Persahabatan Sejati di Sekolah: Kisah Tawa, Pertengkaran, dan Kebersamaan Tak Terpisahkan

Posted on

Coba bayangin deh, kamu sama dua sahabat kamu yang nggak pernah bosen bikin ribut, tapi juga selalu ada buat satu sama lain. Di sekolah, kita emang sering banget capek mikirin tugas, ujian, dan segala drama lainnya.

Tapi, kalau udah sama mereka, semuanya kayak jadi ringan, apalagi kalau kita lagi ketawa bareng. Nah, ini cerita tentang tiga sahabat—dengan segala kebodohan, tawa, dan juga pertengkaran kecil yang nggak pernah hilang. So, siap buat ikutan perjalanan seru ini?

 

Persahabatan Sejati di Sekolah

Angin Sore dan Tawa Pertama

Suasana kelas sudah mulai sepi. Hanya ada suara pensil yang sesekali menekan kertas, sesekali juga terdengar gumaman temanku yang sedang berkutat dengan tugas fisika. Tapi aku tak bisa fokus. Pandanganku tertuju pada jendela yang memantulkan sinar matahari sore. Dulu, aku selalu merasa sepi ketika melihat matahari terbenam. Namun, semenjak aku duduk bersama Farren dan Mira, rasanya setiap sore jadi lebih ceria.

Tiba-tiba, Farren yang duduk di sebelahku menepuk bahuku. Aku menoleh ke samping dan mendapati dia sedang tersenyum nakal.

“Eh, Mira lagi pusing tuh, ngitung rumus fisika, jangan-jangan dia lupa cara napas,” kata Farren sambil menunjuk ke meja di depan, di mana Mira sedang terfokus pada buku fisikanya.

Aku hanya mengangkat alis, tertarik dengan tingkah Farren yang selalu suka mengganggu Mira saat dia sedang serius. Tidak peduli betapa seriusnya Mira, Farren selalu berhasil membuatnya kesal.

“Farren, jangan ganggu Mira. Dia beneran lagi pusing, loh,” kataku, mencoba memperingatkan. Tapi, Farren malah makin sengaja menyenggol Mira dengan lututnya.

Mira menoleh dengan mata yang hampir mencolok karena kesal, tapi seperti yang sudah aku duga, dia cuma mendengus kesal. “Farren, jangan ganggu aku, ya! Aku lagi nyari rumus ini, kamu ngerti nggak?”

Farren tertawa terbahak-bahak. “Tahu nggak, kalau kamu makin serius begini, gue jadi pengen ngocok meja lo, biar lo fokus ke yang lain selain rumus doang,” ujar Farren sambil memelankan suaranya, pura-pura serius.

Mira melotot, hampir menganggap Farren benar-benar tidak ada rasa kasihan. Tapi entah kenapa, ekspresinya yang seperti itu malah bikin aku tertawa. Kalau dipikir-pikir, memang nggak bisa begitu aja serius kalau Farren ada di sekitar Mira. Farren itu kayak angin yang datang begitu saja dan membuat semuanya berputar.

“Pusing ya, Mira?” tanyaku sambil berusaha untuk menenangkan. Aku memang lebih pendiam dibanding mereka berdua, tapi entah kenapa, saat mereka bertengkar atau Farren usil, aku merasa harus jadi penengah.

Mira menghela napas panjang, lalu mengerutkan keningnya. “Aku beneran nggak paham sama rumus ini! Kenapa fisika harus ada angka-angka kayak gini sih? Kan lebih seru kalau cuma ngobrol soal film!” katanya sambil memukul pelan mejanya, merasa frustrasi.

Farren langsung mengangguk sok bijak, “Kalau gitu, lo harus ngajarin gue cara ngobrol tentang film dong. Gue udah paham sih, film horor lebih seru daripada fisika yang bikin otak lo berputar.”

Aku menahan tawa, mencoba untuk mengerti situasi. Mira memang tipe yang sangat perfeksionis, dan dia nggak suka ketinggalan pelajaran, apalagi dalam hal-hal yang berkaitan dengan angka. Tapi Farren, di sisi lain, adalah orang yang santai, selalu melihat segala sesuatunya dengan sisi lucu, bahkan pelajaran yang paling membosankan sekalipun.

Suasana kelas tiba-tiba hening, semua orang mulai melanjutkan pekerjaannya. Aku memandang Mira dan Farren, dan melihat keduanya yang sebentar lagi akan kembali ke dunia mereka masing-masing—Mira dengan rumus-rumus fisikanya dan Farren yang sudah mulai melirik-lirik buku komiknya.

“Ayo, Mira! Jangan galau terus. Satu, dua, tiga, tersenyum!” Farren kembali memulai usilnya, mencoba menggoda Mira.

Mira menatapnya sejenak dengan serius, lalu tiba-tiba menggeleng dan melemparkan buku fisika itu ke arah Farren. “Lo tahu nggak, Farren, kalau lo itu bisa bikin orang kesel sama lo, tapi nggak bisa benci? Lo terlalu asik buat dibenci,” katanya, dengan nada kesal tapi ada senyum yang mulai muncul di bibirnya.

Aku terkejut dengan kata-kata Mira, lalu tertawa kecil. Meskipun Mira biasanya suka menyembunyikan emosinya, dia jelas nggak bisa menutupi ketawa yang akhirnya pecah begitu saja. Farren, tentu saja, nggak bisa menahan tawa mendengarnya.

“Lo bener, Mira. Gue emang nggak bisa dibenci. Makanya lo selalu ngerasa terancam sama gue,” jawab Farren sambil meledek.

Mira cuma bisa geleng-geleng kepala, tapi kali ini dia menyerah. Tawa itu akhirnya terpecah di antara kami bertiga, membawa suasana kembali ke tempat yang hangat.

Meskipun hari itu Mira merasa pusing dengan fisika dan Farren terus mengganggu, kami tetap bersama. Kami menghabiskan sisa waktu di kelas dengan cara yang lebih ringan, berbicara tentang hal-hal kecil, mulai dari pelajaran lain yang tak kalah bikin pusing, hingga kejadian-kejadian lucu yang tak pernah hilang dari ingatan kami.

Ketika bel berbunyi, tanda waktu istirahat tiba, kami langsung beranjak. Farren sudah mengajak kami keluar kelas, dan aku tahu, hari ini akan berakhir dengan tawa lagi. Persahabatan ini lebih dari sekadar saling membantu saat kesulitan pelajaran. Ini lebih tentang bagaimana kami selalu ada untuk satu sama lain, meski kami berbeda.

Aku menyandarkan punggungku di dinding koridor, melihat mereka berdua bercanda di depan. Kadang, aku merasa beruntung punya sahabat seperti mereka—seseorang yang bisa membuat hari-hariku penuh warna, walaupun kadang harus tertawa karena hal-hal yang paling konyol.

“Kamu nungguin kita, ya?” tanya Farren, sambil tersenyum lebar.

Aku hanya mengangguk, merasa nyaman di tengah persahabatan yang penuh dengan tawa dan kehangatan. Hari ini masih panjang, dan kami masih akan menjalani banyak hal bersama, bersama tawa, kekonyolan, dan sedikit perdebatan. Tapi yang paling penting, aku tahu kami akan selalu ada untuk satu sama lain.

Dan untuk itu, aku bersyukur.

 

Ujian yang Tak Terduga

Sekolah kembali menjadi tempat yang penuh dengan teka-teki, tantangan, dan tentu saja—kejadian-kejadian yang membuat hari-hari kami tak pernah membosankan. Setelah hari itu, kami bertiga—aku, Farren, dan Mira—terus melanjutkan kebiasaan kami: belajar bersama, bercanda, dan saling menguatkan satu sama lain. Tapi kali ini, ada yang berbeda. Ujian tengah semester sudah dekat, dan kami semua merasakannya. Bukan hanya karena banyaknya materi yang harus dipelajari, tapi juga karena adanya sesuatu yang lebih mengganggu dari sekadar fisika atau matematika.

Hari itu, aku merasa ada sesuatu yang mengganjal. Mira terlihat lebih serius dari biasanya. Biasanya, dia yang akan duduk santai, memeriksa catatannya sambil sesekali mengomentari Farren yang sibuk menggodanya. Tapi kali ini, Mira duduk diam, hampir tenggelam dalam pikirannya.

“Apa kamu baik-baik aja?” tanyaku, mendekatkan kursiku ke meja Mira. Aku merasakan ada yang berbeda dengan sikapnya.

Mira menghela napas panjang, wajahnya sedikit pucat. “Aku nggak tahu, rasanya kayak beban banget. Tugas fisika, terus ditambah ujian yang semakin dekat. Rasanya banyak banget yang harus aku kerjain dan aku takut nggak bisa nyelesain semuanya.”

Aku mengangguk, memahami perasaan Mira. Dia memang tipe orang yang ingin sempurna dalam segala hal, apalagi kalau berhubungan dengan pelajaran. Aku bisa merasakan betapa beratnya baginya. Meskipun aku bukan orang yang terlalu cemas menghadapi ujian, aku tahu bagaimana perasaan Mira yang selalu merasa tertekan.

“Lo nggak sendirian, Mira,” kataku pelan. “Kita bakal bantu lo kok. Kalau lo nggak paham fisika, gue dan Farren bisa bantu.”

Mira menoleh ke arahku dan mengangguk pelan. “Tapi… rasanya nggak cukup. Gue takut ini bakal ngaruh ke ujian gue.”

Aku tahu Mira lebih kuat dari itu. Tapi kadang, beban yang dia bawa memang terlalu berat untuk seorang diri. Aku ingin membantu, tapi dia sepertinya merasa canggung untuk meminta bantuan. Sebagai sahabat, aku hanya bisa ada di sampingnya, memberi semangat.

“Ya udah, lo istirahat aja dulu, biar nggak overthinking,” saranku, mencoba menenangkan.

Namun, sebelum Mira bisa memberikan tanggapannya, Farren sudah tiba-tiba muncul dari belakang. “Jadi gini ya, kalau lo stres gini terus, gue yang bakal kena dampaknya. Gini aja, lo ikut gue ke kantin, kita makan cokelat, terus kita ketawa bareng. Setuju?”

Mira melirik Farren dengan tatapan setengah kesal, setengah bingung. “Lo pikir masalah gue selesai cuma dengan cokelat?”

Farren mendekat, menyerahkan sebuah kotak cokelat yang sudah ia ambil dari tasnya. “Lo tahu kan, cokelat itu kaya mood booster? Kalau gue bisa bikin lo senyum, gue yakin lo bakal jauh lebih fokus deh buat ujian nanti. Ini salah satu cara gue bantu.”

Mira terdiam sejenak, lalu mengambil cokelat itu dengan pelan, seolah ragu-ragu. Namun akhirnya, senyum kecil mulai terbentuk di wajahnya. “Bodoh banget lo, Farren,” katanya, setengah mengejek, namun ada rasa terima kasih dalam suaranya.

Aku menatap mereka berdua dengan senyum kecil. Farren memang selalu tahu bagaimana cara meringankan suasana. Tidak peduli betapa seriusnya masalah yang sedang dihadapi, dia selalu berhasil membuat Mira merasa lebih baik.

Kami bertiga berjalan keluar dari kelas menuju kantin, diiringi tawa-tawa kecil yang tercipta dari lelucon Farren yang kadang absurd. Sesampainya di kantin, kami duduk di sudut meja yang biasa kami tempati. Di sana, kami mulai berbicara tentang hal-hal selain ujian. Farren mulai menggoda Mira lagi, kali ini tentang rencana liburan yang mereka buat tahun lalu, sementara aku hanya mengamati mereka berdua, merasa beruntung bisa ada di tengah-tengah kedekatan seperti ini.

Namun, tidak lama setelah itu, wajah Mira berubah lagi. Kali ini bukan karena fisika atau ujian, melainkan karena sesuatu yang baru saja ia lihat. “Gue nggak percaya… Ada pengumuman pengawas ujian baru!” katanya dengan nada tak percaya, menunjuk papan pengumuman yang baru dipasang di sudut kantin.

Aku dan Farren mengikuti arah pandang Mira dan melihat pengumuman itu. Pengawas ujian tahun ini ternyata akan lebih ketat, dan ada rumor bahwa mereka sangat cermat dalam mengawasi, terutama untuk ujian semester yang akan datang.

“Ck, serasa ujian udah jadi ajang perang dunia ketiga aja,” Farren berkata sambil menatap pengumuman itu, lalu tertawa lebar. “Apa perlu bawa pelindung diri buat ujian?”

Mira menatapnya tajam, tapi kali ini aku bisa melihat sedikit kelonggaran di matanya. “Jangan terlalu santai, Farren. Ini penting,” katanya, tapi suaranya lebih ringan dari sebelumnya.

Farren hanya mengangkat bahu. “Santai aja, Mira. Kalau ujian bikin lo stres, gue bakal bawa cokelat buat lo tiap hari. Tanggung jawab gue jadi sahabat lo.”

Kami tertawa lagi. Farren memang selalu berhasil mengalihkan perhatian dari hal-hal yang membuat kami cemas. Walau sering kali usil, aku tahu dia melakukannya dengan niat baik. Begitu juga dengan Mira, yang meski kadang tidak bisa menunjukkan rasa terima kasihnya dengan jelas, dia pasti tahu betapa berharganya kehadiran Farren dalam hidupnya.

Seiring berjalannya waktu, kami mulai terbiasa dengan tekanan ujian yang semakin dekat. Kami belajar bersama, berbagi tips, dan tentunya, tak lupa untuk saling mengingatkan. Meski banyak hal yang terasa berat, persahabatan kami tetap jadi kekuatan yang tak tergoyahkan. Entah seberapa sulit ujian atau pelajaran yang datang, kami selalu tahu bahwa kami akan melewatinya bersama, seperti yang sudah kami lakukan selama bertahun-tahun ini.

Dan meski ujian yang datang selalu tak terduga, satu hal yang pasti: persahabatan kami tidak akan pernah pudar.

 

Di Balik Lembar Ujian

Seperti biasa, pagi itu kami bertiga berkumpul di ruang kelas sebelum bel masuk. Mira dan Farren duduk berhadap-hadapan di meja kami, sedangkan aku duduk di sisi mereka, mengatur buku-buku pelajaran yang masih berantakan di tas. Ujian semester ini semakin dekat, dan walaupun semangat belajar sudah mulai terasa, ada sebuah ketegangan yang tak bisa disembunyikan—semuanya merasa sedang diuji lebih dari sekadar soal-soal matematika atau kimia.

“Gue masih nggak ngerti, deh, kenapa fisika harus begitu ribet,” kata Mira sambil membuka buku fisika yang tampaknya sudah dibaca berulang kali, tapi tetap tidak memahamkan dirinya.

Aku menoleh padanya, mencoba mengingatkan untuk tetap tenang. “Coba deh, lo fokusin ke satu topik dulu. Kalau langsung lompat-lompat, nggak bakal masuk. Misalnya, lo mulai dari hukum Newton dulu. Terus pelan-pelan, ya?”

Mira hanya mengangguk, tapi wajahnya tetap tampak frustasi. Aku bisa merasakan betapa kerasnya dia berusaha, tapi kadang, tekanan itu membuatnya lupa bahwa istirahat juga penting.

Farren, yang sudah duduk dengan sikap santai, tiba-tiba menyelipkan sebuah kotak kecil di meja kami. “Cokelat! Ini bisa jadi pelarian kalau lo udah buntu sama fisika!” ujarnya sambil tertawa, seakan-akan memberi solusi instan untuk masalah fisika yang kami hadapi.

Mira mendengus pelan, lalu mengambil sebatang cokelat dari kotak itu. “Lo udah mulai gila ya, Far? Cokelat nggak akan bikin gue ngerti fisika.”

Farren mengangkat kedua bahunya dengan santai. “Setidaknya bisa bikin lo senyum dulu. Itu udah cukup, kok, buat sementara waktu.”

Aku tertawa kecil, merasa senang dengan cara Farren yang selalu tahu bagaimana menghibur. Namun, rasa cemas yang ada di dalam diri Mira belum juga hilang. Terlebih lagi, hari ini adalah hari ujian pertama—ujian yang sudah membuat semua orang merasakan beban yang sama, meski dengan cara yang berbeda.

Tak lama kemudian, bel masuk berbunyi. Kami semua kembali ke meja masing-masing, mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian yang menanti. Suasana kelas yang sebelumnya riuh kini berubah sunyi, hanya terdengar suara kertas yang dibalik dan detak jam yang berjalan perlahan. Aku mencoba mengatur napas, berusaha untuk tetap tenang meski ada kecemasan yang menggelayuti hati.

“Selamat pagi, semuanya,” kata Pak Aldo, guru fisika kami, dengan senyum yang tetap hangat meski kami tahu ujian hari ini akan sangat menantang. “Pulang nanti kalian akan mendapatkan nilai kalian, jadi kerjakan dengan sungguh-sungguh, ya?”

Pak Aldo mulai membagikan lembaran soal ujian. Semua orang mulai menunduk pada lembaran mereka masing-masing, dan aku tak bisa mengabaikan perasaan yang terus mengguncang dada—semakin aku menatap soal-soal itu, semakin sulit rasanya untuk fokus. Aku tahu aku harus tetap tenang, tapi otakku terus berputar, mencerna setiap kalimat dan rumus yang harus diingat. Farren dan Mira juga terlihat sibuk, mereka masing-masing memfokuskan diri pada soal-soal yang ada di hadapan mereka.

Namun, entah kenapa aku merasa ada yang aneh. Aku bisa melihat tangan Mira mulai gemetar saat menulis jawabannya, dan Farren—meskipun terlihat tenang, matanya sesekali melirik ke arah Mira dengan khawatir. Dia pasti tahu kalau Mira sedang berjuang lebih keras daripada yang terlihat.

Aku berusaha mengalihkan perhatian dengan fokus pada soal-soal yang ada. Jawaban demi jawaban mulai terisi di kertas ujian, namun aku merasa ada semacam beban di antara kami bertiga. Kami tahu ujian ini bukan hanya soal angka dan rumus, tapi soal bagaimana kami bisa melewati semua tekanan yang datang dengan cara kami sendiri.

Tiba-tiba, suara Mira terdengar pelan, namun cukup jelas untuk membuat aku dan Farren mendengarnya. “Gue nggak tahu, deh, gue nggak yakin bisa jawab ini dengan benar.”

Aku menoleh ke arah Mira, yang kini duduk dengan wajah cemas. Tidak seperti biasanya, dia tampak sangat rapuh, seperti sedang bertarung dengan dirinya sendiri.

“Lo bisa, Mira,” kataku pelan, mencoba meyakinkannya, meskipun hatiku sendiri juga penuh dengan pertanyaan. “Lo udah belajar keras, kan? Percaya aja, ini cuma soal keyakinan. Lo pasti bisa ngerjainnya.”

Farren yang duduk di sebelah kami mendengar kata-kataku dan langsung menimpali, “Bener tuh, Mira. Cokelat gue nggak bohong. Lo pasti bisa!”

Mira tersenyum sedikit, meskipun ada cemas yang masih tampak di matanya. “Tapi gue takut salah jawab semua soal.”

“Bukan soal benar atau salah, Mira,” jawabku. “Yang penting lo udah berusaha. Gue percaya lo bisa kok.”

Farren menambahkan dengan gaya santainya, “Ya, dan yang penting lo udah bikin semua orang ketawa selama persiapan ujian. Itu udah cukup keren, Mira.”

Mira tertawa kecil, mencoba menenangkan diri. Suasana di ruang kelas pun seakan berubah sedikit, meskipun masih ada tensi ujian yang tinggi. Kami bertiga kembali fokus pada ujian yang ada di depan mata, namun kali ini, ada semangat yang lebih kuat mengalir di antara kami.

Detik demi detik berlalu, dan akhirnya, ujian pun selesai. Kami menyerahkan lembaran soal kepada Pak Aldo, dan aku bisa merasakan ada sedikit beban yang terangkat dari pundak kami bertiga. Meski masih ada ketegangan, kami tahu bahwa kami sudah berusaha sebaik mungkin. Dan meskipun hasilnya nanti belum bisa dipastikan, satu hal yang pasti—kami tetap satu, bersama dalam menghadapi segala tantangan ini.

“Gimana? Lo yakin jawabannya bener semua?” tanya Farren, berusaha membuat suasana lebih ringan setelah ujian selesai.

Mira mengangkat bahu dengan cemberut, “Entahlah, yang penting gue udah coba.”

Aku menatap mereka berdua, merasa beruntung bisa berada di antara mereka. “Tapi lo udah nyelesain ujian ini. Itu yang paling penting, kan?”

Mira hanya tersenyum. “Ya, mungkin lo benar. Gue harus lebih percaya diri.”

Dan dengan itu, kami meninggalkan ruang ujian, siap menghadapi tantangan berikutnya—bersama, seperti biasanya.

 

Menemukan Kembali Senyuman

Hari-hari setelah ujian berlalu dengan cepat, seperti biasanya. Tapi entah kenapa, ada semacam perasaan ringan yang kini menghampiri kami bertiga. Meski kami belum melihat hasil ujian, tidak ada lagi ketegangan yang menggantung di udara. Kami sudah menghadapi ujian itu bersama-sama, dengan segala kecemasan, tawa, dan saling menguatkan.

Hari itu, di tengah-tengah kebisingan kelas yang semakin meriah setelah ujian selesai, aku melihat Farren dan Mira duduk bersama, berbicara dengan penuh semangat. Tak ada lagi rasa cemas atau bingung yang biasanya tampak di wajah mereka. Kami memang sudah melalui sesuatu yang berat, dan kini, kami bisa mulai menghirup udara bebas kembali.

Aku duduk di meja belakang, melipat tangan dan memperhatikan mereka berdua yang sedang asyik bercakap-cakap, berbagi cerita tentang hal-hal ringan yang ada di sekitar mereka. Tak ada lagi soal ujian, tak ada lagi tekanan. Semua seakan terasa lebih mudah, lebih ringan.

“Lo udah dapet nilai belum?” tanya Mira pada Farren, suaranya penuh rasa ingin tahu, namun tidak ada lagi rasa khawatir seperti sebelumnya.

Farren mengangguk santai, “Udah. Nilainya nggak jelek-jelek banget kok. Tapi yang paling penting, kita udah ngelewatin ujian itu, kan?”

Mira tertawa pelan, menggigit ujung pulpen. “Iya, bener. Tapi gue tetap nggak ngerti soal nomor lima itu. Hah, kenapa sih fisika harus sesulit ini?”

Aku hanya tersenyum mendengar keluhan Mira, merasa lega bahwa dia bisa tertawa lagi, meski masih ada rasa penasaran di matanya. Itu, menurutku, yang terbaik—bukan soal seberapa banyak yang kita tahu atau seberapa besar beban yang kita tanggung, tapi seberapa banyak kita bisa menemukan kebahagiaan di tengah semua itu.

“Lo tahu, kan, kalau terkadang nggak semua jawaban harus benar,” kataku, sambil berdiri dan berjalan menuju meja mereka. “Yang penting, lo berani mencoba dan nggak takut salah.”

Farren menoleh dan memberi isyarat agar aku duduk bersama mereka. “Lo lagi berfilosofi, nih? Coba jelasin dong lebih lanjut.”

Aku tertawa pelan. “Gini. Kadang, kita takut banget buat mencoba hal baru karena takut salah, takut gagal. Tapi, menurut gue, itu semua cuma bagian dari perjalanan. Kalau lo takut salah, lo nggak akan pernah tahu apakah lo bisa sukses atau nggak.”

Mira terdiam sejenak, lalu mengangguk perlahan, seolah-olah kata-kataku masuk ke dalam pikirannya. “Mungkin lo benar,” katanya akhirnya. “Gue terlalu khawatir soal hasil dan lupa kalau yang penting itu proses.”

Farren menepuk bahu Mira dengan penuh semangat. “Itulah yang gue suka dari lo, Mira. Lo akhirnya bisa berpikir lebih jernih. Jangan takut buat gagal. Yang penting, lo ada di sini, bersama kita. Itu udah cukup.”

Aku tersenyum mendengar kata-kata Farren yang, meskipun terkesan santai, tetap penuh makna. Kami bertiga—dengan segala perbedaan dan kecemasan yang ada—ternyata selalu menemukan cara untuk saling mendukung. Dan itu lebih berharga dari apapun.

Sebelum bel berbunyi menandakan akhir dari jam pelajaran, kami bertiga saling bertukar pandang. Meski hasil ujian masih jadi misteri, kami tahu satu hal dengan pasti: tidak ada yang bisa memisahkan kami. Tidak ada ujian, tidak ada tekanan, dan tidak ada perbedaan yang bisa menghalangi kami untuk terus bersama. Kami adalah tim—sahabat yang selalu ada untuk satu sama lain.

“Besok kita ke kafe, yuk?” ajak Farren, seperti biasanya. “Setelah semua ini, kayaknya kita pantas dapat sesuatu yang enak-enak, deh.”

Mira tersenyum lebar. “Setuju! Tapi gue yang bayar, ya? Sebagai bentuk pertanggungjawaban gue yang belum ngerti fisika!”

Aku tertawa, merasa sangat bersyukur bisa berada di antara mereka. “Gue sih, nggak masalah. Asalkan ada cokelat.”

Kami tertawa bersama, dan di sana, di antara tawa dan obrolan ringan itu, aku merasa bahwa ujian terbesar kami bukanlah soal-soal yang ada di kertas, tetapi bagaimana kami bisa terus saling mendukung dan menemukan kekuatan di dalam kebersamaan kami. Itu adalah hal yang tak ternilai harganya.

Dan hari itu, kami menemukan kembali senyuman kami—sebuah senyuman yang penuh dengan harapan, kebersamaan, dan tentu saja, persahabatan yang tak tergantikan.

 

Jadi gitu deh cerita mereka—sahabat yang nggak pernah lepas dari tawa, drama, dan kadang juga pertengkaran. Tapi, ya, itulah yang bikin persahabatan mereka terasa nyata. Nggak selalu mulus, tapi selalu ada buat satu sama lain.

Kalau kamu punya sahabat yang sama, ya kamu tahu kan rasanya? Kalau nggak, semoga kamu segera nemuin satu—karena dunia ini lebih seru kalau dijalanin bareng orang yang bisa kamu andalkan. Sampai ketemu di cerita berikutnya, ya!

Leave a Reply