Perjuangan Anak Jalanan: Kisah Haru di Tengah Kemiskinan yang Menginspirasi

Posted on

Pernah nggak sih, ngerasain hidup yang kayak lagi terjebak di tempat paling bawah, di mana semua orang cuma bisa lihat kamu sebelah mata? Nah, cerpen ini bakal ngebahas tentang Kian, seorang anak yang hidup di kampung kumuh, tapi punya mimpi besar yang nggak gampang patah.

Walaupun dunia nyaris nggak ngasih harapan, Kian tetep bangkit, dan siapa sangka, perjalanan sederhana dia ternyata bisa ngebuka mata banyak orang tentang arti kehidupan yang sebenarnya. Siapin tisu, ya! Karena ceritanya bakal ngena banget di hati.

 

Perjuangan Anak Jalanan

Bayang-Bayang di Bawah Jembatan

Pagi di kampung bawah jembatan selalu dimulai dengan suara air yang menetes dari sela-sela beton tua, bercampur dengan desah angin yang membawa bau lumpur. Di sela kabut yang tipis, seorang anak laki-laki kurus berdiri memandangi langit dari celah-celah jembatan yang penuh dengan coretan cat usang. Dia adalah Kian, bocah berumur 12 tahun yang sudah terbiasa dengan kehidupan tanpa kemewahan.

“Aku nemu botol lagi, Kian! Banyak, lho!” seru Raga, teman kecilnya yang berdiri tidak jauh darinya, memegang kantong plastik besar. Mata Raga berbinar seperti baru saja menemukan harta karun.

“Bawa ke Bu Tini aja. Dia biasanya bayar lebih kalau botolnya masih utuh,” jawab Kian sambil mengayunkan karung goni di bahunya. Karung itu terlalu besar untuk tubuhnya yang kecil, tapi Kian sudah terbiasa. Di sini, semua anak belajar bekerja keras bahkan sebelum mereka tahu arti kerja keras itu sendiri.

Raga mengangguk semangat, lalu berlari ke arah gang kecil yang menuju rumah Bu Tini, seorang pengepul barang bekas di kampung mereka. Kian tidak ikut. Hari ini, dia punya misi lain. Langkahnya diarahkan ke tempat pembuangan sampah di ujung kampung, tempat orang-orang kaya dari kota membuang barang yang mereka anggap tak lagi berguna. Tapi bagi Kian, barang-barang itu sering kali punya nilai lebih.

Di tengah-tengah tumpukan kardus dan plastik, Kian menemukan sebuah papan kayu kecil yang salah satu sudutnya sudah patah. Dia menggosok permukaannya dengan lengan baju, memperhatikan bekas cat putih yang memudar. Di sampingnya, ada sepotong kapur yang patah. Sebuah papan tulis.

Kian tersenyum kecil. “Lumayan,” gumamnya sambil menepuk-nepuk debu dari papan itu.

“Kamu mau ngapain lagi sama itu, Kian?” tanya suara dari belakang. Itu suara Mila, gadis kecil yang sering ikut membantu Kian mencari barang bekas. Dia berdiri dengan tangan di pinggul, menatap papan itu dengan raut bingung.

“Belajar,” jawab Kian singkat. Dia sudah tahu Mila bakal mengomel seperti biasa.

“Belajar pakai itu? Kamu nggak capek-capeknya ya? Apa gunanya belajar kalau kita tetep aja miskin?” Mila menatapnya tajam, seolah ingin menyadarkannya dari sesuatu yang menurutnya mustahil.

Kian tidak menjawab. Dia hanya mengangkat papan itu dan berjalan pergi. Mila mendengus kesal tapi akhirnya mengikutinya.

Di bawah pohon besar di tepi kampung, Kian meletakkan papan tulis itu di atas tanah. Dia memungut sebatang ranting untuk menopangnya agar tidak jatuh. Mila masih berdiri di belakangnya, menyilangkan tangan di dada.

“Kian, dengerin aku deh. Kamu tuh terlalu banyak mikir soal masa depan. Kita ini siapa sih? Orang kecil, cuma buat hidup aja susah,” kata Mila dengan nada serius.

“Aku tahu siapa kita,” jawab Kian sambil mengambil kapur kecil itu. “Tapi kalau aku berhenti sekarang, kita bakal tetap di sini selamanya. Kamu mau begitu?”

Mila terdiam. Dia tidak tahu harus menjawab apa.

Kian mulai menulis sesuatu di papan itu—huruf-huruf yang ia pelajari dari buku bekas yang pernah ia temukan beberapa bulan lalu. Dia tidak tahu banyak, tapi dia tahu cukup untuk memulai. “Kalau aku bisa baca lebih banyak, aku bisa tahu lebih banyak. Kalau aku tahu lebih banyak, aku bisa bikin hidup ini berubah.”

“Kamu percaya diri banget,” gumam Mila, setengah tak percaya.

“Bukan percaya diri, Mila. Ini soal nggak punya pilihan lain.”

Hari itu berlalu dengan cepat. Sore mulai merangkak masuk, menggantikan panas siang dengan dingin angin yang menusuk. Kian sudah selesai dengan “kelasnya” hari ini. Dia memang tidak punya murid selain dirinya sendiri, tapi dia tahu, suatu hari nanti dia ingin mengajar.

Saat dia berjalan pulang, langkahnya terhenti di depan rumah kecil yang nyaris roboh. Atapnya sudah dipenuhi tambalan dari plastik dan kain, sementara dindingnya terbuat dari papan kayu yang disusun seadanya. Ibu Kian sedang duduk di depan pintu, memperbaiki pakaian lusuh dengan benang yang hampir habis.

“Ibu udah makan?” tanya Kian sambil masuk ke dalam.

“Belum, Nak. Kamu udah makan?” jawab ibunya tanpa menatap.

Kian menggeleng. Dia duduk di sebelah ibunya, memperhatikan jarum yang bergerak pelan di antara kain. “Bu, kalau aku belajar lebih keras, nanti aku bisa cari uang lebih banyak, kan?”

Ibunya berhenti sejenak, menatap anaknya dengan senyum lelah. “Belajar itu bagus, Kian. Tapi jangan lupa kalau kita ini hidup di dunia yang nggak selalu adil. Kamu boleh bermimpi, tapi jangan lupa tetap bersyukur sama apa yang kita punya sekarang.”

Kian mengangguk, meskipun hatinya menolak untuk menyerah pada nasib. Dia tahu ibunya hanya ingin melindunginya dari kekecewaan, tapi Kian tidak ingin menyerah. Tidak kali ini.

Malam itu, Kian memandangi papan tulis kecilnya dengan mata yang bersinar. Dalam hati, dia berjanji. Aku nggak bakal selamanya jadi bayang-bayang. Suatu hari, dunia bakal lihat aku. Dan aku bakal tunjukin kalau kita bisa lebih dari apa yang mereka pikirkan.

 

Buku yang Hampir Hilang

Langit pagi mulai merekah dengan semburat merah muda, tapi suasana kampung bawah jembatan tetap suram seperti biasanya. Bau lembap dari genangan air di sepanjang jalan sempit bercampur dengan aroma sampah yang menguar dari tong-tong penuh di setiap sudut. Namun, pagi itu ada sesuatu yang berbeda. Kian berjalan dengan langkah cepat, matanya tajam mengamati setiap tumpukan sampah di sepanjang jalan menuju tempat pembuangan di ujung kampung.

“Raga bilang ada tumpukan baru di sana,” gumamnya pada dirinya sendiri. “Semoga ada sesuatu yang bisa dipakai.”

Saat tiba di tempat itu, ia disambut oleh suara burung gagak yang berkaok-kaok di atas pohon. Tumpukan sampah baru yang diceritakan Raga memang ada, menjulang seperti bukit kecil. Beberapa orang dewasa sudah sibuk mengais, tetapi Kian tidak gentar. Dia tahu barang-barang yang ia cari jarang menarik perhatian mereka.

Kian mulai memeriksa tumpukan itu. Tangannya yang kecil dan cekatan menyibak plastik bekas, kardus yang basah, hingga kaleng-kaleng penyok. Setelah beberapa menit, dia menemukan sesuatu—sebuah buku tua dengan sampul keras yang warnanya hampir pudar. Tulisan di depannya samar-samar terbaca: “Ensiklopedia Dunia Anak.”

Mata Kian berbinar. Ia membuka lembaran pertama, meskipun beberapa halaman sudah sobek dan ada bercak kecokelatan di sudutnya. Isinya penuh dengan gambar dan kata-kata sederhana. Buku itu terlihat seperti milik seorang anak yang dulunya hidup di dunia yang jauh berbeda dari kampung ini.

“Kian! Apa itu?” seru suara dari belakang. Itu Mila, seperti biasa, selalu muncul tanpa peringatan.

Kian menunjukkan buku itu sambil tersenyum lebar. “Lihat ini, Mila! Ada gambar planet, hewan, terus… ini kayak peta!”

Mila mendekat, mengambil buku itu dari tangan Kian dengan raut wajah skeptis. “Ini udah hampir jadi sampah, Kian. Mau diapain lagi?”

Kian menarik buku itu kembali dengan hati-hati. “Ini bukan sampah. Ini ilmu.”

Mila menghela napas panjang. “Ilmu nggak bikin kita kenyang, tahu.”

“Ilmu bikin kita tahu caranya kenyang,” jawab Kian tegas. Dia tahu Mila tidak sepenuhnya salah, tapi dia juga yakin apa yang baru saja ia temukan adalah sebuah harta karun.

Kian memasukkan buku itu ke dalam karungnya dan berjalan cepat ke arah rumah. Mila, seperti biasa, mengikutinya sambil terus mengomel.

“Kalau kamu terus-terusan begini, nanti malah capek sendiri. Udah, mendingan kita cari botol plastik lagi. Lebih gampang dijual!”

“Kalau kamu nggak mau ikut, nggak usah ikut,” jawab Kian tanpa menoleh.

Mila mendengus, tapi tetap tidak pergi. Dalam hati, dia kagum pada semangat Kian meski tidak pernah mau mengakuinya.

Di rumah, Kian membersihkan buku itu dengan kain basah. Ibunya sedang menjemur pakaian di depan, tidak terlalu memperhatikan apa yang sedang dilakukan anaknya. Setelah cukup bersih, Kian mulai membaca buku itu. Lembar demi lembar, ia menyerap setiap informasi dengan rasa ingin tahu yang besar.

Dia menemukan gambar burung yang belum pernah ia lihat sebelumnya, cerita tentang tempat-tempat jauh yang namanya sulit diucapkan, dan fakta-fakta menarik tentang benda-benda langit. Semua itu membuat dunia kecilnya terasa lebih luas.

“Kian, kamu baca apa, Nak?” suara ibunya terdengar dari belakang.

“Buku. Aku nemu di tempat sampah tadi pagi,” jawabnya sambil menunjukkan buku itu.

Ibunya mendekat, duduk di samping Kian. Dia memperhatikan buku itu dengan mata yang sedikit basah. “Ibu dulu suka baca buku waktu masih kecil, tapi nggak pernah punya buku sebagus ini.”

Kian menatap ibunya dengan rasa penasaran. “Ibu suka baca apa?”

“Cerita-cerita rakyat. Ibu dulu punya buku kecil yang isinya cerita tentang kancil, tentang gunung, tentang pahlawan-pahlawan. Tapi semua itu hilang waktu kampung kita kebakaran dulu.”

Kian merasakan ada kesedihan dalam nada suara ibunya. Dia memegang tangan ibunya erat. “Kalau aku bisa baca lebih banyak, Bu, nanti aku bisa ceritain semuanya ke Ibu. Aku bisa belajar tentang dunia ini dan kasih tahu semuanya ke Ibu.”

Ibunya tersenyum kecil, meski jelas-jelas masih ada keraguan di wajahnya. “Kamu anak yang pintar, Kian. Tapi jangan lupa, hidup ini nggak selalu semudah cerita di buku.”

“Aku tahu, Bu. Tapi aku juga tahu, aku nggak mau selamanya begini,” jawab Kian dengan nada penuh tekad.

Hari itu, buku tua itu menjadi teman baru Kian. Setiap malam, dia membacanya di bawah lampu minyak, mencoba memahami kata-kata yang sulit, dan membayangkan dunia di luar kampung bawah jembatan.

Namun, sebuah kejadian hampir membuat buku itu hilang selamanya.

Malam itu, angin bertiup kencang, dan hujan turun deras. Atap rumah yang terbuat dari terpal bocor di sana-sini. Saat Kian sibuk memindahkan buku dan barang-barangnya agar tidak terkena air, sebuah embusan angin kencang menerbangkan buku itu keluar rumah.

“Kian! Buku kamu!” teriak Mila dari luar.

Kian berlari keluar, menerobos hujan deras. Dia melihat buku itu terombang-ambing di genangan air, terbawa arus kecil yang mengalir ke arah selokan.

“Tidak!” Kian berteriak, mengejarnya tanpa peduli pada dingin yang menggigit. Dia menyelam ke dalam genangan air yang sudah setinggi lutut, meraih buku itu dengan kedua tangannya.

Saat dia bangkit, tubuhnya gemetar, dan buku itu basah kuyup. Tapi Kian tidak peduli. Dia memeluk buku itu erat, seolah memeluk impiannya sendiri.

Mila mendekat, basah kuyup sama seperti Kian. “Kamu gila, Kian. Itu cuma buku.”

Kian menatap Mila dengan mata yang tajam. “Bukan cuma buku. Ini masa depanku.”

 

Hujan dan Harapan

Hujan turun sepanjang malam, membasahi segala yang tersisa dari kampung bawah jembatan. Di rumahnya yang kecil, Kian menggigil. Tubuhnya basah kuyup, tetapi tangannya masih erat memegang buku tua yang sekarang lepek, hampir tidak berbentuk lagi. Mila duduk di sudut, memeluk lututnya sambil mengamati Kian dengan tatapan tajam.

“Kian, kamu bisa sakit. Kalau kamu terus begini, siapa yang bakal bantu Ibumu?” suara Mila terdengar lebih serius dari biasanya.

Kian tidak menjawab. Dia sibuk mengeringkan buku itu dengan saputangan usang yang ia punya. Halaman-halaman yang basah lengket satu sama lain, tapi dia berusaha memisahkannya dengan hati-hati.

“Kian, dengar nggak?” Mila mendekat, memegang pundaknya. “Kalau kamu sakit, buku itu nggak akan berarti apa-apa.”

Kian akhirnya menoleh. Ada rasa lelah dan tekad yang bercampur di matanya. “Kalau aku biarin buku ini hancur, Mila, rasanya kayak aku nyerah sama hidup ini. Aku nggak mau nyerah.”

Mila terdiam. Dia tahu keras kepala Kian seperti tembok, tapi ada sesuatu dalam suaranya malam itu yang membuatnya enggan berdebat lebih jauh. Akhirnya dia berdiri, mengambil kain kering dari gantungan, dan menyerahkannya pada Kian.

“Setidaknya, keringin dulu diri kamu,” kata Mila pelan.

Pagi datang dengan cahaya suram. Hujan sudah reda, tapi air masih menggenang di mana-mana. Kian terbangun dengan kepala berat, tubuhnya demam. Ibunya duduk di sebelah, menatapnya dengan cemas.

“Kian, kamu kenapa nggak bilang kalau kamu nggak enak badan?” suara ibunya bergetar.

Kian hanya tersenyum tipis. “Nggak apa-apa, Bu. Aku cuma kecapekan.”

“Kamu mau sampai kapan kayak gini? Kamu terlalu keras sama dirimu sendiri, Nak.”

“Aku cuma pengen kita bisa hidup lebih baik, Bu,” jawab Kian lemah.

Ibunya menghela napas panjang, lalu mengusap kepala Kian dengan penuh kasih sayang. “Ibu tahu kamu anak yang luar biasa, tapi kadang kamu harus istirahat juga. Janji sama Ibu, ya?”

Kian mengangguk pelan.

Di sudut ruangan, Mila mengamati percakapan itu tanpa suara. Setelah ibunya keluar untuk memanaskan air, dia mendekati Kian.

“Kamu selalu begini,” kata Mila, nada suaranya terdengar seperti campuran kekhawatiran dan frustrasi. “Kamu terlalu sibuk mikirin masa depan sampai lupa kalau kamu punya tubuh yang harus dijaga.”

Kian menatap Mila, bibirnya tersenyum kecil. “Kalau aku nggak mikirin masa depan, siapa lagi yang bakal mikirin?”

Mila tidak menjawab. Dia tahu itu kebenaran yang pahit.

Beberapa hari kemudian, Kian mulai pulih. Buku itu, meskipun sudah rusak parah, tetap ada di tangannya setiap malam. Dia berusaha membaca apa yang tersisa, menyusun kembali cerita-cerita yang sudah hilang.

Namun, satu sore, sesuatu terjadi. Saat Kian sedang membaca di dekat pintu, seorang pria asing muncul. Penampilannya mencolok di antara penduduk kampung: kemeja putih bersih, celana panjang hitam, dan sepatu kulit mengilap yang nyaris tidak pernah terlihat di daerah itu.

“Kian!” panggil ibunya dari luar. “Ada yang mau bicara sama kamu.”

Pria itu melangkah masuk, membawa tas kulit besar. Dia tersenyum ramah, meskipun ada sedikit keraguan di matanya saat melihat rumah kecil itu.

“Kamu Kian?” tanyanya.

Kian mengangguk, matanya menatap pria itu dengan waspada.

“Namaku Pak Ridwan,” pria itu memperkenalkan diri. “Aku seorang pengajar di sebuah sekolah sukarela di kota. Aku dengar dari temanmu di pasar kalau kamu punya minat besar dalam membaca dan belajar. Dia juga bilang kamu baru saja menemukan sebuah buku yang sangat menarik.”

Kian melirik ke arah Mila, yang berdiri di pintu dengan tangan bersilang. Jelas dialah yang memberitahu pria ini.

“Apa maksudnya?” tanya Kian dengan nada hati-hati.

Pak Ridwan tersenyum. “Aku ingin melihat buku itu. Boleh?”

Dengan enggan, Kian menyerahkan buku tua itu. Pak Ridwan membolak-balik halaman dengan hati-hati, matanya berbinar seolah-olah dia baru saja menemukan sesuatu yang berharga.

“Luar biasa,” gumamnya. “Meskipun rusak, buku ini menyimpan banyak pengetahuan. Kamu menemukan ini di tempat sampah?”

Kian mengangguk pelan.

Pak Ridwan menutup buku itu dan menatap Kian dengan serius. “Kian, aku punya tawaran untukmu. Di sekolah tempatku mengajar, kami punya perpustakaan kecil. Jika kamu mau, kamu bisa datang ke sana kapan saja dan membaca semua buku yang ada di sana.”

Kian terdiam, sulit percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.

“Tapi sekolah itu jauh, kan?” sela Mila. “Dan kami nggak punya uang buat ongkos.”

Pak Ridwan tersenyum lagi. “Aku akan membantumu. Aku punya sepeda motor, dan aku bisa menjemputmu setiap minggu.”

Kian menatap Pak Ridwan, lalu Mila, dan akhirnya ibunya, yang berdiri di belakang mereka dengan mata berkaca-kaca.

“Kamu mau, Kian?” suara ibunya pelan, penuh harap.

Kian tidak menjawab langsung. Dalam pikirannya, ia membayangkan dunia baru yang mungkin akan terbuka untuknya. Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh keyakinan, dia berkata, “Aku mau.”

 

Bunga Harapan di Tengah Sampah

Kian duduk di atas motor Pak Ridwan, udara pagi yang dingin menyentuh wajahnya. Di belakang mereka, kampung bawah jembatan perlahan mengecil, menjadi bayangan samar di kejauhan. Itu pertama kalinya Kian meninggalkan kampung dengan tujuan yang lebih besar daripada sekadar mencari barang di pasar loak atau tempat sampah.

Di perjalanan, Pak Ridwan berbicara pelan, seolah tahu bahwa Kian butuh waktu untuk mencerna semua ini. “Kian, aku tahu ini mungkin terasa aneh buatmu. Tapi percaya sama aku, kamu punya potensi besar. Banyak anak-anak di luar sana nggak dapat kesempatan seperti ini.”

Kian hanya mengangguk, matanya sibuk mengamati dunia luar yang selama ini terasa asing. Jalan raya yang luas, kendaraan yang berseliweran, dan gedung-gedung tinggi yang seakan menantang langit. Di balik rasa takjub, terselip ketakutan kecil: apakah dia benar-benar pantas berada di tempat ini?

Ketika mereka tiba di sekolah, Kian hampir tidak percaya. Bangunan sederhana itu tidak semewah gedung-gedung yang dilihatnya tadi, tapi terasa berbeda—hangat, hidup. Di dalamnya, ada rak-rak kayu yang penuh dengan buku. Buku-buku yang terlihat jauh lebih terawat daripada yang pernah ia temukan di tumpukan sampah.

“Ini perpustakaannya,” ujar Pak Ridwan, mengantar Kian masuk. “Mulai sekarang, tempat ini juga milikmu. Bacalah apa saja yang kamu mau.”

Kian mendekati salah satu rak, tangannya gemetar saat menyentuh sampul sebuah buku yang terlihat baru. Di sampulnya tertulis: Petualangan Ilmu Pengetahuan. Mata Kian berkaca-kaca.

“Ini nyata?” gumamnya pelan.

Pak Ridwan tertawa kecil. “Nyata, Kian. Semua ini untukmu.”

Hari-hari berikutnya, hidup Kian berubah. Setiap minggu, Pak Ridwan menjemputnya untuk belajar di sekolah itu. Kian menghabiskan waktu berjam-jam membaca, mencatat, dan bertanya tentang hal-hal yang selama ini hanya ada dalam imajinasinya. Buku-buku di perpustakaan itu membuka dunia baru—tentang sains, sejarah, seni, dan banyak lagi.

Namun, Kian tidak lupa dengan kampungnya. Di malam hari, saat kembali ke rumah, dia menceritakan apa yang dipelajarinya kepada anak-anak lain. Mereka berkumpul di bawah lampu minyak kecil, mendengarkan dengan antusias saat Kian berbagi cerita dari buku-buku yang ia baca.

“Kian, ceritain lagi tentang planet yang bisa berubah warna,” pinta seorang anak kecil dengan mata berbinar.

Kian tersenyum. “Itu namanya planet gas. Mereka punya atmosfer yang bisa memantulkan cahaya, jadi warnanya kelihatan beda-beda dari kejauhan.”

Anak-anak itu bersorak kecil, kagum pada cerita yang bagi mereka seperti dongeng.

Mila, yang duduk di belakang, memperhatikan semuanya dengan diam. Ada rasa bangga di dalam hatinya, meskipun ia tidak pernah mengatakannya langsung.

“Kian, kamu tahu nggak?” ujarnya suatu malam. “Kamu kayak lampu kecil di kampung ini. Semua orang jadi punya harapan karena kamu.”

Kian menggeleng pelan. “Aku cuma baca buku, Mila. Itu aja.”

“Tapi kamu nggak cuma baca buat diri kamu sendiri. Kamu bagi ke yang lain. Itu yang bikin beda.”

Kian terdiam, tidak tahu harus menjawab apa. Tapi malam itu, kata-kata Mila terngiang di kepalanya.

Setahun berlalu. Kampung bawah jembatan masih sama kumuhnya, tapi ada yang berubah. Kian sekarang mengajar anak-anak di sana dengan bantuan buku-buku yang ia bawa dari sekolah. Pak Ridwan terus mendukungnya, bahkan membawa lebih banyak relawan untuk membantu memperbaiki kondisi kampung.

Suatu hari, saat Kian sedang mengajar, seorang pria paruh baya dengan jas rapi muncul. Wajahnya terlihat terkejut saat melihat Kian berdiri di depan anak-anak, menjelaskan tentang sistem tata surya dengan antusias.

“Kian, ada tamu,” kata Pak Ridwan dari belakang.

Pria itu mendekat, menatap Kian dengan penuh haru. “Kamu… benar-benar Kian, anak yang dulu nemuin buku tua itu di tempat sampah?”

Kian mengangguk, bingung dengan pertanyaan itu.

Pria itu tersenyum lebar. “Aku penulis buku itu. Aku dengar dari Pak Ridwan kalau kamu menemukan bukuku di tempat sampah, dan sekarang kamu membaginya ke anak-anak di sini. Terima kasih, Kian. Kamu menghidupkan kembali apa yang kupikir sudah hilang.”

Kian terdiam, tidak tahu harus berkata apa. Tapi di dalam hatinya, ia merasa seperti bunga kecil yang akhirnya mulai tumbuh di tengah tumpukan sampah.

“Buku itu mengubah hidupku,” ujar Kian pelan.

“Dan sekarang, kamu mengubah hidup banyak orang,” jawab pria itu.

Malam itu, di bawah langit yang penuh bintang, Kian duduk di pinggir sungai sambil memegang buku tua yang kini sudah hampir tak bisa dibaca. Di sebelahnya, Mila menatap bintang-bintang dengan tenang.

“Kian,” kata Mila tiba-tiba. “Kalau kamu bisa pilih, kamu mau jadi apa di masa depan?”

Kian tersenyum. “Aku mau jadi seseorang yang bikin hidup orang lain lebih baik. Sama kayak buku ini bikin hidupku lebih baik.”

Mila menoleh, tersenyum kecil. “Kamu udah jadi itu sekarang.”

Hening. Hanya suara sungai yang mengalir perlahan.

“Kamu tahu, Mila?” Kian berkata pelan, hampir seperti berbisik. “Aku nggak takut lagi sama masa depan.”

Mila mengangguk, menatap langit. “Karena kamu tahu kamu nggak sendirian lagi.”

Dan di tengah malam itu, di antara bintang-bintang dan suara sungai, Kian merasa untuk pertama kalinya hidupnya benar-benar penuh.

 

Jadi, apa yang bisa kita ambil dari cerita Kian? Mungkin, hidup nggak selalu adil, dan kadang kita harus berjuang keras buat keluar dari keterbatasan. Tapi, yang penting adalah semangat buat terus maju, karena kita nggak pernah tahu sejauh mana langkah kecil kita bisa ngubah dunia.

Kian mungkin cuma anak jalanan, tapi dia udah ngebuktiin kalau impian dan niat baik bisa mengubah banyak hal. Jadi, jangan pernah ngerasa kecil di dunia ini, karena setiap langkah kamu bisa jadi awal dari sesuatu yang besar.

Leave a Reply