Daftar Isi
Hai semua, Sebelum kita masuk ke dalam ceritanya pernah nggak sih kamu ngerasa bahwa jauh dari orang tua, meskipun mereka bilang semua yang mereka lakukan itu buat kamu? Di balik cerita seorang anak SMA gaul bernama Alvis.
Ada sebuah perjuangan yang sangat menyentuh untuk bisa mendekatkan hati di tengah jarak yang memisahkan. Simak kisah penuh emosi ini, yang nggak cuma bikin hati kamu terenyuh, tapi juga mengajarkan arti pentingnya komunikasi dalam keluarga. Yuk, baca sampai habis!
Alvis dan Sepi di Tengah Keramaian
Keramaian yang Sepi
Hari itu seperti biasa, aku jadi pusat perhatian di sekolah. Anak-anak berkerumun di kantin, dan aku ada di tengah-tengah mereka. Tawa mereka menggema, memantul di dinding sekolah yang usianya lebih tua dari kita semua. Aku melontarkan lelucon, meniru gaya bicara guru biologi yang selalu bercanda garing saat mengajar. Semuanya tertawa, bahkan mereka yang biasanya lebih sibuk dengan ponsel ikut tersenyum.
“Vis, lo nggak pernah kehabisan bahan buat bikin kita ngakak, ya,” kata Nara, teman dekatku, sambil menepuk pundakku.
Aku tersenyum. “Ya hidup harus happy, dong. Kalau nggak, bisa-bisa lo stress sendiri, Ra.”
Aku memandang ke sekeliling. Ada Nara, Rafi, Dimas, dan teman-teman lain yang selalu hadir di setiap momen penting di sekolah. Rasanya, kalau orang lain melihatku dari luar, mereka pasti berpikir aku ini anak yang paling bahagia. Hidupku kelihatan sempurna. Tapi hanya aku yang tahu, ada ruang kosong di hatiku yang tidak pernah bisa diisi siapa pun di sini.
Malamnya, saat aku duduk sendiri di kamar, suasana berubah total. Di kantin aku bisa tertawa, tapi di sini, aku cuma merasa sepi. Aku buka galeri ponselku, mencari-cari sesuatu yang entah apa. Sampai akhirnya aku menemukan foto itu aku kecil duduk di pangkuan Ibu. Ayah berdiri di belakang kami dengan senyum bangga. Aku kecil, dengan rambut cepak, memeluk mainan robot hadiah ulang tahunku waktu itu.
Aku menatap foto itu lama. Tanganku gemetar. Rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Kenapa momen itu terasa begitu jauh? Dulu, aku tidak pernah membayangkan akan hidup tanpa mereka setiap hari. Tapi sekarang, realitasnya berbeda.
Ayah dan Ibu bekerja di Dubai sejak aku kelas 2 SMP. Katanya, demi aku, demi masa depanku, demi aku bisa sekolah di tempat terbaik. Tapi, aku nggak tahu apa yang sebenarnya lebih penting uang untuk masa depan atau kebersamaan kami yang hilang.
Aku mencoba menenangkan diri, tapi kenangan terus menyerbu. Aku ingat, dulu Ibu selalu bangun pagi untuk memasak nasi goreng kesukaanku. Ayah selalu mengantarku ke sekolah sambil memutar lagu-lagu lawas di mobilnya. Aku nggak pernah membayangkan mereka bakal pergi sejauh ini, meninggalkan aku dengan rutinitas yang hampa.
Pikiranku terus berputar. Aku buka media sosial, mencoba mengalihkan perhatian. Tapi justru di sana aku menemukan postingan ulang tahun seorang teman yang dirayakan bersama keluarganya. Ada ibu, ayah, dan kakaknya, semua tersenyum bahagia di depan kue ulang tahun.
Aku merasa seperti ditampar. Bukan iri, tapi sakit. Di balik layar ponsel, aku hanya bisa bertanya pada diriku sendiri, Kenapa aku nggak bisa punya itu lagi?
Tanganku otomatis mengetik pesan untuk Ibu. Aku menulis, menghapus, lalu mengetik lagi. Bu, aku kangen. Kapan kita bisa ketemu? Tapi, aku nggak pernah mengirimnya. Pesan itu hanya jadi tulisan tanpa tujuan. Aku takut mengganggu mereka. Mereka selalu bilang sibuk, terlalu banyak pekerjaan, terlalu lelah untuk hal-hal kecil.
Jam dinding menunjukkan pukul sebelas malam. Aku masih duduk di meja belajar dengan buku matematika yang terbuka. Tugas-tugas itu seolah mengejekku tugas yang biasanya kubagi dengan Ibu dulu.
Tiba-tiba ponselku berbunyi. Pesan dari tanteku, “Alvis, jangan lupa tidur. Besok sekolah, kan?”
Aku hanya membalas singkat, “Iya, Tan.”
Tanteku baik, dia sudah seperti ibu kedua buatku. Tapi, tetap saja, dia bukan Ibu.
Aku rebahkan tubuhku di kasur. Lampu kamar kupadamkan, menyisakan pendar lembut dari lampu tidur di sudut ruangan. Aku menatap langit-langit kamar. Mata ini berat, tapi pikiranku terus melayang, memutar ulang memori-memori kecil yang dulu aku anggap biasa saja, tapi kini terasa sangat berharga.
Sejak kecil, aku diajarkan untuk kuat. Tapi malam itu, di tengah kesunyian yang mencekam, aku merasa seperti pecundang. Aku yang selalu terlihat ceria di luar ternyata tidak lebih dari anak laki-laki yang merindukan keluarganya, tapi tak tahu bagaimana cara mengatakannya.
Kenangan di Balik Foto Lama
Pagi itu, aku melangkah ke sekolah dengan langkah yang berat. Biasanya, aku termasuk yang datang lebih dulu, menikmati obrolan santai sebelum bel masuk. Tapi pagi ini, rasanya kantin yang ramai sekalipun tidak bisa menyembuhkan rasa kosong yang masih mengganjal di hati.
Aku duduk di meja biasa bersama Nara dan Dimas, teman-temanku yang paling sering jadi tempat berbagi. Tapi, hari itu aku hanya menjadi pendengar. Mereka berbicara soal pertandingan basket yang akan datang, soal ujian yang semakin dekat, bahkan tentang rencana liburan keluarga.
“Vis, lo kenapa? Kok diem aja?” tanya Nara tiba-tiba, memecah lamunanku.
Aku tersentak. “Hah? Oh, nggak apa-apa. Gue lagi capek aja,” jawabku, mencoba menghindari.
Tapi Nara mengenalku terlalu baik. Dia mengernyit, lalu memiringkan kepalanya. “Lo nggak kelihatan kayak Alvis yang sudah biasa, tahu.”
Aku hanya tersenyum kecil, mencoba mengubah topik. Tapi, dalam hati, aku tahu Nara benar. Aku merasa jauh dari diriku sendiri. Biasanya aku selalu punya cerita untuk mereka, selalu tahu cara menghidupkan suasana. Tapi hari ini, aku bahkan tidak akan punya energi untuk bisa pura-pura.
Saat jam istirahat kedua, aku memutuskan untuk pergi ke taman belakang sekolah. Itu tempat yang jarang dikunjungi orang, dan aku butuh ruang untuk sendiri. Duduk di bangku kayu tua, aku membuka ponsel dan kembali memandang foto lama itu.
“Kenapa rasanya jauh banget, ya?” gumamku pelan.
Aku mengingat setiap detail di foto itu. Baju merah yang kupakai adalah hadiah ulang tahun dari Ibu. Ayah membelikan mainan itu setelah aku merengek selama berhari-hari. Saat itu, aku merasa menjadi anak paling bahagia di dunia. Tapi sekarang, kenangan itu terasa seperti cerita dari kehidupan orang lain.
Angin bertiup pelan, membawa bau khas dedaunan basah setelah hujan semalam. Di tempat itu, aku merasa sedikit lebih tenang, meskipun hanya sesaat. Tapi ketenangan itu terganggu ketika pesan masuk ke ponselku.
Alvis, kita belum sempat untuk bicara minggu ini. Maaf ya, Nak. Nanti kalau ada waktu, Ibu akan telepon, ya.
Pesan dari Ibu. Singkat, sederhana, tapi cukup untuk membuat dadaku terasa sesak.
Aku ingin membalas, ingin bilang kalau aku butuh lebih dari sekadar pesan singkat. Tapi, lagi-lagi, aku memilih diam. Aku takut kalau aku mengeluh, mereka akan merasa bersalah, dan itu hanya akan membuat keadaan lebih rumit.
Malamnya, aku mencoba mengerjakan tugas seperti biasa. Tapi, fokusku terus terpecah. Aku merasa seperti terjebak dalam lingkaran pikiran yang tidak ada ujungnya.
Saat aku hampir menyerah, Tante tiba-tiba masuk ke kamarku dengan segelas susu hangat. Dia duduk di kursi di dekat meja belajarku, memandangku dengan tatapan lembut.
“Alvis, kamu nggak cerita apa-apa, tapi Tante tahu kamu lagi sedih,” katanya.
Aku terdiam, membiarkan keheningan menjawab untukku.
“Rindu sama Ibu dan Ayah, ya?” tanyanya.
Aku mengangguk perlahan, air mataku mulai menggenang. “Iya, Tan. Kadang aku bingung… kenapa mereka harus pergi sejauh itu?”
Tante menghela napas panjang, lalu menepuk pundakku dengan lembut. “Mereka nggak pernah lupa sama kamu, Nak. Semua yang mereka lakukan itu buat kamu.”
“Tapi kenapa rasanya kayak aku cuma jadi alasan? Kayak aku ini cuma alasan mereka buat sibuk terus,” ucapku, akhirnya meledakkan semua yang selama ini kutahan.
Tante menatapku lama, lalu memelukku. “Nggak ada orang tua yang nggak sayang sama anaknya, Alvis. Tapi kamu juga manusia, Nak. Kalau kamu rindu, kalau kamu sakit hati, bilang. Mereka harus tahu.”
Kata-kata Tante membuatku berpikir. Selama ini, aku selalu takut mengungkapkan perasaanku. Aku pikir, menjadi kuat berarti menahan semuanya sendiri. Tapi mungkin, aku salah.
Malam itu, aku memutuskan untuk menulis sebuah surat. Bukan di kertas, tapi di aplikasi catatan di ponselku. Aku menuliskan semua yang kurasakan kerinduan, kesepian, bahkan kemarahan yang selama ini kupendam. Aku tidak tahu apakah aku akan benar-benar mengirimkannya. Tapi setidaknya, aku merasa sedikit lega.
“Bu, Ayah, aku tahu kalian sayang sama aku. Tapi kadang aku butuh lebih dari sekadar kata-kata. Aku butuh kalian di sini, bersama aku.”
Kalimat itu terus terngiang di kepalaku saat aku mencoba tidur. Mungkin besok, aku akan punya keberanian untuk mengatakannya langsung. Tapi malam ini, aku hanya bisa berharap mereka tahu seberapa besar aku merindukan mereka.
Percakapan yang Tertunda
Hari Minggu datang dengan tenang, tapi bagiku hari itu terasa berat. Sejak bangun tidur, pikiranku terus dihantui surat yang kutulis tadi malam. Surat itu masih tersimpan di ponselku, dan aku tidak tahu apakah aku punya keberanian untuk benar-benar mengirimkannya.
Aku duduk di meja makan sambil menyeruput teh buatan Tante. Sepi. Rasanya aku butuh suara Ayah yang biasa memulai obrolan di pagi hari atau tawa lembut Ibu saat menegurku untuk makan lebih banyak. Tapi, suara itu sudah lama tidak terdengar di rumah ini.
“Vis, habis ini bantu Tante belanja di pasar, ya,” kata Tante sambil menyusun daftar belanja.
“Iya, Tan,” jawabku singkat.
Aku menatap ponselku yang tergeletak di meja. Ada rasa ragu, ada rasa takut. Tapi di sisi lain, aku tahu aku tidak bisa terus seperti ini. Akhirnya, dengan gemetar, aku membuka aplikasi catatan. Surat itu masih di sana, persis seperti yang kutinggalkan tadi malam. Setelah menarik napas panjang, aku salin tulisan itu ke aplikasi pesan dan mengirimnya ke nomor Ibu.
Setelah pesan terkirim, dadaku terasa sesak. Aku menatap layar, menunggu balasan yang rasanya tidak kunjung datang. Detik berubah jadi menit, dan menit berubah jadi jam. Tapi ponselku tetap sunyi.
Di pasar, aku membantu Tante memilih sayuran sambil berusaha terlihat biasa. Tapi pikiran tentang pesan itu terus menghantuiku. Apakah aku salah mengirim? Apakah mereka terlalu sibuk untuk membaca? Atau lebih buruk lagi, apakah aku membuat mereka merasa bersalah?
“Vis, kamu kenapa? Dari tadi ngelamun aja,” tanya Tante tiba-tiba.
Aku tersentak. “Nggak apa-apa, Tan. Cuma lagi mikir tugas sekolah.”
Tante menatapku dengan tatapan skeptis, tapi dia tidak mendesak lebih jauh.
Siang harinya, setelah kami kembali dari pasar, ponselku akhirnya berbunyi. Notifikasi pesan masuk. Hatiku berdebar saat melihat nama Ibu muncul di layar.
Alvis, Ibu baca pesan kamu. Maaf ya, Nak, kalau Ibu sama Ayah bikin kamu ngerasa seperti itu. Ibu tahu kamu kuat, tapi Ibu lupa kalau kamu juga butuh kami. Ibu sedih baca pesan kamu tadi.
Aku membaca pesan itu berulang kali. Rasanya ada campuran lega dan sedih yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata. Akhirnya, Ibu mengerti. Tapi di sisi lain, aku merasa bersalah telah membuatnya sedih.
Ponselku bergetar lagi. Kali ini, video call masuk. Itu Ibu.
Aku ragu sejenak sebelum menjawab. Wajah Ibu muncul di layar, senyum lembutnya membuat mataku panas.
“Alvis,” katanya pelan, suaranya seperti meluruhkan semua tembok yang selama ini kubangun.
Aku hanya bisa mengangguk. Air mataku mulai mengalir tanpa bisa kucegah. “Bu, aku kangen,” kataku akhirnya, suaraku serak.
“Ayah sama Ibu juga kangen, Nak. Kami selalu mikirin kamu,” jawabnya.
“Tapi kenapa rasanya kayak aku sendirian, Bu? Aku tahu kalian sibuk, aku tahu kalian kerja buat aku. Tapi aku juga butuh kalian di sini,” ucapku sambil berusaha menahan tangis.
Ibu mengangguk pelan. Wajahnya terlihat penuh penyesalan. “Maaf, Vis. Ibu sama Ayah terlalu fokus sama kerjaan, sampai kami lupa kalau jarak ini bukan cuma soal fisik, tapi juga hati.”
“Aku nggak minta banyak, Bu. Aku cuma pengen kita bisa ngobrol lebih sering. Aku pengen kalian tahu apa yang aku rasain. Aku cuma pengen kalian ada buat aku, meskipun dari jauh.”
Ibu menghela napas panjang. “Ibu janji, Nak. Mulai sekarang, Ibu sama Ayah bakal lebih sering nyempatin waktu buat kamu. Kamu nggak perlu nunggu lagi kalau mau cerita. Ibu selalu ada buat kamu.”
Aku mengangguk. Meskipun aku tahu situasinya tidak akan berubah secara instan, janji Ibu memberikan harapan baru.
Malam itu, setelah percakapan panjang dengan Ibu, aku merasa lebih ringan. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku tidak merasa sendirian. Aku tahu perjuangan ini belum selesai. Jarak tetap ada, kesibukan mereka tetap ada. Tapi aku juga tahu, hubungan kami mulai menemukan jalan pulang.
Aku duduk di meja belajar, menatap foto lama yang masih tersimpan di ponselku. Kali ini, aku tidak merasa sedih. Aku merasa diberi kekuatan baru untuk terus berjuang untuk keluarga kami, untuk cinta yang tidak pernah benar-benar hilang, hanya sempat terlupakan.
Langkah Awal untuk Kembali
Minggu pagi berikutnya terasa berbeda. Biasanya, aku memulai hari dengan suasana hati yang berat, tapi hari ini ada sesuatu yang membuat langkahku lebih ringan. Janji Ibu masih terngiang di pikiranku, menghangatkan hati meski rindu tetap ada.
Aku duduk di meja makan, memandangi segelas teh hangat sambil berpikir. Apa langkah berikutnya? Ibu sudah berjanji untuk lebih sering meluangkan waktu. Tapi apa aku juga sudah melakukan cukup banyak usaha untuk memperbaiki hubungan ini?
“Tante keluar dulu ya, Vis. Kamu jangan lupa makan siang,” ujar Tante sebelum pergi ke toko.
Aku mengangguk. “Iya, Tan. Hati-hati.”
Sendirian di rumah, pikiranku kembali mengembara. Aku membuka laci mejaku dan mengambil album foto lama yang hampir tidak pernah kubuka. Debu yang menempel di sampulnya menjadi bukti betapa lama kenangan itu tidak kusentuh.
Aku membuka halaman pertama, dan di sana ada foto keluargaku saat aku masih kecil. Aku, Ayah, dan Ibu berdiri di depan sebuah taman bermain. Aku ingat hari itu; Ayah menggendongku saat aku menangis karena takut naik wahana, dan Ibu yang terus menggodaku agar mau mencoba. Tawa kami, senyum mereka semua itu terasa seperti mimpi yang terlalu jauh untuk dijangkau.
“Kenapa semuanya jadi rumit sekarang?” gumamku.
Tiba-tiba, ponselku berbunyi. Pesan dari Ibu.
Alvis, Ayah dan Ibu mau video call malam ini. Kita mau cerita-cerita soal kamu. Gimana kabarmu di sekolah, kegiatan apa yang lagi kamu suka. Bisa, kan, Nak?
Aku tersenyum kecil. Selama ini, aku yang sering menunggu mereka menghubungiku. Tapi kini, mereka yang memulai. Ada perasaan hangat yang perlahan memenuhi hatiku.
Malam harinya, aku duduk di kamar dengan sebuah ponsel yang ada di tangan. Tepat pukul delapan, panggilan video masuk. Kali ini, bukan hanya Ibu yang muncul di layar, tapi juga Ayah.
“Alvis! Gimana, Nak?” sapa Ayah dengan senyum lebar.
“Baik, Yah,” jawabku sambil berusaha menahan tangis. Rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat wajah Ayah sedekat ini.
Kami berbicara panjang malam itu. Tentang sekolahku, teman-temanku, bahkan tentang pertandingan basket yang akan datang. Ayah dan Ibu mendengarkan dengan penuh perhatian, sesuatu yang jarang aku rasakan sebelumnya.
Tapi ada momen di mana percakapan menjadi lebih emosional.
“Ayah sama Ibu tahu, Nak, selama ini kamu lagi merasa kesepian,” kata Ayah yang tiba-tiba.
Aku terdiam, menundukkan kepala. “Iya, Yah. Aku cuma… kadang aku merasa kalian terlalu jauh. Aku tahu kalian kerja keras buat aku, tapi aku juga butuh kalian ada di sini.”
Ayah menghela napas panjang. “Kami salah, Vis. Kami pikir, memberikan yang terbaik untuk masa depan kamu itu cukup. Tapi kami lupa, masa sekarang juga penting. Kami janji, Nak, kami akan coba lebih sering ada buat kamu, walaupun dari jauh.”
Kata-kata itu membuat air mataku jatuh. “Aku cuma pengen kita kayak dulu, Yah. Pengen ngerasa kalau aku nggak sendirian.”
“Ayah ngerti, Nak,” jawabnya dengan suara bergetar.
Setelah panggilan itu berakhir, aku merasa beban besar terangkat dari pundakku. Hubungan kami memang belum sempurna, tapi setidaknya kami mulai saling memahami.
Aku membuka album foto lagi. Kali ini, aku tidak merasa sedih saat melihat foto-foto itu. Aku merasa diberi kekuatan untuk memperjuangkan kembali kehangatan keluarga kami.
Di halaman terakhir album, ada foto yang membuatku tertegun. Itu adalah foto ulang tahunku yang kesepuluh. Aku berdiri di tengah dengan kue ulang tahun, sementara Ayah dan Ibu berdiri di belakangku dengan senyum bangga.
Aku tahu apa yang harus kulakukan.
Keesokan harinya, aku meminta izin pada Tante untuk pergi ke percetakan setelah pulang sekolah. Aku membawa foto-foto lama itu dan memutuskan untuk membuat scrapbook kecil sebagai hadiah untuk Ayah dan Ibu. Di setiap halaman, aku menulis pesan singkat, mengungkapkan kenangan yang pernah kami lalui dan harapan untuk masa depan.
Misalnya, di halaman pertama, aku menulis:
“Ayah dan Ibu, ini hari di mana aku lagi merasa jadi anak yang paling bahagia. Aku harap kita bisa punya momen seperti ini lagi, meski jarak memisahkan kita.”
Malam itu, aku mengirimkan foto scrapbook yang sudah jadi kepada mereka. Pesanku sederhana:
“Ayah, Ibu, ini untuk kita. Aku percaya, meskipun sekarang kita terpisah, kita tetap bisa saling mendekatkan hati. Aku sayang kalian.”
Tak lama kemudian, balasan datang. Pesan suara dari Ayah:
“Kami juga sayang kamu, Nak. Dan kami janji, ini langkah awal untuk kita kembali seperti dulu.”
Malam itu, aku tidur dengan senyum. Aku tahu perjuangan ini belum selesai, tapi setidaknya aku tahu kami semua mau berusaha. Dan itu, bagiku, adalah awal dari semua harapan.
Jadi, gimana semua ada nggak nih diantara kalian yang bisa menyimpulkan cerita cerpen diatas? Kisah Alvis mengingatkan kita bahwa jarak bukan penghalang untuk tetap merasa dekat dengan orang yang kita sayangi. Kadang, kita hanya perlu keberanian untuk bicara dan usaha kecil untuk memperbaiki hubungan. Jadi, buat kamu yang mungkin sedang merasa jauh dari keluarga, ingatlah: komunikasi adalah kunci. Yuk, mulai langkah kecil untuk mendekatkan hati mereka yang kamu sayangi. Karena cinta keluarga, nggak ada tandingannya!