Daftar Isi
Kenangan sering kali menempel begitu kuat di hati, seperti stiker yang susah banget dihapus. Terkadang, kita merasa sudah move on, tapi entah kenapa, ada bagian yang masih terasa belum selesai.
Cerita ini akan membuka tentang bagaimana rindu yang tak bisa dibuang, kenangan yang terus menggantung, dan bagaimana akhirnya seseorang belajar untuk membiarkan semuanya pergi. Ini tentang perasaan yang sering kali disembunyikan di balik senyuman, yang akhirnya harus dihadapi dan diterima.
Melepaskan Kenangan
Taman Kenangan
Pagi itu, Aldin memutuskan untuk kembali ke taman kecil di ujung kota, tempat yang dulu menjadi saksi bisu kenangan indahnya dengan Lara. Udara pagi yang sejuk menyapa wajahnya, membawa semilir angin yang menyegarkan, meskipun tidak bisa menghilangkan perasaan berat di dadanya. Langkahnya perlahan menapaki jalan setapak yang berlapis dedaunan, dengan setiap langkahnya terasa semakin berat.
Taman itu masih sama. Pohon-pohon rindang dengan cabang yang menjuntai, bangku-bangku kayu yang sudah usang, dan bunga-bunga yang bermekaran di sana-sini, seolah menyambut kedatangannya. Namun, satu hal yang berbeda—tidak ada lagi tawa Lara yang menggema di sekitar sini. Tidak ada lagi wajahnya yang cerah, mata yang selalu penuh semangat, seolah hidup ini miliknya untuk dikejar. Hanya kesunyian yang sekarang terasa begitu dalam.
Aldin berhenti di bawah pohon sakura yang dulu selalu mereka duduki berdua. Ranting-ranting pohon itu mulai menggugurkan bunga-bunganya, menyisakan sedikit kelopak putih yang terdampar di tanah. Ia menyentuh batang pohon yang sudah terlihat rapuh itu, seolah mengingat setiap detail momen yang pernah mereka lewati bersama.
Di sana, di bawah pohon ini, Lara pernah berkata, “Aku suka tempat ini, Din. Tempat yang nggak banyak orang tahu. Jadi, kita bisa bicara tentang apapun tanpa takut gangguan.” Aldin masih ingat jelas kata-katanya, suaranya yang lembut namun penuh semangat. Suara yang seakan bisa mengubah dunia meski hanya dengan satu kalimat.
“Kenapa kamu suka banget sama tempat ini, Lara?” Aldin pernah bertanya, duduk di sampingnya saat itu.
Lara tersenyum, wajahnya berbinar seperti bintang di langit malam. “Karena di sini, aku merasa dunia ini milik kita berdua. Kita bisa duduk, bercakap, dan nggak ada yang mengganggu.”
Aldin tersenyum mengingatnya. Tapi, sekarang? Kini pohon sakura ini hanya menyisakan kenangan-kenangan yang menyesakkan dada.
Langkahnya membawa Aldin ke bangku yang dulu sering mereka duduki berdua. Bangku itu sudah agak berkarat di beberapa bagiannya, dan beberapa papan kayunya terlihat sudah usang, seolah tak terawat. Tetapi, Aldin tahu, di bangku ini, banyak cerita yang pernah ditulis oleh waktu. Cerita tentang Lara dan dirinya. Tentang percakapan yang tidak pernah selesai, tentang tawa yang tidak pernah berhenti.
Aldin duduk perlahan, merasakan kesunyian yang melingkupinya. Hujan yang turun dengan perlahan mulai membasahi sekujur tubuhnya. Mungkin ini yang dia butuhkan—waktu untuk meresapi segala kenangan yang tertinggal. Segala hal yang belum sempat terucap. Rindu yang tak pernah benar-benar tersampaikan.
Dari kejauhan, terdengar suara langkah kaki yang mendekat. Aldin menoleh, berharap mungkin itu Lara yang kembali, meski dia tahu itu mustahil. Namun, harapannya hanya berakhir pada angin yang membawa bau tanah basah dan dedaunan.
Tiba-tiba, suara tawa ringan terdengar dari belakang. Aldin menoleh cepat, dan ada rasa asing yang mengusik. Seorang gadis dengan rambut panjang tergerai, mengenakan jaket putih dan celana jeans, melangkah mendekat dengan senyum kecil yang tersungging di wajahnya. Gadis itu duduk di bangku sebelah Aldin tanpa berkata apa-apa. Hanya ada suara detak jam yang menandakan waktu yang terus berjalan.
“Kenapa hujan terus turun, ya?” tanya gadis itu, mengalihkan pandangan Aldin yang masih terfokus pada pemandangan hujan.
Aldin menatapnya sekilas, lalu menjawab dengan suara serak, “Entahlah. Mungkin hujan juga tahu kalau aku butuh waktu untuk sendiri.”
Gadis itu hanya mengangguk, tidak bertanya lebih jauh. Sebuah keheningan panjang pun tercipta. Aldin kembali menatap hujan yang semakin deras, seolah dunia ini sedang menangisinya. Seolah semuanya tahu tentang kehilangan yang kini menyelimutinya.
“Aldin,” gadis itu akhirnya membuka suara, “kau tahu, terkadang kenangan itu bisa jadi lebih berat dari kenyataan, kan?”
Aldin menatap gadis itu, matanya mencari makna di balik kalimat itu. Kenangan, memang. Kenangan yang tidak pernah pergi, yang selalu muncul dalam setiap sudut ruang, yang tetap hidup meskipun kita berusaha melupakannya.
“Kamu benar,” jawab Aldin pelan, “tapi kadang, kenangan itu terlalu sulit untuk dilupakan.”
Gadis itu tersenyum, namun senyumnya tidak sampai ke matanya. Seakan, dia juga mengerti rasa yang sedang Aldin rasakan. Mereka duduk bersama, dalam diam, membiarkan hujan yang menjadi teman mereka. Kenangan, kehilangan, dan rindu—semuanya bercampur menjadi satu dalam keheningan ini.
Aldin memejamkan mata, membiarkan dirinya tenggelam dalam kenangan tentang Lara. Dan untuk pertama kalinya dalam dua tahun terakhir, dia merasa sedikit lega, meskipun rasa rindu itu masih menyelimutinya dengan erat. Mungkin, seperti hujan yang akan berhenti suatu saat, begitulah rindu ini—akan mereda, meski entah kapan.
Beneath the Sakura Tree
Hujan yang turun sepanjang hari mulai mereda, meninggalkan udara yang dingin dan segar. Aldin masih duduk di bangku yang sama, kali ini sendirian. Gadis yang tadi duduk di sebelahnya sudah pergi entah kemana. Tanpa sadar, waktu berlalu begitu cepat—seperti kenangan yang tak pernah berhenti mengalir meski kita berusaha menahannya. Aldin menyandarkan punggungnya ke sandaran bangku, menatap pohon sakura yang kini mulai kehilangan kelopak-kelopak putihnya. Seperti kehidupan yang perlahan-lahan menghilang, begitu juga perasaan yang tak bisa dia ungkapkan.
Pikirannya melayang, kembali ke masa-masa ketika segala sesuatunya begitu sederhana. Ketika Lara ada di sampingnya, penuh dengan tawa dan candaan yang tak pernah habis. Mereka berdua sering kali duduk di bawah pohon sakura ini, berbicara tentang hal-hal kecil, tentang impian yang belum tercapai, tentang masa depan yang tak pasti. Tak ada yang lebih membahagiakan dari itu. Tapi entah mengapa, Aldin selalu merasa ada yang tertinggal—perasaan yang belum pernah dia ungkapkan. Perasaan yang sekarang ini menghantui setiap detiknya.
“Kenapa kamu nggak pernah bilang, Din?” Aldin terkejut mendengar suara itu. Suara yang sudah lama dia rindukan, suara yang begitu familiar. Lara.
Tapi ketika dia menoleh, tidak ada sosok Lara yang dia harapkan. Yang ada hanya bayangannya yang seakan datang dan pergi seperti angin. Ia mendesah pelan, mencoba mengusir bayangan itu, namun entah mengapa, suara itu masih terngiang di telinganya.
Aldin mengatur nafas, berdiri dan berjalan ke arah pohon sakura, mendekati akar-akarnya yang sudah mulai terkelupas. Di bawah pohon inilah mereka pertama kali bertemu—di bawah naungan pohon ini, Lara menyapanya dengan senyum yang tak pernah pudar di ingatannya. Itu adalah momen pertama mereka, momen yang membuat segalanya terasa berbeda, terasa lebih hidup.
Aldin mengingat setiap kata yang keluar dari mulut Lara waktu itu, “Aku suka duduk di sini, Din. Rasanya seperti waktu berhenti.” Dan mereka berdua kemudian tertawa bersama, tanpa tahu bahwa hari itu akan menjadi hari yang mengubah segalanya.
Hati Aldin terasa sesak saat memikirkan hal itu. Kenapa dia tidak pernah mengungkapkan perasaannya? Kenapa dia hanya diam? Apakah dia takut? Takut kehilangan, takut disakiti? Padahal, dia tahu jawabannya. Lara adalah segala-galanya—impian, harapan, dan cinta yang tak pernah terucap. Kini, segala itu hanya menjadi kenangan. Kenangan yang tak bisa diulang.
Langkah Aldin semakin menjauh dari pohon sakura, namun hatinya seakan tertinggal di sana. Ia kembali ke bangku yang sudah usang itu, merasakan sejuknya udara yang semakin pekat. Hanya suara dedaunan yang berdesir tertiup angin yang mengisi keheningan.
Di tengah lamunannya, tiba-tiba ponselnya bergetar. Aldin merogoh saku jaket dan melihat nama yang tertera di layar. Mika. Teman lama yang sudah lama tak dia hubungi. Mika selalu menjadi orang yang mengerti perasaannya, meskipun tidak pernah benar-benar memahami kehadiran Lara dalam hidupnya.
“Dindin, kamu di mana? Aku baru selesai kerja. Mau nggak ketemu sebentar?” pesan singkat dari Mika itu muncul.
Aldin menghela nafas, memikirkan apakah dia benar-benar ingin bertemu dengan Mika sekarang. Tetapi, dia tahu, mungkin ini adalah kesempatan untuk melepaskan sedikit beban yang ada di hati.
Aldin membalas pesan itu. “Aku di taman. Ayo, datang.”
Beberapa menit kemudian, Mika tiba. Dia datang dengan wajah yang ceria, seperti biasa, mengenakan jaket hitam dan celana jeans biru. Mika duduk di samping Aldin tanpa banyak bicara, hanya menatap ke depan dengan diam, seolah tahu Aldin sedang berjuang melawan pikirannya sendiri.
“Apa yang kamu pikirkan, Din?” tanya Mika setelah beberapa saat.
Aldin tersenyum pahit, “Lara. Tentang kenangan-kenangan yang tidak bisa aku lupakan. Dan tentang waktu yang tidak pernah bisa kembali.”
Mika mengangguk pelan, memandang Aldin dengan tatapan penuh pengertian. “Aku tahu perasaan itu, Din. Terkadang, kita terlalu terjebak pada kenangan sampai lupa bahwa hidup terus berjalan.”
“Kenapa kamu bisa begitu tenang?” tanya Aldin, mencoba memahami perasaan Mika.
Mika tersenyum, kali ini senyum yang benar-benar datang dari hati. “Karena aku tahu, meskipun kenangan itu berat, kita tetap harus maju. Waktu nggak akan pernah mundur, kan? Tapi kita bisa belajar dari setiap detik yang kita lewati.”
Aldin menatap Mika, mencerna kata-kata itu. Ternyata, kadang-kadang, seseorang memang datang untuk membuka mata kita. Mika mungkin tidak tahu segala rasa yang ada di dalam hati Aldin, tapi dia tahu satu hal—kenangan memang bisa menahan kita, tapi kita yang harus memutuskan apakah kita mau tetap terjebak di sana atau melangkah maju.
“Makasih, Mika. Mungkin aku butuh waktu untuk benar-benar melepaskan,” ujar Aldin pelan, matanya menatap jauh ke depan, seperti sedang mencari arah yang jelas.
Mika hanya tersenyum lagi. “Jangan terburu-buru, Din. Waktu akan memberi jawaban, dan kamu akan siap ketika saatnya datang.”
Mereka berdua duduk bersama di bawah langit yang mulai gelap. Hujan sudah berhenti, namun rasa rindu dalam dada Aldin masih mengalir, seperti sungai yang tak pernah bisa berhenti. Tapi setidaknya, kini dia tahu bahwa meskipun kenangan itu akan selalu ada, dia tidak harus sendirian dalam melangkah.
Pencarian dalam Diam
Malam semakin larut, dan suara angin yang berdesir melalui dedaunan seakan ikut mengiringi langkah Aldin yang perlahan meninggalkan taman itu. Langit sudah gelap, dihiasi oleh titik-titik cahaya dari lampu jalan yang terpantul di jalanan basah. Aldin merasa ada yang aneh dengan malam ini—seperti ada sesuatu yang hilang dari dirinya, sesuatu yang lebih sulit dijelaskan selain rasa kosong yang menguasai hatinya.
Setiap langkah yang diambilnya terasa berat. Langkahnya begitu lambat, seolah tubuhnya menahan beban yang tak bisa dilihat oleh mata orang lain. Hati Aldin masih dipenuhi oleh bayang-bayang masa lalu, kenangan tentang Lara yang selalu datang, bahkan ketika dia berusaha menyingkirkannya. Ada kesedihan dalam dirinya yang begitu dalam, sebuah lubang yang tidak bisa dia tutupi, tidak bisa dia penuhi dengan apapun.
Aldin berhenti di tengah jalan, menatap gedung tua yang terlihat usang di depannya. Gedung itu selalu menjadi tempat ia dan Lara bertemu setelah pulang sekolah dulu. Setiap sudutnya, setiap pintunya, seakan menyimpan cerita-cerita yang hanya mereka yang tahu. Aldin menggenggam erat tasnya, matanya mulai berkaca-kaca. Kenapa dia harus menyadari semuanya sekarang? Kenapa baru sekarang dia merasa kehilangan begitu dalam?
“Lara…” bisiknya pelan, seperti mengharap gadis itu muncul di depannya, tertawa seperti dulu, dengan senyum yang selalu bisa menenangkan hatinya.
Namun yang ada hanya keheningan.
Kaki Aldin melangkah tanpa arah, hanya mengikuti jalan yang membawa langkahnya. Tiba-tiba, dia berhenti di depan sebuah kafe kecil yang sudah lama tak dia kunjungi. Di sinilah dulu mereka sering menghabiskan waktu bersama, duduk di pojok dengan secangkir kopi hangat di tangan, berbicara tentang apapun, meski tak pernah tentang perasaan yang sebenarnya. Lara selalu terlalu ceria untuk dipahami, dan Aldin selalu terlalu bingung untuk mengungkapkan apa yang dia rasakan.
Dia menghela napas panjang dan melangkah masuk ke dalam kafe, mencoba mengusir kerinduan yang terus menghantui.
Suara dentingan pintu membuka disusul dengan aroma kopi yang khas. Aldin berjalan ke meja pojok, tempat mereka biasa duduk. Di sana, semuanya tampak sama seperti dulu. Lampu temaram, musik jazz yang lembut mengalun di latar belakang, dan suara pelayan yang sibuk melayani pelanggan. Namun, ada satu yang hilang. Keheningan yang memeluknya terasa begitu berbeda tanpa tawa Lara di sampingnya.
Seorang pelayan mendekat, memberikan senyum ramahnya. “Mau pesan apa, Pak?”
Aldin mengangkat pandangannya, sedikit tersentak melihat pelayan itu, namun kemudian ia menggelengkan kepala. “Hanya ingin duduk sebentar.”
Pelayan itu mengangguk, lalu pergi. Aldin kembali terdiam, matanya menatap kursi kosong di hadapannya. Dia membayangkan, jika Lara ada di sini sekarang, mereka pasti sudah berbicara tentang hal-hal kecil, mungkin tentang cuaca, atau tentang hal yang mereka temui di jalan. Mereka selalu menemukan topik untuk dibicarakan, seperti tak pernah habis meskipun hari demi hari berlalu.
Namun sekarang, semuanya berbeda. Kesunyian yang ada semakin menyelimutinya. Dia merasakan betapa sunyinya hidup tanpa kehadiran Lara, tanpa kata-kata yang biasa Lara lontarkan yang selalu bisa menghibur hatinya.
Tiba-tiba, ponsel Aldin bergetar lagi, menyadarkannya dari lamunannya. Itu pesan dari Mika.
“Aku tahu ini mungkin sulit, Din. Tapi kamu harus membuka mata. Lara tidak akan kembali hanya karena kita menunggu. Kamu harus bisa melepaskannya, bukan hanya secara fisik, tapi juga dalam hatimu.”
Aldin membaca pesan itu berkali-kali. Kata-kata itu menusuk hatinya, membuatnya semakin sadar bahwa memang benar, ia belum sepenuhnya melepaskan Lara. Dia masih terjebak dalam kenangan itu, seperti masa lalu yang terus membayangi.
Aldin merasa cemas, takut kehilangan arah. Apakah benar dia sudah siap untuk melangkah maju? Untuk benar-benar melepaskan segala rasa yang selama ini tertahan? Rasanya seperti ada yang tertinggal, sesuatu yang masih menempel erat di hatinya, sesuatu yang tak bisa dia lepaskan begitu saja.
Aldin menatap jam di tangannya. Sudah larut malam, dan kafe ini mulai sepi. Hanya beberapa meja yang masih terisi, termasuk meja di pojok tempatnya duduk. Dia merasa sedikit lebih tenang, namun perasaan rindu itu kembali datang, lebih kuat daripada sebelumnya.
Suara pintu kafe terbuka, dan seorang wanita muda masuk. Wanita itu mengenakan jaket abu-abu dan celana panjang hitam. Aldin tidak melihat wajahnya dengan jelas, tetapi ada sesuatu yang menarik perhatiannya—gerakan wanita itu, langkahnya yang terarah, seakan dia tahu apa yang dicari.
Wanita itu berjalan ke meja di dekat Aldin, duduk dengan santai, dan memesan secangkir teh hangat. Aldin hanya menatapnya sejenak, lalu kembali menundukkan kepala. Ada sesuatu tentang wanita itu yang membuatnya merasa aneh—sebuah aura yang mengingatkannya pada seseorang, tetapi siapa? Tidak, ini hanya perasaan sejenak. Pikirannya masih berlarian pada Lara, pada kenangan yang tak pernah bisa dia ubah.
Tetapi saat wanita itu menoleh ke arahnya, mata mereka bertemu untuk sesaat. Aldin terkejut, dan wanita itu tersenyum, sebuah senyum yang hangat namun misterius. Senyum yang seperti sudah lama tidak dia lihat.
“Apakah kamu Aldin?” tanya wanita itu dengan suara lembut.
Aldin terdiam sejenak, merasa aneh. “Ya, siapa… siapa kamu?”
Wanita itu tersenyum lebih lebar. “Lara selalu bercerita tentangmu, Aldin. Aku Nina, sahabat lama Lara. Kami dulu sering menghabiskan waktu di sini.”
Tiba-tiba jantung Aldin berdebar kencang. Nama itu, Nina. Semua kenangan yang dia simpan tentang Lara, semua rasa yang tidak bisa dia ungkapkan, kini kembali menguatkan perasaannya.
Menyelesaikan Kisah yang Terhenti
Aldin duduk terpaku di kursinya, matanya masih terfokus pada Nina yang duduk di hadapannya. Senyum wanita itu tidak berubah, tapi bagi Aldin, senyum itu terasa seperti sebuah teka-teki yang tak pernah terpecahkan. Suasana di kafe itu terasa semakin sempit, dan segala suara yang dulu familiar—kicau burung, musik jazz yang lembut—sekarang terdengar seperti latar belakang yang jauh dari kenyataan. Hanya ada dia dan Nina.
“Lara…” Aldin akhirnya membuka mulut, suaranya pelan namun pasti. “Apa kabar dia?”
Nina menghela napas pelan, seolah-olah kata-katanya terhalang oleh sesuatu yang lebih besar. “Dia baik-baik saja. Hanya saja… dia sudah memilih untuk pergi, Aldin. Bukan karena dia tidak mencintaimu. Tapi karena dia merasa… dia sudah cukup memberikan semuanya, dan mungkin saat itu, dia merasa… kamu sudah cukup menderita. Dia tidak ingin kamu terus menunggu, terjebak di kenangan yang tidak bisa lagi dia bawa.”
Aldin merasa dadanya sesak. Semua kata-kata itu seperti air yang menenggelamkan seluruh tubuhnya, begitu dalam dan sulit untuk dihadapi. Kenapa harus begini? Kenapa dia harus mendengar semuanya setelah Lara pergi begitu jauh?
“Nina, aku… aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Semua ini… kenapa semuanya terasa seperti mimpi buruk yang tak pernah selesai?”
Nina menatapnya lama, matanya penuh pengertian. “Karena kamu belum melepaskan Lara, Aldin. Kamu masih terikat pada kenangan yang kamu buat bersama dia, dan itu wajar. Tapi kamu harus tahu, tidak ada yang bisa kembali, kecuali kamu sendiri yang memilih untuk berdamai dengan dirimu dan dengan masa lalu.”
Aldin terdiam. Kata-kata Nina seakan menghantamnya, mengingatkan dia akan banyak hal yang selama ini dia coba hindari. Betapa dia terjebak dalam bayangan yang terus membawanya mundur, menjauh dari kesempatan untuk memulai hidup yang baru.
Dia teringat pada hari-hari mereka bersama, pada tawa Lara yang begitu ceria, pada cara Lara selalu tahu bagaimana membuatnya merasa dicintai meskipun tanpa kata-kata. Lara selalu tahu, meskipun Aldin tidak pernah berbicara tentang perasaannya. Dan sekarang, setelah semua itu berlalu, Aldin hanya bisa menyimpan semua kenangan itu dalam hati, seperti sebuah potret yang mulai memudar.
“Lara memang pergi,” kata Nina lagi, suaranya lebih lembut. “Tapi ingat, kamu masih punya kesempatan untuk melanjutkan hidupmu. Kamu masih bisa menemukan kebahagiaan yang lain. Hanya saja, kamu harus berhenti menginginkan hal yang sudah tidak ada lagi.”
Aldin menatap Nina, matanya mulai berkilau dengan air mata yang ia tahan. Dia ingin berteriak, ingin menyampaikan semuanya yang selama ini terpendam. Tapi akhirnya dia hanya mengangguk pelan, seakan mengerti apa yang harus dilakukan.
“Terima kasih,” katanya akhirnya, suara seraknya hampir tidak terdengar. “Terima kasih sudah datang ke sini, Nina.”
Nina tersenyum, penuh pengertian. “Aku hanya ingin kamu tahu, Aldin, bahwa kamu tidak sendirian. Ada orang-orang di sekitarmu yang peduli. Lara ingin kamu bahagia. Jangan biarkan dirimu tenggelam terlalu lama.”
Aldin terdiam, lalu mengangkat wajahnya, mencoba menatap ke depan dengan harapan yang baru. Perlahan, dia meraih secangkir kopi yang sudah lama terdiam di depannya. Rasa pahit kopi itu menyentuh lidahnya, seperti rasa yang ia rasakan dalam hidup—pahit, tapi mungkin, hanya mungkin, itu adalah bagian dari proses penyembuhan.
Ketika Nina bangkit untuk pergi, Aldin merasa ada sesuatu yang mengalir dalam dirinya. Sesuatu yang dulu pernah ada, namun telah terkubur begitu lama. Sesuatu yang perlahan ia temukan lagi, meskipun jalan yang ia lewati tidak mudah.
“Nina,” kata Aldin sebelum wanita itu melangkah pergi. “Aku akan mencoba. Aku akan mencoba untuk melepaskan dan bergerak maju.”
Nina berhenti sejenak, menoleh dan mengangguk. “Itu yang terbaik, Aldin.”
Saat Nina menghilang di balik pintu, Aldin duduk lebih lama lagi, menatap kosong ke luar jendela. Namun kali ini, ada ketenangan yang ia rasakan. Perlahan, dia merasakan bagaimana hati dan pikirannya mulai melangkah keluar dari bayang-bayang masa lalu. Mungkin dia takkan pernah sepenuhnya melupakan Lara—tapi setidaknya dia bisa belajar untuk melanjutkan hidup, untuk tidak terus terjebak dalam kenangan yang tak lagi bisa kembali.
Dia menghembuskan napas panjang, menatap bulan yang terpantul di permukaan jendela. Langit malam itu terlihat begitu tenang, seolah memberi isyarat bahwa dia pun harus tenang, dan bahwa setelah malam yang gelap ini, pagi yang baru akan datang.
Pada akhirnya, rindu tak pernah benar-benar hilang. Ia hanya berubah bentuk, menjadi kenangan yang bisa dipeluk atau dilepaskan. Melepaskan bukan berarti melupakan. Terkadang, yang dibutuhkan hanya keberanian untuk berdamai dengan diri sendiri dan masa lalu yang tak bisa diulang.
Mungkin, suatu saat, saat kita mampu menerima segala yang telah berlalu, kita akan menemukan kedamaian, bukan karena kenangan itu hilang, tetapi karena kita belajar untuk hidup bersamanya tanpa lagi merasa terluka.