Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya apakah kamu pernah merasa terjebak antara dua dunia yang berbeda? Seperti yang dialami oleh Kashfi, seorang anak SMA gaul yang aktif dan punya banyak teman, yang tiba-tiba harus berhadapan dengan budaya tradisional yang dianggap kuno oleh sebagian besar teman-temannya.
Dalam cerpen ini, kita diajak untuk menyelami bagaimana Kashfi berjuang untuk menyatukan dua dunia yang tampaknya sangat berbeda: dunia modern yang penuh dengan tren dan kebebasan, serta kekayaan budaya yang sering terlupakan. Simak kisahnya dan temukan bagaimana komunikasi antar budaya bisa menjadi jembatan yang memperkaya hidup kita di zaman sekarang!
Kisah Komunikasi Antar Budaya di Sekolah Dengan Kashfi
Festival Budaya yang Menggugah
Sekolah kami selalu penuh kejutan, terutama kalau ada acara besar. Hari itu adalah salah satu hari yang sangat dinanti-nanti hari pertama dimulainya persiapan Festival Budaya tahunan yang selalu membuat semua orang antusias. Semuanya terlibat, dari yang paling aktif sampai yang paling pasif sekalipun. Tapi ada sesuatu yang berbeda di tahun ini.
Aku, Kashfi, anak SMA yang selalu dianggap gaul, aktif, dan punya banyak teman, merasa sedikit asing dengan ide festival budaya kali ini. Sejujurnya, aku nggak terlalu peduli soal budaya-budaya yang ada di Indonesia. Selama ini, aku lebih suka nongkrong, main game, dan update status di medsos. Budaya? Itu cuma buat orang-orang yang terlalu serius dalam hidup.
Namun, ada sesuatu yang menarik perhatianku. Tiba-tiba, di tengah keramaian sekolah, seorang teman dari kelas lain, Dimas, berteriak dengan semangat, “Kashfi! Tahun ini kita harus ikut Festival Budaya! Pasti seru, bro! Ini kesempatan kita untuk lebih paham budaya-budaya yang ada di sekitar kita, nggak cuma yang ada di media sosial!”
Aku menatapnya, nggak terlalu yakin. “Festival Budaya? Itu kayak acara formal, ya?” tanyaku sambil terkekeh, merasa agak canggung.
Dimas hanya tertawa. “Enggak, bro! Justru ini kesempatan kita untuk lebih kenal orang, lebih kenal budaya mereka, dan yang pasti seru banget!”
Keinginanku untuk tetap menjaga image ‘gaul’ membuatku agak ragu. Tapi, di sisi lain, aku merasa ada tantangan yang harus kucoba. Mengapa tidak? Ini bisa jadi kesempatan bagus untuk menunjukkan kalau aku juga bisa serius dalam hal ini, bukan cuma soal party dan nongkrong saja. Dan siapa tahu, mungkin aku bisa menunjukkan sisi lain dari diriku yang lebih dalam.
Hari berikutnya, aku masuk ke ruang kelas dengan perasaan campur aduk. Semua teman-temanku sedang ngobrol tentang budaya masing-masing, dan aku merasa seperti alien yang baru tiba. Ada yang membicarakan tradisi Jawa, ada yang berbicara tentang kebudayaan Batak, dan aku… hanya bisa mengangguk-angguk aja.
“Eh, Kashfi, kamu pasti ikut acara budaya kan?” tanya Rina, salah satu teman sekelasku. Dia seorang gadis yang berasal dari keluarga Betawi, dan dia selalu berbicara dengan penuh semangat tentang tradisinya.
Aku hanya mengangguk dengan setengah hati. “Iya, kayaknya sih ikut. Cuma… gitu deh,” jawabku, merasa agak canggung karena nggak terlalu ngerti apa-apa soal budaya yang bakal ditampilkan.
Rina tersenyum lebar. “Asik! Kita bakal tampil bareng, loh. Ayo, belajar tentang budaya Betawi! Gue bakal ajarin kamu cara nyanyiin lagu daerah Betawi, biar pas tampil kita bisa keren!” katanya antusias.
Aku melongo. “Maksud lo, nyanyi? Gue nggak bisa nyanyi, Rin.”
Dia tertawa. “Gue ajarin, kok! Santai aja. Yang penting semangat. Dan gue yakin, lo bisa!”
Hari-hari berikutnya, aku merasa semakin terjebak dalam suasana yang aku rasa asing. Aku nggak cuma belajar tentang budaya Betawi, tapi juga harus belajar tentang budaya Jawa dari Iqbal, teman dekatku yang berasal dari Yogyakarta. Iqbal selalu mengajakku untuk memahami filosofi hidup orang Jawa—tentang kesabaran, kerja keras, dan kerendahan hati. Sejujurnya, awalnya aku merasa agak kesulitan. Gimana bisa aku yang biasa seenaknya, tiba-tiba harus memahami nilai-nilai yang begitu dalam?
Tetapi, Iqbal nggak pernah menyerah. Setiap kali aku mengeluh atau merasa malas, dia selalu bilang, “Bro, budaya itu bukan cuma soal apa yang kamu lihat atau kamu denger. Tapi apa yang kamu rasain. Kalau lo bisa ngerti perasaan orang, lo bakal ngerti budaya mereka.”
Dia mengajarkanku untuk berbicara lebih sabar, untuk memahami orang dengan lebih mendalam, dan untuk tidak terburu-buru dalam menilai.
“Lo pikir hidup cuma sekali, tapi kalau lo nggak belajar budaya orang lain, lo cuma hidup di dunia yang sempit. Dunia lo bakal makin luas kalau lo bisa menghargai setiap budaya yang ada,” ujar Iqbal dengan semangat.
Aku mulai melihat semuanya dengan cara yang berbeda. Festival Budaya ini bukan cuma soal penampilan, bukan cuma soal seragam atau tradisi yang harus ditiru. Ini tentang menghargai orang lain dan membuka hati untuk memahami mereka lebih dalam. Ini tentang persahabatan, tentang saling mengenal tanpa ada batasan budaya, dan yang paling penting—tentang bagaimana hidup ini bisa jadi lebih bermakna ketika kita belajar dari satu sama lain.
Dan akhirnya, aku sadar. Festival Budaya bukan hanya kesempatan untuk menunjukkan diriku, tapi juga untuk merayakan keberagaman yang ada di sekitar kita.
Hari-hari menjelang festival semakin terasa berat. Latihan nyanyi Betawi, mempelajari tarian Jawa, dan banyak lagi. Tapi satu hal yang aku rasakan adalah semangat. Aku tahu, ini adalah perjuangan yang akan membawa hasil yang luar biasa. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan bahwa meskipun aku anak gaul yang suka main, aku juga bisa belajar menghargai budaya dengan sepenuh hati. Dan aku tidak sendiri. Bersama teman-temanku, kami akan menjalani perjuangan ini bersama, menyatukan berbagai budaya yang berbeda dalam satu panggung besar yang akan menyatukan kita semua.
Berusaha Menjadi Lebih dari Sekedar “Gaul”
Setelah beberapa hari latihan, aku mulai merasakan perubahan yang tak terduga. Awalnya, aku ikut Festival Budaya ini hanya karena merasa terpaksa—sebuah tantangan yang harus aku hadapi demi menjaga citra diri di depan teman-teman. Tapi, entah bagaimana, setiap latihan yang kujalani mulai memberi rasa berbeda. Aku mulai merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar, lebih penting.
Hari itu, kami mengadakan latihan intensif di sekolah. Semua anggota tim yang akan menampilkan berbagai budaya Indonesia berkumpul di aula besar sekolah. Ada yang sedang berlatih tari Saman, ada yang memperdalam gerakan tarian Bali, dan aku… aku sedang berlatih lagu “Rasa Sayange” dari Betawi, yang benar-benar di luar zona nyamanku. Rina dan beberapa teman lainnya mencoba mengajari aku lagu tersebut, tapi aku masih merasa kaku dan kurang percaya diri.
“C’mon, Kashfi! Lo pasti bisa! Ayo, coba lagi dari awal, jangan malu-malu!” Rina menyemangati dengan penuh energi.
Aku menelan ludah, menarik napas panjang, dan mencoba menyanyikan lirik itu lagi. “Rasa saaaayaaangeee…” Aku sadar, suaraku nggak enak banget. Aku langsung berhenti dan menatap Rina. “Gue nggak bisa nyanyi, Rin. Suara gue aneh banget.”
Rina tertawa. “Gue bisa ngerti, kok, kenapa lo kayak gitu. Lo takut kalau suara lo nggak keren, ya?”
Aku mengangguk sedikit. “Iya, gimana bisa gue tampil depan banyak orang, kalo suara gue aja kayak gini?”
“Bro, lo nggak perlu khawatir soal itu. Yang penting itu semangat dan kepercayaan diri. Orang-orang nggak peduli suara lo kayak apa, mereka cuma mau liat lo berusaha dan ikut merasakan semangat festival ini. Lo cuma perlu jadi diri lo sendiri,” kata Rina sambil tersenyum.
Tapi masih ada rasa cemas yang nggak bisa aku hilangkan begitu saja. Di sekolah, aku selalu jadi orang yang gaul, orang yang sepertinya tahu segalanya. Aku nggak mau kalau image itu hancur hanya karena gue nggak bisa nyanyi atau nggak tahu banyak tentang budaya Indonesia. Aku selalu merasa, kalau ingin diterima oleh banyak orang, gue harus bisa segala hal yang keren dan ngikutin tren. Tapi Festival Budaya ini sepertinya memaksaku untuk menghadapi kenyataan lain bahwa gak semua yang keren itu datang dari gaya hidup yang bebas dan tanpa beban.
Setiap hari, aku berlatih lebih keras. Aku mulai mencari tahu lebih banyak tentang budaya Betawi, tentang betapa dalamnya makna lagu-lagu daerah yang mereka bawakan. Aku bahkan mengajak Iqbal, teman aku yang dari Yogyakarta, untuk ngajarin aku lebih banyak tentang tarian Jawa. Hari demi hari, aku merasa lebih terhubung dengan budaya-budaya ini, meskipun awalnya aku merasa aneh dan canggung.
Aku mulai memahami filosofi hidup orang Betawi, bagaimana mereka menghargai kehangatan keluarga, dan bagaimana mereka menjaga tradisi di tengah-tengah kehidupan modern. Aku mulai merasa kalau aku ini bukan sekedar “gaul”, tapi juga bisa jadi orang yang lebih menghargai hal-hal kecil yang seringkali luput dari perhatian. Bahkan, aku mulai menemukan kebanggaan dalam lagu-lagu daerah yang dulu aku anggap sepele.
Pada malam hari, ketika aku pulang ke rumah, aku sering teringat percakapan bersama Rina dan Iqbal. Mereka berdua selalu bilang, “Budaya itu bukan cuma soal penampilan, tapi juga tentang rasa—rasa cinta pada tanah air, rasa bangga jadi bagian dari Indonesia, dan rasa menghargai perbedaan.”
Aku mencoba mengingat kata-kata itu, dan perlahan mulai mengubah cara pandangku. Aku merasa, jika aku bisa mengapresiasi semua itu, aku bisa menjadi orang yang lebih baik.
Tapi perjuanganku bukan hanya soal latihan. Hal yang paling sulit adalah meyakinkan diriku sendiri bahwa aku bisa melakukannya. Ada banyak momen dimana aku hampir ingin menyerah. Setiap kali aku gagal menyanyikan lagu Betawi dengan benar, aku merasa malu, merasa seperti gak punya tempat di festival ini. Tetapi, setiap kali aku melihat wajah Rina atau Iqbal yang selalu menyemangati aku, aku merasa aku nggak boleh berhenti.
Suatu hari, Iqbal melihatku yang sedang termenung setelah latihan. “Kenapa lo cemberut gitu, bro?” tanyanya sambil melipat tangan di dada.
“Gue nggak yakin bisa ngelakuin ini, Iqbal,” jawabku, suaraku terdengar agak patah. “Gue nggak bisa nyanyi kayak lo, nggak bisa nari kayak mereka.”
Iqbal menghela napas, lalu duduk di sampingku. “Kashfi, lo nggak harus jadi orang lain untuk jadi bagian dari ini. Lo cuma perlu jadi diri lo sendiri. Gak ada yang bilang lo harus jadi sempurna. Yang mereka butuhkan itu adalah lo yang berani belajar, berani mencoba, dan berani buat perubahan.”
Kata-kata Iqbal itu menohok langsung ke hati. Aku merasa seperti diberi semangat baru, seolah ada energi yang mengalir di dalam diriku yang sebelumnya hilang. Ini bukan soal jadi sempurna, tapi soal perjalanan yang aku lalui untuk bisa menghargai apa yang ada di sekitarku.
Dengan semangat itu, aku kembali ke latihan dengan energi baru. Aku menyanyi lebih percaya diri, meskipun suaraku nggak seindah penyanyi terkenal. Tapi yang penting adalah aku belajar dan berusaha. Dan yang lebih penting lagi aku mulai merasa bangga. Bangga menjadi bagian dari acara ini, bangga bisa mengenal budaya-budaya yang sebelumnya hanya aku anggap sepele.
Dari sini, aku sadar kalau perjuangan ini bukan hanya tentang tampil di panggung, tapi juga tentang perjalanan diri untuk lebih menghargai diri sendiri dan orang lain. Dan pada akhirnya, itulah yang membuat Festival Budaya ini begitu istimewa.
Langkah Penuh Keyakinan
Hari itu, aku merasa seperti sesuatu yang besar bakal terjadi. Festival Budaya sudah semakin dekat, dan jantungku mulai berdegup kencang setiap kali aku berpikir tentang tampil di atas panggung. Semua latihan yang kujalani selama ini, setiap momen yang penuh keraguan dan rasa cemas, akhirnya membawa aku ke titik ini. Rasanya seperti berjuang keras untuk mendapatkan kesempatan yang luar biasa, bahkan jika itu hanya untuk beberapa menit tampil di depan banyak orang. Tapi, aku sadar kalau bukan hanya tampil di panggung yang penting yang lebih penting adalah perjalanan yang aku jalani hingga sampai di sini. Aku belajar banyak lebih dari sekedar lagu dan tarian.
Hari ini, suasana di sekolah sangat berbeda. Semua orang terlihat sibuk menyiapkan kostum dan aksesoris untuk setiap penampilan. Ada tawa, kegembiraan, dan sedikit ketegangan. Aku berjalan melintasi aula sekolah yang dipenuhi dengan ribuan persiapan. Di sana, aku melihat Rina dan Iqbal sedang sibuk dengan pakaian adat Betawi yang akan mereka kenakan. Mereka semua begitu bersemangat. Aku, di sisi lain, merasa campur aduk antara takut dan semangat.
“Kashfi! Lo siap nggak?” Rina menyapa aku dengan senyum lebar, menggoyangkan tangannya di depan wajahku untuk menarik perhatianku.
Aku tersenyum, meski masih merasa gugup. “Gue siap sih, tapi agak grogi, Rin.”
“Lo nggak sendirian, kok. Semua orang juga pasti ngerasain hal yang sama. Yang penting, kita nikmati aja prosesnya. Lo udah latihan keras, dan gue tahu lo bisa!” ujar Rina, memberi semangat.
“Lo bener, Rin. Gue bakal coba yang terbaik,” jawabku, merasa sedikit lebih tenang setelah mendengarnya.
Satu jam menjelang acara, semua peserta mulai mempersiapkan diri untuk tampil. Aku mengenakan pakaian Betawi yang sudah disiapkan oleh panitia. Aku merasakan sensasi aneh saat mengenakan pakaian adat ini. Aku nggak pernah membayangkan bisa berdiri di atas panggung dengan kostum seperti ini. Tapi, saat aku melihat diriku di cermin, aku mulai merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar. Aku bukan hanya seorang anak SMA gaul yang suka dengan musik dan gaya hidup modern. Hari ini, aku menjadi bagian dari budaya yang telah ada sejak lama, sebuah budaya yang penuh dengan sejarah dan tradisi yang tak ternilai.
Setelah beberapa saat, giliran kami untuk tampil tiba. Panggung sudah dipenuhi dengan dekorasi khas Betawi. Semua mata tertuju pada kami. Aku berdiri di belakang tirai panggung bersama teman-teman lainnya, menunggu giliran untuk naik. Hati rasanya berdegup begitu kencang. Aku bisa mendengar suara tepuk tangan dari penonton, bahkan sebelum kami tampil. Semua orang penuh antusiasme.
“Lo siap, Kashfi?” tanya Iqbal, yang berdiri di sampingku, terlihat tak kalah tegang.
“Lo yakin?” jawabku dengan nada cemas.
Iqbal tertawa kecil. “Bro, jangan khawatir. Lo nggak akan sendiri. Kita semua di sini buat ngebantu satu sama lain. Jangan takut tampil yang terbaik.”
Aku mengangguk, menguatkan diri. Dengan semangat yang baru, aku melangkah keluar dari belakang tirai panggung. Kami semua berjalan ke pusat panggung, dan di sana, aku bisa merasakan semua mata tertuju padaku. Suasana jadi hening sejenak. Aku merasa takut, tapi pada saat yang sama, aku juga merasa bangga.
Kami mulai dengan tarian Betawi. Langkah demi langkah aku ikuti, meski awalnya aku agak canggung. Tapi, seiring waktu, aku mulai merasakan irama yang mengalir dalam tubuhku. Gerakan-gerakan itu mulai mengalir begitu alami, dan aku akhirnya bisa ikut berbaur dengan teman-teman lainnya. Semua ketegangan yang aku rasakan sebelum ini mulai hilang begitu saja.
Kemudian, giliran aku untuk menyanyikan lagu “Rasa Sayange”. Meski suara ku masih belum sempurna, aku mulai menikmati lagu itu, menikmati maknanya. Aku bisa merasakan kehangatan, rasa persatuan, dan rasa bangga akan budaya Betawi. Itu adalah perjalanan yang tak mudah untuk aku capai. Dulu, aku pikir hanya gaya hidup modern dan tren yang penting. Tapi, sekarang aku mengerti sebuah budaya bukan hanya tentang penampilan, tapi tentang cerita, sejarah, dan rasa yang tertanam di dalamnya.
Ketika aku menyelesaikan bagian nyanyian, aku melihat senyum puas di wajah teman-temanku. Rina dan Iqbal memberikan isyarat tangan, memberi semangat. Aku bisa merasakan tatapan hangat dari penonton yang menyaksikan. Aku merasa dihargai, merasa bahwa usaha dan perjuanganku tidak sia-sia. Tepuk tangan yang datang dari penonton seperti angin yang menyejukkan hatiku.
Saat pertunjukan selesai, aku merasa kelelahan, tapi juga puas. Kami semua berkumpul di belakang panggung, tertawa bersama, merasa bangga dengan apa yang telah kami capai. Hari ini, aku benar-benar merasa bahwa aku telah melangkah jauh dari sekadar menjadi anak gaul yang hanya peduli dengan tren. Aku telah belajar banyak tentang budaya, tentang perjuangan, dan yang paling penting aku telah belajar untuk menghargai apa yang aku miliki.
“Lo keren banget tadi, Kashfi!” Rina menyapaku, masih dengan senyum lebar di wajahnya.
“Iya, lo gak kelihatan canggung sama sekali!” Iqbal menambahkan.
Aku hanya tersenyum, merasa lega. “Terima kasih, guys. Gue nggak nyangka bisa ngerasain hal kayak gini.”
Aku tahu, ini bukan akhir dari perjalanan aku. Aku masih banyak yang harus dipelajari, tapi yang jelas, hari ini aku merasa lebih kaya akan pengalaman dan pemahaman tentang diri aku sendiri dan orang lain. Aku tahu, kalau aku bisa menjalani ini, aku bisa terus maju menghadapi tantangan-tantangan yang ada di depan.
Dan di hari itu, aku akhirnya mengerti bahwa hidup bukan hanya tentang menjadi gaul, tapi juga tentang menjadi bagian dari sesuatu yang lebih besar.
Membangun Jembatan Antara Dua Dunia
Hari-hari setelah festival budaya berlalu dengan cepat. Semua orang kembali menjalani rutinitasnya, namun perasaan bangga dan semangat yang aku rasakan masih terus mengalir di dalam diriku. Kelas kembali berjalan seperti biasa, meski ada perasaan hangat setiap kali aku melihat teman-teman sekelas yang ikut dalam festival. Kami seperti punya ikatan yang lebih kuat, sebuah pengalaman yang akan selalu mengingatkan kami akan kerja keras dan semangat kebersamaan yang telah tercipta.
Tapi, di sisi lain, ada sebuah kegelisahan yang perlahan mulai merayapi pikiranku. Setiap kali aku melihat teman-temanku sibuk dengan kegiatan sehari-hari mereka mulai dari bermain game, ngobrol tentang dunia fashion, hingga obrolan tentang aplikasi media sosial terbaru aku merasa sedikit terasing. Aku merasa seperti berjalan di dua dunia yang berbeda: satu dunia yang aku kenal, penuh dengan kesenangan dan gaya hidup modern, dan satu lagi yang baru saja aku rasakan, penuh dengan kedalaman makna dan penghargaan terhadap budaya.
Hari itu, aku duduk di bangku taman sekolah, menatap langit yang cerah. Ada sesuatu yang mengganjal di hatiku, dan aku tak bisa menahannya lebih lama. Mungkin karena aku merasa semakin jauh dari dunia yang dulu aku anggap sebagai dunia yang “asik”. Semua teman-temanku, yang aku kenal sebagai anak-anak gaul dan modern, mulai kehilangan semangat dalam mengikuti budaya tradisional. Beberapa dari mereka mulai mengolok-olok apa yang kami lakukan di festival. Mereka bilang kalau itu semua kuno dan nggak ada kaitannya sama kehidupan mereka yang lebih keren.
“Gue nggak ngerti deh sama lo, Kashfi,” ujar Daffa, temanku yang selalu terlihat keren dengan jaket bomber dan celana jeans ketat. “Lo tuh udah keren kok, kenapa mesti ikut-ikutan budaya kuno gitu? Menurut gue sih, lebih baik lo fokus sama yang lebih kekinian aja.”
Pernyataan Daffa membuat aku terdiam. Bukan karena aku merasa tersinggung, tetapi karena aku merasa bingung. Dulu, aku juga berpikir seperti dia. Dulu, aku juga merasa budaya tradisional itu nggak relevan dengan kehidupan kita yang modern. Namun, setelah melalui festival itu, aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam yang aku dapatkan. Ada rasa bangga, ada kebanggaan terhadap warisan budaya yang bukan hanya penting, tetapi juga memperkaya hidup kita.
Tapi sekarang, aku terjebak di tengah persimpangan. Aku harus memilih apakah aku akan tetap mempertahankan semangatku yang baru, atau aku akan kembali ke jalan yang sudah aku kenal jalan yang lebih mudah, lebih santai, dan lebih mengikuti tren.
Di saat-saat seperti ini, aku sering merenung, berbicara dengan diri sendiri. Kadang aku bertanya, apakah langkah yang aku pilih ini benar? Apakah aku akan kehilangan teman-temanku hanya karena memilih untuk mengejar sebuah pemahaman baru tentang kebudayaan? Namun, satu hal yang aku sadari adalah, seiring dengan perubahan yang aku alami, aku juga mulai menemukan jati diriku yang sesungguhnya.
Beberapa minggu setelah festival budaya itu, aku memutuskan untuk berbicara dengan teman-teman sekelas. Aku merasa perlu mengungkapkan perasaan dan pemikiranku, agar mereka bisa mengerti kenapa aku memilih untuk lebih menghargai budaya tradisional. Aku merasa mereka perlu tahu bahwa ada lebih banyak hal yang bisa dipelajari dan diambil dari kebudayaan kita daripada sekadar melihatnya sebagai sesuatu yang usang.
Pagi itu, di ruang kelas yang penuh dengan suasana santai, aku mengumpulkan teman-teman sekelas. Mereka terlihat terkejut, bahkan sedikit bingung saat aku meminta perhatian mereka.
“Gue tahu selama ini kita sering ketawa-ketawa soal budaya yang kemarin kita tampilkan, tapi gue cuma mau kasih tahu, gue ngerasa ada sesuatu yang lebih dari itu. Ada nilai-nilai penting yang harus kita pelajari dari budaya kita. Gue nggak mau kehilangan semua itu hanya karena kita pikir itu nggak keren,” ujarku dengan suara yang lebih tenang daripada yang aku harapkan.
Beberapa teman mulai mengernyitkan dahi, tidak mengerti apa yang aku coba sampaikan. Namun, perlahan, beberapa dari mereka mulai membuka pikiran. Mereka mulai melihat dari sudut pandang yang berbeda, meskipun tak semuanya langsung mengerti atau setuju.
Rina, yang selama ini ikut dalam festival budaya, akhirnya mengangkat tangan dan berkata, “Gue ngerti sih maksud lo, Kashfi. Gue merasa kita seharusnya bisa tetap asik dan tetap bangga dengan budaya kita, tanpa harus jadi orang yang ‘kuno’ di mata orang lain. Mungkin kita bisa mulai nyambungin dua dunia ini, yang lama dan yang baru.”
Aku tersenyum mendengar kata-kata Rina. Mungkin memang benar, jalan tengah bisa ditemukan di antara dua dunia itu di antara tren dan tradisi. Kami bisa menggabungkan kebudayaan yang kaya dengan perkembangan zaman. Kami bisa menjadi anak muda yang gaul dan tetap menghargai apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang kami.
Mulai hari itu, aku merasa lebih tenang. Aku tidak perlu lagi merasa terjebak antara dua dunia. Aku mulai mengajak teman-teman untuk mulai memanfaatkan teknologi dan media sosial untuk memperkenalkan budaya kita dengan cara yang lebih modern. Kami membuat konten-konten tentang budaya Indonesia, dari tarian hingga masakan, lalu membagikannya di platform sosial media. Kami mulai mengajak teman-teman dari sekolah lain untuk bergabung. Kami memadukan kreativitas kami dengan warisan budaya, dan ternyata banyak juga yang tertarik.
Aku merasa seperti menemukan misi baru dalam hidupku untuk menjadi jembatan yang menghubungkan dua dunia yang berbeda ini. Dunia yang penuh dengan tren dan dunia yang penuh dengan nilai-nilai tradisi. Dengan cara ini, aku bisa tetap jadi diri sendiri, tetap gaul, dan tetap menghargai warisan budaya. Semua itu, ternyata, bisa berjalan berdampingan. Dan hari itu, aku merasa hidupku penuh dengan semangat dan harapan baru.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Kashfi mengajarkan kita bahwa meskipun budaya bisa berbeda-beda, tetapi saling menghargai dan memahami satu sama lain adalah kunci untuk menciptakan kedamaian dan kebersamaan. Komunikasi antar budaya bukan hanya soal berbicara, tetapi juga tentang mendengarkan dan meresapi makna di balik setiap perbedaan. Sebagai anak muda yang aktif dan penuh semangat, kita bisa jadi agen perubahan yang membawa kedekatan antar budaya ke level yang lebih positif. Yuk, terus jalin komunikasi yang sehat dan saling menghormati di lingkungan sekitar kita!