kami berdua seperti dua orang asing yang terjebak dalam kebisingan dunia yang sama, berbicara hanya karena situasi yang memaksa. Tak ada banyak ekspresi, tak ada banyak makna di balik setiap kata yang keluar.
Aku mengangguk. “Iya, aku ingat. Waktu itu kita ngobrol cuma karena duduk bersebelahan di kelas. Kita berdua nggak ngerti apa yang harus dibicarain, jadi kita cuma nanya-nanya soal tugas doang.”
Nara tersenyum tipis, lalu menyeruput cappuccino-nya lagi. “Aneh ya, sekarang kita bisa ngobrol kayak gini. Dulu, kita nggak pernah membayangkan akan jadi teman, apalagi sampai seakrab ini.”
Aku mengangkat bahu, mencoba merenung sejenak. “Mungkin karena kita berdua punya rasa yang sama, ya? Rasa terasing di tempat ini, jauh dari rumah, dan merasa nggak ada yang benar-benar bisa ngerti. Tapi, entah kenapa, ngobrol sama kamu rasanya beda. Seperti bisa melepaskan beban tanpa perlu menjelaskan apa pun.”
Nara menatapku, dan aku bisa melihat tatapannya yang penuh makna, seolah-olah dia sedang membaca pikiranku. “Aku ngerti. Kadang kita cuma butuh seseorang yang bisa ada, tanpa harus ngomong banyak. Kita cuma butuh tempat untuk berada di sampingnya.”
Aku mengangguk setuju. Ada sesuatu yang begitu nyaman tentang persahabatan kami. Meskipun kami tidak selalu memiliki jawaban untuk masalah masing-masing, tapi kehadiran kami cukup untuk menguatkan satu sama lain.
Namun, malam itu ada yang berbeda. Aku bisa merasakan ketegangan di udara. Mungkin itu hanya perasaanku, atau mungkin memang ada yang mengganjal. Aku tahu Nara sedang berusaha menghindari topik tertentu, sesuatu yang lebih dalam dari sekadar obrolan ringan.
“Kamu pernah merasa, nggak, kalau ada sesuatu yang hilang dalam hidupmu?” Tiba-tiba Nara bertanya, suaranya terdengar lebih dalam, seperti ada beban yang tak terucapkan.
Aku terdiam sesaat, tidak tahu harus bagaimana menjawab. Aku tidak pernah membicarakan hal ini dengan siapa pun, dan untuk pertama kalinya, aku merasa ada sisi lain dari Nara yang belum sepenuhnya aku kenal. “Maksud kamu?”
Nara menarik napas panjang. “Entahlah. Aku kadang merasa ada bagian dari diriku yang nggak bisa kutemukan. Seperti… aku belum benar-benar pulang ke tempat yang seharusnya. Mungkin aku memang nggak pernah punya rumah sejati, Ezra.”
Aku mengerutkan dahi, merasakan kehangatan yang aneh di dadaku. Aku merasa ingin membantu Nara, memberi dia sesuatu yang lebih dari sekadar kata-kata penghiburan. “Nara, kamu nggak sendiri. Kita mungkin nggak punya rumah yang bisa kita sebut sebagai tempat yang sempurna. Tapi aku tahu satu hal, kamu selalu punya aku. Dan aku… aku akan selalu ada untuk kamu.”
Nara menatapku lama, seolah memeriksa setiap kata yang baru saja kuucapkan. Setelah beberapa detik, dia tersenyum, meski senyumnya itu tidak sepenuhnya lepas dari kesedihan. “Terima kasih, Ezra. Kamu nggak tahu betapa pentingnya kata-kata itu buat aku.”
Aku merasa sedikit canggung, seolah-olah aku sedang mengungkapkan sesuatu yang lebih dalam dari yang seharusnya. Namun, melihat senyum Nara—meskipun dengan sedikit kepedihan di matanya—aku tahu bahwa dia merasa sedikit lebih baik. Aku berharap aku bisa menjadi alasan dia tersenyum lebih sering, walaupun aku tahu bahwa ada luka yang lebih besar di dalam dirinya yang tidak bisa sembuh hanya dengan kata-kata.
Tiba-tiba, hujan mulai turun dengan deras. Suara rintiknya menghantam jendela kaca kafe, menambah suasana menjadi lebih intim. Kami berdua terdiam, menatap keluar dengan pikiran yang mengalir.
“Apa kamu merasa… kita nggak akan pernah sepenuhnya kembali ke tempat yang kita anggap rumah?” Nara bertanya dengan suara pelan, tapi ada rasa khawatir yang tercermin di sana.
Aku menoleh, sedikit tersentak dengan pertanyaannya. “Mungkin. Tapi itu bukan berarti kita nggak bisa menemukan tempat baru untuk disebut rumah, kan?”
Nara memandangku lama, seolah-olah dia sedang mencari kepastian dalam jawaban yang baru saja kuucapkan. “Kamu benar. Mungkin rumah itu nggak harus selalu berupa tempat. Bisa jadi orang-orang yang kita temui, atau… persahabatan ini.”
Kami terdiam sejenak, membiarkan hujan berbicara untuk kami. Entah mengapa, malam itu terasa sangat berarti. Kami bukan lagi hanya dua orang asing yang kebetulan bertemu di kota besar ini. Kami sudah menjadi lebih dari itu. Kami sudah saling menemukan, saling menguatkan. Dan meskipun perjalanan kami masih panjang, aku tahu bahwa perjalanan itu akan lebih ringan dengan Nara di sisiku.
Malam semakin larut, dan hujan tak kunjung berhenti. Tapi aku tahu, selama aku punya sahabat seperti Nara, aku tidak akan pernah merasa sendirian lagi. Kami akan terus berjalan bersama, menghadapi apapun yang ada di depan kami.
Menemukan Rumah dalam Diri
Hari-hari berlalu, dan aku dan Nara terus menjalani hidup di Jakarta, dengan segala rutinitas yang terasa semakin ringan. Ada sesuatu yang berbeda dalam cara kami melihat dunia. Dulu, perasaan asing dan kesepian yang kami rasakan di perantauan kini tak lagi mengganggu. Kami sudah saling menemukan, saling memperkuat. Setiap pertemuan kami, setiap percakapan ringan yang mengalir begitu saja, semakin membuat hubungan ini terasa seperti keluarga. Dan itu lebih dari sekadar kata-kata. Kami tahu itu nyata.
Taman yang kami kunjungi setelah percakapan di kafe itu adalah tempat yang sering kami datangi untuk beristirahat, menjernihkan pikiran, atau sekadar meluangkan waktu bersama. Tempat itu kini lebih dari sekadar taman, lebih dari sekadar sebuah ruang kosong di tengah hiruk-pikuk kota. Bagi kami, taman itu adalah saksi bisu perjalanan kami bersama—saat kami pertama kali berbicara terbuka, saat kami mulai mengerti satu sama lain, dan saat kami berdua menyadari bahwa pertemuan kami bukanlah kebetulan. Persahabatan ini memang sudah ditentukan.
Aku duduk di bangku dekat kolam, menatap air yang memantulkan cahaya matahari yang mulai semakin terik. Nara duduk di sampingku, tangannya memegang secangkir kopi panas yang baru saja ia beli. Hening sejenak, tapi tidak ada rasa canggung, hanya kenyamanan yang sudah kami bangun dalam beberapa bulan terakhir. Kami berdua merasa seolah-olah waktu berjalan pelan, memberi kesempatan bagi kami untuk menikmati momen ini, momen yang jarang bisa kami dapatkan di tengah kesibukan kota.
“Aku rasa, aku nggak perlu lagi cari rumah, Ezra,” kata Nara, suara lembut namun penuh makna. “Aku sudah punya rumah. Di sini, dengan kamu.”
Aku menoleh padanya, ada senyum di wajahnya yang semakin terlihat damai. Ada sedikit kelegaan di matanya, seperti ada beban yang sudah hilang, atau setidaknya berkurang. Aku tahu, dia sudah menemukan jawabannya. Dia sudah menemukan tempatnya. Dan aku, aku merasa begitu bersyukur bisa menjadi bagian dari perjalanan ini.
“Aku juga,” jawabku, suara yang terdengar lebih pasti dari sebelumnya. “Rumah itu bukan cuma tempat, Nara. Tapi ada di mana kita merasa nyaman dan diterima. Dan aku merasa di rumah setiap kali kita bersama.”
Dia tersenyum, senyum yang benar-benar membuat dunia seakan berhenti sejenak. Senyum yang penuh kehangatan, yang membuat semua beban hidup terasa ringan. Aku merasa kami berdua telah mencapai titik di mana tidak ada lagi rasa kesepian yang menguasai. Di dunia yang sering kali terasa asing ini, kami akhirnya menemukan rumah kami masing-masing.
Kami duduk diam lagi, menikmati detik-detik yang terus berjalan dengan penuh kesyukuran. Entah berapa lama kami hanya duduk begitu, menikmati keheningan yang terasa begitu damai. Kami tak perlu banyak kata, karena hati kami sudah saling mengerti.
Pada akhirnya, aku sadar satu hal yang lebih penting dari apapun: persahabatan ini bukanlah sekadar tentang perjalanan yang kami jalani bersama, tetapi tentang apa yang kami bangun di sepanjang perjalanan itu—rumah yang tak perlu dicari jauh-jauh, karena rumah itu ada di dalam diri kita sendiri, di hati yang terbuka, dan di tangan yang saling menggenggam.
“Nara, kalau kita bisa melalui semua ini bersama, aku yakin kita bisa menghadapi apapun yang datang,” kataku, penuh keyakinan.
Nara menoleh padaku, matanya berbinar. “Aku juga yakin, Ezra. Selama kita ada, nggak ada yang nggak bisa kita lewati.”
Kami berdua bangkit dari bangku, berjalan berdampingan menuju pintu taman. Tanpa berkata banyak, kami tahu bahwa langkah-langkah ini adalah langkah pertama menuju segala kemungkinan yang ada di depan. Kami tak tahu apa yang akan terjadi nanti, tapi kami tahu satu hal: kami tidak akan pernah merasa sendiri lagi. Kami memiliki satu sama lain, dan itu lebih dari cukup.
Sahabat yang menjadi saudara, di tengah perjalanan panjang yang belum berakhir. Kami sudah menemukan rumah yang sejati—di dalam diri kami masing-masing, dan di hati yang selalu saling menguatkan.
Di akhir perjalanan ini, kita baru sadar kalau ternyata sahabat sejati itu nggak cuma ada di cerita-cerita. Mereka ada di sekitar kita, bahkan kadang ada di tempat yang nggak kita duga sebelumnya. Kadang, yang kita butuhkan cuma waktu untuk tahu bahwa kita nggak pernah sendirian.
Jadi, kalau kamu lagi merasa jauh dari rumah, ingat aja—kadang, rumah itu bukan soal tempat, tapi soal siapa yang ada di samping kita. Dan kalau kamu beruntung, sahabat bisa jadi rumah yang selalu ada, kapan pun dan di mana pun.